• Tidak ada hasil yang ditemukan

LANDASAN TEORI

KERANGKA BERPIKIR

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Globalisasi mengakibatkan banyaknya terjadi permasalahan yang begitu kompleks di Indonesia, seperti halnya dengan tingginya pengangguran. Tingginya pengangguran tersebut disebabkan penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan kerja. Salah satu potensi yang dikembangkan untuk mengatasi rendahnya jumlah lapangan pekerjaan tersebut yakni potensi kewirausahaan (Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional, 2005). Kewirausahaan merupakan semangat, sikap, perilaku, dan kemampuan seseorang dalam menciptakan dan menangani usaha atau kegiatan yang mengarah pada upaya mencari, menciptakan, menerapkan cara kerja dengan meningkatkan efisiensi dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih baik dan atau memperoleh keuntungan yang lebih besar (dalam Inpres No.4 Tahun 1995).

Pengembangan potensi kewirausahaan diarahkan untuk menjadi pelaku ekonomi yang berdaya saing tinggi di tengah-tengah adanya perdagangan bebas (Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional, 2005). Tiap usaha berkompetisi dalam kancah perekonomian untuk menjadi yang terbaik (Anoraga & Sudantoko, 2002). Tiap usaha ingin mengembangkan ruang lingkup persaingan yang lebih luas dan tidak hanya memusatkan perhatian pada pasar domestik. Persaingan tersebut juga terkait dengan perdagangan bebas yang harus dihadapi oleh setiap negara, termasuk Indonesia yang juga telah meratifikasi perjanjian

perdagangan bebas, baik untuk kawasan regional AFTA maupun yang berskala internasional (seperti: APEC dan GATT). Perjanjian perdagangan bebas tersebut membuat Indonesia harus siap untuk memasuki pasaran negara asing dan sebaliknya siap menerima negara asing untuk membuka usaha di Indonesia (Nasution, 2000).

Keberhasilan dan kegagalan suatu usaha di dalam perdagangan yang sangat bebas tersebut tergantung pada kemampuan suatu usaha dalam berkompetisi menapaki ruang lingkup persaingan usaha yang lebih luas, mulai dari skala lokal, skala nasional, sampai berkembang menjadi usaha yang berskala internasional (Kotler dan Susanto, 2000). Persaingan usaha tersebut dihadapi oleh usaha baik dalam skala mikro, kecil maupun usaha besar. Kompetisi merupakan kemampuan perusahaan untuk merancang, menghasilkan, ataupun memasarkan produk yang lebih unggul dan berkualitas daripada produk yang disediakan kompetitor sehingga akhirnya menarik perhatian minat pelanggan atau konsumen (D'Cruz dalam Ambastha & Momaya, 2004).

Dirjen Kerja Sama Industri Internasional Kementerian Perindustrian, Agus Tjahajana mengatakan tantangan yang dihadapi pengusaha UMK sangat berat dikarenakan kompetisi yang semakin ketat dan masuknya produk-produk luar negeri. Usaha Mikro Kecil (UMK) mempunyai banyak kompetitor yang menawarkan produk dan jasa yang sama atau mengoperasikannya dalam pasar dan daerah yang sama. Banyak produk-produk asal Amerika, Eropa, Korea dan China terus menyerbu pasar Medan dengan harga murah (dalam Harian Medan Bisnis, 4 Juli 2011).

Sebagian besar produksi Usaha Mikro dan Kecil (UMK) masih mengandalkan pasar lokal dan permintaan dalam negeri (Anoraga & Sudantoko, 2002). Belum banyak produk UMK mampu melakukan ekspor langsung. Kemampuan melakukan inovasi yang lemah, serta ketertinggalan dalam produktivitas dan efisiensi menjadi faktor internal yang membuat kemampuan untuk bersaing tidak cukup kuat (Anoraga & Sudantoko, 2002). Tantangan yang dialami UMK secara eksternal dalam berkompetisi antara lain: kesenjangan dengan usaha besar. Akses usaha besar terhadap teknologi dan manajemen jauh lebih modern daripada UMK. UMK masih bertahan pada teknologi dan manajemen yang sederhana bahkan cenderung tradisional.

Tantangan tersebut juga dihadapi oleh pengusaha Usaha Mikro dan Kecil yang menjual produk garmen. Industri garmen adalah industri yang memproduksi pakaian jadi dan perlengkapan pakaian (Hulme, 2012). Industri garmen merupakan penyumbang devisa terbesar bagi Negara setelah minyak dan gas bumi Di pasar internasional produk garmen Indonesia telah memiliki posisi yang cukup bagus, dengan pangsa antara 3% sampai 4% dari total nilai ekspor dunia (Kementrian Negara Koperasi dan UKM, 2009). Industri garmen harus mampu beradaptasi dengan perubahan permintaan konsumen yang sangat cepat, melakukan strategi supaya merek produk lebih terkenal, dan membuat kebijakan harga yang tepat. Industri pakaian juga industri dimana trend fashion selalu berkembang dan harus mampu menawarkan produk-produk yang inovatif untuk mempertahankan dan mengembangkan bisnis yang sudah ada. Adapun yang menjadi faktor kompetitif yang utama dalam industri pakaian adalah design,

kualitas brand, minat konsumen, harga, kualitas, produk, kualitas pemasaran, dan pelayanan pada pelanggan (Hulme, 2012).

Para pengusaha yang terlibat dalam Usaha Mikro dan Kecil (UMK) sangat penting menganalisis dan memperhatikan kondisi persaingan pasar sehingga dapat mengantisipasi perubahan-perubahan yang terjadi. UMK yang tidak mampu berkompetisi akan mengalami kekalahan dalam persaingan usaha (Murwani dalam Parashakti, 2009). Ketua Asosiasi Pengusaha Kecil Industri (APKI) Sumut Syafrizal Lubis (dalam Harian Medan Bisnis, 20 Juli 2011) mengatakan banyak pengusaha kecil di Propinsi Sumatera Utara mengalami kebangkrutan. Banyak diantaranya masih tetap bertahan meskipun kondisi sudah sangat memprihatinkan karena tidak memiliki alternatif bisnis lain.

Perkembangan Usaha Mikro dan Kecil (UMK) berjalan sangat lamban dikarenakan beberapa faktor-faktor yang menghambat, antara lain: permasalahan persaingan/ kompetisi pasar dan produk, permasalahan akses terhadap informasi pasar, dan permasalahan kemitraan usaha kecil (Anoraga & Sudantoko, 2002). Fleisher (2003) juga menyatakan bahwa kegagalan dalam bisnis disebabkan ketidakmampuan dalam mengantisipasi perubahan yang cepat dalam pemasaran, merespon persaingan yang baru, dan reorientasi teknologi terhadap perubahan kebutuhan konsumen. Banyak terdapat orang-orang pembuat keputusan dalam bisnis mengabaikan pemahaman tentang kompetitor dan pemasaran sehingga akhirnya berpengaruh buruk terhadap bisnis yang dijalani. Pengusaha kecil juga kurang mampu melihat dan mengakses peluang-peluang pasar yang potensial dan yang memiliki prospek cerah. Akibatnya pemasaran produk cenderung statis dan

monoton, baik dilihat dari segi diversifikasi produk, kualitas, maupun pasar. Hal ini terjadi karena pengetahuan dan keterampilan pengusaha yang makin lemah serta akses terhadap informasi pasar yang kurang (Anoraga & Sudantoko, 2002).

Informasi mempunyai nilai ekonomi untuk mendorong dan mewujudkan daya saing suatu bangsa. Kemampuan untuk mengakses informasi sangat diperlukan agar dapat berkompetisi dengan kompetitor (Badan Perencanaan dan Pengembangan Nasional, 2005). Ketersediaan informasi merupakan faktor yang akan menentukan kesuksesan suatu usaha dikarenakan akan dapat membantu proses perencanaan yang strategis (Bullen & Rockart dalam Scarborough & Zimmerer, 2002).

Scarborough dan Zimmerer (2002) menyatakan bahwa kegagalan untuk mengakses informasi tentang kondisi persaingan membuat setiap usaha berjalan tanpa strategi dan perencanaan yang tepat. Keberhasilan dalam mengakses kondisi kompetitor dapat meningkatkan keunggulan kompetitif. Scarborough dan Zimmerer (2002) menyatakan bahwa keunggulan kompetitif adalah sekumpulan faktor-faktor yang dapat membuat usaha kecil unggul dibandingkan saingannya dan memberikan gambaran yang unik di pasar.

Setiap kebutuhan informasi yang diperlukan terus berubah dikarenakan lingkungan bisnis bersifat dinamis dimana terus ada perubahan dan perkembangan sepanjang waktu (Vakola & Wilson, 2004). Setiap informasi yang dibutuhkan perlu ditinjau ulang kembali supaya dapat menyesuaikan kondisi bisnis dengan tuntutan pasar. Perusahaan perlu fokus dengan informasi yang dibutuhkan seiring perubahan dan perkembangan yang terjadi. Hal tersebut merupakan faktor

kesuksesan yang membuat efektifnya kontrol dan manajemen dalam suatu perusahaan. Perencanaan strategi dalam suatu usaha tidak akan lebih baik jika tidak disertai oleh informasi. Perencanaan strategi yang efektif melibatkan proses seleksi, pengumpulan, dan analisis informasi yang efektif juga (Montgomery & Weinberg dalam Festervand & Forrest, 2004).

Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang dapat berkompetisi secara efektif yakni usaha yang dapat mengetahui lingkungan bisnis, menemukan informasi tentang kompetitor, dan mengantisipasi ancaman-ancaman kompetitor melalui perencanaan strategi yang tepat. Hal inilah yang disebut competitive intelligence.

Competitive intelligence adalah proses dimana organisasi mengumpulkan

informasi tentang kompetitor dan lingkungan kompetitif, dan mengaplikasikannya ke dalam proses pengambilan keputusan dan perencanaan sehingga dapat memperbaiki kinerja mereka (Prescott dalam Fleisher, 2003). Competitive

intelligence sangat penting dalam memperbaiki daya saing (competitiveness)

bisnis. Daya saing merupakan kapasitas organisasi atau lingkungan bisnis untuk bekerja secara produktif dan efektif (Hart dan Spero dalam Strauss, 2008).

Beberapa studi tentang competitive intelligence hanya fokus pada fungsi, aktivitas atau proses competitive intelligence di dalam suatu lingkungan bisnis. Hanya sedikit yang mengetahui bahwa persepsi dan sikap terhadap lingkungan bisnis tersebut sangat mempengaruhi proses aktivitas dari competitive intelligence itu sendiri (dalam Tarraf & Molz, 2006). Salah satu perbedaan utama antara usaha kecil dan usaha besar yakni strategi pada usaha kecil dipengaruhi karakter dari pemilik usaha yang sangat berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan

(Burke, Jarrat, dan McCarthy dalam Tarraf & Molz, 2006). Sikap, persepsi, dan kepribadian dari pembuat keputusan tersebut sangat berpengaruh dalam usaha kecil.

Sikap merupakan hal yang paling penting dan dapat menentukan keberhasilan dari proses competitive intelligence. Smith (2008) menyatakan bahwa sikap merupakan hal yang utama bagi pengusaha Usaha Mikro dan Kecil untuk melakukan competitive intelligence. Competitive intelligence di dalam Usaha Mikro dan Kecil (UMK) lebih ditentukan faktor karakter, kesadaran (awareness), dan sikap (attitude) dari pengusahanya sendiri sebagai pembuat keputusan dibandingkan dengan perusahaan besar. Competitive intelligence tidak akan dilakukan jika individu belum memiliki sikap yang positif akan pentingnya

competitive intelligence (Smith, 2008). Roach dan Santi (2001) mengklasifikasikan lima tipe sikap, antara lain: sikap sleeper,sikap reactive, sikap

active, sikap assault, dan sikap warrior.

Survey yang dilakukan oleh Pricewaterhouse-Coopers menemukan bahwa 84% pengusaha mengemukakan pengumpulan informasi tentang kompetitor merupakan kunci pertumbuhan usaha mereka. Hasil penelitian juga menunjukkan terdapat 32% pengusaha Usaha Mikro dan Kecil yang sudah aktif mempraktekkan

competitive intelligence. Beberapa Usaha Mikro dan Kecil (UMK) belum aktif berpartisipasi dalam aktivitas competitive intelligence dikarenakan pengusaha yakin bahwa mereka sudah mengenal pasar mereka sendiri dan menganggap hanya sedikit manfaatnya. Pengusaha Usaha Mikro dan Kecil juga menganggap bahwa proses competitive intelligence akan membutuhkan banyak sumber daya

yang harus dikeluarkan, misalnya: uang, waktu, dan orang-orang yang juga masih terbatas dimiliki (dalam Amenta, Brownlie, & Su, 2008)

Berdasarkan hal diatas, maka peneliti ingin melihat lebih lanjut gambaran tipe sikap terhadap competitive intelligence pada pengusaha Usaha Mikro dan Kecil (UMK) garmen di Kota Medan.

Dokumen terkait