BAB II LANDASAN TEORI
II. A Makna Hidup
II. A. 1. Pengertian Makna Hidup
Battista dan Almond (1973) mendefinisikan secara operasional makna
hidup sebagai positive life regard, dan menyimpulkan bahwa teori Frankl dan Maslow tersusun dalam pendekatan filosofis. Pendekatan itu berangkat dari
pemahaman akan hakikat makna hidup, dimana pertanyaan dasarnya apakah
makna hidup itu merefleksikan adanya satu makna hidup yang absolut yang
berkembang dari komitmen dan usaha pemenuhan yang secara instrinsik berasal
dari sesuatu hal, misalnya berasal dari Tuhan (pandangan religius), alam
(pandangan naturalisme), kebebasan dan tanggung jawab individu (pendekatan
eksistensial), kapasitas menjadi manusia seutuhnya (pendekatan humanistik), atau
yang lebih spesifik makna hidup berasal dari kemampuan self-trancendence
manusia (pendekatan Frankl), atau berasal dari growth needs dalam diri manusia (pendekatan Maslow).
Battista dan Almond (1973) juga mengungkapkan pendekatan lain untuk
lebih mengerti akan makna hidup, yaitu pendekatan relativistik. Pada pendekatan
ini, dua pertanyaan dasar dikemukakan untuk mendapatkan pemahaman tentang
makna hidup. Pertama, apakah gambaran pengalaman individual yang
memandang kehidupannya bermakna?, dan kedua, apa sajakah kondisi-kondisi
Pendekatan inilah yang diadopsi oleh Battista dan Almond (1973) sebagai
alternatif baru pemahaman makna hidup agar bisa lebih diteliti secara ilmiah
dengan titik fokus pada proses yang dialami oleh individu. Pendekatan relativistik
ini juga menganggap bahwa tidak ada suatu makna hidup yang sifatnya paling
tinggi dan identik bagi semua orang, serta adanya beragam cara untuk mencapai
sense of meaningfull (Debats, 1993).
Selanjutnya Battista dan Almond (1973) mempublikasikan tulisan mereka
yang berjudul Development of Meaning of Life dalam jurnal Psychiatry pada tahun 1873, edisi 36. Dalam jurnal tersebut mereka melaporkan studi mereka yang
pada dasarnya menggunakan studi literatur, dengan metode metaperspektif
terhadap istilah meaningfull life secara linguistik, filosofis dan psikologis (terutama berdasarkan teori Frankl dan Maslow). Metode metaperspektif
dikembangkan pertama-tama dengan melakukan analisis fenomenologis terhadap
istilah meaningfull life dalam beragam literatur yang membahas gambaran pemahaman individu terhadap hidupnya sebagai sesuatu yang bermakna.
Mereka menemukan bahwa istilah tersebut banyak digambarkan sebagai suatu
kondisi ketika seseorang berada dalam sebuah perasaan integration and relatedness, yaitu sebuah perasaan fullfillment and significance, atau lawan dari kata meaninglessness yang berarti alienation and nothingness. Dari sini mereka menyimpulkan bahwa konsep meaningfull life atau hidup bermakna sebenarnya bergantung pada konsep kehidupan itu sendiri dan sejauh mana seseorang merasa
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan jika seseorang
memiliki makna hidup, berarti ia telah berkomitmen terhadap nilai-nilai tertentu
atau percaya terhadap keyakinan-keyakinan tertentu, dan memiliki pemahaman
tentang hal-hal tersebut. Pemahaman hidup tersebut menyangkut sebuah kerangka
acuan (framework), sistem, atau hubungan dimana individu mempersepsikan dirinya, baik dalam prinsip naturalisme, humanisme atau agama-agama tertentu.
Dapat disimpulkan juga, ketika individu menyatakan bahwa hidupnya itu
bermakna, berarti ia:
a. Secara positif berkomitmen terhadap suatu konsep makna hidup.
b. Konsep makna hidup itu memberikannya suatu kerangka acuan
atau tujuan untuk memandang kehidupannya.
c. Ia mempersepsikan hidupnya berkaitan dengan, atau memenuhi
konsep hidup itu.
d. Ia menghayati pemenuhan itu sebagai sebuah perasaan integration, relatedness, dan significance.
Poin-poin di atas menjelaskan secara sistematis gambaran pengalaman
individual yang memandang kehidupannya bermakna. Berdasarkan pendekatan
relativistik, maka pengalaman akan rasa bermakna bisa dicapai oleh individu yang
memiliki nilai, tujuan, dan keyakinan dari model apapun, mulai dari religius,
eksistensial, humanistik, naturalisme, sampai hedonisme. Hal ini dapat dipahami
bukan karena isi dari keyakinannya yang menjadi titik tekan, tetapi lebih kepada
bermakna (Debats, 1993). Dengan pendekatan ini, maka hidup bermakna
didefinisikan secara operasional sebagai positive life regard yang berarti:
”Individual`s belief that he is fulfilling a life-framework or life goal that provides him with a highly valued understanding of his life”
(Battista & Almond, 1973: 410)
Berdasarkan definisi di atas, maka disusunlah Life Regard Index (LRI) yang mengukur keyakinan seseorang tentang sejauh mana ia memandang dirinya
memenuhi suatu kerangka atau tujuan hidup.
II. A. 2. Perkembangan Makna Hidup
Battista dan Almond (1973) dapat menyimpulkan pengertian hidup
bermakna sebagai positive life regard, dengan pertanyaan awal ”Bagaimanakah gambaran pengalaman individual yang memandang kehidupannya bermakna?”,
dan jawabannya adalah individu memandang kehidupannya bermakna jika ia
percaya bahwa ia memiliki pemahaman, perspektif, atau tujuan hidup tertentu dan
merasa bahwa tujuan hidupnya itu telah terpenuhi atau setidaknya berada dalam
proses pemenuhan. Pertanyaan kedua yang berkenaan dengan hidup yang
bermakna, yaitu: “Apa sajakah kondisi-kondisi dimana individu akan mengalami
hidupnya sebagai sesuatu yang bermakna?”. Untuk menjawab pertanyaan ini,
Battista dan Almond (1973) memberikan 3 perspektif, yaitu psikologis,
transaksional dan fenomenologis, yang kemudian ia teliti dengan menggunakan
II. A. 2. a. Perspektif Psikologis
Pandangan ini menekankan pada human development dan menawarkan penjelasan tentang gambaran dan evolusi komitmen individu terhadap makna
hidup atau proses yang harus dilalui seseorang sampai pemenuhan makna
hidupnya tercapai. Battista dan Almond (1973) menekankan bahwa teori-teori
psikologi sangat kaya dari kelompok Freudian, sosial, dan eksistensial. Mereka
menyebutkan konsep Jung tentang individuation , konsep eksistensial tentang
authenticity, juga konsep hierarki kebutuhan Maslow, dan berasumsi bahwa konsep-konsep itu berkaitan dengan perkembangan positive life regard. Mereka tidak membahas lebih lanjut, apakah teori-teori itu bisa menjelaskan
perkembangan makna hidup, sebagai contoh untuk dapat lebih memahami
perkembangan makna hidup yaitu harga diri.
Battista dan Almond (1973) berasumsi bahwa makna hidup dicapai
individu setelah ia memiliki tingkat harga diri tertentu. Individu mengembangkan
harga diri terlebih dahulu secara sukses sebelum ia mengembangkan positive life regard (makna hidup). Harga diri merupakan suatu syarat yang necessary tetapi
insufficient untuk menciptakan positive life regard (makna hidup). Dengan kata lain, dalam perspektif developmental, harga diri yang positif mendahului positive life regard, dan orang yang memiliki positive life regard akan memiliki harga diri yang positif. Namun, harga diri yang positif tidak cukup kuat untuk memastikan
perkembangan positive life regard.
Battista dan Almond (1973) dengan menggunakan LRI membuktikan
life regard, dan juga ada perbedaan yang signifikan antara subyek yang memiliki
positive atau negative life regard dalam tingkatan harga diri. Mereka juga menuliskan perbedaan antara kedua konstruk tersebut, yaitu harga diri muncul
pada diri individu sebagai konsekuensi internalisasi pesan-pesan masyarakat dan
orang tua terhadap nilai-nilai dari dirinya, dan sebaliknya, positive life regard
lebih muncul dari evaluasi atau pertimbangan individu terhadap tujuan-tujuan
hidupnya.
Oleh karena itu, perkembangan positive life regard dianggap dilalui melalui 2 tahapan. Pertama, adanya perkembangan gambaran diri yang positif
yang berlangsung saat kanak-kanak dan remaja, dan kedua, adanya perkembangan
sebuah gambaran kehidupan dalam periode remaja akhir. Kedua tahapan ini bisa
disimpulkan sebagai berikut:
Problem Resolution
Stage one Self-concept Self-esteem
Stage two Life-concept Positive life regard
(Battista & Almond, 1973: 416)
II. A. 2. b. Perspektif Transaksional
Battista dan Almond (1973) menggambarkan teori transaksional sebagai
semacam sistem teori yang memandang individu dalam kerangka kebutuhan-
kebutuhan atau tujuan-tujuan yang ingin ia penuhi melalui peran-peran yang telah
secara vital bergantung pada peran-peran sosial. Pandangan ini memungkinkan
prediksi life regard seseorang dengan memprediksi kondisi-kondisi dimana ia mempersepsikan dirinya memenuhi kriteria sistem keyakinan atau tujuan hidup,
yaitu dengan menganalisa kecocokan dirinya dengan masyarakat.
Menurut Battista & Almond (1973), kemampuan individu untuk
mempersepsikan dirinya dalam memenuhi tujuan hidupnya itu bergantung pada:
1. Adanya sebuah peran atau kemampuan individu untuk menciptakan peran
yang akan memuaskan kebutuhan dan tujuannya.
2. Tersedianya akses terhadap peran tersebut.
3. Kecocokan antara tuntutan peran dan kapasitas individu.
4. Kecocokan antara nilai, tujuan, kebutuhan, dan peran individu dengan
nilai, tujuan, kebutuhan dan peran orang lain.
5. Kecocokan antara nilai, tujuan, kebutuhan dan peran individu dengan nilai,
tujuan, kebutuhan, dan peran dari struktur sosial dimanapun ia hidup.
Dengan memperhatikan proposisi di atas, Battista dan Almond (1973)
menekankan bahwa perkembangan positive life regard berkaitan dengan derajat kecocokan antara nilai, tujuan, kebutuhan dan peran individu dengan lingkungan
sosialnya. Mereka juga menuliskan hasil studi mereka sendiri dengan
menggunakan LRI, bahwa kecocokan antara individu dengan lingkungan
sosialnya bukan hanya mencakup ruang sosial terdekatnya saja, tetapi juga dengan
lingkungan sosial yang lebih luas, yang artinya ruang sosial yang terdekat dan
II. A. 2. c. Perspektif Fenomenologis
Fenomenologis membahas pengalaman manusia dan kesadarannya.
Battista dan Almond (1973) juga menggunakan model fenomenologi untuk
menjelaskan proses dimana seseorang mengevaluasi dirinya, terutama dalam
kerangka seberapa cepat ia meraih tujuan-tujuannya. Mereka menyatakan bahwa
tingkat seseorang mengalami positive life regard pada saat kapanpun merupakan fungsi dari posisinya saat ini, dengan memperhatikan tujuan hidup yang utama.
Intinya, semakin dekat seseorang mempersepsikan dirinya kepada tujuan
hidupnya, maka semakin besar kecenderungannya mengalami makna hidup.
Selanjutnya, penilaian seseorang terhadap progres yang ia lakukan untuk
mencapai tujuan hidupnya juga memiliki pengaruh langsung terhadap tingkat
positive life regard yang ia alami. Faktor lain yang berpengaruh dalam perkembangan positive life regard adalah relativitas temporal, yaitu individu perlu membandingkan posisi tujuannya saat ini dan menilai progresnya berdasarkan
posisi tujuan itu sebelumnya. Jika individu mempersepsikan dirinya membuat
kemajuan yang berarti dalam mencapai tujuan hidupnya, kemungkinan semakin
besar ia akan mengalami makna hidup yang positif (Battista dan Almond, 1973).
II. A. 3. Penyusunan Life Regard Index (LRI)
Battista dan Almond (1973) mengembangkan LRI untuk mengukur sejauh
mana keyakinan seseorang bahwa ia memenuhi kerangka atau tujuan hidup
ke dalam 2 subskala secara merata, yaitu framework dan fulfillment. Definisi kedua subskala ini dituliskan sebagai berikut:
“The Framework Scale (FR) measures the ability of an individual to see his life within some perspective of contlext and to have derived a set of life goals, purpose in life, or life-view from them. The Fulfillment Scale (FU) measures the degree to which an individual sees himself as having fulfilled or as being in the process of fulfilling his framework or life-goals.”
(Battista dan Almond,1973: 411)
Individu yang memandang hidupnya secara positif, dengan kata lain
memiliki positive life regard atau merasa hidupnya bermakna, mengembangkan dua aspek yang membantunya mencapai rasa kebermaknaan. Pertama, ia memiliki
kerangka acuan yang membantunya untuk melihat hidupnya dalam suatu
perspektif atau tujuan hidup tertentu (framework), dan kedua, ia memandang bahwa tujuan hidupnya telah terpenuhi atau setidaknya berada dalam proses
pemenuhan (fulfillment).
Setiap subskala framework dan fulfillment terdiri dari 14 item. Penyajiannya dibuat dalam format sangat tidak setuju sampai sangat setuju, dan
disusun secara berturut-turut dalam 4 kelompok: 7 item framework positif, 7 item
framework negative, 7 item fulfillment positif, dan 7 item fulfillment negatif. Kedua subskala ini kemudian dijumlahkan menjadi skor LRI (Life Regard Index). Battista dan Almond (1973) menjelaskan bahwa subskala FR dan FU sangat