• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL. Oleh : : Reynald Ginting NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "JURNAL. Oleh : : Reynald Ginting NIM : DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW FAKULTAS HUKUM"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO.179 K/SIP/1961 TENTANG BAGIAN HARTA WARISAN PADA ANAK PEREMPUAN

(Studi di Kelurahan Rumah Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe Kota)

JURNAL

Oleh :

Nama : Reynald Ginting NIM : 120200436

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

ABSTRAK Reynald Ginting* Rosnidar Sembiring**

Idha Aprilyana***

Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 tentang pembagian harta warisan pada anak perempuan adalah tidak sesuai dengan sistem pewarisan dalam adat Batak Karo, karena pada adat Batak Karo anak perempuan tidak mendapatkan warisan dari orang tua. Dari jumlah penduduk yang ada di Rumah Kabanjahe bahwa hanya 20 kepala keluarga saja yang mengikuti putusan Mahkamah Agung dengan alasan supanya tidak menyebabkan keretakan dalam hubungan kekeluargaan yang sudah terjalin lama. Hak waris anak perempuan tidak terdapat bagian waris karena menurut Hukum Waris Adat Batak Karo tidak menempatkan sama sekali anak perempuan sebagai ahli warisnya.

Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini yakni pertama, Pembagian Warisan pada anak Perempuan Menurut Hukum Adat Batak Karo, kedua, Pelaksanaan putusan Mahakamah Agung Republik Indonesia No.

179/SIP/1961pada masyarakat Karo di Kecamatan Kabanjahe Kota Kelurahan Rumah Kabanjahe,ketiga, cara penyelesaian sengketa terhadap pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo.

Penelitian ini menggunakan penelitian hukum normatif dan empiris.

Metode pendekatan hukum normatif yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang-undangan, putusan pengadilan dan bahan hukum lainnya. Penelitian empiris adalah menelaah hukum sebagai pola perilaku yang ditujukan pada penerapan peraturan hukum.

Pendekatan yuridis empiris ini digunakan karena untuk mendukung data normatif Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa Perempuan tidak mendapatkan waris adat di dalam masyarakat Karo. Hal ini berbeda dengan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 yang mengatakan bahwa kedudukan anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam pembagian warisan.

Pembagian waris adat pada masyarakat Karo tidak memakai putusan Mahkamah Agung, dengan alasan putusan tersebut dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan keluarga.Tetapi anak perempuan dapat memperoleh waris adat hanya dengan pemberian dari saudara laki-lakinya.

Kata Kunci: Implementasi putusan Mahkamah Agung No. 176/SIP/1961, Warisan Anak Perempuan Karo

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

** Dosen Pembimbing I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

*** Dosen Pembimbing II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(3)

ABSTRACT Reynald Ginting* Rosnidar Sembiring**

Idha Aprilyana***

Based on Supreme Court Decision Number 179 / SIP / 1961 regarding the distribution of inheritance in girls is not in accordance with the system of inheritance in Karo Batak custom, because in Karo Batak adat girls do not get inheritance from parents. Of the total population in Kabanjahe House that only 20 family heads are following the Supreme Court's verdict on the grounds that it does not cause a break in long-term familial relationships. Inheritance rights of girls there is no inheritance because according to Customary Law Batak Karo does not put at all daughters as heirs.

The problems that will be discussed in this thesis that is first, the division of inheritance in girls according to the customary law of Batak Karo, second, the implementation of Supreme Court decisions of the Republic of Indonesia No. 179 /SIP /1961 in Karo society in Kabanjahe sub-district Kota Kabanjahe Sub- district, thirdly, how to settle the dispute on the distribution of inheritance in girls according to Karo Batak Customary Law.

This research uses normative and empirical legal research. Normative legal approach method is to examine the material of bibliography or secondary data covering the books and legal norms contained in the legislation, legal principles, legal methods, and legal system and review the provisions of legislation, court decision and other legal materials. Empirical research is to examine the law as a pattern of behavior aimed at the application of the rule of law. This empirical juridical approach is used because it supports normative data

From the result of the research, it can be concluded that women do not get customary heirs in Karo society. This is in contrast to the Supreme Court Decision Number 179 / SIP / 1961 which states that the position of boys and girls is the same in the division of inheritance. The division of customary inheritance in Karo society does not apply to the Supreme Court's verdict, because the ruling may result in a break in family relations.

Keywords: Implementation of Supreme Court Decision No. 176 / SIP / 1961, Heritage of the Karo Girl

* Student of Law Faculty of North Sumatra.

** State Administrative Law Lecturer, Supervisor I Faculty of Law University of North Sumatra

*** State Administrative Law Lecturer, Supervisor II Faculty of Law University of North Sumatra

(4)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Pewarisan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, karena untuk menyatakan perbuatan meneruskan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh pewaris untuk melakukan pembagian harta warisan kepada ahli warisnya.Ketika ahil waris masih hidup maka warisannya berarti penunjukkan, tetapi setelah pewaris wafat berarti terdapat pembagian warisannya.Di dalam hukum waris dikenal istilah-istilah seperti pewaris, ahli waris, harta waris, boedel, testament, legaat, dan legitieme portie.1

Pewaris adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta benda kepada orang lain. Ahli waris ialah orang yang menggantikan pewaris di dalam kedudukannya terhadap warisan.Harta waris atau disingkat warisan ialah segala harta kekayaan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia yang berupa semua harta kekayaan dari yang meninggal dunia setelah dikurangi semua utangnya.

Istilah Hukum Adat tidak begitu dikenal dalam pergaulan masyarakat sehari-hari.Istilah ini adalah terjemahan dari bahasa Belanda. “Adat-recht” yang pertama-tama dikenalkan oleh Snouck Hurgronje yang kemudian dikutip dan dipakai oleh Van Vollenhoven sebagai istilah teknis yuridis untuk menunjukkan kepada apa yang sebelumnya disebut dengan undang-undang agama, lembaga rakyat, kebiasaan, lembaga asli dan sebagainya. Istilah ini kemudian sering dipakai dalam literature dikalangan Perguruan Tinggi Hukum.Di dalam perundang-undangan istilah “adat-recht” ini baru muncul pada tahun 1920 dalam UU mengenai perguruan tinggi di negeri Belanda.Dikalangan masyarakat atau dalam pergaulan rakyat umum hanya dikenal istilah “adat” saja.

Asas yang menyatakan bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia.Ini berarti bahwa kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Menurut hukum kewarisan Islam, peralihan harta seseorang kepada orang lain yang disebut dengan nama kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Ini berarti bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain dan disebut sebagai harta warisan, selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.2

Berarti bahwa segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup kepada orang lain baik secara langsung maupun yang akan dilaksanakan kemudian sesudah kematiannya, tidak termasuk ke dalam kategori kewarisan menurut hukum Islam. Oleh karena itu hukum kewarisan Islam hanya mengenal

1Ali Afandi, “Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian”, Jakarta: Rineka Cipta, 2000, hal. 7

2Ibid, hal. 20

(5)

satu bentuk kewarisan saja, yaitu kewarisan sebagai akibat dari kematian seseorang.3

Menurut kedudukan Hukum Adat di Indonesia yaitu untuk menghindarkan terjadinya kebinggungan tentang pengertian hukum adat yang dipakai sebagai sinonim dari Hukum Adat yang tidak tertulis dari peraturan yang tidak tertulis dari dalam peraturan legislatif dan hukum yang hidup dari badan-badan Negara (Parlement dan Dewan Provinsi) dan hukum yang timbul karena ada putusan hakim dan sebagai peraturan kebiasaan yang tetap dipertahankan.4

Dalam program pembangunan nasional (Propenas) 2000-2005, dirancang berbagai upaya pembangunan termasuk di bidang pemberdayaan perempuan.

Tujuan pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dan pembangunan, agar dapat menjadi mitra yang setara dengan laki-laki dalam berpartisipasi dan menikmati hasil pembangunan dan semakin berdaya pranata dan lembaga termasuk institusi pemerintah, lembaga-lembaga masyarakat yang memilikivisi pemberdayaan perempuan dan organisasi perempuan agar lebih berperan dan mandiri dalam mendukung terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender.

Pembagian warisan untuk adat Batak Karo terdapat pertentangan dari anak perempuan karena dinilai tidak terdapat rasa ketidakadilan terhadap pembagian warisan adat Batak Karo, sebagai alasannya karena anak perempuan hanya membawa marga dari ayahnya sebanyak 1 keturunan saja dan setelah menikah maka marga dari sang anak perempuan akan hilang.5

Di dalam Hukum Adat masyarakat Karo dalam hal pewarisan banyak sekali mengalami kontroversi yang aman banyak sekali masyarakat adat Batak Karo mengajukan gugatan kepada pengadilan terutama pada pihak perempuan karena mereka tidak merasa puas dengan pembagian warisan sehingga mereka mencoba merubah hukum adat masyarakat Batak Karo dalam hal pewarisan ini sehingga lama kelamaan pewarisan dalam hukum adat masyarakat Batak Karo ini sudah mulai pudar karena adanya hukum positif atau keputusan dari para pihak hukum yang berwenang seperti putusan Mahkamah Agung yang merubah hukum adat masyarakat Batak Karo ini.

Pembagian warisan menurut Hukum Adat Batak Karo dilakukan dengan cara musyawrah atau runggu dan hasil dari musyawarah adat Karo yaitu 1/3 dari warisan anak perempuan dan 2/3 dari anak laki-laki dan anak perempuan tidak mendapatkan warisan, walapun anak perempuan mendapatkan warisan hanya sebagai penghormatan saja.

3Lubis, Suhrawardi K, dan Komis Simanjuntak, Jakarta: Sinar Grafika, 1995. Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, hal. 8.

4Ibid, hal. 8.

5Darwin Prinst, Pengertian Hukum Adat, Medan: Bina Media Perintis, 2004, hal. 10.

(6)

Berdasarkan penguraian di atas dengan judul jurnalTINJAUAN YURIDIS TERHADAP IMPLEMENTASI PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG NO. 179/SIP/1961 TERHADAP BAGIAN WARISAN PADA ANAK PEREMPUAN.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan, maka penulis mengangkat permasalahan berikut ini:

1. Bagaimana pembagian warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo?

2. Bagaimana implementasi putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 179/SIP/1961 pada masyarakat Karo di Kecamatan Kabanjahe Kota Kelurahan Rumah Kabanjahe?

3. Bagaimana cara penyelesaian sengketa terhadap pembagian harta warisan pada anak perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo?

C. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis dari penelitian ini adalah hukum normative dan empiris.Metode penelitian hukum normatif-empiris ini pada dasarnya ialah penggabungan antara pendekatan hukum normatif dengan adanya penambahan dari berbagai unsur-unsur empiris.Dalam metode penelitian normatif-empiris ini juga mengenai implementasi ketentuan hukum normatif (undang-undang) dalam aksinya di setiap peristiwa hukum tertentu yang terjadi dalam suatu masyarakat.

Penelitian ini bersifat deskriptif. Menurut Surakhmad, penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang.

Mely G. Tan (dalam Soejono:22) mengatakan bahwa penelitian deskriptif bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan, gejala atau kelompok tertentu. Dalam penelitian ini akan digambarkan perilaku pencarian informasi berikut sumber dan sarana-sarananya.

Pembahasan penelitian ini disajikan dalam bentuk uraian kata-kata (deskripsi).

Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.Dapat dikatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan penelitian yang berusaha mendeskripsikan suatu gejala, peristiwa- peristiwa yang terjadi pada saat sekarang atau masalah aktual.

(7)

2. Metode Pendekatan

Metode yang digunakan dalam melakukan penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis normatif yaitu metode penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder.6

3. Sumber Data a. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung melalui data hasil wawancara peneliti dengan narasumber yaitu dengan Kepala Daerah dan juga Ketua Adat yang ada di Kelurahan Rumah Kabanjahe.

b. Data Sekunder

1) Bahan Hukum Primer, merupakan data yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat, misalnya kegiatan pewarisan menurut UU No. 3 tahun 2006 untuk penduduk Indonesia yang beragama Islam dan Hukum Kewarisan Perdata Barat berdasarkan KUHPerdata untuk penduduk Indonesia selain Islam.

2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu serta menganalisis.

Bahan hukum ini terdiri dari literatur yang berkaitan dengan skripsi ini serta yang diperoleh dari sumber lainnya seperti buku, makalah, artikel, internet dan sebagainya.

3) Bahan Hukum Tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, yang terdiri dari Kamus Hukum dan Kamus Umum Bahasa Indonesia.

4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi kepustakaan.Pada tahapan ini peneliti mencari landasan teori dari permasalahan- permasalahan.

5. Analisis Data

Data yang didapat dari studi kepustakaan akan dihubungkan secara logis dan disusun dengan menggunakan metode kualitatif yaitu yang di dapat dari informan secara langsung dan dipelajari dan dianalisis secara deskriptif agar dapat ditarik kesimpulan untuk dapat dicapai kejelasan mengenai permasalahan yang akan diteliti yang tersusun dalam kalimat yang sistematis.

6Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana, 2010, hal. 94.

(8)

II.PEMBAHASAN

A. Pembagian Warisan pada Anak Perempuan menurut Hukum Adat Batak Karo

Kabupaten Karo resmi terbentuk pada tahun 1943 dan sejak saat itulah Kabupaten Karo dipimpin oleh seorang Bupati.Kabupaten Karo yang memiliki alam yang sejuk dan indah yang dikenal dengan sebutan Tanah Karo Simalem berada pada ketinggian 400-1600 meter di atas permukaan laut. Terdapat beberapa buah gunung, seperti Gunung Sibayak, Gunung Sinabung, Gunung Barus dan lain sebagainya yang sampai saat ini dijadikan sebagai daerah wisata.

Dimulai dari penentuan waktu pelaksanaan, musyawarah menentukan porsi atau kadar serta pihak-pihak yang berhak mendapatkan bagian harta warisan, terdapat mekanisme tentang pembagian warisan pada masyarakat Karo, yaitu:

1. Waktu pembagian harta warisan

Salah satu yang selalu diperbincangkan bahkan diperdebatkan adalah berkaitan dengan waktu pelaksanaan pembagian harta warisan. Menurut hukum perdata, peralihan hak kewarisan tergantung kepada kemauan pewaris serta kehendak dan kerelaan ahli waris yang akan menerima hak tersebut.

Intinya, peralihan hukum waris tidak berlaku dengan sendirinya.7

Kerelaan pewaris menjadi sebuah keniscayaan karena kesediaan menerima sebagai ahli waris akan membawa akibat langsung untuk bersedia menerima risiko melunasi hutang pewaris.8

Di dalam hukum waris terdapat istilah yaitu penundaan pembagian hukum waris. Istilah lain yang kerap digunakan yaitu:

1. Hukum waris yang belum terbagi 2. Harta warisan yang dipertanggungkan

3. Penundaan penanggungan pembagian harta peninggalan 4. Penundaan pembagian hukum waris

5. Harta peninggalan dalam keadaan tak terbagi.

Menurut adat Karo, pembagian hukum waris umumnya dilaksanakan setelah kedua orang tuanya meninggal dunia,9 dengan demikian, meninggalnya orang tua laki-laki tidak serta merta harta yang ditinggalkan dapat dibagi sebagai hukum waris kepada anak-anaknya.Hukum waris tersebut tetap berada dibawah pengelolaan istri yang ditinggalkan.Ia berhak mengelola dan memanfaatkan harta suaminya sepanjang ia belum menikah kembali.10

7Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, Bandung, 1977, hal. 84-85

8Kitab Undang-undang Hukum Perdata

9Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2003, hal. 104

10Syahrizal, Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia, Lhokseumawe: Nadia Foundation, 2004, hal. 224

(9)

Bagi masyarakat Karo, istri yang ditinggal wafat suaminya berbeda dengan cerai hidup, tetapi tetaplah dianggap menjadi bagian dari keluarga suaminya.Hal ini sesungguhnya adalah konsekuensi dari lembaga “tukur”

(wanita yang dibeli) yang dikenal pada masyarakat Karo).

Sebaliknya, jika terjadi „cerai hidup‟, maka janda tersebut kembali kepada keluarganya semula.Hubungannya dengan suaminya secara adat pun terputus.

Berkenaan dengan hal ini menarik mencermati apa yang dituliskan oleh Masri Singarimbun sebagai berikut: According to Karo adat, a women belongs to the merga of her husband. His death does not alter her status, as her rights and duties according to adat.

Informasi yang diperoleh dari beberapa informan menyatakan hukum warisan baru dapat dibagi setelah kedua orang tua meninggal.Dalam kasus tertentu, pembagian harta dapat dilakukan atas permintaan anak ahli waris.Biasanya hal ini dilakukan apabila anak ahli waris telah menikah dan sangat membutuhkan harta. Dalam kasus seperti ini, ibu (istri ahli waris) akan membagi harta berdasarkan persetujuan kalimbubu dan anak beru.

Dalam adat Karo, hukum waris biasanya dibagi setelah kedua orang tua meninggal dunia. Bagi orang Karo, adalah tabu jika anak-anak menuntut hukum waris selagi salah satu orang tuanya masih hidup. Kecuali keinginan itu muncul dari orang tuanya sendiri.Tentu saja, penundaan pembagian hukum waris ini menimbulkan persoalan tersendiri.11

2. Metode Penentuan Porsi atau Jumlah

Tampaknya di dalam hukum waris adat Karo tidak dikenal kadar atau porsi harta untuk setiap ahli waris. Hampir di seluruh masyarakat adat tidak mengenal cara pembagian hukum waris dengan perhitungan matematika yang ketat.

Jadi walaupun hukum adat mengenal asas kesamaan hak tidak berarti bahwa setiap waris akan mendapat bagian warisan dalam jumlah yang sama, dengan nilai harga yang sama atau menurut banyaknya bagian yang sudah tertentu.12

Di dalam hukum adat Karo, pembagian hukum waris bukan berdasarkan jumlah tertentu melainkan berdasarkan jenis atau bentuk harta yang ditinggalkan, biasanya disebut harta pusaka atau harta waris hanya menyangkut ladang, sawah, kolam dan rumah.

Berikut ini menurut pendapat para informan yaitu:

Di Rumah Kabanjahe kedudukan pembagian warisan untuk anak perempuan yaitu dilakukan dengan cara musyawarah yang dilakukan oleh anak beru dan hasil dari musyawarah adat Karo tersebut menghasilkan 1/3 dari warisan

11Satria Effendi M Sein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah, Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2004, hal. 272

12Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 105

(10)

untuk anak Perempuan dan 1/3 untuk anak Laki-laki.13

Bagian warisan untuk anak perempuan hanya mendapatkan 1/3 dari hasil warisan yaitu karena sesuai adat Karo anak perempuan tidak membawa marga dari orang tuanya dan tidak secara terus menerus dan juga tidak mutlak, jadi warisan untuk anak perempuan hanya untuk memberi penghormatan kepada anak perempuan dan anak perempuan hanya membawa 2 kali marga dari sang ayah dan setelah itu maka sang ayah akan hilang.

Proses pembagian warisan pada masyarakat Batak Karo dapat dilaksanakan pada saat sebelum pewaris meninggal dunia dan setelah pewaris meninggal dunia, proses pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia dapat berupa pengalihan kedudukan, hak/kewajiban, lewat penunjukan pewarisan, hibah/wasiat, dan lain-lain.

Pada masyarakat Karo misalnya proses pembagian warisan sebelum pewaris meninggal dunia dapat dilihat dalam hal pengalihan kedudukan atau jabatan adat kepada pewarisnya.

Ada juga pemberian harta kekayaan pewaris tertentu sebagai bekal kekayaan untuk kehidupan kelanjutan yang diberikan pewaris kepada anak pada saat anak-anaknya hendak menikah, di Batak disebut Manjae, pada masyarakat Karo anak perempuan biasanya mendapat bagian warisan dari ayahnya ketika ia menikah, berupa harta bawaan, yang berupa perhiasan atau tanah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa anak perempuan dimungkinkan pada masyarakat Karo dapat menerima warisan dengan dua cara: Berdasarkan kerelaan anak laki-laki, dan dalam hal tersebut anak perempuan tidak boleh menolak.

Sebelum si anak perempuan menikah, yang berupa harta bawaan yang diberikan keluarga yang masih hidup berupa perhiasan, tanah, dan lain-lain.

Dan proses pembagian warisan yang disebutkan diatas dilakukan melalui musyawarah keluarga yang dalam hal ini masyarakat Karo menyebutnya dengan istilah Runggun Keluarga jika dalam proses pembagian harta tersebut banyak kerabat-kerabat yang tidak menyetujui pembagian warisan tersebut.

Di dalam perkawinan adat Karo juga dikenal dengan istilah untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam keluarga adat Karo yaitu runggun keluarga ini diadakan karena masalah perkawinan yang melibatkan dua pihak keluarga, namun tidak dipungkiri pada Masyarakat Karo menjadikan runggun keluarga ini forum formal dalam menyelesaikan segala perkara-perkara yang dialami masyarakat.

Hingga jika ada permasalahan yang ditimbulkan baik yang menyangkut masalah pribadi ataupun dengan orang, maka biasanya masyarakat mengadakan runggun keluarga tersebut untuk mencari jalan keluar dari masalah yang tengah

13Perdana Sembiring Brahmana, Wawancara, Kabanjahe, 20 November 2016

(11)

dihadapi.Karena pada masyarakat Karo masalah pribadi juga masalah bersama apalagi yang menyangkut dengan aturan adat.

B. Implementasi putusan Mahkamah Agung No. 179/SIP/1961 pada Masyarakat Batak Karo di Kecamatan Kabanjahe Kota

Jumlah

Penduduk Kepala Keluarga

Yang sudah membagi warisan berdasarkan putusan

Makhamah Agung

Yang belum membagi warisan

secara adat

1.807 472 20 216

Di dalam Rumah Kabanjahe terdapat 1.807 jiwa dan juga mempunyai 472 Kepala Keluarga. Dari 472 Kepala Keluarga yang sudah membagi warisannya dengan cara melalui putusan Mahkamah Agung sebanyak 20 Kepala Keluarga dan sebanyak 216 orang membagi warisannya secara Adat. Bagi yang membagi secara Adat mempunyai alasan yaitu untuk menjaga hubungan kekeluargaan dan yang memilih secara putusan Mahkamah Agung mempunyai alasan karena mengikuti azas keadilan, maksudnya pembagian secara rata anak perempuan dan anak laki-laki.

Perkembangan dalam hukum waris adat Batak ditandai dengan lahirnya Yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 179/K/SIP/1961 yang menyatakan Mahkamah Agung menganggap sebagai hukum yang hidup di seluruh Indonesia, bahwa antara anak laki-laki dan anak perempuan bersama-sama berhak atas hukum waris dalam arti bagian anak laki-laki adalah sama dengan perempuan.14

Memang yurisprudensi tersebut tidak dapat berlaku sebagai peraturan hukum yang mengikat secara umum, tetapi hanyalah mengikat para pihak yang berperkara saja atau lebih lanjut dapat diikuti oleh hakim lain dalam perkara yang sama. Namun sebagi penemuan hukum dari hakim yurisprudensi ini cukup berharga sebagai faktor pembentukan hukum nasional15 karena yurisprudensi sebagai salah satu sumber hukum di Indonesia.

Yurisprudensi juga berfungsi untuk menciptakan hukum yang baru dengan mengubah hukum yang lama dengan dasar pertimbangan bahwa hukum yang lama tidak sesuai lagi dengan masyarakat tempat hukum itu berlaku.

Diharapkan perkembangan yang telah dilakukan oleh putusan-putusan hakim ini dapat mengangkat hak-hak anak perempuan sama sebagai ahli waris.

14Chaidir Ali, Himpunan Yurisprudensi Hukum Adat Batak, Bandung: Tarsito, 1977, hal. 118

15Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta: Citra Aditya Bakti, 1993, hal. 59.

(12)

Pengadilan melalui yurisprudensi tersebut berusaha membawa perkembangan hukum tidak tertulis ke arah keseragaman hukum yang seluas-luasnya, antara lain dengan pembinaan ke arah pola hukum keluarga dan hukum.

Berdasarkan pandangan yang ada dalam masyarakat yang saya teliti bahwa di dalam masyarakat Rumah Kabanjahe banyak yang mengetahui tentang putusan Mahkamah Agung No. 179/SIP/1961, dan pandangan masyarakat terhadap putusan Mahkamah Agung ini bukan tidak dipergunakan, akan tetapi masyarakat adat Karo sesuai adat, walaupun dibawa ke pengadilan dan hasil dari putusan pengadilan harus dirembukan kembali dengan pihak keluarga.

Pelaksanaan putusan Mahkamah Agung Nomor 179/SIP/1961 pada masyarakat Batak Karo di Rumah Kabanjahe Kecamatan Kabanjahe Kota setelah keluarnya putusan tersebut yaitu tidak berubah karena beliau cara pembagian warisan yang paling baik menggunakan Hukum Adat, karena untuk menjaga hubungan kekeluargaan yang ada dan juga untuk mencegah supaya tidak terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.

C. Cara Penyelesaian Sengketa Harta Warisan bagi Anak Perempuan

Penyelesaian sengketa warisan pada masyarakat Batak Karo, yaitu:

1. Keluarga

Cara penyelesaian sengketa warisan adat Karo yang paling utama yaitu melalui keluarga, karena melalui sengketa warisan dapat diselesaikan, karena hanya keluarga sajalah yang dapat menyelesaikan warisan Karo dan juga cara penyelesaian yang dilakukan keluarga juga dengan cara adat, karena melalui adat pembagian warisan sangat adil bagi keluarga dan juga menghindari terjadi keretakan dalam keluarga.

2. Runggun

Pada masa sekarang ini peradilan adat berangsur-angsur hilang, runggun kuta/ kesain, runggun urung, runggun sibayak, dan runggun sibayak berempat sudah tidak dipakai lagi dalam menyelesaikan masalah. Runggun yang masih dipakai saat ini hanyalah runggun keluarga dan umumnya runggun ini sering dipakai dalam nerehempo, penguburan, pindah rumah, perceraian, penggantian nama, dan juga dalam menyelesaikan masalah. Runggun dalam masyarakat Karo mempunyai makna yang luas tidak hanya digunakan untuk menyelesaikan masalah saja, oleh karena itu tidaklah etis untuk mendefinisikan runggun sebagai lembaga penyelesaian sengketa antar masyarakat adat Karo.

Runggun baik dalam kegunaannya sebagai lembaga penyelesaian masalah maupun dalam kegunaannya yanglain tetap memiliki susunan yang sama yaitu adanya kalimbubu, anak beru, dan senina yang diwujudkan dalam konsep sangkep

(13)

si telu. Menurut Runtung, dibandingkan dengan forum masyarakat mufakat lainnya maka runggun mempunyai beberapa ciri khas yang penting yaitu:

a. Runggun itu adalah merupakan musyawarah sangkep si telu secara lengkap, yang berarti para peserta runggun harus dapat mencerminkan wakil-wakil dari masing-masing kelompok kekeluargaan senina, anak beru, dan kalimbubu. Suatu runggun tidak akan dimulai apabila salah satu dari kelompok tersebut belum terwakili.

b. Dalam forum runggun hanya orang-orang yang telah menikah (kawin) saja yang dimintakan pendapatnya.

Proses diadakannya runggun pada umumnya sama adalah dimulai dengan adanya niat/keinginan para pihak untuk membawa permasalahan ke runggun, niat ini kemudian didiskusikan dengan anak beruterdekat untuk menentukan waktu dan tempat diadakannya runggun serta permasalahan apa yang akan disampaikan di runggun nanti. Setelah diskusi dengan anak beru selesai, maka anak beru kemudian memanggil anak beru lain untuk menginformasikan rencana diadakannya runggun dan berbagi tugas mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk diadakannya runggun. Setelah persiapan selesai maka anak beru akan mengundang kalimbubu dan senina agar datang untuk runggun. Sebelum memulai runggun biasanya akan diadakan acara makan terlebih dahulu.

Setelah acara makan selesai, kalimbubu akan membuka percakapan dengan bertanyatujuan mereka diundang dalam runggun yang kemudian akan dijawab oleh anak beru yang diwakili oleh anak beru cekoh baka. Baik kalimbubu, anak beru, dan senina akan mempunyai pembicaranya masing-masing.

Acara runggun pada umumnya akan dipandu oleh anak beru cekoh baka. Herman Slaats dan Karen Portier mendeskripsikan tugas anak beru, senina, dan kalimbubu dalam runggun yaitu:

(1) Kelompok senina menjelaskan permasalahan yang akan didiskusikan dan menilai masukan yang diajukan untuk menyelesaikan masalah.

(2) Kelompok anak beru berkewajiban memberikan cara-cara penyelesaian masalah.

(3) Kelompok kalimbubu menyetujui masukan yang diajukan kepada mereka.

3. Penyelesaian Sengketa Melalui Perumah Begu.

Perumah Begu adalah upaya penyelesaian sengketa dimana begu akan dipanggil melalui ritual tertentu guna menyelesaikan sengketa yang terjadi.

Umumnya roh orang yang telah meninggal dunia ini dianggap sebagai orang yang bijaksana serta mempunyai hubungan yang dekat dengan pihak yang bersengketa sehingga mengetahui letak permasalahan para pihak.Perumah begu bagi orang yang telah meninggal dunia dilakukan pada malam pertama setelah mayat

(14)

dikebumikan.Medium perantara antara roh orang mati dengan pihak yang bersengketa adalah Guru Sibaso.

Guru Sibaso pada umumnya terdiri dari seorang wanita atau beberapa wanita yang memiliki kemampuan untuk berhubungan dengan roh orang yang telah meninggal. Dalam hal mengundang Guru Sibaso untuk datang ke rumah terlebih dahulu dipersiapkan Belo Penahanen yang berisi: (1) Belo Sempedi (satu ikat daun sirih); (2) Timbako sepangpang (satu gulungan tembakau kering); (3) Gambir (gambir); (4) Pinang (buah pinang); (5) Kapur(kapur) Para pihak yang bersengketa akan berkumpul di rumah dimana akan dilaksanakan ritual perumah begu, disertai dengan sembuyak, anak beru, senina, dan kalimbubu.

Dalam ritual perumah begu, kesenian dan tari berperan untuk mengundang roh tersebut datang. Pada saat melakukan ritual perumah begu, maka roh orang mati tadi akan memasuki tubuh Guru Sibaso (bagi orangkaro, keadaan ini disebut dengan selok (possessed)), pada tahap ini Guru Sibaso akan meminjamkan tubuhnya untuk dimasuki roh orang mati, dalam hal ini Guru Sibaso akan menjadi spirit medium/shaman antara roh dengan orang yang hidup. Berikutnya roh orang mati tadi akan berbicara kepada pihak yang bersengketa melalui Guru Sibaso guna menyelesaikan sengketa mereka. Selama prosesi ritual, Guru Sibaso akan memainkan dua peran penting, yaitu sebagai „master of ceremony‟ atau pemimpin utama ritual dan juga berperan sebagai „story teller in dramatical ritual‟ Guru Sibaso sebagai penceritera kembali kisah hidup dari orang yang baru meninggal.

4. Pengadilan Negeri

Pengadilan Negeri merupakan lembaga formal yang paling dekat dengan masyarakat dalam struktur hukum formal untuk menegakkan keadilan.Keadaan ini menempatkan Pengadilan Negeri Kabanjahe dalam posisi yang harus tanggap atas nilainilai yang berkembang di masyarakat Karo.Keadilan yang dijanjikan oleh lembaga pengadilan ini terbuka untuk segala golongan masyarakat (equality of justice).Masyarakat Karo umumnya memperlakukan pengadilan sebagai lembaga terakhir untuk menyelesaikan sengketa mereka, terutama dalam hal waris.Menurut masyarakat Karo adalah hal yang sangat memalukan apabila permasalahan harta warisan dibawa ke pengadilan.

Hal ini dikarenakan dengan mengajukan sengketanya ke pengadilan maka mereka akan menyerahkan penyelesaiannya kepada pihak ketiga yang menurut mereka tidak akan mengetahui akar permasalahan dari sengketa mereka, namun dikarenakan runggun dianggap tidak lagi dapat memberikan jalan keluar permasalahan, maka diajukanlah sengketa tadi ke pengadilan. Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3 (tiga) bentuk yaitu:

(15)

(a) Putusan suatu pernyataan yang oleh hakim sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

(b) Penetapan atau putusan declaratoir yaitu suatu putusan yang bersifat menetapkan, menerangkan saja.

(c) Akta Perdamaian adalah surat penyelesaian perselisihan yang bersifat final and binding.

5. Penyelesaian Sengketa di Pengadilan Berbentuk Putusan

Dalam menyelesaikan sengketa waris tanah adat di PN Kabanjahe bentuk penyelesaian sengketa yang sering dijumpai adalah putusan. Menurut Sudikno Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara atau sengketa antara para pihak.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR yaitu: (1) Hakim dalam waktu bermusyawarah karena jabatannya, harus mencukupkan alasan-alasan Hukum, yang mungkin tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak;

(2) Ia wajib mengadili segala bagian gugatan. (3) Ia dilarang menjatuhkan keputusan atas perkara yang tidak digugat, atau meluluskan lebih dari apa yang digugat. Berdasarkan Pasal 189 Rbg dan Pasal 178 HIR, apabila pemeriksaan perkara selesai, Majelis hakim karena jabatannya melakukan musyawarah untuk mengambil putusan yang akan diajukan. Proses pemeriksaan dianggap selesai apabila telah menempuh tahap jawaban dari tergugat sesuai dari Pasal 121 HIR, Pasal 113 Rv, yang dibarengi dengan replik dari penggugat berdasarkan Pasal 115 Rv, maupun duplik dari tergugat, dan dilanjutkan dengan proses tahap pembuktian dan konklusi.

Jika semua tahapan ini telah tuntas diselesaikan, Majelis menyatakan pemeriksaan ditutup dan proses selanjutnya adalah menjatuhkan atau pengucapan putusan. Ada berbagai jenis putusan hakim dalam pengadilan, antara lain:

Pertama, Putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan di persidangan, baik telah melalui semua tahapan pemeriksaan maupun yang tidak/belum menempuh semua tahapan pemeriksaan. Macam-macam putusan akhir adalah sebagai berikut:

(1) Putusan Declaratoir, putusan yang sifatnya hanya menerangkan, menegaskan suatu keadaan hukum semata, misalnya menerangkan bahwa A adalah ahli waris dari B dan C.

(2) Putusan Constitutif, putusan yang sifatnya meniadakan suatu keadaan hukum atau menimbulkansuatu keadaan hukum yang baru, misalnya putusan yang menyatakan seseorang jatuh pailit.

(16)

(3) Putusan Condemnatoir, putusan yang berisi penghukuman, misalnya pihak tergugat dihukum untuk menyerahkan sebidang tanah berikut bangunan yang ada di atasnya untuk membayar hutangnya.

Kedua, Putusan Sela (Putusan interlokutoir) adalah putusan yang dijatuhkan sebelum putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara.Putusan sela selalu tunduk pada putusan akhir karena tidak berdiri sendiri dan akhirnya dipertimbangkan pula pada putusan akhir, hakim tidak terikat pada putusan sela, bahkan hakim dapat mengubahnya sesuai dengan keyakinannya.Putusan sela tidak dapat dimintakan banding kecuali bersama-sama dengan putusan akhir. Dalam hukum acara dikenal macam putusan sela yaitu:

(1) Putusan Preparatuir, putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuatu guna mengadakan putusan akhir;

(2) Putusan Interlocutoir, putusan yang isinya memerintahkan pembuktian karena putusan ini menyangkut pembuktian maka putusan ini akan mempengaruhi putusan akhir;

(3) Putusan Incidental, putusan yang berhubungan dengan insiden yaitu peristiwa yang menghentikan prosedur peradilan biasa.

Putusan Provisional, putusan yang menjawab tuntutan provisi yaitu permintaan pihak yang berperkara agar diadakan tindakan pendahulu guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan.

(17)

III.PENUTUP A. Kesimpulan

Dari pembahasan diatas, dapat ditarik kesimpulan:

1. Berdasarkan sistem patrilineal pada masyarakat Karo anak laki-laki lebih dihargai dibandingkan kedudukan anak perempuan, sehingga hal ini berdampak pada kedudukan anak perempuan dalam hal waris.

Anak perempuan dalam hukum adat Batak Karo tidak berhak atas bagian waris dari orang tuanya.

2. Dari hasil penelitian, implementasi terhadap putusan Mahkamah Agung No. 179/SIP/1961 tidak diterapkan dengan alasan karena anak laki-laki yang membawa marga dan digunakan untuk menjaga hubungan kekeluargaan supaya tidak terjadi keretakan dalam hubungan keluarga.

3. Penyelesaian sengketa dalam waris adat Karo yang terdapat dalam masyarakat adat Karo dengan cara dibawa ke dalam musyawarah keluarga atau ke runggu, dengan alasan untuk menjaga hubungan yang baik antar keluarga, dan juga harus diikuti berbarengan dengan putusan Mahkamah Agung.

B. Saran

Dari hasil pembahasan diatas dapat diberikan saran sebagai berikut:

1. Sebaiknya di masa yang akan dating, anak perempuan harus juga berkedudukan sebagai ahli waris seperti halnya anak laki-laki, karena anak perempuan dan anak laki-laki adalah sebagai keturunan dari orang tuanya.

2. Sebaiknya dikemudian hari putusan Mahkamah Agung No. 179/SIP/1961 supaya masyarakat bisa mengimplementasikan ke dalam permasalahan pembagian warisan di masyarakat Batak Karo di Kecamatan Rumah Kabanjahe.

3. Sebaiknya juga harus selain memakai aturan dari putusan Mahkamah Agung juga tetap secara adat karena untuk menghindari terjadi keretakan yang hubungan keluarganya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Afandi Ali, 2000. “Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian”.

Jakarta: Rineka Cipta

Ali Zainuddin, 2008. Pelaksanaan Hukum Waris di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika

Bushar Muhammad, 1998. Azas-azas Hukum Adat, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Chaidir Ali, 1977. Himpunan Yurisprudensi Hukum Adat Batak, Bandung: Tarsito Daud Mohammad, 1998. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di

Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada

Hadikusuma Hilman, 1978. Hukum Waris Adat, Imam Hidayat, Azas-azas Hukum Adat, Jakarta: Liberty

Hadikusuma Hilman, 2003. Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya Bakti Mertokusumo Sudikno, 1993. Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Yogyakarta:

Citra Aditya Bakti

Peter Mahmud Marzuki, 2010. Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana

Prinst Darwin, 2004. Pengertian Hukum Adat, Medan: Bina Media Perintis

R. Subekti, 2006. Hukum Adat Indonesia dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung, Bandung

Salim, 2014.Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Jakarta: Sinar Grafika Sitepu Sempa, Bujur Sitepu A.G, 1996. Pilar Budaya Karo, Medan

Soekanto Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta

Soekanto Soejono, 1986. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: CV. Rajawali

Suhrawardi K. dan Simanjuntak Komis, 1995.Hukum Waris Islam Lengkap dan Praktis, Jakarta: Sinar Grafika

Subekti, Trusto, Hukum Adat, Edisi Kedua, 2013

Syahrizal, 2004.Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia: Lhokseumawe:

Nadia Foundation (Jakarta: Kencana, Prenada Media, 2004), Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyyah

Tanuwidjaja Henny, 2012.Hukum Waris menurut BW, Bandung: Refika Aditama Wignojadipoero Soerojo, 1988. Pengantar dan Azas-azas Hukum Adat, Jakarta PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(19)

INTERNET

http://kbpa-uinjkt.blogspot.co.id/2011/06/hukum-kewarisan-menurut-hukum- perdata.html, diakses tanggal 4 Januari 2017

WAWANCARA

Bangun

Halimatus Sa‟diyah Kikim

Mardiano

Maspon Sembiring Mitchon Purba Rumus Tarigan Sersan Ginting Suara Bangun I

Referensi

Dokumen terkait

Namun terdapat pengecualian untuk pasal tersebut pada pasal 7 ayat (2), yaitu para pihak boleh mengajukan dispensasi nikah kepada pengadilan, yang ditunjuk oleh kedua orangtua

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2019.. Dalam Undang-Undang tersebut terdapat khusus Pasal-Pasal yang membahas tentang pembiayaan bagi para pelaku UMKM. Adapun permasalahan

Pada saat menyerahkan barang yang akan dikirim terkadang masyarakat selaku konsumen sudah melakukan pengemasan dari rumah dan saat melakukan pengiriman barang

Pemerintah telah menjamin adanya perlindungan hukum terhadap suatu ciptaan sebagai produk dari Hak Kekayaan Intelektual seorang individu, tidak terkecuali pada

c. Dokumen-dokumen yang dianggap berharga. Sebelum timbulnya suatu resiko tersebut, masyarakat selalu berusaha mencari langkah-langkah untuk menghindari resiko. Salah satu

Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 dijelaskan bahwa benda (yang ada diwilayah Negara RI atau diluar Negara RI) yang dibebani dengan jaminan

76 Wawancara dengan Bapak Hasan Amin, tanggal 5 Agustus 2016 di kantor PT. Rahmat Jaya Transport.. Indofood di dalam proses penyelenggaraan pengangkutan dengan PT. Rahmat Jaya

Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan hak istri. Namun untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut diatas para pencari keadilan yang selalu