• Tidak ada hasil yang ditemukan

KESIMPULAN DAN IMPLIKASI TEORI

B. Implikasi Teori

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan suatu negara yang luas, terbagi diantara beberapa pulau yang membentang luas dari Sabang sampai Merauke. Disetiap wilayahnya terdapat daerah-daerah yang kemudian disatukan dan membentuk negara Indonesia. Hal ini juga diperjelas dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 ayat 1, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah–daerah provinsi, dari daerah provinsi itu dibagi atas daerah kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah yang diatur dengan undang-undang1

Terlepas dari hasil pemilu tahun 1955 yang tidak mampu menghadirkan sebuah partai dengan suara mayoritas dan kemudian masyarakat mengetahui, konstituante yang dipilih melalui pemilu tersebut gagal pula menetapkan konstitusi yang baru menggantikan UUD (Sementara) tahun 1950,pemilu tahun 1955 adalah contoh pelaksanaan pemilu yang sangat fair.

.

Setelah merdeka pada 17 Agustus 1945, negara Indonesia sudah melaksanakan pemilihan umum (Pemilu) sebanyak enam kali. Pemilu pertama tahun 1955 dilaksanakan pada masa pemerintahan Soekarno menggunakan sistem demokrasi liberal berdasarkan UUDS tahun 1950. Pada waktu itu, puluhan partai dan perorangan turut sebagai kontestan Pemilu, dan akhirnya memang tidak ada kontestan yang memperoleh suara mayoritas. Kelemahan sistem demokrasi liberal, pemerintahan akan mudah jatuh kalau tidak didukung oleh partai dengan suara mayoritas.

1

Pemilu tahun 1955 telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia,kegagalan maupun keberhasilannya.

Perjalanan bangsa dan negara Indonesia sejak merdeka hingga tahun 60-an memang mengalami masa-masa yag sulit. Proses integrasi sering mendapat tantangan dengan adanya berbagai pemberontakan. Ideologi negara pun masih kerap dipersoalkan.Akibat dari semua itu, pembangunan ekonomi mengalami kemandegan.

Disahkan rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Pemerintah Daerah menjadi UU No. 32 Tahun 2004 yang merupakan revisi UU No. 22 Tahun 1999 oleh DPR RI tanggal 29 September 2004, memuat regulasi bersejarah pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung. Dalam ketentuan tersebut, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah diselenggarakan oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Komisi Pemilihan Umum atau KPU tidak lagi mempunyai hubungan struktural dengn KPUD. KPU juga tidak lagi mempunyai otoritas membuat regulasi serta wewenang lain yang selama ini dalam Pemilu 2004 baik Pemilu Legislatif dan Pilpres, dinilai sebagai institusi “Superbody”. Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah propinsi dan/atau kabupaten kota berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah. Secara teknis pelaksanaan Pilkada dibagi menjadi dua tahap kegiatan, yakni masa persiapan dan tahap pelaksanaan.

Hubungan Pengusaha dengan dunia politik bukanlah sebuah hal yang baru dan pertama kali terjadi di Indonesia. Hal ini sudah berlangsung sejak Orde Lama hingga saat sekarang ini. Tidak hanya di pusat, hubungan antara pengusaha dengan dunia politik juga merambah sampai ke daerah-daerah, termasuk di Kabupaten Dairi. Semenjak Orde Baru berkuasa, pengusaha telah mewarnai kehidupan politik di Kabupaten Dairi. Pengusaha yang ada pada waktu itu lebih

banyak berada dalam Partai Golkar, kalaupun ada yang bergabung dalam partai lain, mereka kebanyakan tidak berani “menampakan muka” pada saat itu. Setelah tumbangnya rezim Orde Baru, pengusaha yang ada di Sumatera Utara tidak hanya berada dalam tubuh Partai Golkar saja, tetapi juga mengisi struktur kepengurusan partai-partai politik yang lain. Mahalnya ongkos sistem pemilihan langsung dan besarnya dana yang dibutuhkan untuk menjalankan kepengurusan partai, membuat partai tidak bisa menafikan kehadiran pengusaha tersebut. Keberadaan mereka dalam suatu partai politik kemudian mewarnai dinamika politik di daerah Sumatera Utara, baik dalam pemilu maupun dalam pemilihan kepala daerah.

Latar belakang masuknya pengusaha untuk terjun ke dalam dunia politik di Sumatera Utara dapat dilihat dari profil singkat beberapa pengusaha yang mengisi jabatan dalam struktur kepengurusan partai dan menjadi anggota legislatif di DPRD Sumatera Utara. Dari sanalah kemudian dapat diambil kesimpulan, bahwa pengusaha yang terjun ke kancah politik di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Dairi dilatarbelakangi oleh motif ekonomi, yaitu untuk menyelematkan dan mengembangkan kepentingan bisnis mereka.

Sejarah mencatat, kerjasama antara pengusaha dengan penguasa di negeri ini telah menghasilkan kebijakan yang di antaranya adalah dorongan atas pertumbuhan dunia usaha pribumi yang tercermin dalam kebijakan Ali Baba atau Baba Ali pada tahun 1950-an. Yahya Muhaimin menyebutnya sebagai Client Businessmen, dimana pengusaha-pengusaha bekerja dengan dukungan dan proteksi dari jaringan kekuasaan pemerintahan. Para pengusaha mempunyai patron dalam kelompok kekuasaan politikbirokrasi dan mereka sangat tergantung kepada konsesi dan monopoli yang diberikan oleh pemerintah. Mereka lahir di luar aparat birokrasi dan biasanya juga masih termasuk ke dalam keluarga elit yang sedang berkuasa2

2

Yahya Muhaimin, Bisnis dan Politik (Jakarta: LP3S, 1991), hal. 152.

. Arief Budiman menyebut pola hubungan ini sebagai sebuah hasil dari perkembangan

”kapitalisme semu” yaitu adanya campur tangan pemerintah yang terlalu banyak sehingga mengganggu prinsip persaingan bebas dan membuat dunia usaha Indonesia menjadi tidak dinamis.

Kondisi ini semakin diperburuk oleh perkembangan dunia usaha Indonesia yang tidak didasarkan pada perkembangan teknologi yang memadai, akibatnya tidak terjadi industrilisasi yang mandiri. Ikatan patron dan klien ini semakin kuat dengan bergabungnya para pengusaha tersebut dalam partai berkuasa, terutama pada masa rezim Orde Baru. Pada umumnya para pengusaha itu bergabung dalam partai Golongan Karya (Golkar) yang merupakan partai pemerintah dan berkuasa3

Dalam berbisnis sangatlah penting mempertimbangkan risiko politik dan pengaruhnya terhadap organisasi. Hal ini patut dipertimbangkan karena perubahan dalam suatu tindakan . Siti Hardianti Rukmana, Aburizal Bakrie, Jusuf Kalla adalah beberapa nama yang tergabung dalam partai yang berlambang pohon beringin tersebut.

Pasca tumbangnya Rezim Orde Baru, sistem politik Indonesia mengalami perubahan. Pemberlakuan UU No. 2 Tahun 1999 membuat Indonesia mulai menerapkan sistem multi partai. Sistem ini telah mendorong tumbuhnya partai-partai di luar partai yang telah ada sebelumnya seperti Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Terdapat 48 partai yang bersaing dalam perebutan kekuasaan pada pemilu 1999, di antaranya Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Sistem multi partai ini juga mengharuskan setiap partai untuk menghidupi diri sendiri. Kekuatan finasial partai menjadi salah satu penentu kekuatan partai bersaing memperebutkan kekuasaan di parlemen yang selanjutnya berdampak pada ”bargaining” bagi penempatan orang-orang partai di legislatif. Salah satu akses bagi kekuatan finansial itu didapatkan dari para pengusaha.

3

maupun kebijakan politik di suatu negara dapat menimbulkan dampak besar pada sektor keuangan dan perekonomian negara tersebut. Risiko politik umumnya berkaitan erat dengan pemerintahan serta situasi politik dan keamanan di suatu negara.

Setiap tindakan dalam organisasi bisnis adalah politik, kecuali organisasi charity atau sosial. Faktor-faktor tersebut menentukan kelancaran berlangsungnya suatu bisnis. Oleh karena itu, jika situasi politik mendukung, maka bisnis secara umum akan berjalan dengan lancar. Dari segi pasar saham, situasi politik yang kondusif akan membuat harga saham naik. Sebaliknya, jika situasi politik tidak menentu, maka akan menimbulkan unsur ketidakpastian dalam bisnis. Dalam konteks ini, kinerja sistem ekonomi-politik sudah berinteraksi satu sama lain, yang menyebabkan setiap peristiwa ekonomi-politik tidak lagi dibatasi oleh batas-batas tertentu Sebagai contoh, IMF, atau Bank Dunia, atau bahkan para investor asing mempertimbangkan peristiwa politik nasional dan lebih merefleksikan kompromi-kompromi antara kekuatan politik nasional dan kekuatan-kekuatan internasional.

Tiap pembentukan pola bisnis juga senantiasa berkait erat dengan politik. Budaya politik merupakan serangkaian keyakinan atau sikap yang memberikan pengaruh terhadap kebijakan dan administrasi publik di suatu negara, termasuk di dalamnya pola yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi atau perilaku bisnis. Terdapat politik yang dirancang untuk menjauhkan campur tangan pemerintah dalam bidang perekonomian/bisnis. Sistemnya disebut sistem liberal dan politiknya demokratis. Ada politik yang bersifat intervensionis secara penuh dengan dukungan pemerintahan yang bersih. Ada pula politik yang cenderung mengarahkan agar pemerintah terlibat/ ikut campur tangan dalam bidang ekonomi bisnis4

4

Endang. S. Soesilowati, dkk. 2007. Bisnis Dan Tingkat Lokal; Pengusaha, Penguasa Dan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Pasca Pilkada. Jakarta: Pusat PenelitianEkonomi LIPI.

Bisnis dan politik adalah dua kegiatan yang saling berkaitan.Bisnis dapat menunjang politik, demikian juga sebaliknya. Aktivitas bisnis dapat dimudahkan karena adanya kegiatan politik pada tingkatan negara. Sebaliknya, politik dapat dipermudah karena adanya kegiatan bisnis.Tanpa adanya kegiatan bisnis, domestik dan internasional, politik kenegaraan tidak akan mungkin dapat berjalan. Sebaliknya, kegiatan bisnis juga berjalan baik jika kondisi politik domestik dan internasional amat kondusif dan mendukung. Bayangkan jika tidak ada bisnis di bidang transportasi dan telekomunikasi, bagaimana pemimpin negara dapat mempertahankan keutuhan negara?Adanya bisnis di kedua bidang itu telah mempermudah pemerintah di sebuah negara untuk mempertahankan kedaulatan nasional dalam arti yang luas. Politik dan bisnis dalam arti yang lebih sempit juga saling mendukung.

Para pebisnis besar, menengah, dan kecil akan berlomba-lomba untuk mendukung aktor dan atau partai politik yang kira-kira akan menang di dalam pemilu legislatif, pemilu presiden/wakil presiden langsung, pilkada gubernur, bupati, walikota, dan sebagainya. “Bantuan dana kampanye”dari para pengusaha/pebisnis itu tentu tidak gratis karena dalam aktivitas politik semacam itu memang berlaku slogan “tidak ada makan siang yang gratis”(no free lunch).

Dari sisi teori politik, pendanaan semacam itu dapat dikategorikan sebagai bribes and kick-back (sogokan dana agar bisnis mereka dipermudah). Timbal balik ekonomi yang didapat pelaku bisnis dari para politikus/pejabat negara dapat berupa konsesi bisnis melalui tender-tender pemerintah, keringanan pajak, kebijakan negara/pemerintah daerah dan peraturan yang memudahkan bisnis mereka, tetapi tidak terbatas pada kemudahan untuk memperoleh dana dari institusi perbankan.

Kaitan antara bisnis dan politik dalam kategori yang sempit itu bagaikan gurita yang sulit dilepaskan oleh para politikus, khususnya mereka yang membutuhkan bantuan dana kampanye. Aktivitas tersebut bahkan sudah merambah soal proses politik di parlemen yang terkait dengan fit and proper test untuk jabatan-jabatan yang basah atau penuh uang. Contoh misalnya, isu skandal suap soal dukung-mendukung mengenai siapa yang akan menjadi Gubernur, Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI). Kita belum tahu, apakah isu benar adanya atau tidak, tetapi dalam kasus Miranda Swaray Goeltom, isu tersebut sempat merebak. Dalam bahasa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kongkalikong atau kolusi antara pejabat publik dan pelaku bisnis ini akan dihabisi karena hanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan perusakan pada sistem pemerintahan yang bersih. Secara lebih tegas, Presiden SBY mengaitkan soal bagaimana pelaku bisnis berupaya menyogok para pejabat publik agar pajak perusahaan tidak sebesar yang seharusnya dibayar oleh para pelaku bisnis. Jika benar Presiden ingin membasmi korupsi dan kolusi di bidang perpajakan, ini suatu hal yang amat positif.

Namun, kalau ini dikaitkan dengan soal perseteruannya dengan “mantan pembantunya” (mantan Menko Kesra Aburizal “Ical” Bakrie) yang kini menjabat sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, ini tentu menimbulkan tanda tanya besar. Pertanyaannya, mengapa soal utang pajak perusahaan-perusahaan milik keluarga besar Bakrie yang konon nilainya mencapai Rp. 2,1 triliun ditambah denda yang katanya mencapai Rp6 triliun itu tidak diselesaikan saat Aburizal Bakrie masih menjabat sebagai menteri pada Kabinet Indonesia Bersatu I (2004–2009)? Mengapa soal kemplang-mengemplang pajak itu yang adalah soal teknis perpajakan tidak dilontarkan oleh Direktur Jenderal Pajak saja dan harus dilontarkan oleh Presiden? Mengapa pula hal itu tidak diajukan ke pengadilan atau diselesaikan melalui perundingan antara Direktorat Jenderal Pajak dan wajib pajak yang mekanisme resminya sudah ada? Pertanyaan lain yang patut

dikemukakan ialah, apakah Partai Demokrat dan pasangan SBYBoediono pada masa kampanye Pemilu 2004 dan 2009 bersih dari “bantuan dana kampanye” para pelaku bisnis?

Pertanyaan ini patut dikemukakan lantaran asumsi yang saya ajukan ialah tidak ada pasangan calon presiden/wakil presiden atau partai-partai politik yang 100% bersih atau tidak menerima dana bantuan kampanye dalam bentuk apa pun dari para pelaku bisnis. Para pasangan dalam berbagai pilkada juga kemungkinan besar mendapatkan dana bantuan kampanye dari para pelaku bisnis di pusat ataupun daerah. Besar kecilnya ukuran bantuan tergantung pada kedekatan pribadi, kedekatan politik atau probabilitas kemenangan yang akan diraih partai atau para kandidat presiden/ wakil presiden serta kepala daerah pada pemilihan umum legislatif pusat/ daerah atau pemilihan presiden/ wakil presiden atau pilkada langsung.

Persoalan dana bantuan politik ini merupakan suatu hal yang wajar asalkan transparan dan akuntabilitasnya dapat dipertanggungjawabkan. Kita sampai kini juga masih bertanya apakah Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan akuntan publik telah melakukan audit atas dana-dana kampanye itu secara benar. Soal bisnis dan politik ini anehnya baru mengemuka dan menjadi headline di berbagai surat kabar Ibu Kota setelah Presiden SBY melontarkan hal itu saat memberikan amanat pada Rapat Pimpinan Polri beberapa tahun lalu.

Isu ini juga tidak melulu mengenai bagaimana membangun pemerintahan yang bersih dan meningkatkan pendapatan negara dari sektor pajak, melainkan terkait kuat dengan soal tarik ulur dukungan di Pansus DPR dalam kasus skandal Bank Century. Baik SBY maupun Aburizal Bakrie tentu memiliki kartu truf yang bisa mereka mainkan untuk melemahkan lawannya. Anehnya soal tekan-menekan politik bukan terjadi antara penguasa dan lawan politiknya, melainkan di antara dua penanda tangan kontrak politik, yaitu antara SBY sebagai penguasa

negeri dan Ical sebagai penguasa Partai Golkar. Dua tokoh politik ini juga sama tidak sterilnya dalam soal dana bantuan politik. Bukan mustahil Aburizal Bakrie pada Pilpres 2004 dan 2009 termasuk pelaku bisnis sekaligus pejabat negara yang perusahaan keluarganya memberi bantuan dana kampanye pada pasangan SBY–JK (2004) dan SBY– Boediono (2009). Tekanan Partai Golkar dalam Pansus Bank Century juga bukan mustahil mengandung unsur politik untuk menekan SBY agar memberi ruang pemakzulan terhadap Wakil Presiden Boediono dan memecat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan bukan murni ingin membangun pemerintahan yang bersih seperti yang dilontarkan Aburizal Bakrie bahwa “orang yang tidak benar harus diganti”.

Indonesia lebih mengacu pada pola terakhir, yakni pemerintah terlibat atau turut campur tangan dalam bisnis. Hal ini dapat dilihat dalam hukum maupun kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk menunjang perekonomian dan bisnis. Setelah era reformasi bergulir, kegiatan pemerintahan yang tadinya bersifat sentralis berubah menjadi desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lainnya yang akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Keleluasaan otonomi mencakup pula kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi, menjadi desentralisasi wewenang yang berarti meningkatnya peran pemerintah daerah akibat berkurangnya campur tangan pemerintah pusat dalam mengatur wilayahnya masing-masing demi tercapainya kesejahteraan masyarakat setempat sesuai koridor yang berlaku (Undang-undang no. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah). Sejatinya,

politik dan bisnis mempunyai pola hubungan yang saling terkait. Layaknya hubungan timbal balik antar individu, aktivitas politik seharusnya dapat menunjang kegiatan bisnis dalam sebuah lingkup Negara. Hal yang sama terjadi dengan bisnis yang dapat mendukung kegiatan politik untuk mempertahankan kedaulatan Negara. Tidak heran, jika kita lihat para pelaku bisnis sangat dekat dengan dunia politik. Bahkan, beberapa di antaranya juga merupakan figur politik yang sangat dikenal oleh masyarakat. Keterlibatan mereka dapat kita rasakan saat pemilihan kepala daerah maupun pemilihan anggota legislatif baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah. Mereka menyadari bahwa para elit politik ini memegang peranan penting dalam membuat kebijakan yang nantinya akan menentukan iklim perekonomian di daerah tersebut.

Muunculnya sistem multi partai telah membuka peluang yang sangat luas bagi para pengusaha untuk terjun dan berkiprah di dunia politik. Budaya patron dan klien yang telah terbentuk membuat pengusaha dan politikus mencari jalan untuk saling mendukung pada pengusaaan atas politik dan dunia usaha. Keterlibatan para pengusaha pada partai politik tidak lagi terkonsentrasi pada satu partai saja tetapi menyebar pada banyak partai lainnya. Contohnya dalam Partai Amanat Nasional, Soetrisno Bachir dan Zulkifli Hasan yang menjabat sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jendral. Soetrisno berasal dari Pekalongan dan berlatar belakang pengusaha batik dan Zulkifli Hasan merupakan pengusaha asal Lampung. Dalam jajaran kepemimpinan Partai PDI-Perjuangan, jabatan Sekjen diduduki oleh Pramono Anung yang merupakan pengusaha pertambangan. Tren pengusaha menduduki jabatan-jabatan strategis dalam partai politik tidak hanya pada tingkat nasional saja, tetapi sudah merambah ke daerah-daerah.

Tren pengusaha menduduki jabatan-jabatan strategis dalam partai politik tidak hanya pada tingkat nasional saja, tetapi sudah merambah ke daerah-daerah.Salah satu daerah tersebut

adalah Kabupaten Dairi. Nama-nama seperti Gotuk Sihombing, Adi Tobing, Leonardy Harmainy dan Amran Nur adalah politikus yang mempunyai latar belakang sebagai pengusaha. Tren ini juga didorong oleh pelaksanaan Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 yang memberi ruang yang luas bagi hubungan timbal balik antara kepentingan pengusaha dan penguasa di daerah.

Pada kasus di kabupaten Dairi, Israr Iskandar menyebutkan bahwa pengusaha di daerah ini membangun akses ke sumber kekuasaan atau terjun langsung ke dalam aktivitas politik untuk kepentingan bisnis mereka. Bukan hal yang aneh jika banyak proyek pembangunan dikerjakan oleh pengusaha yang memiliki akses pada sumber kekuasaan baik politik maupun ekonomi. Ada beberapa buah buku dan artikel yang membahas kiprah para pengusaha di dunia politik Indonesia, di antaranya adalah Bisnis Dan Politik yang ditulis oleh Yahya Muhaimin. Buku ini menjelaskan tentang ”perselingkuhan” antara penguasa dengan pengusaha sebagai dampak dari pelaksanaan kebijaksanaan ekonomi yang diterapkan oleh pemerintahan Indonesia dari awal kemerdekaan sampai masa Orde Baru.

Pemilihan kepala daerah merupakan pesta rakyat, dimana pemilihan kepala daerah dapat diartikan sebagai suatu kesempatan untuk menampilkan orang-orang yang dapat melindungi kepentingan masyarakat di kabupaten. Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih secara langsung siapa yang akan menjadi pemimpin di kabupaten. Pemilihan Kepala Deaerah tidak lepas dari partisipasi politik masyarakat. Partisipasi politik pada hakikatnya sebagai ukuran untuk mengetahui kualitas kemampuan warga negara dalam menginterpretasikan sejumlah simbol kekuasaan (kebijaksanaan dalam mensejahterakan masyarakat sekaligus langkah-langkahnya) ke dalam simbol-simbol pribadi. Partisipasi politik adalah proses memformulasikan ulang simbol-simbol komunikasi berdasarkan tingkat rujukan yang dimiliki

baik secara pribadi maupun secara kelompok (individual reference, social references) yang berwujud dalam aktivitas sikap dan perilaku.

Pemilihan Kepala Daerah pada umumnya mendapat campur tangan dari berbagai pihak yang memiliki kepentingan. Dimana hal ini berdampak pada pelaksanaan demokrasi ditingkat kabupaten tidak seperti yang diharapkan dan masih dijadikan alat bagi para elit ekonomi untuk penguasaan dan memperkaya diri maupun kelompok tertentu, dan tidak lagi untuk menyejahterakan rakyat. Pada banyak tempat dalam pengalaman di daerah-daerah, demokrasi hanya digunakan oleh elit ekonomi politik untuk merebut kekuasaan dan mengumpulkan kekayaan dan para elit tersebut memiliki kesempatan ini dengan menggunakan sistem demokrasi dengan cara merebut posisi-posisi politik di pemerintahan (eksekutif) maupun parlemen (legislatif).

Umumnya, elit memandang bahwa setiap masyarakat terbagi dalam dua kategori yang luas yang mencakup: (a) sekelompok kecil manusia yang berkemampuan dan karenanya menduduki posisi untuk memerintah; dan (b) sejumlah besar massa yang ditakdirkan untuk diperintah. Elit sering diartikan sebagai sekumpulan orang sebagai individu-individu yang superior, yang berbeda dengan massa yang menguasai jaringan-jarngan kekuasaan atau kelompok yang berada di lingkaran kekuasan maupun sedang berkuasa. Mosca dan Pareto membagi stratifikasi masyarakat dalam tiga kategori yaitu elit yang memerintah (governing elit), elit yang tidak memerintah (non-governing elite) dan massa umum (non-elit).

Pada fakta di lapangan bahwa proses sosial-politik di kabupaten sebenarnya bukan proses demokrasi, melainkan proses dominasi, kekuatan-kekuatan para elit lokal mendominasi sistem pemerintahan di kabupaten. Disebut proses dominasi karena proses sosial-politik mengarah pada pembentukan dominasi kekusaan di kabupaten yang dilakukan oleh elit sosial,

ekonomi dan politik daerah terhadap keseluruhan warga di kabupaten. Proses ini juga memanfaatkan alat-alat kekuasaan untuk mengatur melalui kebijakan pemerintahan di kabupaten, dan mempengaruhi masyarakat agar tunduk dan taat terhadap aturan-aturan di kabupaten itu. Seringkali kabupaten merupakan perpanjangan tangan dari birokrasi diatasnya

Dokumen terkait