AKIBAT HUKUM WANPRESTASI PADA PERJANJIAN JUAL BELI SECARA LISAN (STUDI KASUS: PUTUSAN PENGADILAN PADA PENGADILAN NEGERI MALANG NOMOR:135/Pdt.G/2018/PN.Mlg)
S K R I P S I
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Oleh:
ANGGI NADHIFAH UMAMAH 160200460
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
SKRIPSI
Diajukan untuk melengkapi tugas akhir dan memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
OLEH :
Anggi Nadhifah Umamah NIM: 160200460
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum NIP: 196602021991032002
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Syamsul Rizal, SH., M.Hum Zulfi Chairi, SH., M.Hum NIP.19640216198911101 NIP.197108012001122006
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2020
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
NAMA : ANGGI NADHIFAH UMAMAH
NIM : 160200460
DEPARTEMEN : HUKUM KEPERDATAAN
JUDUL SKRIPSI : AKIBAT HUKUM WANPRESTASI PADA
PERJANJIAN JUAL BELI SECARA LISAN (STUDI
KASUS:PUTUSAN PENGADILAN PADA
PENGADILAN NEGERI MALANG NOMOR:
135/Pdt.G/2018/PN.Mlg) Dengan ini menyatakan :
1. Skripsi yang saya tulis bukan ciplakan dari skripsi atau karya ilmiah orang lain.
2. Apabila terbukti dikemudian hari skripsi tersebut adalah ciplakan, maka segala akibat hukum yang timbul menjadi tanggung jawab saya.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya tanpa ada paksaan atau tekanan dari pihak manapun.
Medan, Januari 2020
Anggi Nadhifah Umamah Nim. 160200460
akhir penulis untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum. Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “AKIBAT HUKUM WANPRESTASI PADA PERJANJIAN JUAL BELI SECARA LISAN (STUDI KASUS:PUTUSAN PENGADILAN PADA PENGADILAN NEGERI MALANG NOMOR:135/Pdt.G/2018/PN.Mlg)”.
Skripsi ini disusun guna melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, di mana hal tersebut merupakan kewajiban bagi setiap mahasiswa/i yang ingin menyelesaikan perkuliahannya. Demi terwujudnya penyelesaian dan penyusunan skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak yang dengan ikhlas memberikan bimbingan, arahan, motivasi, dan doa sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara.
3. Bapak Prof. Dr. O.K. Saidin, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Puspa Melati,SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Ibu Dr. Rosnidar Sembiring, SH., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan.
7. Bapak Syamsul Rizal, SH., M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
8. Ibu Zulfi Chairi, SH., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak meluangkan waktunya dalam membimbing, memberi nasehat, dan memotivasi penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
9. Ibu Marianne Magda, SH., M.Kn, selaku Dosen Pembimbing Akademik.
10. Seluruh Bapak dan Ibu Staf Pengajar dan Pegawai Fakultas Hukum Univeritas Sumatera Utara membantu penulis selama masa perkuliahan.
11. Teristimewa kepada Papa dan Mama yang selalu mendoakan dan memberikan semangat hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
12. Terima kasih kepada Kakak dan Adik yang telah memberikan semangatnya kepada penulis.
13. Terima kasih kepada sahabat-sahabat yang telah memberikan semangat kepada penulis.
2016 yang telah memberikan dukungan kepada penulis.
Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan menjadi bahan masukan dalam dunia pendidikan.
Medan, Januari 2020
ANGGI NADHIFAH UMAMAH 160200460
ABSTRAK
Anggi Nadhifah Umamah* Syamsul Rizal**
Zulfi Chairi***
Perjanjian merupakan salah satu hal yang biasa terjadi diantara masyarakat. Dalam memenuhi kebutuhan antar masyarakat, masyarakat melakukan perjanjian, salah satunya perjanjian jual beli. Dengan adanya perjanjian jual beli menimbulkan hak dan kewajiban bagi pihak yang melakukan perjanjian. Perjanjian jual beli dapat dilakukan baik secara lisan maupun tulisan.
Akan tetapi, perjanjian lisan sangat mudah terjadinya wanprestasi diantara para pihak dan kekuatan hukum perjanjian lisan susah untuk dibuktikan. Terdapat dalam kasus Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg dimana terjadi wanprestasi dalam perjanjian jual beli. Permasalahan yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah bagaimana pengaturan perjanjian jual beli, bagaimana akibat hukum wanprestasi dalam perjanjian jual beli, dan analisis hukum terhadap putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg.
Jenis Metode Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan yuridis normatif, yuridis normatif adalah penelitian kepustakaan yang mengacu pada peraturan perundangan-undangan dan norma hukum. Dan sifat penelitian dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang menggambarkan dan menganalisis secara fakta masalah yang ada.
Berdasarkan hasil dari penelitian, bahwa perjanjian yang dilakukan secara lisan juga sah menurut hukum. Dapat dilihat dalam Pasal 1320 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata bahwa tidak ada yang mengharuskan bahwa perjanjian harus dilakukan secara tertulis. Perjanjian Jual Beli yang dilakukan secara lisan dalam Kasus Pengadilan Negeri Malang Nomor:135/Pdt.G/2018/PN.Mlg mempunyai alat bukti berupa kwitansi transaksi pembayaran, keterangan saksi- saksi dan bukti fotocopy akta tanah yang menurut Pasal 1866 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah dan dapat membantu Para Penggugat dapat membuktikan adanya wanprestasi yang dilakukan pihak Tergugat.
Kata Kunci: Jual Beli, Lisan, Perjanjian, Wanprestasi
* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK ... iv
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Tinjauan Kepustakaan ... 9
E. Metode Penulisan ... 13
F. Keaslian Penulisan ... 17
G. Sistematika Penulisan ... 17
BAB II PENGATURAN PERJANJIAN JUAL BELI A. Perjanjian Jual Beli ... 20
B. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli ... 28
C. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli ... 33
D. Resiko dalam Perjanjian Jual Beli ... 35
BAB III AKIBAT HUKUM WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI A. Pengertian Wanprestasi ... 38
B. Bentuk dan Syarat Wanprestasi ... 41
C. Penyebab Terjadi Wanprestasi ... 45
D. Akibat Hukum Wanprestasi ... 51
E. Pembatalan Tentang Wanprestasi ... 54
BAB IV STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MALANG NOMOR:135/Pdt.G/2018/PN.Mlg A. Gambaran Umum Kasus ... 58
B. Analisis Tinjauan Yuridis Kasus ... 66
C. Dampak Hukum Kasus ... 75
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 79
B. Saran ... 81
DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang. Salah satu contoh bagaimana suatu negara disebut negara berkembang dapat dilihat dari sisi hukum yang diterapkan di suatu negara tersebut. Dalam memenuhi kebutuhan antar masyarakat Indonesia, masyarakat melakukan interaksi timbal balik yang menguntungkan satu sama lain. Hubungan kerjasama yang mengikat merupakan wujud dari suatu perjanjian.
Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari transaksi kerjasama yang terjadi di suatu negara. Suatu transaksi kerjasama dapat dilaksanakan apabila terdapat adanya suatu ikatan kerjasama yang dilakukan antar pihak. Atas dasar ini setiap pelaku masyarakat yang ingin melakukan perjanjian wajib mengetahui hal dasar yang mendasari suatu perjanjian.
Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst.1Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa yang terjadi ketika para pihak saling berjanji untuk melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal Menurut Subekti perjanjian adalah peristiwa ketika seorang atau lebih berjanji melaksanakan perjanjian atau saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal2 Dari peristiwa tersebut timbul suatu hubungan antara dua orang pihak tersebut yang disebut perikatan. Perikatan
1 Leli Joko Suryono, Pokok-Pokok Perjanjian Indonesia, LP3M UMY, Yogyakarta, 2014, hal. 4
2 Wawan Muhwan Hariri, Hukum Perikatan, Pustaka Setia, Bandung, 2011, hal. 119
2
adalah suatu hubungan hukum antara dua belah pihak berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak lain. Pihak yang berhak menuntut disebut kreditur (si berpiutang) sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu disebut debitur (si berutang).3 Pasal 1233 KUH Perdata mengatur bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun karena undang-undang.
Terkait dengan perjanjian jual beli itu, ketentuan undang-undang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Hal ini sesuai dengan asas kebebasan berkontrak yang terkandung dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Sekalipun demikian, bukan berarti bahwa para pihak dengan bebas dapat mengadakan perjanjian jualbeli yang dapat mengganggu ketertiban umum, atau melanggar undang-undang, melainkan kebebasan dimaksud tetap harus berdasar pada syarat-syarat sahnya suatu perjanjian pada umumnya, dan khususnya perjanjian jual-beli, sebagaimana telah ditetapkan dalam undang-undang.4
Suatu perjanjian sah atau tidak maka perlu melihat kepada aturan mengenai syarat sahnya perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan bahwa untuk dapat dikatakan sebagai sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu :
1. Sepakat mengikatkan diri ;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 3. Suatu hal tertentu ;
3 I ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan, Sinar Grafika, Jakarta, 2018, hal. 42
4 Fitriani Amas Gulu, Aspek Hukum Pelaksanaan Perjanjian Jual Beli Berdasarkan KUHPerdata, Legal Opinion Vol 5 No. 4 2017, hal. 2
4. Suatu sebab hal yang halal.
Syarat pertama dan kedua yang disebut sebagai syarat subyektif karena berhubungan dengan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat berhubungan dengan objek dari peristiwa yang dijanjikan tersebut. Masing-masing syarat tersebut membawa konsekuensi sendiri-sendiri.
Apabila syarat subjektif perjanjian cacat atau tidak dipenuhi maka perjanjian itu dapat dimintakan pembatalan oleh salah satu pihak ke pengadilan, bila syarat objektif tidak terpenuhi atau cacat, maka perjanjian itu batal demi hukum.
Pada umunya hak dan kewajiban yang lahir dari perikatan dipenuhi oleh pihak-pihak baik debitur maupun kreditur yang disebut dengan prestasi. Suatu prestasi dapat berupa :
1. Memberikan sesuatu ; 2. Berbuat sesuatu ; 3. Tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut. Adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut maka jual beli tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang yang akan dijual tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal
4
lainnya, klausul-klausul yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundangundangan KUHPdt atau bisa disebut unsur naturalia.5
Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang-barang yang tidak bergerak. Dalam sebuah perjanjian terdapat subjek perjanjian, subjek perjanjian harus wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang diatur dalam undang-undang. Subjek perjanjian berupa manusia pribadi yang berwenang melakukan perbuatan hukum apabila sudah berumur 21 tahun penuh (dewasa) atau walaupun belum berumur 21 tahun penuh tetapi sudah kawin, sehat ingatan, dan tidak dibawah pengampuan.6
Sebuah perjanjian dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan cara tertulis dan lisan. Jika perjanjian itu dinyatakan secara tertulis maka perjanjian tersebut disertai dengan paraf atau tanda tangan sebagai bukti bahwa penjual setuju menyerahkan hak milik atas benda kepada pembeli, dan perjanjian secara lisan merupakan bentuk perjanjian yang paling banyak terjadi dalam masyarakat.7 Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai Pasal 1540 KUHPdt. Menurut Pasal 1458 KUHPdt dijelaskan, jual beli dianggap sudah terjadi ketika penjual dan pembeli mencapai kata sepakat tentang benda dan harga meskipun benda belum diserahkan dan harga belum dibayar. Kata sepakat yang dimaksud adalah apa
5 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 127
6 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010 hal. 291
7 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Raja Grafindo, Jakarta, 2014, hal. 125
yang di kehendaki oleh penjual sama dengan apa yang dikehendaki oleh pembeli.
Tercapainya kata sepakat itu biasanya dinyatakan dengan ucapan setuju atau kata lain yang maksudnya sama dengan itu tentang benda dan harga.8
Perjanjian pengikatan jual beli tanah dalam prakteknya sering dibuat dalam bentuk akta otentik yang dibuat dihadapan Notaris, sehingga Akta Pengikatan Jual Beli merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna.
Hal ini dimaksudkan oleh para pihak untuk lebih memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Karena notaris dalam membuat suatu akta tidak berpihak dan menjaga kepentingan para pihak secara obyektif. Dengan bantuan notaris para pihak yang membuat perjanjian pengikatan jual beli akan mendapatkan bantuan dalam merumuskan hal-hal yang akan diperjanjikan.9
Perjanjian jual beli tanah memiliki suatu bentuk formalitas tertentu dimana hal tersebut haruslah dipenuhi. Formalitas yang dimaksud disini adalah setiap bentuk perjanjian jual beli tanah haruslah dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang, yaitu Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT).
Namun dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, bentuk formalitas tersebut tidak dimuat secara jelas, atau tidak terdapat aturan dalam Pasal yang mengharuskan perbuatan hukum jual beli harus
8 Ibid, hal. 127
9 Wahyu Setiawan, Supriadi, dan Sahrul, Pembatalan Akta Pengikatan Jual Beli Tanah Di Kota Palu (Studi Kasus Perumahan Griya Bukit Hijau di Kota Palu), Legal Opinion Vol 6 No.
3 2018, hal. 268
6
dilakukan di hadapan PPAT. Menurut Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 mengenai pembuatan akta tanahlah yang harus dibuat oleh PPAT.10
Perjanjian bisa dilakukan dalam bentuk tertulis maupun dengan cara lisan, dan tidak jarang dijumpai perjanjian yang dilakukan secara diam-diam. Perjanjian secara lisan banyak terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, serta merta sering tidak disadari namun sudah terjadi kesepakatan. Membuat perjanjian dalam bentuk lisan tetaplah sah, selama telah memenuhi syarat sahnya perjanjian yang tercantum dalam Pasal 1320.11
Namun suatu perjanjian tidak selamanya dapat berjalan sesuai dengan kesepakatan yang diinginkan oleh para pihak. Terkadang dalam prakteknya salah satu pihak dalam suatu perjanjian jual beli tidak memenuhi prestasi yang telah dijanjikannya sehingga menurut hukum ia dipandang telah menyimpang dari perjanjian yang berakibat timbulnya suatu kerugian dari pihak lain disebut sebagai wanprestasi. Wanprestasi atau tidak dipenuhinya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. Pihak yang tidak sengaja melakukan wanprestasi dapat terjadi karena memang tidak mampu untuk memenuhi prestasi tersebut atau juga karena terpaksa untuk tidak melakukan prestasi tersebut.12
Terdapat salah satu kasus yang terjadi dalam putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg dimana pada kasus ini, Iskandar sebagai
10 Andhita Mitza Dwitama, Analisa Yuridis Kasus Gugatan Wanprestasi Terhadap Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Tanah (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung NO. 280 K /Pdt/2006 ), Diponegoro Law Review, Vol 5 No. 2 2016, hal. 2
11 Billy Dicko Stepanus Harefa dan Tuhana, Kekuatan Hukum Perjanjian Lisan Apabila Terjadi Wanprestasi (Studi Putusan Pengadilan Negeri Yogyakarta Nomor
44/PDT.G/2015/PN.YYK), Privat Law Vol IV No. 2 Juli - Desember 2016, hal. 114
12 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2017, hal. 74
Penggugat I dan Nur Jayanti sebagai Penggugat II, selaku Tergugat yaitu PT.
Properti Syariah Indonesia diwakili oleh Suyoko sebagai Direktur. Bahwa antara Tergugat dan Para Penggugat telah terjadi kesepakatan lisan untuk melakukan jual beli 3 (tiga) bidang tanah milik Para Penggugat, dengan sertifikat hak milik.
Sebagai wujud kesungguhan, Tergugat telah membayar panjar atau DP (down payment) dan sisanya akan dilunasi pada waktu yang ditentukan. Tetapi, sisa pembayaran pada waktu yang telah ditentukan tidak dibayarkan oleh Tergugat juga. Bahwa akibat dari kelalaian atau wanprestasi Tergugat, Para Penggugat mengajukan gugatan tersebut.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang penulisan diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana Pengaturan Perjanjian Jual Beli ?
2. Bagaimana Akibat Hukum Wanprestasi dalam Perjanjian Jual Beli ?
3. Bagaimana Analisis Hukum terhadap Putusan Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg ?
C. Tujuan Penulisan dan Manfaat Penulisan
Langkah selanjutnya setelah merumuskan masalah adalah merumuskan tujuan penulisan. Tujuan penulisan dirumuskan secara deklaratif dan merupakan
8
pernyataan – pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut.13
Berdasarkan permasalahan diatas maka tujuan penulisan skripsi ini adalah;
1. Untuk mengetahui Pengaturan mengenai Jual Beli ;
2. Untuk mengetahui Akibat Hukum Wanprestasi dalam Jual Beli ; 3. Untuk mengetahui Analisis Hukum terhadap Putusan Pengadilan pada
Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg.
Berdasarkan uraian di atas, maka hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan mengenai terjadinya wanprestasi dalam perjanjian jual beli khususnya jual beli secara lisan, serta dapat dijadikan sebagai kajian dalam segi-segi hukum keperdataan khususnya yang berkaitan dengan wanprestasi dalam perjanjian jual beli.
2. Manfaat Praktis
Untuk menjadi masukan dan sebagai refrensi bagi siapa saja yang hendak melakukan perjanjian jual beli, sehingga melalui skripsi ini dapat menjadi bahan untuk memperdalam pengetahuan mengenai wanprestasi dalam perjanjian jual beli.
13 Soejorno Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, 2012, hal. 18
D. Tinjauan Kepustakaan
Sebelum menguraikan lebih lanjut materi pembahasan dalam skripsi ini, terlebih dahulu akan memberikan penjelasan tentang pengertian judul skripsi ini dengan maksud agar dapat dimengerti dan sekiranya dapat dijadikan landasan teori dalam penulisan skripsi ini. Dikarenakan perjanjian tidak terlepas dari perikatan ada baiknya terlebih dahulu membahas tentang perikatan.
1. Pengertian Perjanjian
Perikatan adalah suatu hubungan antara sejumlah subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu sorang atau beberapa orang dari padanya (debitur/para kreditur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak lain yang berhak atas sikap yang demikian itu.14
Setelah mengetahui pengertian perikatan maka kembali pada pembahasan perjanjian. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang tersebut dalam perjanjian.15
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat
bersama.‟‟16
Suatu perjanjian dapat diartikan sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap
14 Hoffman, Pokok Hukum Perikatan, Bandung, Bina Cipta, 2003, hal. 2
15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Ikhtisar Indonesia Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, 2005, hal. 458
16 Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta, 2007, Jakarta, hal. 363
10
berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.17
Perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitasformalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian, pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.18
Perjanjian yaitu suatu persetujuan, perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih. Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji melakukan suatu hal.19
Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1313 menyebutkan bahwa “suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Berdasarkan pada beberapa pengertian perjanjian diatas maka dapat disimpulkan bahwa didalam suatu perjanjian dapat berupa perjanjian tertulis atau lisan, adanya dua orang pihak atau lebih, yang saling sepakat. Dimana satu pihak wajib melaksanakan ketentuan kesepakatan dan salah satu pihak lainnya mendapatkan sesuatu dari hasil kesepakatan yang telah disepakati.
2. Pengertian Jual Beli
17 Erlina B, Analisis Penyelesaian Sengketa Terhadap Anak Yang Melakukan
Wanprestasi Dalam Perjanjian Sewa Menyewa Antara Pemilik Bangunan Dengan PT. Indomarco Prismatama, Jurnal Ilmu Hukum Pranata Hukum, Vo 12 No. 2 Juli 2017, hal. 15
18 Ibid
19 Ibid
Jual Beli adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.20
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan (Pasal 1457 KUH Perdata). Esensi dari definisi ini penyerahan benda dan pembayaran harga.21
Perjanjian jual beli adalah perjanjian dengan mana penjual memindahkan atau setuju memindahkan hak milik atas barang kepada pembeli sebagai imbalan sejumlah uang yang disebut harga.22
Jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.23
Pengertian jual beli menurut KUH Perdata dan pengertian jual beli dalam hukum adat sangat jauh perbedaannya walaupun sama-sama menggunakan istilah jual beli. Hukum adat lebih menitikberatkan pada perbuatan serah terima sedangkan dalam KUH Perdata lebih menitikberatkan pada perjanjian dimana para pihak mengikatkan diri.24
20 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Bandung, Penerbit Alumni, 2001, hal. 1
21 Salim H.S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 49
22 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian, PT. Alumni, Bandung, 2010, hal. 243
23 Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Jual Beli, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 7
24 Prodjodikoro Wirjono, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Mandar Maju, Bandung, 2000, hal. 35
12
3. Pengertian Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yaitu berarti prestasi buruk ( wanbeeher yang berarti pengurusan buruk, wanddad perbuatan buruk )25
Wanprestasi adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditur dengan debitur.26 Wanprestasi atau tidak dipenuhinnya janji dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja.27
Apabila yang berhutang (debitur) tidak melakukan apa yang dijanjikannya maka dikatakan ia melakukan “wanprestasi‟‟. Ia alpa atau lalai atau ingkar janji.28
Secara umum wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Debitur disebutkan dan berada dalam wanprestasi, apabila dia dalam melakukan pelaksaanan prestasi dalam perjanjian telah lalai, sehingga “terlambat‟‟ dari jadwal yang ditentukan atau dalam melaksanakan suatu prestasi tidak menurut “sepatutnya atau selayaknya”.29
Wanprestasi adalah suatu tindakan penyimpangan oleh pihak yang mengadakan perjanjian dalam keadaan yang tidak memaksa, dari apa yang sebelumnya telah diperjanjikan dan disepakati dalam perjanjian yang dapat berakibat pada timbulnya kerugian pada pihak lawan. Wanprestasi hanya dapat
25 Yahman, Karakteristik Wanprestasi dan Tindak Pidana Penipuan, Prenamedia Group, Jakarta, 2014, hal. 45
26 Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal.
180
27 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, 2007, hal. 74
28 Subekti, Hukum Perjanjian, PT Intermasa, Jakarta, 2005, hal. 45
29 Yahman, Op.Cit, hal. 83
terjadi dalam proses pelaksanaan setelah sebuah perjanjian dinyatakan telah disepakati secara sah.30
Suatu perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah memenuhi prestasinya masing-masing seperti yang telah diperjanjikan tanpa ada pihak yang dirugikan. Namun ada kalanya perjanjian tersebut tidak terlaksana dengan baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah pihak.
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang artinya prestasi buruk.
Adapaun yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian ataukesalahannya, sehingga debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah yang telah ditentukan dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan yang memaksa.31
E. Metode Penulisan
Menurut Soerjono Soekanto Metode adalah proses, prinsip-prinsip dan tata cara memecahkan suatu masalah.32Penelitian ini merupakan kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan konstruksi yang dilakukan dengan metode tertentu, bersifat sistematis dan konsisten untuk mengungkapkan kebenaran.33 Pengumpulan data merupakan hal yang sangat erat hubungannya dengan sumber data, karena melalui pengumpulan data ini akan diperoleh data yang diperlukan
30 Nyoman Samuel Kurniawan, Konsep Wanprestasi Dalam Hukum Perjanjian Dan Konsep Utang Dalam Hukum Kepailitan (Studi Komparatif Dalam Perspektif Hukum Perjanjian Dan Kepailitan), Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal, Vol 3 No. 1 2014, hal. 10
31 Nindyo Pramono, Hukum Komersil, Pusat Penerbitan UT, Jakarta, 2003, hal. 21
32 Arnol Faisal Siallagan dan Taufik Siregar, Tinjauan Yuridis terhadap Penyelesaian Wanprestasi Perjanjian Asuransi dalam Putusan No. 537/Pdt.g/2013/PN.MDN, Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum, Vol 4 No 1 2017
33 Sri Mamudji,dkk, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, cet.1, Badan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, 2005, hal. 1
14
untuk selanjutnya dianalisis sesuai dengan yang diharapkan. Metode Pengumpulan data ada 2 (dua) yaitu metode studi pustaka (library research) dan metode studi lapangan (field research). Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan (library research).
1. Jenis Penelitian
Bambang Sunggono menyatakan bahwa dalam penulisan sebuah karya ilmiah ada 2 (dua) jenis metode penilitian, yaitu :
Penelitian yuridis normatif disebut juga dengan penelitian hukum doktrinal karena penelitian ini dilakukan atau ditujukanhanya kepada peraturan-peraturan yang tertulis dan bahan hukum yang lain. Penelitian hukum ini juga disebut sebagai penelitian kepustakaan ataupun studi dokumen disebabkan penelitian ini lebih banyak dilakukan terhadap data yang bersifat sekunder yang ada dipertuskaan. Penelitian kepustakaan demikian dapat pula dikatakan sebagai lawan dari penelitian empiris (penelitian lapangan).34
Penelitian yuridis empiris disebut juga dengan penelitian hukum non doktrinal karena penelitian ini berupa studi-studi empiris untuk menentukan teori- teori mengenai proses terjadinya dan mengenai proses bekerjanya hukum di dalam masyarakat. Atau yang disebut juga sebagai Socio Legal Research.35mengenai
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum normatif yaitu dengan penelitian sistematik hukum sehingga bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok atau dasar dalam hukum yakni
34 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 81
35 Ibid, hal. 43
masyarakat hukum, subjek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum dan objek hukum.36
2. Sifat Penelitian
Penelitian yang penulis susun termasuk penelitian yang bersifat deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu populasi atau daerah tertentu, mengenai sifat- sifat, karakteristik atau faktor-faktor lainnya.37
3. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didukung oleh data primer. Dalam penelitian yang menjadi data sekunder ini berasal dari buku-buku, literature, artikel, jurnal, serta situs internet yang berkenaan dengan penelitian yang dilakukan.38
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang terdiri dari aturan hukum yang terdapat pada aturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar 1945, Kitab Undang Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) dan juga putusan Pengadilan pada Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer berupa buku ilmu hukum, jurnal hukum, laporan
36 Soejorno Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 15
37 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 10
38 Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R&D, Alfabeta, Bandung, 2017, hal. 137
16
hukum, dan media cetak atau elektronik serta maupun literature lainnya yang relevan dengan rumusan masalah yang akan diteliti dalam penelitian.39
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang memberi petunjuk/penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti: kamus hukum, ensiklopedia, jurnal ilmiah, bahan-bahan lain yang relevan. Bahan hukum tersier yang mencakup bahan yang memberi petunjuk/penjelasan bermakna terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti: kamus hukum, ensiklopedia, jurnal ilmiah, bahan-bahan lain yang relevan.40
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis melakukan teknik pengumpulan data dengan studi kepustakaan yaitu dengan mencari landasan teori dari masalah yang diteliti dengan mengumpulkan bahan hukum perundang-undangan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti serta melihat beberapa literature yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Analisis Data
Dalam menganalisis data, penulis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu suatu analisis data secara jelas serta diuraikan dalam bentuk kalimat sehingga diperoleh gambaran yang jelas dan menyeluruh. Analisis data dilakukan secara kualitatif tidak terlalu membutuhkan banyak data karena data yang diperoleh akan dihubungkan dengan studi keputakaan.
39 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2014, hal. 84
40 Soejorno Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 97
F. Keaslian Penulisan
Adapun judul penulisan ini adalah “Akibat Hukum Wanprestasi pada Perjanjian Jual Beli secara Lisan (Studi Kasus:Putusan Pengadilan pada Pengadilan Negeri Malang Nomor: 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg)” yang sejauh ini tidak ditemukan adanya judul yang sama seperti judul tersebut diatas melalui uji bersih yang dilakukan dalam Departemen Hukum Keperdataan Kekhususan Hukum Perdata BW Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Sehingga tulisan ini asli.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan yang baik adalah dengan cara pembahasannya harus diuraikan secara sistematis. Sistematika penulisan ini dibagi dalam beberapa tahapan yang disebut dengan bab, selanjutnya setiap bab terbagi atas beberapa sub bab tersendiri, namun masih dalam konteks yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya. Rangkaian dalam bab ini tersusun secara sistematis agar tercapainya tujuan dari penulisan skripsi ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bagian pendahuluan ini akan membahas mengenai gambaran umum tentang skripsi yang terdiri dari Latar Belakang penulisan Skripsi, Rumusan Masalah yang diambil oleh penulis dalam skripsi, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penulisan yang akan diteliti
18
oleh penulis, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II : PENGATURAN PERJANJIAN JUAL BELI
Pada bab ini akan membahas mengenai pengertian mengenai Perjanjian Jual Beli, Kewajiban dan Hak para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli, Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli, Resiko dalam Perjanjian Jual Beli.
BAB III : AKIBAT HUKUM WANPRESTASI
Dalam bab ini akan membahas mengenai Pengertian Wanprestasi, Bentuk Wanprestasi, Syarat Wanprestasi, Penyebab terjadi Wanprestasi, dan Akibat Hukum Wanprestasi.
BAB IV : STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI MALANG NOMOR; 135/Pdt.G/2018/PN.Mlg
Dalam bab ini akan membahas mengenai Gambaran Umum Kasus, Analisis Tinjauan Yuridis Kasus, dan Dampak Hukum Kasus.
BAB V : PENUTUP
Pada bagian bab ini merupakan bagian terakhir dari penulisan skripsi ini. Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran. Kesimpulan mengenai kesuluruhan isi
permasalahan dalam skripsi ini dan saran penulis yang berkenaan dengan isi skripsi.
BAB II
PENGANTURAN PERJANJIAN JUAL BELI
A. Perjanjian Jual Beli
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal Apabila dibandingkan perikatan dengan perjanjian maka selain perjanjian merupakan sumber perikatan selain undang-undang, perikatan juga merupakan pengertian yang masih abstrak karena pihak-pihak dikatakan melaksanakan sesuatu hal, sedangkan perjanjian sudah merupakan suatu pengertian yang konkret, karena pihak-pihak dikatakan melaksanakan suatu peristiwa tertentu.81
Pasal 1313 KUH Perdata, perjanjian ialah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.82 Dengan demikian perjanjian itu menerbitkan suatu perikatan antara dua pihak yang membuatnya atau dapat dikatakan pula bahwa perjanjian adalah sumber perikatan disamping sumber-sumber lain. lebih lanjut dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata suatu perjanjian harus didasarkan atas asas itikad baik. Itikad baik dapat dibedakan menjadi itikad baik subjektif dan itikad baik objektif. Itikad baik subjektif yaitu apakah yang bersangkutan sendiri menyadari bahwa tindakannya bertentangan dengan itikad baik, sedangkan itikad baik objektif adalah jika pendapat umum menganggap tindakan yang demikian adalah bertentangan dengan itikad baik.
81 I Ketut Oka Setiawan,Op.Cit, hal. 42-43
82 Sedyo Prayogo, Penerapan Batas-Batas Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum Dalam Perjanjian, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol III No.2 Mei-Agustus 2016
Perkembangan doktrin ilmu hukum dikenal adanya tiga unsur dalam Perjanjian. Unsur-unsur tersebut diuraikan sebagai berikut :83
1. Unsur esensialia adalah unsur yang harus ada dalam suatu perjanjian, karena jika tidak ada unsur ini maka perjanjian tidak ada.
2. Unsur naturalia adalah unsur yang telah diatur dalam undang-undang, sehingga jika tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undang- undang yang mengaturnya.
3. Unsur aksidentalia adalah unsur yang nanti ada atau mengikat para pihak jika para pihak memperjanjikannya.
Perjanjian yang sah artinya adalah persetujuan yang memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga ia diakui oleh hukum.84 Beberapa syarat untuk perjanjian yang berlaku umum tetapi diatur di luar Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu sebagai berikut:85
1. Perjanjian harus dilakukan dengan iktikad baik, artinya kedua belah pihak yang melakukan perjanjian harus melaksanakan isi perjanjian itu dengan sukarela dan tanpa paksaan, serta dengan iktikad yang benar-benar mau melaksanakan isi perjanjian yang disepakati.
2. Perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku, artinya isi dari perjanjian tidak dibenarkan bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat, tidak boleh bertentangan dengan kondisi yang ada dalam masyarakat.
83 Hananta Prasetyo, Pembaharuan Hukum Perjanjian Sportentertainment Berbasis Nilai Keadilan, Jurnal Pembaharuan Hukum Vol IV No. 1 Januari-April 2017, hal. 67
84 Hananta Prasetyo, Op.Cit, hal. 65
85 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 16
22
3. Perjanjian harus dilakukan berdasarkan asas kepatutan, artinya perjanjian yang telah disepakati harus mengikuti asas yang tidak bertentangan dengan ketentuan yang berlaku dalam masyarakat, tidak boleh melanggar hak-hak masyarakat.
4. Perjanjian tidak boleh melanggar kepentingan umum, artinya kontrak yang dibuat tersebut tidak dibenarkan bertentangan dengan kepentingan yang ada dalam masyarakat, tidak boleh menimbulkan kerugian dalam masyarakat.
Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”, ditegaskan bahwa setiap kewajiban perdata dapat terjadi karena dikehendaki oleh pihak-pihak yang terkait dalam perikatan/perjanjian yang secara sengaja dibuat oleh mereka, ataupun karena ditentukan oleh peraturan perundang- undangan yang berlaku. Dengan demikian berarti perikatan atau perjanjian adalah hubungan hukum antara dua atau lebih orang (pihak) dalam bidang/lapangan harta kekayaan, yang melahirkan kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum tersebut.86
Dalam suatu perjanjian terdapat beberapa asas yang berlaku, antara lain:87 Azas Kebebasan Berkontrak : Azas kebebasan berkontrak adalah salah satu azas yang sangat penting di dalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak azasi manusia. Azas kebebasan
86 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal. 17
87 Prof.Miriam Darus Badrulzaman. Kompilasi Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hal. 83
berkontrak ini didasari oleh pasal 1338 KUH perdata, yakni suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Azas Konsensualisme : Azas ini dapat ditemukan dalam pasal 1320 dan pasal 1338. KUH perdata. Dalam pasal 1320 KUH Perdata, desebutkan secara tegas bahwa adanya kesepakatan para pihak merupakan syarat sahnya perjanjian dan pada pasal 1338, disebutkan “semua perjanjian”. Kata-kata dalam pasal 1338 dan 1320 ini menunjukkan bahwa setiap orang diberikan kesempatan untuk menyatakan keinginannya yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian.
Azas ini sangat erat hubungannya dengan azas kebebasan mengadakan perjanjian.
Azas Kepercayaan : Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua belah pihak itubahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di kemudian hari. Tanpa kepercayaan, maka perjanjian tidak mungkin diadakan oleh para pihak.
Asas Kekuatan Mengikat : Di dalam perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya perjanjian itu tidak semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan tetapi juga terhadap beberapa unsure lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara moral. Demikian sehingga asas- asas, moral, kebiasaan dan kepatutan mengikat para pihak yang mengadakan perjanjian.
Asas Persamaan Hukum : Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kekayaan, jabatan, bangsa, dan lain-lain. Masing-masing para pihak wajib melihat adanya
24
persamaan ini dan mengharuskan kedua belah pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai ciptaan Tuhan
Asas Keseimbangan : Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian yang diadakan. Asas keseimbangan ini merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur memiliki kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga memikul beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat disini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai suatu figure hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian hukum ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang para pihak.
Asas Moral : Asas ini terlihat dalam perikatan, dimana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari debitur. Asas ini juga terdapat dalam pasal 1339 KUH Perdata.
Faktor faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu berdasarkan pada kesusilaan atau moral, sebagai panggilan dari hati nuraninya.
Asas Kepatutan : Asas ini dituangkan dalam pasal 1339 KUH Perdata, asas kepatutan disini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian, asa ini patut dipertahankan Karena melalui asas ini ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.
Sebagaimana diketahui bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu:88
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, kesepakatan para pihak merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesepakatan ini dapat terjadi dengan berbagai cara, namun yang paling penting adalah adanya penawaran dan penerimaan atas penawaran tersebut.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, untuk mengadakan kontrak para pihak harus cakap. Seorang oleh hukum dianggap cakap untuk melakukan kontrak jika orang tersebut sudah berumur 21 tahun ke atas, namun sebaliknya seseorang dianggap tidak cakap untuk melakukan kontrak orang tersebut belum berumur 21 tahun, kecuali jika ia telah kawin sebelum cukup 21 tahun.
3. Suatu hal tertentu, dalam suatu kontrak objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para pihak, objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu ini dalam kontrak disebut prestasi yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
4. Suatu sebab yang halal, maksudnya disini adalah bahwa isi kontrak tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
88 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, PT.RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 13
26
Mengenai bentuk suatu perjanjian tidak ada ketentuan yang mengikat, karena itu perjanjian dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. Dalam hal dibuat secara tertulis, perjanjian mempunyai makna sebagai alat bukti bila pihak-pihak dalam perjanjian itu mengalami perselisihan.89
Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perjanjian tertulis dan lisan. Perjanjian tertulis adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan, sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan dan hanya berdasarkan kesepakatan dan kepercayaan diantara para pihak yang melakukan perjanjian.90
Jual beli ( menurut B.W.) adalah suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana piha yang satu (si penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lain-nya (si pembeli) berjanji untuk mebayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut.91
Pasal 1457 BW diatur tentang pengertian jual beli sebagai berikut
“Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk mnyerahkan suatu benda dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.”
Berdasarkan rumusan Pasal tersebut dapat dilihat bahwa jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan
89 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit, hal. 43
90 Salim HS., Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 42
91 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1995, hal. 1
kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.
Menurut Subekti, jual beli dikatakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikat dirinya untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Perjanjian jual beli menunjukkan bahwa satu pihak melakukan perbuatan yang dinamakan “menjual”, sedangkan dari pihak yang lain dinamakan “membeli”. Dengan demikian, jual beli merupakan istilah yang mencakup dua perbuatan yang bertimbal balik. Mengenai
“penyerahannya” juga perlu dijelaskan bahwa yang diserahkan penjual kepada pembeli, bukan kekuasaan barang itu melainkan hak milik atas barangnya.
Ketentuan pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli ditegaskan sebagai suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Pihak penjual berjanji menyerahkan atau memindahkan hak milik atas barang yang ditawarkan, sedangkan pihak pembeli menjanjikan membayar harga yang telah disetujuinya. Selanjutnya dikatakan bahwa walaupun undang-undang tidak menyebutkan, “harga” itu harus berupa sejumlah “uang”. Karena bila bukan uang, (misalnya barang), maka bukan lagi disebut jual beli, tetapi “tukar menukar”.92
Terjadinya jual beli menurut sistem Burgelijk Wetboek tidak diperlukan lain kecuali persesuaian kehendak antara para pihak mengenai barang (zaak) dan harga. Dengan kata lain perjanjian jual beli dan perjanjian pada umunnya menurut
92 I Ketut Oka Setiawan, Op.Cit. hal. 158-159
28
sistem Burgelijk Wetboek adalah konsensuil. Dalam sistem tersebut berlaku asas yang dinamakan konsensualitas. Arti asas konsensualitas bahwa pada dasarnya perjanjian itu timbul karena kesepakatan dan sudah ada sejak tercapai kata sepakat. Dengan kata lain perjanjian itu sudah sah apabila sudah ada kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dan karena itu tidak diperlukan suatu formalitas.93
B. Kewajiban dan Hak Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli
Jual beli termasuk dalam kelompok perjanjian bernama, artinya undang- undang telah memberikan nama tersendiri dan memberikan pengaturan secara khusus terhadap perjanjian ini. Pengaturan perjanjian bernama dapat diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata maupun Kitab Undang-undang Hukum Dagang. Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457-1540 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, jual beli adalah suatu persetujuan yang mengikat pihak penjual berjanji menyerahkan sesuatu barang / benda, dan pihak lain yang bertindak sebagai pembeli mengikat diri berjanji untuk membayar harga.94
Pengertian yang diberikan Pasal 1457 diatas, persetujuan jual beli sekaligus membebankan dua kewajiban yaitu
Kewajiban dan Hak Penjual :
Pihak penjual ada dua kewajiban utama yaitu:95
93 Hartono Soerjopratikno, Aneka Perjanjian Jual-Beli, Mustika Wikasa, Yogyakarta, 1994, hal. 3
94 Seftian Fansuri, Akibat Hukum Dalam Perjanjian Jual Beli Barang Yang Akan Ada (Studi Jual Beli Tembakau Desa Kalianyar, Kecamatanterara, Kabupaten Lombok Timur), Jurnal ilmiah, 2017, hal. ix
95Ahmadi Miru, Op.Cit. hal. 133
1. Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjual belikan
Kewajiban menyerahkan hak milik meliputi segala perbuatan yang menurut hukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik atas barang yang diperjual belikan itu dari si penjual kepada si pembeli. Cara penyerahan benda yang diperjualbelikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjualbelikan tersebut. Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut.96
Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserahkan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu (penyerahan simbolis), misalnya : penyerahan kunci gudang sebagai simbol dari penyerahan barang yang ada dalam gudang tersebut.
Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah, jika barang yang dibeli tersebut sudah ada di tangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli, Barang yang dibeli tersebut masih berada di tangan penjual pada saat penyerahan karena adanya suatu perjanjian lain, misalnya barang yang sudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual, Barang yang dijual tersebut berada di tangan pihak ketiga, baik
96 Ibid, hal. 128
30
karena persetujuan penjual sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan berlangsung.
Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta di bawah tangan atau akta autentik. Akan tetapi, agar penyerahannya piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh si berutang. Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama.
2. Menanggung atau menjamim barang tersebut
Berdasarkan Pasal 1491 BW, ada dua hal yang wajib ditanggung atau dijamin oleh penjual terhadap barang yang dijualnya, yaitu :97
1. Menjamin penguasaan barang yang dijual secra aman dan tenteram;
2. Menjamin cacat tersembunyi atas barang tersebut, yang sedemikian rupa dapat menjadi alasan pembatalan perjanjian.
Walaupun tidak diadakan janji khusus tentang penanggungan atau penjaminan tentang cacat tersembunyi maupun penangungan tentang penguasaan secara aman dan tentram, penanggungan tersebut merupakan kewajiban si penjual sehingga setiap penghukuman untuk menyerahkan seluruh atau sebagian barang yang dijual tersebut kepada pihak ketiga atau terhadap beban-beban yang menurut keterangan pihak ketiga dimilikinya atas
97 Ibid, hal. 133
barang tersebut dan tidak diberitahukan pada waktu perjanjian jual beli dilakukan adalah atas tanggungan penjual.
Sementara itu, jaminan terhadap cacat tersembunyi artinya bahwa penjual menjamin bahwa barang yang dijual tidak mengandung cacat tersembunyi atau barang yang dijual dalam keadaan baik sebagaimana yang tampak bagi pembeli, sehingga apabila ada cacat yang tidak diketahui oleh pembeli yang sekiranya cacat itu telah diketahui oleh pembeli sejak awal, cacat tersebut dapat mempengaruhi jadi atau tidaknya pembeli membeli barang tersebut atau memengaruhi harga penawaran yang diajukan atau yang disetujui oleh pembeli, penjual akan menanggung akibat adanya cacat tersembunyi tersebut, dalam arti apakah perjanjian jual beli tersebut dibatalkan ataukah harga barang tersebut dikurangi.
Penjual dapat dibebaskan dari tanggung jawabnya untuk menanggung cacat tersembunyi apabila dalam perjanjian jual beli tersebut secara tegas diperjanjikan bahwa penjual tidak menanggung cacat tersembunyi.
Persyaratan untuk menanggung cacat tersembunyi bagi penjual tidak mengharuskan bahwa cacat tersebut diketahui oleh penjual karena kalau cacat tersebut telah diketahui sejak awal oleh penjual, cacat tersebut bukan lagi cacat tersembunyi melainkan cacat yang disembunyikan sehingga ada kemungkinan bahwa kontrak tersebut lahir karena kekhilafan atau kesesatan bahkan penipuan. Dengan demikian dapat dijadikan alasan untuk membatalkan kontrak.98
98 Ibid, hal. 134-136
32
Apabila kesepakatan antara pihak penjual dan pembeli telah tercapai maka akan menimbulkan hak dan kewajiban diantara para pihak. Yang menjadi hak penjual adalah menerima harga barang yang telah di jual dan disepakti oleh penjual dan pembeli.
Kewajiban dan Hak Pembeli :
Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian pada waktu dan ditempat sebagaimana ditetapkan menurut perjanjian. “Harga‟‟ tersebut harus berupa sejumlah uang. Meskipun mengenai hal ini tidak ditetapkan dalam sesuatu Pasal undang-undang, namun sudah dengan sendirinya termaktub didalm pengertian jual beli. Dalam pengertian “jual-beli‟‟ sudah termaktub pengertian bahwa disatu pihak ada barang dan dilain pihak ada uang. Harga itu harus ditetapkan oleh kedua belah pihak, namun adalah diperkenankan untuk menyerahkan kepada perkiraan atau penentuan seorang pihak ketiga.99
Apabila pembeli tidak membayar haga barang tersebut si penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya.100
Hak pembeli ialah hak menerima barang, terdapat dalam Pasal 1481 KUH Perdata “ Barangnya harus diserahkan dalam keadaan dimana barang itu berada pada waktu penjualan. Sejak waktu itu segala hasil menjadi kepunyaan si pembeli
” dan hak menunda pembayaran terdapat dalam Pasal 1516 KUH Perdata “ Jika si pembeli, dalam penguasaannya, diganggu oleh suatu tuntutan hukum yang berdasarkan hipotik atas suatu tuntutan untuk meminta kembali barangnya, atau
99 R. Subekti, Op.Cit, hal. 20-21
100 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 133
jika si pembeli mempunyai suatu alasan yang patut untuk berkhawatir bahwa ia akan diganggu dalam penguasaannya, maka ia dapat menangguhkan pembayaran harga pembelian, hingga si penjual telah menghentikan gangguan tersebut, kecuali jika si penjual memilih memberikan jaminan, atau jika telah diperjanjikan bahwa si pembeli diwajibkan membayar biarpun segala gangguan.”
C. Subjek dan Objek Perjanjian Jual Beli
Perjanjian jual beli adalah merupakan perbuatan hukum. Subjek dari perbuatan hukum adalah Subjek Hukum. Subjek Hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Oleh sebab itu, pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi subjek dalam perjanjian jual beli yaitu sebagai penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah dewasa dan atau sudah menikah. Namun secara yuridis ada beberapa orang yang tidak diperkenankan untuk melakukan perjanjian jual beli, sebagaimana dikemukakan berikut ini :101
1. Jual beli Suami istri Pertimbangan hukum tidak diperkenankannya jual beli antara suami istri adalah karena sejak terjadinya perkawinan, maka sejak saat itulah terjadi pencampuran harta, yang disebut harta bersama kecuali ada perjanjian kawin. Namun ketentuan tersebut ada pengecualiannya yaitu:
a. Jika seorang suami atau istri menyerahkan benda-benda kepada isteri atau suaminya, dari siapa ia oleh Pengadilan telah dipisahkan untuk memenuhi apa yang menjadi hak suami atau istri menurut hukum.
101 Salim H.S, Op.Cit, hal. 50
34
b. Jika penyerahan dilakukan oleh seorang suami kepada isterinya, juga dari siapa ia dipisahkan berdasarkan pada suatu alasan yang sah, misalnya mengembalikan benda-benda si istri yang telah dijual atau uang yang menjadi kepunyaan istri, jika benda itu dikecualikan dari persatuan.
c. Jika si istri menyerahkan barang-barang kepada suaminya untuk melunasi sejumlah uang yang ia telah janjikan kepada suaminya sebagai harta perkawinan.
2. Jual beli oleh para Hakim, Jaksa, Advokat, Pengacara, Juru Sita dan Notaris.
Para Pejabat ini tidak diperkenankan melakukan jual beli hanya terbatas pada benda-benda atau barang dalam sengketa. Apabila hal itu tetap dilakukan, maka jual beli itu dapat dibatalkan, serta dibebankan untuk penggantian biaya, rugi dan bunga.
3. Pegawai yang memangku jabatan umum Yang dimaksud dalam hal ini adalah membeli untuk kepentingan sendiri terhadap barang yang dilelang.
Objek jual beli, yang dapat menjadi objek dalam jual beli adalah semua benda bergerak dan benda tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, ukuran, dan timbangannya. Sedangkan yang tidak diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah:102
a. Benda atau barang orang lain ;
b. Barang yang tidak diperkenankan oleh undang-undang seperti obat terlarang
c. Bertentangan dengan ketertiban, dan ;
102 Ibid, hal. 51
d. Kesusilaan yang baik.
Pasal 1457 Kitab Undang-Undang hukum Perdata memakai istilah zaak untuk menentukan apa yang dapat menjadi objek jual beli. Menurut Pasal 499 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, zaak adalah barang atau hak yang dapat dimiliki. Hal tersebut berarti bahwa yang dapat dijual dan dibeli tidak hanya barang yang dimiliki, melainkan juga suatu hak atas suatu barang yang bukan hak milik.
D. Resiko dalam Perjanjian Jual Beli
Risiko ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu kejadian (peristiwa) diluar kesalahan salah satu pihak.103 Resiko berarti kemungkinan yang berbahaya, kejadian yang tidak disengaja, kejadian diluar kesalahan. Resiko adalah kewajiban dari suatu kejadian yang diluar kekuasaannya.104 Resiko adalah kerugian yang timbul di luar kesalahan salah satu pihak. Hal ini berarti bahwa dalam perjanjian jual beli kerugian itu timbul di luar kesalahan pihak penjual maupun pihak pembeli, misalnya barang yang dijual tersebut musnah karena kebakaran atau kebanjiran sebelum penyerahan.105
Persoalan tentang resiko itu berpokok-pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak. Peristiwa semacam itu dalam hukum perjanjian dengan suatu istilah hukum dinamakan “ keadaan memaksa „‟. Dengan demikian maka persoalan tentang risiko itu merupakan buntut dari persoalan tentang keadaan memaksa, suatu kejadian yang tak disengaja dan tak dapat diduga.
103 R. Subekti, Op.Cit, hal. 24
104 Hartono Soerjopratiknjo, Op.Cit, hal. 16
105 Ahmadi Miru, Op.Cit, hal. 130