• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengalaman Penelitian

II. Aturan-aturan dari Pemerintah

1.6. Pengalaman Penelitian

Pengalaman penelitian yang penulis dapatkan di lapangan selama penyusunan skripsi ini berlangsung dimulai dari melengkapi surat-surat dari Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat atau Bakesbang Kabupaten Karo. Hal ini diperlukan karena sebelumnya penulis sudah pernah terlebih dahulu mengamati dan menanyakan kepada kantor Camat yang ada di Berastagi perihal penelitian yang akan penulis jalani di Pajak Buah Berastagi.

Lalu mereka mengatakan kalau setiap mahasiswa yang hendak melakukan penelitian di lokasi wisata dan instansi pemerintah, maka hal itu harus mendapat surat izin dari departemen asal universitas dari mahasiswa itu sendiri dan kemudian diserahkan terlebih dahulu ke kantor Bupati, bagian Kesatuan Bangsa (Kesbang).

Kemudian penulis kembali ke Medan untuk mengurus surat izin penelitian yang dimaksud di atas. Setelah mendapat surat itu, penulis kembali ke lokasi penelitian, tepatnya ke Kantor Bupati Karo yang berada di Jalan Jamin Ginting no. 17 Kabanjahe.

Setelah surat itu diserahkan kesana, penulis kemudian dibuatkan lima surat balasan dari mereka. Surat itu diserahkan kepada penulis untuk diserahkan kepada Kepala Bappeda Kabupaten Karo, Kepala Dinas Pendapatan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Karo, Camat Berastagi, Kepala UPT Pasar Pajak Buah Berastagi, dan kepada Dekan FISIP Universitas Sumatera Utara.

Kemudian penulis menyerahkan semua surat itu kepada yang ditujukan dan yang terakhir penulis menyerahkannya kepada Kantor Camat Berastagi. Rupanya

membuatkan surat balasan yang ditujukan kepada Kantor Kelurahan Gundaling I dan diberikan kepada penulis. Penulis lalu mengantarkan surat itu, barulah semua urusan surat-surat itu selesai.

Selanjutnya penulis melanjutkan penelitian ke lapangan. Penelitian pertama dimulai dari aktivitas mengamati kondisi sekitar lingkungan Pajak Buah Berastagi. Setelah merasa cukup kemudian penulis mencoba mencari salah satu pedagang di sana yang kelihatannya tidak terlalu sibuk, dengan tujuan agar penulis bisa melakukan wawancara yang baik dengannya dan si pedagang merasa tidak terganggu karena ditanyai.

Pada awalnya cukup sulit untuk melakukan pendekatan dengan beberapa pedagang yang akan dijadikan informan disana karena aktivitas dari masing-masing pedagang yang rata-rata sedang sibuk dengan kegiatannya.Karena merasa tidak enak perasaan kalau nantinya merasa terganggu, penulis harus menggunakan sedikit tambahan waktunya untuk menunggu sampai para pengunjung atau calon pembeli disana tidak terlalu ramai.

Setelah menunggu beberapa saat akhirnya penulis berhasil melihat ada salah satu pedagang buah di bagian luar yang sudah tidak lagi sibuk dengan pelayanannya kepada calon pembeli. Penulis pun memberanikan diri untuk berkenalan dengannya. Beliau bernama Ibu Aldi br. Sembiring.

Mendengar kalau Ibu Aldi adalah bersuku Karo, penulis merasa sedikit lega. Hal ini karena penulis sebelumnya sudah pernah mendapat nasihat dari beberapa alumni di USU yang mengatakan kalau informan kita kebetulan berasal dari satu suku yang sama maka peluang untuk mendapatkan informasi mendalam akan

lebih besar, ditambah lagi apabila si mahasiswa dan informannya bisa berbahasa daerah dari suku mereka sendiri.

Foto 3. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam jenis buah-buahan yang dijual Ibu Aldi br Sembiring di Pajak

Buah Berastagi.

Untuk itu penulis mencoba menanyakan beberapa pertanyaan dengan menggunakan bahasa Karo, dan ternyata beliau membalasnya dengan menggunakan bahasa yang sama5. Penulis bertanya, “Bik, tahun piga Pajak Buah enda mulai berdiri ?”. Lalu Ibu Aldi pun menjawab, “Aku mulai erdaya i jenda, mulai Pajak enda berdiri tahun sembilan belas pitu puluh. Sange gelarna Pajak Tarum Ijuk denga”.

Jadi Ibu Aldi mengatakan jika Pajak Buah ini mulai berdiri sejak tahun 1970. Saat itu namanya masih Pajak Tarum Ijuk. Beliau juga mengatakan bahwa dahulu saat masih bernama Pajak Tarum Ijuk letak dari pajak ini berada di posisi

SPBU bahan bakar minyak yang sekarang berada di samping Pajak Buah Berastagi ini.

Saat itu luasnya tidak seperti yang sekarang ini, Pajak Tarum Ijuk hanyaberbentuk Pajak kecil-kecilan yang berbentuk persegi panjang, dimana salah satu sisinya yang memanjang itu menghadap ke arah jalan menuju kota Medan. Untuk pertanyaan terakhir, penulis pun ingin tahu kapan Pajak Tarum Ijuk ini berubah namanya menjadi Pajak Buah Berastagi.

Ibu Aldi mengatakan jika pada tahun 1970 atau saat Pajak Tarum Ijuk mulai berdiri, peresmian dari tempat itu belum dilakukan tetapi pada saat namanya berubah menjadi Pajak Buah Berastagi atau pada tahun 1984, tempat ini baru diresmikan oleh Bupati Tingkat II Karo pada saat itu, Drs. Rukun Sembiring.

Ibu Aldi br Sembiring adalah salah satu informan penulis yang cukup terbuka dengan pertanyaan-pertanyaan mendalam lainnya yang penulis tanyakan. Lapak ibu ini berada di bagian luar dari Pajak atau tepatnya berjualan di bagian salah satu kios dari Pajak Buah Berastagi.Setelah selesai menanyakan pertanyaan dengan Ibu Aldi kemudian Ibu ini menanyakan kepada penulis, dalam rangka apa penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu.

Kemudian penulis menjawab jika penulis menanyakan pertanyaan-pertanyaan seperti itu adalah dalam rangkan penyusunan tugas akhir atau skripsi yang sedang penulis jalani di salah satu Fakultas di Universitas Sumatera Utara. Ibu Aldi pun kembali bertanya kepada penulis jurusan yang sedang diambil oleh penulis di USU dan penulis pun menjawab kalau jurusan yang sedang penulis ambil dalam program S1 di USU adalah jurusan Antropologi Sosial.

Mendengar hal itu Ibu Aldi kemudian bercerita kalau salah satu anaknya juga ada yang sedang kuliah saat ini di salah satu perguruan tinggi negeri di pulau Jawa, dan juga sedang menjalani hal yang sama seperti yang sedang penulis lakukan saat ini yaitu penyusunan skripsi.

Ibu Aldi juga ikut menasihati penulis jika pendidikan adalah jalan satu-satunya yang mampu menjadikan manusia-manusia di Karo menjadi bermutu dan berkualitas baik, begitu juga dengan moral dan akhlaknya. Penulis pun kemudian mengiyakannya dan memang hal itu adalah sesuatu yang tepat untuk bisa membangun kemajuan di daerah Karo ini.

Setelah itu penulis permisi meminta izin untuk menanyakan kepada pedagang yang lainnya kepada Ibu Aldi, dan setelah itu Ibu Aldi pun mengatakan kalau beliau juga mempunyai kenalan pedagang buah yang lain yang ada di bagian dalam Pajak Buah Berastagi ini, yaitu di bagian losd atau bale-balenya.

Penulis pun diantarkan oleh Ibu Aldi menuju ke losd yang ditempati oleh kawannya itu. Kemudian setelah sampai disana penulis langsung dikenalkan oleh Ibu Aldi salah satu pedagang yang bernama Bp. Alwien Sembiring Pelawi. Setelah selesai Ibu Aldi pun meninggalkan kami dan kembali ke kiosnya.

Bp. Alwien adalah salah satu pedagang yang berada di Pajak Buah Berastagi, tepatnya di bagian bale-bale. Mulai dari awal perkenalan terlihat bahwa memang Bp. Alwien ini orangnya sudah “welcome”, mungkin juga dikarenakan

saat perkenalan kami beliau langsung menanyakan apakah penulis juga berasal dari suku Karo atau bukan.

didatangkan sampai kepada batasan-batasan dalam pemasokannya. Berikut adalah kutipan wawancaranya6.

Memang rata-rata pedagang buah dan sayuran yang ada di Pajak Buah ini mempunyai langganan yang ada di Pajak Roga Berastagi. Pajak tersebut adalah pajak yang menjadi tujuan dari kebanyakan petani yang ada di sekitar Berastagi dan Kabanjahe dalam menjual hasil panen pertaniannya kesana, tentunya dengan jumlah yang terbatas.

Orang-orang yang menyalurkan barang dagangannya dari Pajak Roga Berastagidinamakan para Perkoper. Para Perkoper ini adalah orang-orang yang nantinya akan membeli hasil panen dari petani yang datang ke Pajak Roga, lalu kemudian menjualnya kembali kepada agen pemasok. Agen pemasok adalah orang-orang yang berasal dari luar daerah Karo (seperti Aceh, Medan, dan Siantar) yang juga membeli barang-barang yang dijual petani yang datang ke Pajak Roga. Biasanya para agen pemasok ini, memiliki kendarannya masing-masing untuk membawa hasil pembeliannya dari Pajak Roga, menuju ke daerah asalnya untuk kemudian dijual disana. Tetapi dalam pemasokannya ke Pajak Buah Berastagi, biasanya tidak melalui agen pemasok lagi, dikarenakan jarak antara Pajak Roga Berastagi dengan Pajak Buah Berastagi yang berada tidak jauh.

Mendengar hal itu penulis jadi ingin tahu lebih banyak tentang hal-hal apa saja yang ada di Pajak Roga Berastagi yang berkaitan dengan penjualan buah dan sayur-mayur yang ada di Pajak Buah Berastagi. Penulis pun permisi kepada Bp. Alwien Sembiring Pelawi ini untuk pulang.

Beberapa hari setelah itu penulis pergi ke Pajak Roga Berastagi yang berjarak sekitar dua kilometer dari Pajak Buah Berastagi. Disana penulis kemudian bertemu dengan salah seorang yang berjualan tembakau dan berbagai jenis daun sirih bernama Ibu Jesica br Pinem. Pada saat melihat penulis, Ibu Jesica berpikir kalau penulis adalah seorang calon pembeli yang hendak membeli daun sirih atau tembakau yang dijualnya.

Kemudian penulis pun menjelaskan kedatangan penulis ke Pajak tersebut. Beruntung penulis mendapatkan seorang informan seperti Ibu Jesica ini karena beliau juga nampaknya tidak merasa terganggu dengan kedatangan penulis ke tempatnya dan beberapa pertanyaan yang memang terlihat membutuhkan jawaban yang lebih, yang selalu penulis tanyakan kepadanya. Berikut adalah kutipan wawancaranya7.

Ya, para petani yang hendak menjual barang dagangannya kesini, biasanya adalah para petani yang memiliki jumlah hasil panen yang berkisar antara 100kg – 600kg.

Setelah si Petani sampai disana, akan datang beberapa orang Perkoper yang akan melihat dan menanyakan kondisi dari buah atau sayuran yang dijual oleh si Petani. Dalam bahasa dagang, jumlah berat dari kebanyakan barang-barang yang dijual di

Pajak Roga ini masuk dalam kategori “partai menengah”. Sebutan itu dikarenakan faktor dari jumlah barang yang beratnya sudah disebutkan di atas. Karena itu, jika ada petani yang dalam hasil panennya mendapat jumlah berat yang berada di kisaran satu ton ke atas, maka biasanya si Petani tersebut tidak akan datang ke Pajak Roga, tetapi melalui pengirim. Pengirim disini maksudnya adalah pembeli dari buah ataupun sayur-mayur dari petani yang memanen hasil ladangnya, dengan jumlah yang banyak. Pengirim ini sebenarnya hampir sama dengan agen pemasok, hanya perbedaan yang paling terlihat adalah dalam jumlah barang yang dibawanya.

Untuk Pajak Buah Berastagi dan Pajak Roga Berastagi disini penulis hanya memfokuskan pada pemasokan buah dan sayuran yang ada disana. Seperti yang sudah dijelaskan pada bagian Pendahuluan bahwa memang barang-barang yang dijual di Pajak Buah Berastagi tidak hanya buah dan sayur-mayur, melainkan beberapa pakaian dan aksesoris kecil juga banyak yang dijual disana.Namun penulis hanya mampu mendapatkan informasi mengenai daerah asal pemasok dari pakaian dan aksesoris itu dikarenakan daerah asal pemasok pakaian dan aksesoris yang kebanyakan berasal dari luar daerah Sumut.

Foto 4. Sumber : Foto Leonard Ginting, 16 Oktober 2014. Berbagai macam aksesoris yang juga dijual di Pajak Buah Berastagi.

Foto 5. Sumber : Foto Leonard Ginting, 26 Januari 2015. Pintu masuk utama menuju Pajak Buah Berastagi.

ABSTRAK

Leonard Ginting, 2015. Judul skripsi “Berbagai Aturan dalam Transaksi di

Pajak Buah Berastagi”. Skripsi ini terdiri dari 5 Bab, 94 Halaman, Abstrak, 5

Tabel, 18 Foto Penelitian, Glosarium, Daftar Pustaka, Sumber Lain dan Lampiran : Interview Guide, Daftar Informan, dan Surat Penelitian.

Pasar tidak hanya terlihat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari, tetapi juga menawarkan benda-benda lainnya disamping kebutuhan pokok tersebut. Pajak Buah Berastagi sebagai salah satu daerah dan tujuan objek wisata di Kabupaten Karo menghadirkan kegiatan jual-beli berbagai hasil tanaman dari petani setempat. Transaksi jual-beli dan tawar-menawar adalah hal yang sering dijumpai disana, mengingat banyak wisatawan lokal maupun mancanegara yang berkunjung kesana, terutama pada saat akhir pekan atau libur

panjang. Kata “pajak” merupakan istilah khas bagi masyarakat di Sumatera Utara

untuk menyebutkan pasar.

Metode penelitian kualitatif yang bersifat deskriptif digunakan untuk mendapatkan deskripsi atau gambaran kegiatan transaksi jual-beli sebagai bidang sosial semi-otonom yang melahirkan self regulation (pengaturan sendiri) yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di Pajak Buah Berastagi, dan bagaimana

strong legal pluralism berjalan disana, yaitu keadaan yang menunjukkan suatu

kenyataan bahwa sistem hukum yang paling kuat atau dominan adalah norma-norma yang muncul dari kepentingan-kepentingan pribadi maupun kelompok yang berhadapan dengan kondisi sosial masyarakat yang terus berubah.

Pemasokan sayur-mayur dan buah-buahan disana tidak dilakukan secara asal-asalan, tetapi dilakukan melalui mekanisme pasar yang teratur. Dimulai dari proses pemanenan yang dilakukan oleh petani sampai barang yang akan dijual ke Pajak. Pada umumnya para pedagang sayur dan buah-buahan yang ada di Pajak Buah Berastagi membeli barang dagangannya ke Pajak Sayur Mayur Roga Berastagi atau sering disebut Pajak Roga Berastagi. Pajak tersebut adalah kawasan serupa dengan Pajak Buah Berastagi namun Pajak ini lebih berorientasi kepada penjual sayur dan buah-buahan yang membeli dalam jumlah banyak yang nantinya akan dijual kembali kepada konsumen.

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat terlihat bahwa berbagai aturan hukum dalam transaksi sebagai bidang sosial semi-otonom yang diperankan oleh aktor-aktor yang terlibat di Pajak Buah Berastagi menggunakan dua aturan hukum dalam transaksi penjualan disana. Penelitian yang masuk kedalam kajian bidang sosial semi otonom ini juga mengungkapkan adanya pluralisme hukum di Pajak Buah Berastagi dan Pajak Roga Berastagi, yang dilakukan oleh aktor-aktor yang terlibat disana, baik Pemerintah daerah, tuan tanah, petugas kebersihan, maupun pemuda setempat yang menjaga keamanan di sekitar sana, yang akan menjadikan kegiatan transaksi di Pajak Buah Berastagi masih tetap dapat bertahan/eksis hingga saat ini.

BERBAGAI ATURAN DALAM TRANSAKSI

Dokumen terkait