• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hadis adalah sesuatu yang disandarkan pada Rasulullah SAW, baik berupa ucapan, perbuatan, ataupun persetujuan, terbatas pada yang muncul setelah pengangkatan Rasul dan terbatas pada masalah yang terkait dengan hukum.

Kedudukan hadis sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-Qur‟an, oleh karena itu Hadis bagi umat Islam merupakan suatu yang penting karena di dalamnya terungkap berbagai tradisi yang berkembang masa Rasulullah saw.

Tradisi-tradisi yang hidup masa kenabian tersebut mengacu kepada pribadi Rasulullah saw. sebagai utusan Allah swt. Di dalamnya syarat akan berbagai ajaran Islam karenanya keberlanjutannya terus berjalan dan berkembang sampai sekarang seiring dengan kebutuhan manusia. Adanya keberlanjutan tradisi itulah sehingga umat manusia zaman sekarang bisa memahami, merekam dan melaksanakan tuntunan ajaran Islam yang sesuai dengan apa yang dicontohkan Nabi Muhammad saw.

Kajian terhadap hadis Nabi sampai saat ini masih tetap menarik, meski tidak sesemarak yang terjadi dalam studi atau pemikiran terhadap al-Qur‟an.

Faktor utama yang menjadi pemicu adalah kompleksitas problem yang ada, baik menyangkut otentisitas, variabel lafadh (jumlah hadis bil ma’na), maupun rentang waktu yang cukup panjang antara Nabi dalam realitas kehidupannya sampai masa kodifikasi ke dalam teks hadis.1 Akan tetapi terkadang terjadi kesalah pahaman didalam kehidupan masyarakat mengenai pemahaman sebuah hadis, sehingga menjadikan kekeliruan tersebut turun temurun.

1Muhammad AlFatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits (Dari Teks ke Konteks) (Yogyakarta:

Teras Press,2009),87-88.

berujung pada adanya pembakuan dan menjadikan hadis sebagai suatu yang mempersempit cakupan sunnah, menyebabkan kajian living hadis menarik untuk dikaji secara serius dan mendalam. Justru di sinilah, masyarakat merupakan objek kajian dari living hadis. Karena di dalamnya termanivestasikan interaksi antara hadis sebagai ajaran Islam dengan masyarakat dalam berbagai bentuknya.

Secara sederhana, living hadis dapat dimaknai sebagai gejala yang Nampak dalam kehidupan masyarakat berupa pola-pola perilaku yang bersumber dari hadis Nabi, pola-pola perilaku di sini merupakan bagian dari respon umat islam dalam interaksi mereka dengan hadis-hadis Nabi2.

Sudah barang tentu masyarakat Islam semestinya berperilaku sesuai dengan ajaran Alqur‟an dan Hadis. Namun fenomena yang muncul tidak selalu berbanding lurus dengan apa yang semestinya di praktikkan dan diamalkan. Ada juga tradisi atau kebiasaan masyarakat Islam yang menyimpang, tetapi masih dapat dilacak landasan normatifnya. Sebab itu kajian living hadis semakin menarik seiring meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap agamanya kita banyak menjumpai kegiatan-kegiatan keagamaan, baik di tempat-tempat tertentu seperti di masjid atau bahkan di media baik media cetak ataupun eletronik.

Karena living hadis didefinisikan sebagai gejala yang nampak atau sebagai fenomena dari masyarakat Islam, maka kajian atau studi living hadis dalam paradigma yang dapat digunakan untuk mengamati dan menjelaskan bagaimana living hadis dalam suatu masyarakat Islam adalah ilmu-ilmu social.

Pendekatan yang dinilai sesuai dalam hal ini adalah pendekatan fenomenologi.

Alasannya adalah pendekatan fenomenologi, menurut Van der Leew, bertugas

2Lihat Muhamma Alfatih Suryadilaga,”Model-model Living Hadits” dalam Sahiron Syamsuddin(ed.), Metodologi Penelitian Living Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TH Press, 2005), 107-114

ini adatiga prinsip yang tercakup di dalamnya: (1) sesuatu itu berwujud; (2) sesuatu itu tampak; (3) sesuatu itu tampak dengan tepat maka ia merupakan fenomena. Penampakan itu menunjukkan kesamaan antara yang tampak dengan yang diterima oleh si pengamat, tanpa melakukan modifikasi.3

Terkait erat dengan kebutuhan perkembangan masyarakat yang sangat kompleks dan diiringi adanya keinginan untuk melaksanakan ajaran Islam sesuai dengan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW., maka hadis menjadi suatu yang hidup di masyarakat(living hadis).4 Sekian banyak tradisi yang hidup di masyarakat salah satunya yaitu shalat tarawih. Rasulullah SAW., memberi semangat untuk menghidupkan (shalat/ibadah) bulan Ramadhan tanpa mewajibkannya. Namun yang terjadi di Dusun Wetan Gunung, Wonojati, Jenggawah, jember Menghidupkan malam-malam bulan Ramadhan dengan berbagai macam ibadah sudah menjadi suatu kewajiban yang tidak dapat ditinggalkan, baik itu laki-laki, perempuan, tua, muda, anak-anak, dewasa, semua berpartisipasi untuk melakasanakannya.

Karena Bulan Ramadhan merupakan bulan suci yang dimuliakan Allah, bulan yang penuh maghfirah (ampunan), Allah menjadikan Bulan Ramadhan sebagai hari raya bagi umat muslim di seluruh dunia. Di Bulan itu jiwa segar, hati senang, kegiatan-kegiatan untuk kesegaran rohani dan ibadah pun diperbanyak.

Oleh karena itu Rasulullah SAW. mengajak umatnya untuk beribadah, termasuk

3 Jacques Waardenburg, Classical Apparoaces to theStudy of Religion (Paris:Mount the Hague, 1973), hlm. 412. Dikutip dari Moh. Natsir Mahmud, “Studi Al-Qur’an dengan Pendekatan Historisme dan Fenomenologi, Evaluasi Terhadap Pandangan Barat tentang Al-Qur’an” Disertasi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga, 1992, hal.90

4 Muhammad AlFatih Suryadilaga, Aplikasi Penelitian Hadits(Dari Teks ke Konteks) (Yogyakarta:

Teras Press,2009),174.

yang kemudian disebut shalat tarawih. Dalam hadis juga disebutkan:

Masalah tarawih dari dulu hingga sekarang masih menjadi topic yang sangat menarik untuk dikaji, dibahas dan diteliti lebih dalam lagi, karena masih ada beberapa hal yang dipersoalkan oleh umat islam. Diantaranya adalah bilangan rakaat, dalam masalah ini para ulama‟ berbeda pendapat sehingga umat islampun berbeda-beda dalam pelaksanaannya yaitu mengikuti pendapat imam masing-masing. Ironisnya perbedaan ini sudah menjadi persoalan sejak abad pertama setelah masa kenabian, padahal para sahabat sendiri melihat langsung bagaimana tarawih Rasulullah SAW., setidaknya mereka mendapat penjelasan langsung dari beliau.

Persoalan tarawih merupakan suatu tradisi yang terus hidup di masyarakat, baik masyarakat perkotaan ataupun masyarakat tradisional. Melihat fenomena yang terjadi di Dusun Wetan Gunung Wonojati Jenggawah merupakan tradisi yang rutin dilakukan pada saat Bulan Ramadhan tiba. Walaupun pelaksanaannya berbeda-beda, baik itu hitungan rakaat, surat yang dibacakan Imam, dan sebagainya. Namun hal yang demikian tidak menjadikan masyarakat Dusun wetan Gunung bingung dan patah semangat untuk melaksanakan ibadah shalat tarawih, justru ketika bulan ramadhan aktifitas umat muslim di Dusun Wetan Gunung lebih banyak di tempat-tempat ibadah baik untuk sekedar ber-I’tikaf, membaca Alqur‟an bersama di siang dan malam hari (tadarrus), membagi-bagikan makanan kepada tetangga baik diantarkan ke mushalla-mushalla, masjid maupun ke rumah tetangga terdekatnya.

Masyarakat Dusun Wetan Gunung ini memiliki keunikan tersendiri menjelang bulan Ramadan bergotong royong membersihkan tempat ibadah

yang tidak pernah digunakan shalat berjamaah di hari-hari selain bulan ramadhan, juga dibersihkan sehingga nyaman saat digunakan shalat tarawih berjamaah.

Problem sebagaimana disebutkan di atas, disadari atau tidak, akan merembet kepada wilayah bagaimana hadis tersebut dipahami dan diaplikasikan.

Dengan kata lain, hadis bukan hanya dipahami sebagai pedoman, tetapi juga diaplikasikan sebagai sebuah landasan dilakukannya sebuah aktivitas.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh sebagaimana pemahaman masyarakat mengenai “ Hadits Tentang Fadhilah Shalat Tarawih Dan Implementasinya Dalam Kehidupan Masyarakat (Studi Living Hadits di Dusun Wetan Gunung Desa Wonojati Kec. Jenggawah, Kabupaten Jember)”.

Dokumen terkait