• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

Bank merupakan lembaga intermediasi keuangan yang paling penting dalam sistem perekonomian suatu Negara. Bank memiliki peran sebagai perantara keuangan antara pihak yang memiliki dana (surplus) dengan pihak yang membutuhkan dana (defisit). Bank juga merupakan suatu lembaga yang berfungsi untuk memperlancar lalu lintas keuangan yang berpeangaruh pada mobilitas pertumbuhan perekonomian suatu Negara. Menurut Kasmir (2009), Peranan perbankan sangat mempengaruhi kegiatan ekonomi suatu negara. Bank dapat dikatakan sebagai darahnya perekonomian suatau negara. Oleh karena itu, kemajuan suatu bank di suatu dapat pula dijadikan ukuran kemajuan negara yang bersangkutan. Semakin besar suatu negara, maka semakin besar peranan perbankan dalam mengendalikan negara tersebut. Artinya keberadaan dunia perbankan semakin dibutuhkan pemerintah dan masyarakatnya.

Perkembangan sektor keuangan khususnya perbankan di Indonesia sangat pesat setelah adanya liberalisasi keuangan dengan diberlakukannya berbagai kebijakan perbankan di antaranya Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 1983) dan Paket Kebijakan Oktober 1988 (Pakto 1988), namun sejalan perkembangan yang pesat tersebut menjadikan perbankan juga dianggap mempunyai peran besar sebagai faktor pemicu krisis moneter pada tahun 1997 yang melanda Indonesia. Sejak krisis moneter yang melanda bangsa Indonesia tahun 1997, sistem bunga

yang diterapkan oleh dunia perbankan di Indonesia pada saat itu telah mengantar bangsa ini ke dalam krisis ekonomi yang berkepanjangan dan memerlukan perhatian yang amat sangat lebih dalam rangka penyehatan kembali (Harjum Muharam dan Pusvitasari, 2007).

Namun, di tengah-tengah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada saat itu, perbankan syariah masih bisa bertahan dan tidak terlalu terkena dampak krisis moneter. Kondisi ini dapat dilihat dari relatif lebih rendahnya penyaluran pembiayaan yang bermasalah (Non-Performing Financing) pada perbankan syariah dan tidak terjadinya negative spread dalam kegiatan operasionalnya. Hal ini dapat dipahami karena tingkat pengembaliannya tidak mengacu pada tingkat suku bunga.

Bank Syariah di Indonesia lahir sejak tahun 1992. Bank syariah pertama di Indonesia adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Keberadaan BMI muncul pasca pemberlakuan UU No. 7 Tahun 1992 tentang perbankan yang menerapkan sistem bagi hasil. Bank Indonesia (2004) juga merinci Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil selain penetapan UU No. 7 Tahun 1992 sebagai pendukung perkembangan perbankan syariah. Penetapan perundang-undangan tersebut juga menandakan diberlakukannya dasar hukum beroperasinya perbankan syariah sekaligus dimulainya era sistem perbankan ganda (dual sytem banking) di Indonesia. Kinerja perbankan syariah yang relatif baik selama krisis ekonomi tahun 1997 menjadikan kepercayaan yang semakin besar, sehingga pemerintah dan otoritas moneter berupaya membantu

perkembangannya melalui peluncuran dual system banking dengan terbitnya UU No. 10 Tahun 1998.

Pengembangan perbankan syariah selanjutnya diikuti dengan penetapan Cetak Biru Pengembangan Perbankan Syariah. Cetak Biru (Blue Print) Pengembangan Perbankan Syariah Indonesia yang akan memberikan arahan dan tujuan yang ingin dicapai dan memberikan tahapan-tahapan untuk mewujudkan sasaran pengembangan jangka panjang. Sasaran-sasaran pengembangan bank syariah antara lain: (1) terpenuhinya prinsip-prinsip syariah dalam operasional perbankan; (2) diterapkannya prinsip-prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan; (3) terciptanya sistem perbankan syariah yang kompetitif dan efisien; dan (4) terciptanya stabilitas sistemik serta terealisasinya kemanfaatan bagi masyarakat luas.

Kebijakan pengembangan perbankan syariah di Indonesia juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengembangan sistem perbankan nasional, seperti yang telah dicetuskan dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API). API merupakan kerangka dasar sistem perbankan Indonesia yang bersifat menyeluruh, arah, bentuk, dan tatanan industri perbankan untuk rentang waktu lima sampai sepuluh tahun ke depan. Arah kebijakan ini dilandasi oleh visi mencapai suatu perbankan yang sehat, kuat dan efisien guna menciptakan kestabilan sistem keuangan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

Tabel 1.1

Perkembangan Jumlah dan Kantor Perbankan Syariah Nasional Tahun 2011-2014

Jenis Perbankan Syariah Periode

2011 2012 2013 2014

BUS

Jumlah Bank 11 11 11 12

Jumlah Kantor 1.401 1.745 1.998 2.151

UUS

Jumlah BUK yang memiliki UUS 24 24 23 22

Jumlah Kantor 336 517 590 320

BPRS

Jumlah Bank 155 158 163 163

Jumlah Kantor 364 401 402 439

Total Kantor 2.101 2.663 2.990 2.910 Sumber : Statistik Perbankan Syariah Indonesia 2014 (data diolah)

Jumlah perbankan syariah di Indonesia terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Peluang pengembangan perbankan syariah semakin besar pasca penetapan API dengan besarnya kenaikan jumlah perbankan syariah. Dari tabel diatas dapat diketahui jumlah bank umum syariah (BUS) telah mencapai 12 unit dan Unit Usaha Syariah (UUS) 22 unit. Jumlah BUS mengalami peningkatan pada pertengahan tahun 2014. Hal ini disebabkan BTPN Syariah melakukan spin off sehingga jumlah BUS menjadi 12. Jumlah jaringan kantor juga semakin meningkat, jika pada tahun 2013 jumlah kantor mencapai 1.998 unit, pada tahun 2014 meningkat menjadi 2.151 unit. Perluasan jaringan kantor tersebut juga telah mampu meningkatkan penggunaan bank syariah. Akan tetapi UUS mengalami penurunan setiap tahunnya baik dari jumlah bank maupun dari jumlah kantornya.

Dengan semakin berkembangnya bank syariah, tentu yang menjadi sorotan adalah bagaimana kinerja bank tersebut. Kinerja dan kondisi kesehatan bank merupakan hal yang penting bagi pihak terkait, seperti pemilik atau pengelola bank, masyarakat, maupun Bank Indonesia selaku pengawas perbankan yang ada di Indonesia. Dengan demikian maka pihak yang terkait dapat mengevaluasi kinerja perbankan dengan tetap menerapkan prinsip kehatihatian, patuh terhadap ketentuan dan menerapkan manajemen resiko. Salah satu aspek penting dalam pengukuran kinerja perbankan adalah efisiensi yang antara lain dapat ditingkatkan melalui penurunan biaya (reducing cost) dalam proses produksi (Sutawijaya dan Lestari, 2009:51). Masalah efisiensi perbankan dirasakan sangat penting saat ini maupun di masa mendatang, karena antara lain: (1) Kompetisi yang bertambah ketat; (2) Permasalahan yang timbul sebagai akibat berkurangnya sumber daya; (3) meningkatkan standar kepuasan nasabah. Oleh karena itu, analisis efisiensi perbankan di Indonesia perlu dilakukan untuk mengetahui dan menentukan penyebab perubahan efisiensi serta selanjutnya mengambil tindakan korektif supaya dapat dilaksanakan peningkatan efisiensi sebagaimana seharusnya.

Indikator efisiensi dapat dilihat dengan memperhatikan besarnya rasio beban operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) dan rasio Non Performing Financing (NPF). Kinerja perbankan dapat dikatakan efisien apabila rasio BOPO dan NPF mengalami penurunan. Namun, pengukuran dengan menggunakan rasio ini memiliki kelemahan yaitu rasio keuangan hanya membandingkan satu variabel dengan yang lain, sehingga tidak dapat mengakomodasi input dan output yang memiliki lebih dari satu variabel untuk mengukur kinerja (Viverita & Ariff, 2011).

Selain itu, pengukuran kinerja berdasarkan rasio tidak secara langsung dapat mengukur tingkat efisiensi yang dicapai oleh suatu bank dibandingkan bank lainnya (Subekti, 2004). Hal in menyebabkan perlunya digunakan metode lain untuk mengukur efisiensi bank. Salah satunya adalah dengan menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Selain itu efisiensi juga dapat dilihat dengan memperhatikan pertumbuhan tingkat indikator kinerja bank seperti jumlah simpanan, pembiayaan, dan total aktiva. Semakin besar jumlah simpanan, pembiayaan, dan total aktiva menunjukan semakin baik dan produktif bank dalam kegiatan operasinya.

Data rasio keuangan dan indikator kinerja berupa jumlah simpanan, pembiayaan, dan total aktiva perbankan nasional dapat dilihat pada tabel 1.2 sebagai berikut:

Tabel 1.2

Perkembangan Kinerja Perbankan Syariah di Indonesia Tahun 2011-2014

Indikator Kinerja Periode

2011 2012 2013 2014 Aset (miliar) 145.467 195.018 242.276 272.343 Simpanan (miliar) 115.415 147.512 183.534 217.858 Pembiayaan (miliar) 102.655 147.505 184.122 199.330 NPF (persen) 2,52% 2,22% 2,62% 4,33% BOPO (persen) 78,41% 74,97% 78,21% 94,16%

Sumber : Statistik Perbankan Syariah Indonesia 2014 (data diolah) Keterangan : Data Meliputi BUS dan UUS (tidak termasuk BPRS)

Pertumbuhan indikator kinerja perbankan di Indonesia secara keseluruhan selama periode 2011-2014 mengalami peningkatan yang cukup signifikan dapat dilihat dari tabel 1.2. Diantaranya adalah jumlah simpanan yang meningkat setiap periodenya sampai pada periode 2014. Persentase pertumbuhan simpanan pada

yaitu 27,81%. Persentase pertumbuhan simpanan pada tahun 2013 dan 2014 adalah masing-masing 24,42% dan 18,70%.

Kenaikan jumlah simpanan pada akhirnya juga meningkatkan jumlah penyaluran pembiayaan yang juga terus meningkat setiap periodenya sampai dengan periode 2014. Namun persentase pertumbuhan pembiayaan ini mengalami penurunan setiap tahunnya mulai dari tahun 2011 sampai tahun 2014. Pada tahun 2011 persentase pertumbuhan pembiayaan adalah 50,58% kemudian menurun di tahun 2012 sebesar 43,69% dan mengalami penurunan kembali di tahun 2013 dan 2014 yaitu masing-masing sebesar 24,82% dan 8,26%.

Begitu juga dengan jumlah total aset yang selalu menglami peningkatan setiap tahunnya. Pertumbuhan aset perbankan syariah pada tahun 2009 sampai 2012 selalu berada di atas 30%, sedangkan pada tahun 2013 mengalami pertumbuhan hanya sebesar 24.23% dan persentase pertumbuhan aset mengalami penurunan kembali di tahun 2014 sebesar 12,41%.

Data rasio keuangan pada tabel 1.2 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan jumlah rasio NPF mulai dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014, akan tetapi angkanya masih di bawah 5 persen. Bank Indonesia (2008) menjelaskan bahwa perbankan yang memiliki tingkat NPF di bawah 5 persen, kinerjanya tergolong relatif baik. Perbankan nasional memperlihatkan bahwa rasio BOPO pada periode 2011-2014 mengalami fluktuasi, yaitu pada periode 2011 sebesar 78,41% menurun menjadi 74,97% pada periode 2012, dan kemudian meningkat pada periode 2013 menjadi 78,21% lalu meningkat kembali menjadi 94,16% pada periode 2014. Rasio BOPO digunakan untuk mengukur tingkat efisiensi dan kemampuan bank

dalam melakukan kegiatan operasionalnya. Meningkatnya nilai rasio BOPO menunjukkan bahwa semakin tinggi biaya operasional yang ditanggung oleh bank sehingga mengakibatkan operasional bank semakin tidak efisien.

Ascarya, Diana Y. dan Guruh S. R. (2008) menyebutkan bahwa untuk meningkatkan pangsa perbankan syariah sendiri diperlukan adanya pengukuran kinerja di antaranya melalui ukuran efisiensi, sehingga pada akhirnya tujuan perbankan syariah dapat tercapai. Astiyah S. dan Husman A. (2006) juga menjelaskan bahwa efisiensi bank bukan hanya sebagai indikator penting dalam perbankan, tetapi juga sarana penting untuk lebih meningkatkan efektivitas kebijakan moneter. Perbankan yang efisien diperkirakan dapat memperlancar proses transmisi kebijakan moneter, sehingga kebijakan moneter dapat lebih efektif mencapai sasaran.

Efisiensi dapat didefinisikan sebagai kemampuan organisasi untuk memaksimalkan output dengan menggunakan input tertentu atau menggunakan input secara minimal untuk menghasilkan output tertentu (Muazaroh, Enduardus, Husnan, & Hanafi, 2012). Efisiensi juga dapat didefinisikan sebagai rasio antara output dengan input. Definisi efisiensi lainnya adalah usaha mencapai prestasi yang sebesar-besarnya dengan menggunakan kemungkinan-kemungkinan yang tersedia (material,mesin, dan manusia) dalam tempo yang sependek-pendeknya, di dalam keadaan yang nyata (sepanjang itu bisa berubah) tanpa mengganggu keseimbangan antara faktor-faktor tujuan, alat, tenaga dan waktu (Wirapati dalam The Liang Gie, 1976:26).

Ada tiga faktor yang menyebabkan efisiensi, yaitu apabila dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar, dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang sama, dan dengan input yang besar menghasilkan output yang besar Kost dan Rosenwig, (1979:41) (dalam Sutawijaya dan Lestari, 2009:52). Sedangkan yang menyebabkan inefisiensi adalah terdapat rantai birokrasi yang berkepanjangan, miss alocation dalam penggunaan sumber daya yang ada, dan tidak terdapatnya economics of scale, Iswardono S Permono dan Darmawan, (2000) (dalam Muharam dan Pusvitasari, 2007).

Mengukur efisiensi perbankan dapat dilakukan dengan berbagai metode seperti melihat perbandingan indikator kinerja perbankan dan rasio keuangan, selain itu ada juga beberapa metode lain, yaitu pendekatan parametrik dan non parametrik. Pendekatan parametrik meliputi Stochastic Frontier Approach (SFA), Distribution Free Approach (DFA), dan Thick Frontier Approach (TFA), sedangkan yang non parametrik adalah dengan menggunakan pendekatan Data Envelopment Analysis (DEA).

Metode parametrik dan non parametrik memiliki beberapa perbedaan. Salah satu perbedaannya adalah metode parametrik memasukkan random error, sedangkan non parametrik tidak memasukkan itu. Meskipun demikian, hasil yang ditunjukkan oleh kedua metode ini tidak jauh berbeda. Hal ini akan terjadi jika sampel yang dianalisis merupakan unit yang sama dan menggunakan proses produksi yang sama.

Pengukuran efisiensi Bank Umum Syariah pada penelitian ini akan menggunakan metode non parametrik Data Envelopment Analysis (DEA). Metode

ini memiliki kelebihan yaitu mampu berhadapan dengan kasus input yang beragam, seperti faktor yang berada diluar kendali manajemen dan memudahkan perbandingan efisiensi dengan menggunakan kriteria yang seragam, melalui penggunaan bentuk rasio yang sederhana untuk mengetahui efisiensi setiap organisasi, termasuk lembaga perbankan. Keuntungan relatif penggunaan pendekatan ini lebih besar dibandingkan parametrik, yaitu pendekatan ini dapat mengidentifikasi unit yang digunakan sebagai referensi sehingga dapat membantu mencari penyebab dan jalan keluar dari ketidakefisienan yang merupakan keuntungan utama dalam aplikasi manajerial.

DEA merupakan sebuah metode optimasi program matematika yang mengukur efisiensi teknik suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) dan membandingkan secara relatif terhadap UKE yang lain. Penjabaran tersebut mengarahkan penelitian ini untuk mengukur efisiensi teknik dari perbankan syariah.

Berger et al. (1993) (dalam Sutawijaya dan Lestari, 2009) mengatakan jika terjadi perubahan struktur keuangan yang cepat maka penting mengidentifikasikan efisiensi biaya dan pendapatan. Setelah melihat perkembangan perbankan syariah khususnya bank umum syariah yang cukup pesat akan tetapi persentase pertumbuhan indikator kinerja yaitu aset, simpanan dan pembiayaan yang mengalami penurunan selama periode pengamatan dan mengingat pentingnya efisiensi dalam persaingan dunia perbankan yang semakin ketat maka peneliti

tertarik melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Efisiensi Teknik Perbankan

kasus pada bank umum syariah yang terdaftar di bank indonesia periode 2011-2014)”

Dokumen terkait