Manusia selain makhluk sosial juga merupakan makhluk yang bebas yang
terlepas dari paksaan fisik, orang yang tidak dirampas hak-haknya, orang yang
terlepas dari tekanan batin atau psikis, dan orang yang terlepas dari paksaan
moral. Kebebasan manusia bukanlah kebebasan yang mutlak tetapi kebebasan
yang bertanggungjawab (Bertens, 1993). Kebebasan manusia memiliki batasan-
batasan, seperti faktor dari luar dan faktor dari dalam. Faktor yang membatasi
kebebasan manusia dari luar adalah lingkungan dan pendidikan, sedangkan faktor
yang membatasi dari dalam adalah bakat, watak, dan sikap. Kebebasan manusia
juga memiliki aturan dalam berbagai norma, seperti norma kesopanan, norma
etiket, norma sosial, norma moral, norma agama, norma adat istiadat dan norma
hukum. Setiap manusia jika melanggar aturan dari norma-norma ini, maka akan
ada hukum yang mengatur, misalnya saja pada norma hukum. Manusia atau
ndividu yang melanggar segala peraturan yang terdapat di dalam norma hukum,
maka akan diberi sanksi pidana (Bertens, 1993).
Sanksi pidana itu merupakan peraturan yang menentukan perbuatan-
perbuatan yang dapat dihukum dan bentuk hukuman yang dapat diberikan.
Pemberian sanksi pidana ini bertujuan untuk menyadarkan perilaku menyimpang
pemeriksaan dan telah mendapat kepastian hukum, maka akan resmi menyandang
status sebagai narapidana (Panjaitan dan Simorangkir, 1995).
Menurut UU no. 12 tahun 1995, narapidana adalah terpidana yang
menjalani pidana hilang kebebasan di penjara, sedangkan Wilson (2005)
menjelaskan bahwa narapidana adalah manusia yang bermasalah yang harus
dipisahkan dari masyarakat untuk belajar bermasyarakat dengan baik, dan
menurut Harsono (1995) narapidana adalah manusia yang sedang berada di
persimpangan jalan karena harus memilih akan meninggalkan atau tetap pada
perilakunya yang dahulu dan tengah mengalami krisis disosialisasi (merasa takut
diasingkan di dalam masyarakat dan keluarga, tidak mampu bersosialisasi dengan
baik akibat rasa minder dan putus harapan). Berdasarkan penjelasan mengenai
narapidana di atas, maka ada sebuah anggapan yang menyatakan bahwa seorang
narapidana hanya dapat dibina jika diasingkan dari lingkungan sosialnya dan
seorang narapidana merupakan individu yang telah rusak dalam segala-galanya
(Panjaitan dan Simorangkir, 1995).
Panjaitan dan Simorangkir (1995) menjelaskan bahwa tindak pidana yang
diberikan kepada narapidana selalu direalisasikan dengan membina mereka di
lembaga pemasyarakatan, sehingga hampir semua orang berpendapat bahwa
lembaga pemasyarakatan merupakan tempat penyiksaan dan tempat
berkumpulnya para penjahat. Bangunan lembaga pemasyarakatan dirancang
secara khusus sebagai tempat untuk membuat jera para narapidana baik secara
fisik dan psikologis, dan dirancang agar seseorang tidak kerasan di dalamnya.
perampasan kebebasan sehingga narapidana akan kehilangan kebebasannya, yang
artinya narapidana hanya dapat bergerak di dalam lembaga pemasyarakatan saja.
Kebebasan ini dirampas untuk jangka waktu tertentu atau seumur hidup, dan tidak
hanya kebebasan bergerak yang terampas tetapi juga berbagai kebebasan lainnya.
Selama menjalani hukuman, narapidana tidak hanya akan mengalami pidana
secara fisik seperti makanan dijatah dan sebagainya, tetapi juga mengalami pidana
secara psikologis seperti kehilangan kebebasan dan kasih sayang dari anak atau
pasangannya. Dampak psikologis ini jauh lebih berat dibandingkan dengan pidana
penjara itu sendiri (Harsono, 1995).
Menurut Harsono (1995), dampak psikologis hukuman penjara antara lain:
lost of personality yaitu seorang narapidana akan kehilangan kepribadian diri, identitas diri akibat peraturan dan tata cara hidup di lembaga pemasyarakatan;
lost of security yaitu hilangnya rasa aman karena narapidana selalu dalam pengawasan petugas; lost of liberty yaitu kehilangan berbagai kemerdekaan individual; lost of personal communication yaitu kehilangan kebebasan untuk berkomunikasi karena komunikasi terhadap siapapun dibatasi; lost of good and service yaitu kehilangan akan pelayanan karena narapidana harus mampu mengurus dirinya sendiri; lost of heterosexsual yaitu kehilangan naluri seks, kasih sayang dan rasa aman bersama keluarga; lost of prestige yaitu kehilangan harga diri akibat perlakuan dan peraturan dari petugas; lost of belief yaitu kehilangan rasa percaya diri akibat tidak adanya rasa aman, dan yang terakhir lost of creativity yaitu hilangnya kreatifitas bahkan impian dan cita-cita narapidana.
Kehilangan hak-hak tersebut menyebabkan terjadinya perubahan dalam kehidupan
para narapidana.
Menurut Frankl (dalam Bastaman, 2007), dampak fisik dan psikologis
yang dialami narapidana dapat membuat narapidana merasakan perasaan tidak
bermakna (meaningless) yang ditandai dengan perasaan hampa, gersang, bosan, penuh dengan keputusasaan, serta tidak memiliki tujuan hidup yang di dalamnya
juga terkandung makna hidup. Schultz (1991) mengatakan seorang individu bisa
saja tidak melihat adanya makna di dalam hidupnya, tetapi makna hidup itu akan
tetap ada, dan kehidupan baru terkadang dapat mengandung suatu arti ketika kita
berhadapan dengan situasi yang dipenuhi dengan penderitaan. Penderitaan
sebenarnya dapat memberikan makna dan kegunaan jika kita dapat mengubah
sikap terhadap penderitaan itu menjadi lebih baik, ini berarti bahwa dalam
berbagai keadaan (sakit, nista, dosa, bahkan maut) arti makna hidup tetap dapat
ditemukan (Frankl, dalam Bastaman 1996).
Menurut Battista & Almond (1973), individu yang menganggap dirinya
telah menemukan makna hidup adalah individu yang mempunyai kerangka kerja
yang dapat melihat hidup mereka dengan beberapa perspektif atau konteks,
individu yang telah memperoleh tujuan hidup, individu yang telah berkomitmen
secara positif terhadap suatu konsep yang memberikannya suatu kerangka
acuan atau tujuan untuk memandang kehidupannya, dan individu yang
mempersepsikan hidupnya berkaitan dengan, atau memenuhi konsep hidupnya.
Battista & Almond (1973) juga mengatakan bahwa dalam dewasa muda,
pendidikan. Individu yang dicukupi dengan pilihan karir dan studi telah
membuktikan bahwa hidupnya lebih penuh arti (meaningfull) dibandingkan dengan individu yang tidak dicukupi dengan pilihan karir dan studi.
Tokoh lain seperti Frankl (1996) mengatakan bahwa makna hidup
merupakan sesuatu yang dianggap penting, berharga, dan memberikan nilai
khusus bagi seseorang sehingga layak dijadikan tujuan di dalam kehidupan
(the purpose in life). Menurutnya makna hidup jika berhasil ditemukan akan memperoleh kehidupan yang bahagia dan makna hidup itu berbeda antara
manusia yang satu dengan yang lainnya, bahkan berbeda setiap hari dan setiap
jam. Frankl sendiri menemukan makna hidupnya ketika menjadi seorang tahanan
di kamp konsentrasi. Keberhasilannya bertahan hidup adalah dengan tetap
menjaga keimanan, memiliki harapan akan adanya perubahan, selalu mengingat
istrinya dengan penuh cinta, kedua orang tuanya yang juga ditahan, dan
diam-diam ia membantu sesama tahanan yang putus asa. Frankl mengamati bahwa
tahanan-tahanan yang berhasil menemukan dan mengembangkan makna dalam
hidup mereka ternyata mampu bertahan dalam menjalani penderitaan, sehingga ia
menyimpulkan bahwa makna hidup dapat ditemukan dalam setiap keadaan, tidak
saja dalam keadaan normal dan menyenangkan, tetapi juga dalam penderitaan.
Makna hidup ketika di dalam penderitaan (penjara) juga ditemukan oleh
Anton Medan (Tan Hok Liang). Anton yang dijuluki seorang penjahat kaliber
kakap dan penjahat kambuhan yang hobinya keluar masuk penjara, akhirnya
menjadi seorang muslim yang taat beragama dan telah banyak membangun
tempat-tempat ibadah, seperti musholla dan mesjid (Anton, 2005).
Fenomena-fenomena lain di dalam penjara juga peneliti dapatkan
berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber. Berikut kutipan hasil
wawancara dengan beberapa subjek penelitian di lembaga pemasyarakatan
Tanjung Gusta Medan:
Subjek 1 (Lapas kelas 1)
“Em…kehidupan disini awalnya pahit bagi saya, saya tertekan dan tidak bebas. Tapi lama kelamaan saya mulai bisa menerima keadaan ini. Disini saya mulai membangun hubungan baik dengan Tuhan. Saya sering mengikuti kebaktian membaca alkitab dan menceritakan firman-firman Tuhan kepada teman-teman yang lainnya, sehingga pegawai lapas menyebut saya hamba Tuhan. Ketenangan mulai saya rasakan. Saya senang karena hidup saya masih berguna buat teman-teman disini. Saat mereka putus asa, saya dapat menghibur mereka dengan firman-firman yang saya kuasai. Ketakutan dengan hukuman seumur hidup lama-lama nggak menjadi masalah bagi saya. Bisa dikatakan saya seharusnya bersyukur karena setelah berada di penjara, hati saya terbuka untuk Tuhan dan menjadi hambanya. Dulu ke gereja saja saya jarang. Masalah hubungan saya dengan keluarga terutama istri saya, setahu saya baik-baik saja. Hanya saja kesedihan saya tentang anak-anak saya. Yang mereka tahu, saya sedang bekerja di luar kota. Saya sangat merindukan mereka. Tapi ini sudah takdir saya, saya hanya bisa pasrah dan berdoa..”
(Komunikasi Personal, 25 September 2007).
Subjek 2 (Lapas kelas 1)
“Saat pertama kali saya berada disini, hati saya sangat sedih karena kehilangan kehidupan bersama keluarga terutama istri dan anak saya. Penyesalan terus menerus datang. Kebebasan juga hilang. Apa-apa tidak bisa dilakukan. Yang biasanya setiap hari saya bekerja di kantor, ini jadi bingung mau ngapain. Yang membuat saya masih bertahan adalah dukungan istri, terutama anak-anak saya. Mereka sering mengunjungi saya disini. Untungnya anak-anak saya bisa mengerti tentang keadaan saya, mereka terus memberi support dan intinya masi menyayangi saya. Padahal mereka masih terlalu kecil. Saya ingin cepat bebas karena saya masih punya tanggung jawab. Saya ingin istri dan anak-anak saya dapat hidup normal kembali, kumpul bersama. Bahagia!! Apalagi saya punya
keinginan untuk menyekolahkan anak saya sampai ke luar negeri. Jadi setelah bebas nanti, saya harus bekerja keras. Tanggapan masyarakat nantinya setelah saya bebas dari sini tidak akan saya hiraukan, karena ini demi kehidupan keluarga saya.” (Komunikasi Personal, 25 September 2007).
Subjek 3 (Lapas kelas II)
“Berada dalam penjara ini sangat memuakkan, sakit. Orang yang dilihat itu-itu terus. Stress!! Lebih enak di kamar aja, itupun kerjaku nangis. Sedih kali hidupku.. Apalagi aku belum menikah, entah sapalah yang mau... Belum lagi sedih rasanya memikirkan kek mana kalau keluar dari sini. Entah apalah yang mau kulakukan.” (Komunikasi Personal, 20 Oktober 2007).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa sebenarnya sesuatu yang positif dapat ditemukan apabila
meningkatnya kesadaran atas buruknya kondisi diri dan keinginan kuat untuk
melakukan perubahan ke arah kondisi yang lebih baik. Sikap menerima dengan
penuh ikhlas dan tabah hal-hal tragis yang tidak mungkin dielakkan lagi dapat
mengubah pandangan kita dari yang semula diwarnai penderitaan menjadi
pandangan yang mampu melihat makna dan hikmah dari penderitaan itu
(Frankl, dalam Bastaman 1996).
Menurut Harsono (1995), hidup adalah sebuah kesempatan untuk berbuat
sesuatu, baik membentuk nasib dan menentukan sikap terhadap nasib.
Hanya dengan kemauan dan hasrat yang besar seseorang dapat berhasil dan sukses
dalam kehidupannya, dan saat yang menentukan bagi seseorang untuk sukses dan
berhasil adalah pada saat seseorang mengalami krisis. Battista & Almond (1973)
menjelaskan bahwa ketika seorang individu merasa dirinya sebagai individu yang
telah memiliki penghayatan hidup yang bermakna, yang dicapai individu setelah
ia memiliki tingkat harga diri tertentu, dan menurut Maslow dalam Tjahningsih &
Nuryoto, 1994), kebutuhan akan harga diri merupakan kebutuhan yang sangat
penting bagi setiap individu.
Menurut Frey & Carlock (1987), harga diri merupakan penilaian negatif
dan positif yang merupakan bagian dari konsep diri. Hal ini sejalan dengan
Rosenberg (dalam Taylor, dkk, 2000) yang mengatakan bahwa harga diri adalah
penilaian yang dibuat oleh individu mengenai dirinya sendiri, baik secara positif
maupun negatif. Frey & Carlock (1987) menjelaskan bahwa perilaku yang
ditampilkan seseorang dapat mencerminkan harga diri yang dimilikinya, yaitu
harga diri positif atau harga diri negatif. Harga diri positif itu seperti menghargai
diri sendiri, merasa diri berguna, memandang diri sama seperti orang lain, tidak
menganggap diri sebagai orang yang sempurna, mengenal keterbatasan diri, dan
mengharapkan diri tumbuh dan berkembang, sedangkan harga diri negatif, seperti
petunjuk verbal yang sering menunjukkan seseorang menilai dirinya negatif,
seseorang yang sangat takut akan pengalaman baru, reaksi yang berlebihan
terhadap kegagalan, terlalu banyak membual tentang diri sendiri, memiliki
kebutuhan yang sangat kuat akan dukungan, ketertarikan yang sangat dalam
terhadap kepemilikan suatu benda, enggan mengemukakan pendapat, melepaskan
tanggung jawab, memiliki energi yang rendah, kesadaran diri yang kurang,
kecemasan yang berlebihan, sangat sensitif terhadap kritikan, memiliki keluhan
Berikut hasil wawancara peneliti mengenai harga diri dengan beberapa
subjek penelitian di lembaga pemasyarakatan Tanjung Gusta Medan:
Subjek 1 (Lapas kelas 1)
“Harga diri… Awalnya itu sudah hilang. Tetapi setelah saya mulai bisa menerima keadaan saya, saya mulai bangkit. Saya rasa harga diri tidak akan hilang, ya mungkin tidak sebaik sebelum semua ini terjadi.. Disini banyak yang membuat harga diri saya muncul lagi, misalnya kedekatan saya dengan Tuhan dan dengan kegiatan-kegiatan disini yang saya kerjakan dengan baik...” (Komunikasi Personal, 07 februari 2008).
Subjek 2 (Lapas kelas 1)
“Harga diri itu relatif dan semua orang pasti punya. Walaupun saya begini, saya tetap memiliki harga diri terutama ketika saya berada di depan teman-teman saya disini. Harga diri saya tetap saya jaga. Menurut saya banyak hal yang dapat dilakukan disini untuk memperoleh harga diri, misalnya berbuat baik, dan sebagainyalah. Walaupun saya nggak tahu bagaimana nantinya di luar sana..” (Komunikasi Personal, 07 Februari 2008).
Subjek 3 (Lapas kelas II)
“Mana ada lagi harga diri, yang ada hanya aib.. Bukan hanya aku yang malu, tapi juga keluarga. Aku sudah pasrah bagaimana tanggapan orang padaku, nggak ada lagi yang bisa aku banggakan!” (Komunikasi Personal, 07 Februari 2008).
Berdasarkan hasil wawancara dengan narasumber di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa harga diri dapat juga diperoleh melalui proses pengalaman
yang terus menerus terjadi dalam diri seseorang (Branden, 1981), dan harga diri
individu terbentuk berdasarkan pada pandangan orang lain terhadap dirinya dan
bagaimana individu itu sendiri mempersepsikan pengalaman hidupnya (Baron &
Byrne, 1997). Hubungan individu dengan pengalaman hidupnya dapat dikaitkan
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti berasumsi bahwa harga diri
berhubungan positif dengan makna hidup. Oleh karena itu, pada penelitian ini
peneliti tertarik untuk mengetahui hubungan antara harga diri dengan makna
hidup pada narapidana.