ANALISIS MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA BIRO PERLENGKAPAN DAN PENGELOLAAN ASET
SETDAPROVSU DENGAN PT. HARI JADI SUKSES
(STUDI PADA BIRO UMUM DAN PERLENGKAPAN SETDAPROVSU)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NIM: 140200473 SITI AFRAH AFIFAH
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ANALISIS MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA BIRO PERLENGKAPAN DAN PENGELOLAAN ASET
SETDAPROVSU DENGAN PT. HARI JADI SUKSES
(STUDI PADA BIRO UMUM DAN PERLENGKAPAN SETDAPROVSU)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh :
NIM: 140200473 SITI AFRAH AFIFAH
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh :
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
NIP.196602021991032002
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Rosnidar Sembiring, S.H., M.Hum
NIP.196602021991032002 NIP.197005192002122002 Aflah, S.H., M.Hum
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2018
ABSTRAK Siti Afrah Afifah* Rosnidar Sembiring**
Aflah***
Kata Kunci : Perjanjian, Pemborongan Pekerjaan.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebagaiupaya mewujudkan perbaikan pada prasarana instansinya melakukan pembangunan Penambahan Kapasitas Parkir Kendaraan Roda 2 Kantor Gubernur Sumatera Utara di Jl. P. Diponegoro Nomor 30 Medan.Pada pembangunan tersebut yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan adalah Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara yang melakukan kerjasama dengan PT. Hari Jadi Sukses untuk bertindak sebagai pemborong.Pelaksanaan pembangunan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang dikenal dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau kontrak pengadaan barang/jasa.
Kontrak telah ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk suatu perjanjian standar sedangkan mengingat perjanjian pemborongan di bidang bangunan termasuk perjanjian yang mengandung risiko keselamatan umum dan tertib bangunan.Dalam skripsi ini permasalahan yang penulis angkat yaitu apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan telah sesuai dengan ketentuan hukum tentang pemborongan pekerjaan, bagaimana hak dan kewajiban para pihak dan bagaimana upaya penyelesaian sengketa terhadap wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan.
Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian yuridis normatif bersifat deskriptif yang didukung penelitian empiris yang sifatnya untuk melengkapi data saja.Sumber data yang digunakan adalah data sekunder dan data primer, data sekunder terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunderdan bahan hukum tersier sertaditambah dengan melakukan penelitian kelapangan guna mendukung data sekunder dengan melakukan wawancara terhadap informan.
Dari hasil penelitian, proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan ini telah sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlakudimulai dengan tahap perencanaan terlebih dahulu, lalu dilakukan proses pelelangan umum dengan metode pascakualifikasi dan metode satu sampul melalui pengumuman oleh pemberi pekerjaan melalui LPSE (Layanan Pengadaan Secara Elektronik). Dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaanini para pihak telah melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.Apabila terjadi sengketa terhadap wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian maka penyelesaian dilakukan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
Namun apabila tidak berhasil, dilanjutkan melalui BANI, apabila cara tersebut tidak berhasil, maka pihak yang wanprestasi dapat dikenakan denda maupun sanksi sesuai ketentuan dalam kontrak yang prosesnya dapat melalui Pengadilan Negeri Medan.
*Mahasiswa, Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
**Dosen Pembimbing I Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
***Dosen Pembimbing II Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala berkat nikmat, karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam atas junjungan kita Nabi Muhammad SAW, yang menjadi sumber inspirasi dalam menjalankan hidup ini.
Menjadi suatu kewajiban bagi setiap mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk menyusun dan menyelesaikan suatu skripsi, dan untuk itu penulis menyusun suatu skripsi yang berjudul “Analisis Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses (Studi Pada Biro Umum Dan Perlengkapan Setdaprovsu)”.
Pada kesempatan ini dengan segala kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung untuk memperoleh bahan-bahan yang diperlukan oleh penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini dan dorongan moril maupun materil kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Maka pada kesempatan ini penulisan menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H. M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Prof. Dr. Saidin, S.H. M.Hum, selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Puspa Melati Hasibuan, S.H. M.Hum, selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Dr. Jelly Leviza, S.H. M.Hum, selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Dr. Rosnidar Sembiring, S.H, M.Hum, selaku Ketua Departemen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus merupakan Dosen Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk memberikan bimbingan dalam proses penulisan skripsi ini.
6. Ibu Aflah, S.H, M.Hum, selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu memeriksa, memperbaiki kesalahan-kesalahan pada skripsi ini kemudian membimbing dan mengarahkan serta memberi saran dan nasehat kepada penulis selama proses penulisan skripsi ini.
7. Bapak Denny Septiawan, S.T. selaku Ketua Pokja ULP Provinsi Sumatera Utara Tahun Anggaran 2015 yang telah memberikan kesempatan dan waktunya untuk memberikan informasi maupun data yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.
8. Teristimewa penulis sampaikan kepada Ayah dan Mama tercinta Drs. Isyrin Usman dan dr. Henny Safitri yang telah mendidik dan membesarkan penulis dengan penuh kasih sayang dan kesabaran serta memberi semangat, motivasi, doa dan dukungan materi kepada penulis selama penulisan.
9. Kepada abang dan adik tersayang Muhammad Iqbal Abidin, S.T. dan Muhammad Irfan Yusuf yang memberikan semangat dan motivasi selama ini kepada penulis.
10. Kepada sahabat penulis Nabhila Nasution yang telah menemani penulis dari awal perkuliahan serta selalu mendukung dan mengingatkan penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
11. Teman-teman seperjuangan Agus Tri Ichwan, Ajeng Hanifa Zahra, Shella Dwi Aulina, Siti Dyara Aisha, Deliska Anwar, M. Taufiq Aldy, Anggina Putri Pane, Tasia Masyitah, Rifda Karimah, serta teman-teman seangkatan yang telah membantu dan menemani penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan sehingga penulisan skripsi ini masih memiliki banyak kekeliruan.
Karenanya, penulis dengan kerendahan hati mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun demi perbaikan menuju yang lebih baik dan bermanfaat bagi kita semua, terutama para mahasiswa/i dan kalangan praktisi dibidang hukum.
Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada semua pihak dan semoga kritik dan saran yang telah diberikan mendapatkan balasan kebaikan berlipat dari Allah SWT dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu hukum di negara Republik Indonesia.
Medan, Desember 2017 Penulis,
SITI AFRAH AFIFAH
DAFTAR ISI
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... v
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 7
C. Tujuan Penulisan ... 7
D. Manfaat Penulisan ... 8
E. Metode Penelitian ... 8
F. Keaslian Penulisan... 12
G. Sistematika Penulisan ... 13
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PERJANJIAN PEMBOROGAN ... 15
A. Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sahnya Perjanjian ... 15
B. Jenis-Jenis Perjanjian... 25
C. Bentuk-Bentuk Perjanjian Pemborongan ... 27
D. Isi Perjanjian Pemborongan dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan ... 29
E. Prosedur Perjanjian Pemborongan ... 39
BAB III WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN ... 52
A. Pengertian Wanprestasi ... 52
B. Penyebab Terjadinya Wanprestasi ... 55
C. Bentuk-Bentuk Wanprestasi ... 58
D. Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan ... 59
BAB IV ANALISIS MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA BIRO PERLENGKAPAN DAN PENGELOLAAN ASET SETDAPROVSU DENGAN PT. HARI JADI
SUKSES ... 67
A. Gambaran Umum tentang Biro Umum dan Perlengkapan Setdaprovsu... 67
B. Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses ... 72
C. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses ... 90
D. Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Wanprestasi dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses... 95
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 103
A. Kesimpulan ... 103
B. Saran ... 105
DAFTAR PUSTAKA ... 106 LAMPIRAN
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara, pemerintah senantiasa dituntut untuk memajukan kesejahteraan umum dan untuk mengemban kewajiban ini, pemerintah mempunyai kewajiban menyediakan kebutuhan rakyat dalam berbagai bentuknya baik yang berupa barang, jasa maupun pembangunan infrastruktur.1
Pada proses pembangunan tersebut pihak pemerintah tidak dapat bekerja sendiri, maka pemerintah memerlukan bantuan dari pihak lain, yakni dapat melibatkan masyarakat ataupun pihak swasta. Dalam pelaksanaan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah dengan pihak swasta, pemerintah dapat bertindak sebagai pemberi pekerjaan (bouwheer) yang melakukan kerjasama dengan pihak swasta
Di sisi lain dalam melaksanakan kegiatan pemerintahan, pemerintah juga memerlukan berbagai bentuk tadi guna mendukung penyelenggaraan pemerintahan, salah satunya dengan melakukan pembangunan.
Pelaksanaan pembangunan berbagai infrastruktur di Indonesia yang dilakukan oleh pemerintah pada saat ini semakin berkembang pesat.Bentuk kegiatan yang dilaksanakan seperti pembangunan proyek-proyek sarana dan prasarana, rehabilitasi jalan, pembangunan drainase, jembatan, irigasi dan sebagainya.Berkaitan dengan pelaksanaan pembangunan inilah maka pembuatan kontrak atau perjanjian menjadi praktek yang rutin dilakukan oleh pemerintah.
1 Y. Sogar Simamora, Hukum Kontrak (Kontrak Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah di Indonesia), Kantor Hukum Wins & Partners, Surabaya, 2014, hal. 1.
sebagai pemborong (aannemer). Dengan adanya kerjasama tadi maka masing-masing pihak akan memiliki hubungan hukum yang akan dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis yang dikenal dengan perjanjian pemborongan pekerjaan atau kontrak pengadaan barang/jasa apabila pemborongan dilakukan oleh pemerintah (overheidsopdrachten goederen).
Pengertian perjanjian pada umumnya diatur di dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang menyebutkan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.
Di dalam setiap perbuatan itu dapat melahirkan bukti tentang adanya hak dan kewajiban yang akan mengikat kedua belah pihak. Menurut Subekti, suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.2 Sedangkan perjanjian pemborongan atau kerjasama termasuk perjanjian perkumpulan, yaitu suatu kesepakatan dalam melakukan kerjasama untuk mencapai tujuan yang bersifat non-ekonomis, dengan bentuk dan cara meletakkan anggaran dasar.3
Perjanjian pemborongan pekerjaan sendiri diatur di dalam Pasal 1601 KUH Perdata, di dalamnya mengatur mengenai jenis-jenis perjanjian untuk melakukan pekerjaan, yaitu persetujuan untuk melakukan jasa-jasa tertentu, persetujuan perburuhan dan persetujuan pemborongan pekerjaan.4
2 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. 29, PT. Intermasa, Jakarta, 2001, hal. 36.
3 Salim H.S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 4.
4R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet. 11, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2014, hal. 57-58.
Mengenai perjanjian pemborongan pekerjaan ini, hanya terdapat dalam 14 Pasal saja, yaitu mulai dari Pasal 1601 b dan Pasal 1604 sampai dengan Pasal 1616.
Namun, meskipun singkat dan kelihatan sederhana sekali, tentunya KUH Perdata tersebut berlaku sebagai hukum positif di lndonesia.5Perlu ditegaskan bahwa ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan di dalam KUH Perdata bersifat pelengkap dan berlaku baik bagi perjanjian pemborongan pada proyek-proyek swasta maupun pemerintah. Bersifat pelengkap artinya ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan dalam KUH Perdata dapat digunakan oleh para pihak dalam perjanjian pemborongan atau para pihak dapat membuat sendiri ketentuan-ketentuan perjanjian pemborongan asal tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.6
5 Munir Fuady, Kontrak Pemborongan Mega Proyek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hal.
26.
6 F. X. Djumialdji, Hukum Bangunan sebagai Dasar-Dasar Hukum dalam Proyek dan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta, 1996, hal. 7.
Adapun pengertian perjanjian pemborongan pekerjaan terdapat dalam Pasal 1601 b KUH Perdata yang menyebutkan pemborongan pekerjaan adalah persetujuan dengan mana pihak yang satu, si pemborong, mengikatkan diri untuk menyelenggarakan suatu pekerjaan bagi pihak lain, pihak yang memborongkan, dengan menerima suatu harga yang ditentukan.
Sehingga dalam perjanjian pemborongan hanya ada dua pihak yang terkait yaitu pihak kesatu disebut pihak yang memborongkan atau pemberi pekerjaan dan pihak kedua disebut pihak pemborong atau penerima pemborongan pekerjaan.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam mewujudkan perbaikan pada prasarana instansinya telah berupaya melakukan berbagai kegiatan konstruksi, salah satunya dengan melakukan pembangunan penambahan kapasitas parkir kendaraan roda 2 kantor Gubernur Sumatera Utara di Jl. P. Diponegoro Nomor 30 Medan.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dalam hal ini yang bertindak sebagai pemberi pekerjaan adalah Biro Perlengkapan Dan Pengelolaan Aset Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara yang melakukan kerjasama dengan PT. Hari Jadi Sukses sebagai salah satu perusahaan yang bergerak dalam bidang jasa konstruksi di kota Medan untuk bertindak sebagai pemborong.
Pembangunan yang dilaksanakan oleh PT. Hari Jadi Sukses tersebut diperoleh setelah memenangkan pelelangan (tender), kemudian diikuti dengan pembuatan dan pelaksanaan kontrak yang merupakan rangkaian yang tak dapat dipisahkan satu sama lain, sebab ketiga tahapan ini merupakan proses. Pada perkembangan saat ini, kontrak oleh pemerintah belum bisa dikatakan sudah mencapai predikat adil dan seimbang bagi kedua belah pihak, karena dalam perjanjian pemborongan yang dilakukan dengan pemerintah, di dalam kontrak terkadang tidak mencakup kebebasan berkontrak, dimana perjanjian telah ditentukan oleh pemerintah dalam bentuk suatu perjanjian standar.
Di dalam perjanjian standar tersebut, klausula-klausula dalam kontrak telah dirancang sebelumnya oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) selaku pejabat yang bertanggung jawab atas pelaksanaan pengadaan barang/jasa tanpa melibatkan pihak pemborong. Pemborong yang telah memenangkan pelelangan proyek harus menerima klausula-klausula yang telah disiapkan oleh PPK dimana hal tersebut didasarkan pada
Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Nomor 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing (Perka LKPP Nomor 14/2015) yang merupakan petunjuk teknis dari Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Pepres Nomor 4/2015).
Melihat hal tersebut, penyedia barang dan jasa atau pemborong dihadapkan pada situasi take it or leave it. Manakala kontrak itu diterima maka syarat dan kondisi dalam kontrak berlaku dan mengikat sekalipun isinya berat sebelah.7Maka pada umunya dipahami bahwa dalam kontrak pemerintah hubungan antara pemerintah dengan mitranya tidak berada dalam kedudukan yang seimbang (neben geordnet).Pemerintah selalu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (untergeordnet).8
Meskipun dalam perkembangannya sebenarnya masih diberikan kesempatan kepada pihak pemborong untuk melakukan perubahan dalam kontraknya sepanjang jangka waktu kontrak belum berakhir dan disepakati kedua belah pihak.9
7Y. Sogar Simamora, Op, Cit., hal 16.
8Ibid., hal. 15.
Namun, perubahan dimungkinkan dalam hal-hal tertentu saja, misalnya jenis pekerjaan, bestek, atau jangka waktu penyelesaian pekerjaan, dengan mempertimbangkan kondisi lapangan terlebih dahulu, apakah memang diperlukan suatu perubahan.Perubahan tersebut dinamakan dengan Addendum yang tunduk pada asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 KUH Perdata.
9Diana Kusumasari, Addendum Atau Perpanjangan Kontrak?, melalui http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4e02ecf08358d/addendum-atau-perpanjangan-
kontrakDiakses pada tanggal 20 Juni 2017 pukul 20.55 WIB
Akan tetapi ketidakseimbangan kedudukan tadi terkadang dapat merugikan pihak pemborong dalam hal pemenuhan prestasi.Pihak pengguna jasa atau pemerintah bisa saja melakukan melakukan wanprestasi, misalnya dalam hal keterlambatan pembayaran prestasi, sedangkan kontrak telah dilaksanakan pemborong dengan tepat waktu. Apabila keadaan tersebut terjadi dimungkinkan pihak pemborong tidak berani mengajukan gugatan kepada pemerintah dikarenakan mereka khawatir hal tersebut akan berpengaruh dalam mendapatkan suatu proyek dari pemerintah ke depannya.
Padahal umumnya dipahami bahwa kontrak oleh pemerintah ini merupakan spesies dari kontrak privat, maka seharusnya prinsip dan norma hukum dalam hukum kontrak berlaku bagi kontrak. Tetapi karena adanya faktor kepentingan umum dan terlibatnya anggaran negara dalam hal ini APBN/APBD, membuat kontrak pemerintah tunduk pada batasan-batasan tertentu baik yang terdapat dalam konstitusi maupun undang-undang.10
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas perjanjian pemborongan tersebut dalam bentuk skripsi yang berjudul “Analisis Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan
Sedangkan jika mengingat perjanjian pemborongan di bidang bangunan termasuk perjanjian yang mengandung risiko, yaitu risiko tentang keselamatan umum dan tertib bangunan, karenanya perjanjian seharusnya mengacu kepada asas-asas yang terdapat dalam suatu kontrak yang berlaku bagi para pihak, seperti berlakunya asas kebebasan berkontrak atau asas keseimbangan karena hal ini penting untuk pegangan dalam proses pelaksanaan perjanjian.
10 Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hal. 14.
Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses (Studi pada Biro Umum dan Perlengkapan Setdaprovsu)”
B. Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini antara lain sebagai berikut :
1. Apakah proses pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses telah memenuhi ketentuan hukum tentang pemborongan pekerjaan?
2. Bagaimana pengaturan hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses?
3. Bagaimana upaya penyelesaian sengketa terhadap wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses?
C. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kesesuaian pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan
antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses dengan ketentuan hukum yang berlaku.
2. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses.
3. Untuk mengetahui upaya penyelesaian sengketa terhadap wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses.
D. Manfaat Penulisan
Manfaat yang diharapkan dari penulisan skripsi ini dapat dilihat dari dua sisi yaitu:
a. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan pengetahuan bagi pembaca mengenai pelaksanaan perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses, serta dapat dijadikan sebagai kajian dalam segi- segi hukum keperdataan khususnya yang berkaitan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan.
b. Secara Praktis
Penelitian ini diharapakan dapat memberikan informasi bagi pembaca sehingga menjadi sumbangan pemikiran dan bahan pertimbangan untuk membuat penyusunan perjanjian pemborongan pekerjaan agar dapat menghindari timbulnya permasalahan yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan perjanjian khususnya bagi para pihak yang berkepentingan yaitu Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan PT. Hari Jadi Sukses.
E. Metode Penelitian
Metode adalah prosedur untuk mengetahui sesuatu.Sementara metodologi adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam metode
tersebut.Dengan demikian metodologi penelitian adalah sebuah materi pengetahuan untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai langkah-langkah penelitian.11Adapun penelitian merupakan terjemahan dari bahasa Inggris, yaitu research yang memiliki arti mencari kembali, dimana yang dicari adalah pengetahuan atau pengetahuan yang benar.12
Penulisan skripsi ini didasari oleh suatu metodologi penelitian tertentu untuk menemukan, menganalisa dan memecahkan permasalahan dengan benar. Dalam penelitian ini penulis menggunakan cara-cara atau metode-metode tertentu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan dalam menyelesaikan skripsi adalah penelitian yuridis normatif yang didukung dengan penelitian empiris yang sifatnya untuk melengkapi data saja. Penelitian yuridis normatif, yaitu upaya mempelajari aturan hukum seperti apa yang tertulis. Sedangkan penelitian empiris, yaitu penelitian yang menitikberatkan perilaku individu atau masyarakat dalam kaitannya dengan hukum yang berlaku.13
2. Sifat Penelitian
Sifat dari penelitian dalam skripsi ini yaitu deskriptif analitis, yakni penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan menganalisis peraturan
11 Syahrum dan Salim, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Cipta Pustaka Media, Bandung, 2013, hal. 37.
12 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hal. 1.
13Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2010, hal 87.
hukum.14
3. Sumber Data
Sehingga peraturan hukum dalam penelitian ini dapat dianalisis dengan tepat sesuai dengan tujuan penelitian ini.
Penelitian ini menitik beratkan pada penggunaan data sekunder sebagai penyalur kelengkapan data.Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dan peraturan perundang-undangan.Sedangkan data primer diperlukan sebagai pendukung data sekunder sebab data primer diperoleh langsung dari informan dalam bentuk wawancara.
Data sekunder yang diperoleh tadi, disusun secara sistematis dan kemudian dianalisis secara yuridis untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan. Adapun data sekunder adalah data yang terdiri dari :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan segala peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pejabat yang memiliki otoritas sehingga bersifat mengikat, yang terdiri dari : KUH Perdata, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Kontruksi, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Perka LKPP Nomor 14 Tahun 2015 tentang E-Purchasing.
b. Bahan Hukum Sekunder
14Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hal. 10.
Bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang hukum yang meliputi, buku, jurnal-jurnal, karya ilmiah, hasil-hasil penelitian dan bahan lainnya yang dapat dan berfungsi untuk memberikan penjelasan lebih lanjut atas bahan hukum primer.15
Bahan hukum tersier yaitu bahan informasi hukum yang dijadikan sebagai penunjang dalam penelusuran Bahan Hukum Sekunder seperti kamus hukum, bibliografi, internet dan ensiklopedia.
c. Bahan Hukum Tersier
16
4. Tehnik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data dilakukan dengan cara :
a. Penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penulis mencari dan mengumpulkan serta mempelajari informasi sebanyak-banyaknya dengan melakukan penelitian terhadap peraturan perundang-undangan, buku-buku karangan para sarjana dan ahli hukum serta situs internet yang berkaitan dengan masalah yang dibahas dalam penulisan skripsi ini.
b. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu penelitian yang dilakukan dalam bentuk wawancara dengan Bapak Denny Setiawan, S.T. selaku Panitia Pengadaan Barang/Jasa Ketua Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Barang/Jasa Biro Umum dan Perlengkapan Setdaprovsu sebagai alat pengumpul data sekunder untuk melengkapi bahan yang diperoleh dalam penelitian kepustakaan di atas.
15Ibid., hal. 13.
16Ibid.
5. Analisis Data
Analisis data adalah pengelolahan data yang diperoleh baik dari penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan.Analisis data yang penulis lakukan adalah menggunakan analisis data kualitatif, yaitu upaya yang dilakukan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan secara tertulis atau lisan berdasarkan perilaku nyata dan memilah-milah data tersebut menjadi satuan yang dapat dikelola.17
F. Keaslian Penulisan
Data-data yang diperoleh dari bahan hukum primer berupa peraturan-peraturan hukum yang mengikat dan data dari lapangan sebagai data pendukung berupa hasil wawancara terhadap informan akan dianalisis secara keseluruhan, dengan ditulis dalam bentuk uraian yang terperinci, kemudian disusun agar lebih sistematis, sehingga dapat ditarik kesimpulan.
Dari hasil penelusuran yang dilakukan penulis, diketahui bahwa skripsi dengan judul “Analisis Mengenai Perjanjian Pemborongan Pekerjaan Antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses”
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Sumatera Utara. Penulis menyusun melalui pemikiran, ide dan gagasan penulis dengan mengambil panduan dari buku-buku, literatur-literatur dari perpustakaan, dan media elektronik yang berkaitan dengan judul skripsi ini. Serta melakukan studi kasus pada data sekunder dengan menelaah pada dokumen surat perjanjian pemborongan pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan
17 Suratman & H.Philips Dillah, Metode Penelitian Hukum, Alfabeta, Bandung, 2013, hal.
146.
Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulisan skripsi ini maka diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang saling berkaitan satu sama lain agar permasalahan yang diangkat dan pembahasan skripsi ini sesuai. Adapun sistematika penulisan skripsi ini secara singkat sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini merupakan pendahuluan yang berisikan suatu pengantar dari pemasalahan, terdiri dari 7 (tujuh) sub bab yaitu : Latar Belakang, Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Metode Penelitian, Keaslian Penulisan, dan Sistematika Penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN
PERJANJIAN PEMBORONGAN
Bab ini terdiri dari 5 (lima) sub bab yaitu : Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sahnya Perjanjian, Jenis-Jenis Perjanjian, Bentuk-Bentuk Perjanjian Pemborongan, Isi Perjanjian Pemborongan dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan dan Prosedur Perjanjian Pemborongan.
BAB III WANPRESTASI DALAM PERJANJIAN PEMBORONGAN Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab yaitu : Pengertian Wanprestasi, Penyebab Terjadinya Wanprestasi, Bentuk-Bentuk Wanprestasi, dan
Akibat Hukum Jika Salah Satu Pihak Wanprestasi dalam Perjanjian Pemborongan.
BAB IV ANALISIS MENGENAI PERJANJIAN PEMBORONGAN PEKERJAAN ANTARA BIRO PERLENGKAPAN DAN PENGELOLAAN ASET SETDAPROVSU DENGAN PT. HARI JADI SUKSES
Bab ini terdiri dari 4 (empat) sub bab yaitu : Gambaran Umum tentang Biro Umum dan Perlengkapan Setdaprovsu, Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses, Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses dan Upaya Penyelesaian Sengketa Terhadap Wanprestasi dalam Pelaksanaan Perjanjian Pemborongan Pekerjaan antara Biro Perlengkapan dan Pengelolaan Aset Setdaprovsu dengan PT. Hari Jadi Sukses.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisikan kesimpulan dan saran yang merupakan penutup dalam skripsi ini, dalam hal ini penulis menyimpulkan pembahasan- pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan dalam skripsi ini dan dilengkapi dengan saran-saran. Bab ini terdiri dari 2 (dua) sub bab yaitu : Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN DAN PERJANJIAN PEMBOROGAN
A. Asas-Asas Perjanjian dan Syarat Sahnya Perjanjian
Dalam bahasa Indonesia istilah perjanjian sama pengertiannya dengan kontrak. Istilah kontrak lebih menunjukkan pada nuansa bisnis dalam hubungan hukum yang dibentuk, sedangkan istilah perjanjian cakupannya lebih luas.18
Di dalam perjanjian dikenal pula adanya beberapa prinsip hukum atau asas yang mempunyai fungsi sangat penting dalam sistem hukum.Asas hukum itu mempengaruhi sistem hukum dan menjelma dalam sistem yang dibentuk. Tidak ada sistem tanpa asas di dalamnya sebab asas hukum akan membentuk sistem check and balance.
Perjanjian akan menimbulkan hubungan hukum kepada para pihak yang membuatnya. Dari hubungan hukum tadi akan menimbulkan suatu akibat hukum yang membuat para pihak akan terikat satu sama lain sehingga menimbulkan hak dan kewajiban diantara mereka. Hubungan hukum itu tercipta karena adanya perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian. Perjanjian adalah sumber perikatan, disamping sumber-sumber lain. Sumber-sumber lain ialah undang-undang.Jadi, ada perikatan yang lahir dari perjanjian dan ada perikatan yang lahir dari undang-undang.
19
18 Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hal. 23.
19Ibid., hal. 29.
Beberapa asas yang umum dikenal di dalam hukum kontrak diantaranya sebagai berikut :20
Asas ini mempunyai arti bahwa setiap orang boleh mengadakan perjanjian apa saja, walaupun belum atau tidak diatur dalam undang-undang. Asas ini sering juga disebut “freedom of making contract”.Walaupun berlaku asas ini, kebebasan berkontrak tersebut dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak dilarang oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban umum.
1. Asas Kebebasan Berkontrak 2. Asas Iktikad Baik
3. Asas Konsensualisme
4. Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian) 5. Asas Keseimbangan
Penjelasan lebih lanjut mengenai asas-asas tersebut, sebagai berikut : Ad. 1. Asas Kebebasan Berkontrak
21
20 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perjanjian di Indonesia, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2003, hal 65.
21Ibid.
Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya :22
a) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c) bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;
d) bebas menentukan bentuk perjanjian;
e) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Dalam kontrak pemerintah, hubungan kontraktual yang terbentuk lebih bertumpu pada konsep kedaulatan (sovereignty).23
Pada sistem hukum Indonesia, asas ini tertuang dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menekankan adanya keharusan bagi para pihak untuk melaksanakan kontrak dengan iktikad baik. Sejalan dengan perkembangan zaman, ketentuan ini ditafsir secara luas (extensive interpretation) yang menghasilkan ketentuan bahwa iktikad baik tidak saja berlaku pada tahap pelaksanaan, tetapi juga pada tahap penandatanganan dan tahap sebelum ditutupnya perjanjian (pre-
Kebebasan berkontraklah yang merupakan landasan bagi pemerintah dalam melakukan tindakan kontraktualisasi.Sehingga kontrak yang mengandung sifat adhesi merupakan suatu kelaziman, yang tercermin misalnya dalam hak pembatalan, perubahan kontrak atau penentuan sanksi secara sepihak oleh pemerintah.
Ad. 2. Asas Iktikad Baik
22 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Rajawali Pers, Jakarta, 2014 hal 4
23 Y. Sogar Simamora, Op. Cit., hal 33
contractual fase).24
Terdapat dua makna iktikad baik.Pertama dalam kaitannya dengan pelaksanaan kontrak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata.Dalam kaitan ini iktikad baik atau bona fides diartikan perilaku yang patut dan layak antara kedua belah pihak.Pengujian apakah suatu tingkah laku itu patut dan adil didasarkan pada norma-norma objektif yang tidak tertulis.Kedua, iktikad baik juga diartikan sebagai keadaan tidak mengetahui adanya cacat, seperti pembayaran dengan iktikad baik sebagaimana diatur dalam Pasal 1386 KUH Perdata.
Sebab secara umum iktikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan para pihak dapat terjamin satu sama lain.
25
Asas konsensualisme dapat disimpulakan dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian kehendak yang dibuat oleh kedua belah pihak.
Dimana hal tersebut dapat dilihat dari tingkah laku yang nyata dari debitur dengan cukup mempunyai rasa percaya kepada pihak yang memegang surat piutangnya.
Ad. 3. Asas Konsensualisme
26
24Ibid., hal. 34.
25Ibid.
26 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta, 2015, hal. 10.
Dengan demikian, apabila tercapai kesepakatan antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan pada saat itu. Maka dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak akan melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka. Namun, asas konsensualisme ini tidak berlaku bagi semua jenis kontrak karena hanya berlaku terhadap kontrak konsensual sedangkan
terhadap kontrak formal dan kontrak riel tidak berlaku.27
Dengan kata lain, asas ini melandasi pernyataan bahwa suatu perjanjian akan mengakibatkan suatu kewajiban hukum dan karena itu para pihak terikat untuk melaksanakan kesepakatan kontraktual. Perjanjian yang dibuat secara sah memunculkan akibat hukum dan berlaku bagi para pihak sebagai undang- undang.Keterikatan suatu perjanjian terkandung di dalam janji yang dilakukan oleh para pihak sendiri.
Sebab kontrak tersebut diadakan suatu formalitas tertentu baik dari sifat kebendaan yang dialihkan dalam perjanjian tersebut maupun sifat dari isi perjanjian itu sendiri.Misalkan perjanjian hibah yang memerlukan suatu akta otentik.
Ad. 4. Asas Pacta Sunt Servanda (Asas Mengikatnya Suatu Perjanjian)
Menurut ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Maksudnya bahwa setiap perjanjian akan mengikat para pihak yang membuatnya layaknya sebuah undang-undang karena undang-undang itu mengikat orang terhadap siapa undang-undang itu berlaku.
28
Asas ini diperlukan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas- asas pokok hukum perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Ad. 5. Asas Keseimbangan
27 Ahmadi Miru, Op. Cit., hal 3.
28 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2010, hal. 29-32.
Indonesia pada lain pihak.29
a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.Artinya asas keseimbangan mengisyaratkan bahwa hak diantara para pihak dalam perjanjian tidak boleh ada yang diabaikan. Misalkan dalam perjanjian pinjam meminjam uang, dimana posisi debitur sangat terdesak karena memerlukan uang untuk pengobatan anaknya, melihat hal tersebut maka kreditur tidak boleh memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan dengan memberikan pinjaman beserta bunga hingga 90%, hal ini dianggap tidak patut sebab kedudukan para pihak dalam perjanjian tersebut seharusnya tetap seimbang. Umumnya walaupun dikatakan bahwa kontrak lahir pada saat terjadinya kesepakatan mengenai hal pokok dalam kontrak tersebut, namun masih ada hal lain yang harus diperhatikan, yaitu syarat sahnya kontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. Suatu hal tertentu;
d. Suatu sebab yang halal.
Keempat syarat tersebut akan diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Agar suatu kontrak sah maka diperlukan adanya kata sepakat dari para pihak, kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak para pihak di dalam perjanjian.30
29Ibid., hal. 33.
30 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik …Op. Cit., hal 33.
Yang sesuai itu adalah pernyataannya mengenai segala hal yang
dituangkan di dalam perjanjian, dimana untuk pembentukan kata sepakat ini diperlukan adanya unsur penawaran dan penerimaan.
Kesepakatan dapat dicapai dengan berbagai cara, baik dengan cara tertulis, maupun tidak tertulis yang dapat berupa lisan, dengan simbol-simbol tertentu, bahkan dengan berdiam diri.31
Ada empat hal yang menyebabkan terjadinya cacat pada kesepakatan tersebut, yaitu adanya kekhilafan, paksaan, penipuan atau penyalahgunaan keadaan, yang secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Akan tetapi, walaupun terjadi kesepakatan antara para pihak sehingga melahirkan perjanjian, tetap ada kemungkinan bahwa kesepakatan yang telah dicapai itu mengalami kecatatan sehingga memungkinkan perjanjian dapat dimintakan pembatalan oleh pihak yang merasa dirugikan.
32
a) Kekhilafan terjadi jika salah satu pihak keliru tentang apa yang diperjanjikan, namun pihak lain membiarkan pihak tersebut dalam keadaan keliru.
b) Paksaan terjadi jika salah satu pihak memberikan kesepakatannya karena ditekan (dipaksa secara psikologis), jadi yang dimaksud dengan paksaan bukan paksaan fisik karena jika paksaan fisik, pada dasarnya tidak ada kesepakatan.
c) Penipuan terjadi jika salah satu pihak secara aktif memengaruhi pihak lain sehingga pihak yang dipengaruhi menyerahkan sesuatu atau melepaskan sesuatu.
d) Penyalahgunaan keadaan terjadi jika pihak yang memiliki posisi yang kuat (posisi tawarnya) dari segi ekonomi maupun psikologi menyalahgunakan keadaan sehingga pihak yang lemah menyepakati hal-hal yang memberatkan baginya. Penyalahgunaan keadaan ini tidak diatur dalam KUH Perdata, sedangkan tiga lainnya, yaitu penipuan, kekhilafan, dan paksaan yang diatur dalam Pasal 1321 KUH Perdata.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
31 Ahmadi Miru, Op. Cit., hal. 14.
32Ibid., hal 18.
Di dalam Pasal 1329 KUH Perdata menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian kecuali apabila menurut undang-undang dinyatakan tidak cakap. Kecakapan adalah kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang-orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang- undang.
Orang yang cakap dan berwenang untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang sudah dewasa, yaitu sudah berusia 21 tahun dan atau sudah kawin.
Sementara orang yang tidak berwenang membuat suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata, yaitu :33
a. Anak di bawah umur (minderjarigheid)
b. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dan
c. Perempuan yang telah kawin dalam hal ditentukan oleh undang-undang. Akan tetapi perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 UU Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No. 3 Tahun 1963.
Bagi mereka yang dianggap belum dewasa (minderjarig/underage) diwakili oleh walinya, sedangkan untuk orang yang tidak sehat pikirannya (mental incompetent/intoxicated person) diwakili oleh pengampunya karena dianggap tidak mampu (onbevoegd) untuk bertindak sendiri.34
33 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik … Op. Cit., hal 34.
34Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hal. 92.
3. Suatu hal tertentu
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi ialah apa yang menjadi kewajiban debitur dan menjadi hak kreditur.35Prestasi dapat berupa barang, keahlihan atau tenaga dan tidak berbuat sesuatu. Untuk menentukan barang yang menjadi objek perjanjian dapat dipergunakan cara seperti menghitung, menimbang atau menakar. Dalam menentukan jasa, ditentukan apa yang harus dilakukan oleh salah satu pihak. Sedangkan untuk menentukan tentang hal tertentu yang berupa tidak berbuat sesuatu juga harus dijelaskan dalam kontrak seperti “berjanji untuk tidak saling membuat pagar pembatas antara dua rumah yang bertetangga”.36
Kata sebab atau causa (bahasa latin) adalah suatu alasan yang mendorong seseorang membuat perjanjian. Tetapi yang dimaksud dengan “causa” yang halal dalam Pasal 1320 KUH Perdata itu bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan orang membuat perjanjian, melainkan causa atau alasan yang diperbolehkan itu mempunyai tujuan bersama dari kedua belah pihak atas dasar mana kemudian diadakan perjanjian dan bukan mengenai akibat pada waktu pelaksanaan perjanjian.
Misalkan kausa yang halal dalam perjanjian jual beli rumah bertujuan untuk beralihnya hak milik atas tanah itu dari penjual kepada pembeli dengan pembayaran kepada penjual.Dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak dijelaskan pengertian
Suatu perjanjian tidak boleh tidak ada atau tidak jelas objeknya sebab akan mengakibatkan perjanjian tersebut cacat hukum yang mengakibatkan perjanjian tidak dapat dilaksanakan.
4. Suatu sebab yang halal
35 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik … Loc. Cit.
36 Ahmadi Miru, Op. Cit., hal 30.
orzaak(causa yang halal).Di dalam Pasal 1337 KUH Perdata hanya disebutkan causa yang terlarang.Suatu sebab adalah terlarang apabila bertentangan dengan undang- undang, kesusilaan dan ketertiban umum.37
Apabila syarat subyektif dilanggar baik salah satu atau keduanya mengakibatkan perjanjian dapat dibatalkan (voidable).Artinyabahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang telah disepakatinya.
Misalkan jual beli organ tubuh, UU tidak melarang tapi jelas dalam kepatutan tidak boleh kecuali memang tujuan untuk menolong orang dengan mendonorkan organ tersebut.
Syarat pertama dan kedua yang tersebut di atas dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyek yang mengadakan perjanjian.Sedangkan syarat ketiga dan keempat dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perjanjian tersebut.
38
Apabila syarat obyektif dilanggar maka perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) dan dari awal perjanjian sudah tidak sah maka tidak dapat dilaksanakan karena tidak memiliki kekuatan hukum sejak semula serta tidak mengikat para pihak yang membuat perjanjian.
Akan tetapi selama para pihak tidak keberatan atas tidak terpenuhinya syarat subyektif tersebut, maka perjanjian itu tetap sah.
39
37 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik … Loc. Cit.
38Ibid., hal 35.
39R. Subekti, Hukum Perjanjian, PT. Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 22
Akibat tidak terpenuhinya syarat ini menyebabkan para pihak tidak dapat mengajukan tuntutan melalui pengadilan untuk melaksanakan perjanjian maupun meminta ganti rugi kepada pihak lawan apabila wanprestasi, sebab tidak mempunyai dasar hukum.
B. Jenis-Jenis Perjanjian
Pada umumnya diketahui bahwa bentuk perjanjian dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu tertulis dan lisan.Perjanjian tertulis adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam bentuk tulisan.Sedangkan perjanjian lisan adalah suatu perjanjian yang dibuat oleh para pihak dalam wujud lisan (cukup kesepakatan para pihak).40 Selain bentuk-bentuk perjanjian yang telah disebutkan diatas, juga dikenal jenis-jenis perjanjian, diantaranya :41
1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani 3. Perjanjian bernama dan tidak bernama
4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Penjelasan mengenai jenis-jenis perjanjian tersebut, sebagai berikut : Ad. 1. Perjanjian timbal balik dan perjanjian sepihak
Perjanjian timbal-balik adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak.Perjanjian timbal-balik adalah pekerjaan yang paling umum terjadi dalam kehidupan bermasyarakat, misalnya perjanjian jual-beli, sewa-menyewa, pemborongan bangunan, dan tukar-menukar.Sedangkan perjanjian sepihak adalah perjanjian yang memberikan kewajiban kepada salah satu pihak dan hak kepada pihak lainnya, misalnya perjanjian hibah, pinjam mengganti dan hadiah.Pihak yang satu berkewajiban menyerahkan benda yang menjadi objek
40 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik … Op. Cit., hal 42
41 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Op. Cit., hal 86.
perikatan, dan pihak lainnya berhak menerima benda yang diberikan itu.
Ad. 2. Perjanjian percuma dan perjanjian dengan alas hak yang membebani
Penggolongan ini didasarkan pada keuntungan salah satu pihak dan adanya prestasi dari pihak lainnya.Perjanjian percuma adalah perjanjian yang hanya memberikan keuntungan pada satu pihak saja, misalnya perjanjian pinjam pakai, perjanjan hibah.Sedangkan perjanjian dengan alas hak yang membebani merupakan perjanjian di samping prestasi pihak yang satu senantiasa ada prestasi (kontra) dari pihak lain, yang menurut hukum saling berkaitan.Misalnya, A menjanjikan kepada B suatu jumlah tertentu, jika menyerahkan suatu benda tertentu pula kepada A.42
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk memindahkan hakmilik dalam perjanjian jual-beli.Contohnya adalah perjanjian pembebanan jaminan dan penyerahan hak milik.Perjanjian kebendaan ini sebagai pelaksanaan perjanjian obligatoir yang merupakan perjanjian yang menimbulkan perikatan, artinya sejak terjadi perjanjian, timbullah hak dan kewajiban pihak-pihak.Pembeli berhak menuntut Ad. 3. Perjanjian bernama dan tidak bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang dikenal dalam KUH Perdata, yang dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus karena jumlahnya terbatas, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan pertanggungan. Perjanjian tidak bernama adalah perjanjian yang berkembang di dalam masyarakat dan tidak diatur di dalam KUH Perdata serta tidak mempunyai nama tertentu dan jumlahnya tidak terbatas.
Ad. 4. Perjanjian kebendaan dan perjanjian obligatoir
42 Salim H. S., Hukum Kontrak: Teori & Teknik … Op. Cit., hal 29
penyerahan barang, penjual berhak atas pembayaran harga.Pentingnya pembedaan ini adalah untuk mengetahui apakah dalam perjanjian itu ada penyerahan (levering) sebagai realisasi perjanjian, dan penyerahan itu sah menurut hukum atau tidak.
Ad. 5. Perjanjian konsensual dan perjanjian real
Perjanjian konsensual adalah perjanjian yang timbul karena ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak.Perjanjian real adalah perjanjian disamping ada persetujuan kehendak juga sekalian harus ada penyerahan nyata atas barangnya, misalnya perjanjian penitipan, pinjam pakai, pinjam meminjam (Pasal 1694, 1740, dan 1754 KUH Perdata).
Disamping itu, juga dikenal adanya perjanjian formil.Perjanjian formil adalah perjanjian yang memerlukan kata sepakat tetapi undang-undang mengharuskan perjanjian tersebut harus dibuat dengan bentuk tertentu secara tertulis dengan akta yang dibuat oleh pejabat umum notaris atau PPAT.Misalnya jual beli tanah, undang- undang menentukan akta jual beli harus dibuat dengan akta PPAT, perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris.43
C. Bentuk-Bentuk Perjanjian Pemborongan
Dari jenis-jenis perjanjian yang telah diuraikan di atas, perjanjian pemborongan termasuk ke dalam perjanjian timbal balik, sebab perjanjian pemborongan menimbulkan hak dan kewajiban kepada kedua belah pihak yang terikat di dalam perjanjian pemborongan tersebut.Di dalam KUH Perdata, perjanjian pemborongan disebut dengan istilah pemborongan pekerjaan.Perjanjian pemborongan
43Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Alfabeta, Bandung, 2003, hal 84.
pekerjaan adalah suatu perjanjian antara pihak yang memborongkan pekerjaan dengan pihak yang memborong pekerjaan, dimana pihak pertama menghendaki sesuatu hasil pekerjaan yang disanggupi oleh pihak lawan dalam suatu jangka waktu yang telah disepakati dengan pembayaran suatu jumlah uang sebagai harga pemborongan.44
Perjanjian pemborongan dapat dibuat dalam bentuk lisan ataupun dalam bentuk tertulis.Namun untuk proyek-proyek pemerintah, perjanjian pemborongan harus dibuat secara tertulis karena selain berguna bagi kepentingan pembuktian juga dengan mengingat bahwa perjanjian pemborongan bangunan tergolong perjanjian yang mengandung resiko bahaya yang menyangkut tertib bangunan.45Perjanjian pemborongan tersebut dibuat dalam bentuk perjanjian standar, artinya perjanjian dibuat dalam bentuk model formulir tertentu yang dibuat berdasarkan peraturan standar yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.Perjanjian dibuat dengan perjanjian standar karena hal ini menyangkut keuangan negara yang besar jumlahnya dan untuk melindungi keselamatan umum.46
Dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, perjanjian pemborongan disebut dengan kontrak pengadaan barang/jasa.
Menurut Pasal 1 ayat (22) yang dimaksud dengan kontrak adalah perjanjian tertulis antara Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Penyedia Barang/Jasa atau
44 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Op. Cit., hal 57-58
45 Sri Soedewi Masjchun Sofwan, Hukum Bangunan Perjanjian Pemborongan Bangunan, cet.
3, Liberty, Yogyakarta, 2009, hal 55.
46F.X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 1995, hal. 4.
pelaksana Swakelola. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi hubungan hukum antara penyedia jasa dengan pengguna jasa diwujudkan dalam suatu bentuk Kontrak Kerja Konstruksi (K3) dimana keseluruhan dokumen merupakan bentuk perjanjian tertulis.
Umumnya kontrak pemborongan dapat terjadi secara tertutup yaitu antara pemberi tugas dan pemborong atau terbuka (pelelangan, tender) melalui pengumuman. Kontrak pemborongan dapat dibedakan dalam dua jenis :47
a. Kontraktor hanya akan melakukan pekerjaan saja, sedangkan bahan-bahannya disediakan oleh pemberi tugas.
b. Kontraktor melakukan pekerjaan dan juga ia akan memberikan bahan bahannya.
Dimana perbedaan keduanya akan membedakan dalam hal pertanggung jawaban para pihak.
D. Isi Perjanjian Pemborongan dan Pihak-Pihak dalam Perjanjian Pemborongan
Isi dari perjanjian pemborongan bangunan pada umumnya memuat secara terperinci mengenai :48
a. Luasnya pekerjaan yang harus dilaksanakan dan memuat uraian-uraian tentang pekerjaan dan syarat-syarat pekerjaan yang disertai dengah gambar (bestek) dilengkapi dengan uraian tentang bahan material, alat-alat dan tenaga kerja yang diperlukan.
b. Penentuan tentang harga pemborongan.
c. Mengenai jangka waktu penyelesaian pekerjaan.
d. Mengenai sanksi dalam hal terjadi wanprestasi.
e. Tentang resiko dalam hal terjadi overmacht.
f. Penyelesaian jika terjadi perselisihan.
g. Hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan
Selanjutnya dalam perjanjian pemborongan bangunan tersebut juga ditunjuk
47Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung, 2005, hal. 61.
48 Sri Soedewi Masjchun, Op. Cit., hal 62.
mengenai berlakunya peraturan standar, yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian pemborongan tersebut pada pelaksanaan perkerjaan pada umumnya.Peraturan standar dalam perjanjian pemborongan selain mengatur tentang teknis juga terdapat pengaturan mengenai administrasinya. Di Indonesia, sejak Tahun 1941 berlaku Algemene Voorwaarden voor de uitvoering bij aanneming van openbare werkwen in Indonesia (AV) yang mengatur mengenai hak dan kewajiban para pihak serta mengenai segi yuridisnya/administrasinya dalam perjanjian pemborongan.Sedangkan mengenai segi teknisnya tunduk pada Standard Specification yang telah dibentuk oleh Departemen Pekerjaan Umum, sesuai dengan bidangnya masing-masing.49
Namun saat ini terjadi perkembangan di bidang hukum pemborongan khususnya dengan dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 Tentang Jasa Konstruksi yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi. Dengan berlakunya undang-undang tersebut maka, seluruh ketentuan lama yang bertantangan dengan undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.Hal ini juga berarti bahwa perundang-undangan yang lama masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017.50
49Ibid.
50Munir Fuady, Op. Cit., hal. 8.
Berkaitan dengan undang-undang tersebut karena apabila perjanjian mencakup penyelenggaraan pembangunan maka kontrak yang dibuat masuk ke dalam jenis pekerjaan konstruksi. Sedangkan untuk perjanjian pemborongan yang melibatkan pihak pemerintah diatur lebih terperinci lagi di dalam
Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah .
Menurut ketentuan Pasal 47 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 Tentang Jasa Konstruksi, kontrak kerja konstruksi sekurang-kurangnya harus mencakup mengenai :
a. para pihak, memuat secara jelas identitas para pihak;
b. rumusan pekerjaan, memuat uraian yang jelas dan rinci tentang lingkup kerja, nilai pekerjaan, harga satuan, lumsum, dan batasan waktu pelaksanaan;
c. masa pertanggungan, memuat tentang jangka waktu pelaksanaan dan pemeliharaan yang menjadi tanggung jawab Penyedia Jasa;
d. hak dan kewajiban yang setara, memuat hak Pengguna Jasa untuk memperoleh hasil Jasa Konstruksi dan kewajibannya untuk memenuhi ketentuan yang diperjanjikan, serta hak Penyedia Jasa untuk memperoleh informasi dan imbalan jasa serta kewajibannya melaksanakan layanan Jasa Konstruksi;
e. penggunaan tenaga kerja konstruksi, memuat kewajiban mempekerjakan tenaga kerja konstruksi bersertifikat;
f. cara pembayaran, memuat ketentuan tentang kewajiban Pengguna Jasa dalam melakukan pembayaran hasil layanan Jasa Konstruksi, termasuk di dalamnya jaminan atas pembayaran;
g. wanprestasi, memuat ketentuan tentang tanggung jawab dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diperjanjikan;
h. penyelesaian perselisihan, memuat ketentuan tentang tata cara penyelesaian perselisihan akibat ketidaksepakatan;
i. pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi, memuat ketentuan tentang pemutusan Kontrak Kerja Konstruksi yang timbul akibat tidak dapat dipenuhinya kewajiban salah satu pihak;
j. keadaan memaksa, memuat ketentuan tentang kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak;
k. kegagalan bangunan, memuat ketentuan tentang kewajiban Penyedia Jasa dan/atau Pengguna Jasa atas Kegagalan Bangunan dan jangka waktu pertanggungjawaban Kegagalan Bangunan;
l. pelindungan pekerja, memuat ketentuan tentang kewajiban para pihak dalam pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja serta jaminan sosial;
m. pelindungan terhadap pihak ketiga selain para pihak dan pekerja, memuat kewajiban para pihak dalam hal terjadi suatu peristiwa yang menimbulkan kerugian atau menyebabkan kecelakaan dan/atau kematian;
n. aspek lingkungan, memuat kewajiban para pihak dalam pemenuhan ketentuan tentang lingkungan;
o. jaminan atas risiko yang timbul dan tanggung jawab hukum kepada pihak lain dalam pelaksanaan Pekerjaan Konstruksi atau akibat dari Kegagalan Bangunan; dan
p. pilihan penyelesaian sengketa konstruksi.
Selanjutnya mengenai pihak-pihak dalam perjanjian pemborongan berbeda dengan perjanjian khusus lainnya, perjanjian pemborongan mengenal selera para pihak dalam perjanjian, juga mengenal peserta perjanjian yang tidak merupakan pihak dalam perjanjian pemborongan namun mempunyai peranan penting dalam pelaksanaan perjanjian.Hubungan hukum antara peserta perjanjian dengan si pemberi tugas ditentukan atas dasar perjanjian tersendiri (di luar perjanjian pemborongan).51
Pemberi tugas dapat berupa perorangan, badan hukum, instansi pemerintah ataupun swasta. Si pemberi tugaslah yang mempunyai prakarsa memborongkan bangunan sesuai apa yang tercantum dalam bestek dan syarat-syarat kontrak. Dalam pemborongan pekerjaan umum dilakukan oleh instansi pemerintah, direksi lazim ditunjuk dari instansi yang berwenang, biasanya dari instansi pekerjaan umum atas dasar penugasan ataupun perjanjian kerja.
Adapun pihak-pihak yang terlibat antara lain : 1. Pemberi Tugas (Bouwheer)
52 Pemberi tugas dalam pelaksanaan perjanjian pemborongan akan menunjuk seorang wakil yang memiliki kemampuan untuk menjadi pemimpin proyek/pemimpin bagian proyek/kepala kantor/kepala satuan kerja.53
Dalam penelitian ini, pemberi tugas adalah Biro Perlengkapan dan
51 Sri Soedewi Masjchun, Op. Cit., hal 65.
52Ibid., hal 68.
53 F. X. Djumiladji, Hukum Bangunan sebagai Dasar-Dasar … Op. Cit., hal 24.
Pengelolaan Aset Setdaprovsu, yang bertindak sebagai wakil pemerintah untuk mengadakan kontrak dengan pemborong dalam pembangunan penambahan kapasitas parkir kendaraan roda 2 pada kantor Gubernur Sumatera Utara.
2. Pemborong (kontraktor)
Pemborong adalah perseorangan atau badan hukum, swasta maupun pemerintah yang ditunjuk untuk melaksanakan pekerjaan pemborongan bangunan sesuai dengan bestek dan syarat-syarat sebagaimana tercantum dalam kontrak.54Bagi para pemborong sebelum menandatangani kontrak harus memenuhi syarat wajib daftar dan pemberian izin kerja sesuai dengan spesialis dan kapasitas mereka masing- masing.Sebab hanya kontraktor yang mempunyai izin kerja dapat diikutsertakan melaksanakan proyek pembangunan pemerintah maupun swasta guna menjamin bahwa kepentingan negara maupun masyarakat terhindar dari kerugian-kerugian yang tidak dikehendaki yang ditimbulkan oleh kontraktor yang tidak bonafide.55
Hubungan hukum antara pihak pemborong dengan pihak yang memborongkan diatur sebagai berikut :
Penunjukan sebagai pelaksana bangunan oleh pemberi tugas dapat terjadi karena pemborong menang dalam pelelangan atau memang ditetapkan sebagai pelaksana oleh pemberi tugas. Pemborong juga dimungkinkan menyerahkan sebagian pekerjaan tersebut kepada pemborong lain yang merupakan sub kontraktor berdasarkan persetujuan pengguna jasa.
56
54Ibid., hal 26.
55 Sri Soedewi Masjchun, Op. Cit., hal 68.
56 F. X. Djumiladji, Hukum Bangunan sebagai Dasar-Dasar … Op. Cit., hal 29.
a. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pemerintah, maka hubungan hukumnya disebut hubungan kedinasan.
b. Apabila yang memborongkan pihak pemerintah sedangkan pemborongnya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perintah Kerja (SPK), Surat Perjanjian Kerja/Kontrak
c. Apabila yang memborongkan maupun pemborong keduanya pihak swasta, maka hubungan hukumnya disebut perjanjian pemborongan yang dapat berupa akta di bawah tangan, Surat Perjanjian Kerja (SPK), Surat Perjanjian Pemborongan/Kontrak.
Dalam penelitian ini, yang menjadi pihak pemborong adalah PT. Hari Jadi Sukses yang beralamat di Jalan Turi No. 68-AA Kel.Sudirejo I Kec. Medan Kota didirikan dengan Akte Pendirian/Akte Perubahan Nomor : 221 tanggal 31 Oktober 2011 oleh Notaris Binsar Simanjuntak, S.H.
3. Perencana (arsitek)
Perencana dapat berupa pihak pemerintah ataupun swasta (konsultan perencana) yang merupakan pihak dalam perjanjian namun bukan merupakan peserta.Perencana hanya mempunyai hubungan hukum dengan si pemberi kerja yang ditentukan atas dasar perjanjian tersendiri, diluar perjanjian pemborongan.Ketentuan ini merupakan ketentuan umum yang berlaku apabila perjanjian pemborongan merupakan proyek swasta. Sementara itu perencana memiliki tugas, antara lain :57
a. Sebagai penasehat, dimana perencana mempunyai tugas membuat rencana biaya dan gambar bangunan sesuai dengan pesanan pemberi tugas. Hubungan pemberi tugas dengan perencana sebagai penasehat dituangkan dalam perjanjian melakukan jasa-jasa tunggal. Dalam praktek perjanjian melakukan jasa-jasa
57 F. X. Djumialdji, Perjanjian Pemborongan, Op. Cit., hal 11.
tunggal disebut dengan istilah seperti perjanjian perencana, perjanjian pekerjaan berencana.
b. Sebagai wakil, dimana perencana bertindak sebagai pengawas, dengan tugas mengawasi pelaksanaan pekerjaan. Hubungan antara pemberi tugas dengan perencana sebagai wakil dituangkan dalam perjanjian pemberian kuasa. (Pasal 1792-1819 KUH Perdata).
4. Pengawas (Direksi)
Pengawas melakukan pengawasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan pemborong serta memberi petunjuk-petunjuk memborongkan pekerjaan, memeriksa bahan-bahan, waktu pembangunan berlangsung dan akhirnya membuat penilaian opname dari pekerjaan. Selain itu, pada waktu pelelangan, pengawas akan mengadakan pengumuman kapan pelelangan dilaksanakan, memberikan penjelasan mengenai RKS (Rencana Kerja dan Syarat-Syarat) untuk pemborongan-pemborongan dan membuat berita acara penjelasan, melaksanakan pembukuan surat penawaran, mengadakan penilaian dan menetapan calon pemenang serta membuat berita acara hasil pelelangan dan sebagainya.58
Akan tetapi disini direksi hanya bertindak mewakili yang memborongkan dalam segala hal yang menyangkut memberi pimpinan dan mengadakan pengawasan dalam pelaksanaan pekerjaan.Sebab dalam hal-hal tertentu selama si pemberi tugas tidak menyatakan sebaliknya secara tertulis dalam perjanjian yang bersangkutan, hanya pemberi tugas yang berwenang menangani, misalnya kewenangan untuk
58Ibid., hal. 12.
menghentikan pekerjaan, maupun yang menyangkut segi keuangan seperti mengadakan perubahan harga dalam kontrak. Serta kewenangan menentukan pelulusan dan memutuskan perjanjian ada pada si pemberi tugas.
Adapun hubungan kerja antara pemberi tugas dengan direksi dalam melaksanakan tugas mewakili si pemberi tugas ini, direksi tunduk pada ketentuan- ketentuan perjanjian pemberian kuasa (latsgeving) sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.Jika pemberi tugas tersebut adalah instansi pemerintah dan menyangkut pemborongan pekerjaan umum, hubungan kerja antara pemberi tugas dengan direksi berupa penugasan karena adanya hubungan kedinasan lazimnya ditunjuk sebagai direksi ialah instansi Pekerjaan Umum (unsur Departemen PU).59
59 Sri Soedewi Masjchun, Op. Cit., hal 75-76.
Sementara dalam proyek pekerjaan untuk pemerintah, dalam Pasal 7 sampai dengan Pasal 21 Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur secara khusus mengenai para pihak dalam pengadaan barang/jasa yaitu :
1. Pengguna Anggaran (PA)
2. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) 3. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) 4. Unit Layanan Pengadaan (ULP) 5. Pejabat Pengadaan
6. Pejabat Penerima Hasil Pekerjaan 7. Penyedia Barang/Jasa (kontraktor);