• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang Masalah

II. Aturan-aturan dari Pemerintah

1.1. Latar Belakang Masalah

Keberadaan pasar pada hakikatnya ialah untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat agar dapat memenuhi berbagai keinginan yang dibutuhkan bagi kelangsungan hidup sehari-hari1. Namun faktanya saat ini, pasar tidak hanya terlihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menawarkan benda-benda lainnya disamping kebutuhan pokok tersebut. Pajak Buah Berastagi sebagai salah satu daerah dan tujuan objek wisata di Kabupaten Karo menghadirkan kegiatan jual-beli berbagai hasil tanaman dari petani setempat. Berbagai jenis hasil tanaman yang umumnya dijual disana adalah bermacam buah-buahan, berbagai jenis sayuran, dan beberapa tanaman hias.

Pajak Buah Berastagi berdiri disekitar Tugu Pahlawan kota Berastagi, tepatnya di Jalan Gundaling, Berastagi. Banyaknya turis atau wisatawan yang berkunjung kesana, baik wisatawan lokal maupun mancanegara, menjadikan tempat ini selalu ramai dikunjungi. Kata pajak adalah istilah khas masyarakat disana untuk menyebutkan pasar. Disinilah awal ketertarikan penulis dimulai ketika melihat kegiatan di Pajak Buah Berastagi. Mulai dari pemasokan buah-buahan yang akan dijual, sampai kepada proses tawar-menawar antara pedagang dan calon pembeli yang berlangsung disana. Tidak hanya itu, penulis juga melihat

1Belshaw dalam Frans Seda (1981:10) menyebutkan bahwa pasar adalah tempat pembeli dan penjual untuk mengadakan transaksi atau tukar-menukar, adapun yang ditukar ini adalah barang.

bahwa ada aturan hukum yang berlaku disana, diluar daripada aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah daerah setempat. Hal lain yang juga terlihat seperti soal kesepakatan harga. Penetapan harga yang dipatok oleh si pedagang sepertinya juga dipengaruhi oleh daerah asal wisatawan. Bila calon pembelinya adalah wisatawan mancanegara, maka si pedagang cenderung membuat harga barang dagangannya lebih mahal dibandingkan calon pembeli dari dalam negeri. Harga dari barang-barang yang dijual disana juga dapat berubah sewaktu-waktu. Beberapa faktor lain yang mempengaruhinya, seperti jumlah permintaan, musim panen dari buah tersebut, hama tanaman, dan juga faktor dari alam seperti bencana abu vulkanik Gunung Sinabung.

Bagi barang-barang yang terdapat di super market (pasar modern) dan masuk ke toko, penentuan harga dilakukan tanpa ada proses tawar-menawar, karena sudah ada harga yang tertera pada barang tersebut sehingga tidak ada kesepakatan-kesepakatan khusus ataupun aturan-aturan khusus yang disepakati antara pedagang dan pembeli dalam melakukan transaksi jual-beli di pasar.

Berbeda halnya dengan penjualan yang terdapat di pasar tradisional seperti Pajak Buah Berastagi, dimana penetapan harga dilakukan secara tawar-menawar. Untuk itu label harganya tidak diletakkan pada barang yang dijual, sehingga proses tawar-menawar lebih berperan dalam pencapaian kesepakatan harga, dan itu dapat berubah sewaktu-waktu tergantung dari berbagai faktor yang mempengaruhinya. Hal ini tentunya akan mengaktifkan hubungan yang lebih

personal (mempribadi) dan ikatan emosional yang ada diantara pedagang dan

Pasar yang merupakan tempat bertemunya para pedagang dan pembeli dari berbagai lapisan masyarakat itu akhirnya berperan sebagai arena sosial. Artinya, pasar sebagai tempat bertemunya masyarakat yang beragam adalah sebagai pintu gerbang yang menghubungkan dengan dunia luar sehingga dapat menimbulkan terjadinya pertautan kebudayaan yang berlainan dari kebudayaan setempat. Interaksi yang terjadi di pasar dipengaruhi pula oleh pengetahuan setiap individu atau kelompok masyarakat, sedangkan pengetahuan kebudayaan merupakan kompleks, ide, nilai-nilai, serta gagasan utama yang menjadi sumber dan tolak ukur bagi setiap individu dalam bertingkah laku (Koentjaraningrat, 1990:180).

Etos kerja merupakan semangat yang terdapat di dalam diri suatu individu, tetapi tinggi rendahnya etos bukan semata-mata dilandasi oleh tumbuh atau patahnya semangat. Kenyataan yang ada sering membuktikan bahwa penetrasi atau pengaruh dari luarlah yang kadang-kadang memanipulasi unsur-unsur yang hakiki, dimana kemampuan seseorang dalam mengekspresikan diri dalam bentuk kerja tidak lepas dari sistem nilai yang berkembang dalam masyarakatnya.

Keseimbangan dalam menciptakan nilai baru membuka peluang untuk bertindak secara terstruktur. Gambaran ini menunjukkan bahwa tidak ada sesuatu perbuatan yang tidak mungkin terjadi apabila individu tersebut menginginkan sesuatu perubahan ke arah yang lebih baik dan nilai atau adanya budaya yang diyakini dalam masyarakat mempengaruhi diri individu tersebut untuk berusaha melakukannya lebih baik sehingga mendapatkan hasil yang baik pula.

Dalam kegiatan jual-beli di Pajak Buah Berastagi ini sendiri menunjukkan bahwa etos kerja para pedagang dalam menjalankan perannya sebagai pedagang

ada pedagang yang melayani pembeli dengan menggunakan bahasa dari suku si pembeli meskipun pedagang tidak berasal dari suku yang sama tetapi sebisa mungkin pedagang menjalankan fungsinya demi mendapatkan pelanggan, sehingga menimbulkan keakraban antara pembeli dan penjual serta rasa nyaman yang didapatkan pembeli.

Lain lagi dengan pedagang yang menanamkan keyakinan bahwa pembeli adalah raja, pedagang mempercayai bahwa apabila mereka melakukan pelayanan yang dapat memuaskan hati para pembelinya maka peluang untuk menjadikan pembeli itu menjadi pelanggan lebih besar, sehingga dampak yang dihasilkan pedagang juga baik untuk keberlangsungan usahanya.

Berdasarkan adanya lebih dari satu hukum dalam kegiatan transaksi jual-beli di Pajak Buah Berastagi ini yang berasal dari aturan-aturan yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat dan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah, maka hal ini menimbulkan pluralisme hukum atau kemajemukan hukum.Griffiths dalam Irianto (2009:243) berpendapat bahwa pluralisme hukum adalah adanya lebih dari satu tatanan hukum dalam suatu arena sosial.Ia lebih menekankan pluralisme hukum yang diadopsinya dari Sally Falk Moore yang berkaitan dengan keragaman organisasi sosial, yang mana memiliki otonomi terbatas.

Moore (1993 : 150) menyebut otonomi terbatas dengan semi autonomous

social field. Artinya, dalam satu lapangan sosial tidak ada hukum yang dominan.

Suatu aturan hukum akan terpengaruh oleh hukum-hukum lain yang ada disekitarnya.Griffiths dan Hooker sama-sama mengemukakan satu unsur pokok dalam kaitannya dengan pengertian pluralisme hukum, yaitu bahwa pluralisme hukum ditandai dengan adanya situasi dimana di dalam masyarakat terdapat dua

atau lebih sistem hukum untuk dapat dijadikan pegangan dalam menghadapi berbagai masalah yang dialami masyarakat yang bersangkutan. Dalam hal ini Griffiths memiliki gagasan mengenai weak legal pluralism (pluralisme hukum yang lemah) dan strong legal pluralism (pluralisme hukum yang kuat).

Dari penelitian ini, maka akan diketahui gambaran bagaimana aktor-aktor yang terlibat dalam kegiatan transaksi jual-beli serta aturan-aturan yang mungkin muncul dalam kegiatan transaksi yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat sehingga melahirkan self regulation (pengaturan sendiri) di Pajak Buah Berastagi.

Weak legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa dari

bermacam-macam sistem hukum yang berlaku, pada akhirnya hukum negaralah yang paling dominan atau berpengaruh. Sedangkan strong legal pluralism menunjukkan suatu kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat atau dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok yang berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah, selain bisa ditentukan juga oleh kebiasaan-kebiasaan kelompok atau komunitas budaya dimana seorang pribadi atau kelompok tumbuh dan dididik.

Dokumen terkait