• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Latar Belakang Masalah

Berdasarkan keputusan BAPEPAM Nomor:Kep-36/PM/2003, setiap perusahaan yang telah go public dan telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) diwajibkan menyajikan laporan keuangan yang telah diaudit. Tujuan laporan keuangan adalah untuk memberikan informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan, dan arus kas entitas yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam pembuatan keputusan ekonomi. Laporan keuangan menunjukkan hasil pertanggungjawaban manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada mereka oleh pihak yang berkepentingan seperti pihak internal dan pihak eksternal. Pihak internal yaitu manajemen perusahaan itu sendiri. Pihak eksternal perusahaan yaitu pemegang saham, kreditor, pemerintah, pemasok, konsumen, dan masyarakat umum lainnya. Dalam mencapai tujuan tersebut, laporan keuangan menyajikan informasi entitas mengenai aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan dan beban termasuk keuntungan dan kerugian, kontribusi dari dan distribusi kepada pemilik dan kapasitasnya sebagai pemilik, dan arus kas.

Kinerja manajemen perusahaan tercermin pada laba yang terkandung dalam laporan laba rugi. Menurut Yadiati (2007: 52) pelaporan keuangan harus menyediakan informasi tentang kinerja keuangan untuk mengukur earning power dengan seluruh komponennya, karena para pengguna sangat berkepentingan atas prospek penerimaan kas bersih dari perusahaan. Informasi tersebut khususnya

informasi mengenai laba perusahaan sering menjadi target rekayasa tindakan oportunis manajemen untuk memaksimumkan kepuasannya yang dilakukan dengan cara memilih kebijakan akuntansi tertentu, sehingga laba perusahaan dapat diatur, dinaikkan maupun diturunkan sesuai dengan keinginannya. Perilaku manajemen untuk mengatur laba sesuai dengan keinginannya ini dikenal dengan istilah manajemen laba (earnings management).

Menurut Scott (2003: 369), earnings management is the choice by a manajer of accounting policies so as to achieve some specific objective. (Manajemen laba merupakan suatu tindakan manajer yang memilih kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik dan kebijakan akuntansi yang dimaksud adalah penggunaan akrual dalam menyusun laporan keuangan).

Pihak manajemen seharusnya melakukan tindakan yang selaras dengan kepentingan prinsipal. Akan tetapi pada kenyataannya, manajemen dapat melakukan tindakan-tindakan yang hanya menguntungkan kepentingannya sendiri. Agen bisa melakukan tindakan yang tidak menguntungkan prinsipal secara keseluruhan yang dalam jangka panjang bisa merugikan kepentingan dari perusahaan tersebut (Pujiningsih, 2011).

Tindakan earnings management telah memunculkan beberapa skandal pelaporan keuangan yang secara luas telah diketahui terjadi di Indonesia, seperti PT. Ades Alfindo, PT Perusahaan Gas Negara, dan PT. Kimia Farma Tbk yang terdeteksi melakukan manajemen laba.

Tabel 1.1

Beberapa perusahaan di Indonesia yang pernah melakukan tindakan manajemen laba

No. Nama Perusahaan Tindakan Manajemen Laba

1. PT Ades Alfindo Inkonsistensi pencatatan atas penjualan periode 2001-2014 2. PT Perusahaan Gas

Negara

Pelanggaran prinsip pengungkapan laporan keuangan dengan menunda publikasi informasi atas penurunan volume gas pada September 2006

3. PT Kimia Farma Kesalahan penyajian dalam laporan keuangan per 31 Desember 2001

Sumber: Sulistiawan (2011:54-58)

Tindakan manajemen laba pada PT Ades Alfindo terungkap pada 2004 ketika manajemen baru PT Ades menemukan inkonsistensi pencatatan yang dilakukan oleh manajemen lama atas penjualan periode 2001-2004. Sebelumnya, pada Juni 2004 terjadi perubahan manajemen di PT Ades dengan masuknya Waters Partners Bottling Co. (perusahaan patungan The Coca-Cola Company dan Nestle SA) dengan kepemilikan saham sebesar 65,70%. Hasil penelusuran menunjukkan, untuk setiap kuartal angka penjualan lebih tinggi antara 0,6-0,9 juta galon dibandingkan angka produksi. Sementara tidak mungkin orang menjual lebih banyak dari yang diproduksi. Manajemen Ades yang baru melaporkan angka penjualan riil pada 2001 diperkirakan lebih rendah Rp 13 miliar dari yang dilaporkan. Pada 2002, perbedaannya mencapai Rp 45 miliar, sedangkan untuk 2003 sebesar Rp 55 miliar. Untuk enam bulan pertama 2004, selisihnya kira kira Rp 2 miliar. Kesalahan tersebut luput dari pengamatan publik, karena PT Ades tidak memasukkan volume penjualan dalam laporan keuangan yang telah diaudit. Akibatnya, laporan keuangan yang disajikan PT Ades pada 2001-2004 lebih tinggi dari yang seharusnya (overstated).

PT Perusahaan Gas Negara melakukan praktik manajemen laba terkait dengan pelanggaran prinsip pengungkapan laporan keuangan dengan menunda publikasi informasi material atas penurunan volume gas yang sudah diketahui oleh manajemen sejak 12 September 2006, tetapi baru dipublikasikan pada Maret 2007 sehingga infomasi tersebut menyesatkan para investor. Hal ini terungkap karena terjadi penurunan yang signifikan (sekitar 23,38%) atas harga saham PGAS dari harga Rp 9.650 (closing price 11 Januari 2006) menjadi Rp 7.400 (closing price 12 Januari 2007) per lembar saham. Penurunan tersebut erat kaitannya dengan press release yang dilakukan PGAS pada 11 Januari 2007 terkait penurunan volume gas yang seharusnya dipublikasikan sejak September 2006.

PT Kimia Farma merupakan salah satu produsen obat-obatan milik pemerintah di Indonesia. Berdasarkan siaran pers Bapepam pada 27 Desember 2002, ditemukan kesalahan pencatatan penjualan untuk laporan keuangan periode 31 Desember 2001 dan Kementrian BUMN melihat adanya indikasi penggelembungan keuntungan (overstated) dalam laporan keuangan pada semester pertama 2002. Laba bersih yang disajikan tahun 2001 overstate sebesar Rp 32,7 miliar dimana 2,3% berasal dari penjualan, dan sebesar 24,7% berasal dari kesalahan: (1) overstate penjualan pada unit industri bahan baku sebesar Rp 2,7 miliar; (2) kesalahan berupa overstated persediaan barang sebesar Rp 23,9 miliar pada unit logistik sentral; (3) overstated sebesar Rp 8,1 miliar pada persediaan barang dagangan dan overstated penjualan sebesar Rp 10,7 miliar yang

keduanya terjadi pada unit Pedagang Besar Farmasi (Siaran pers Badan Pengawas Modal tanggal 27 Desember 2002).

Beberapa skandal pelaporan keuangan tersebut menunjukkan bahwa praktik earnings management (manajemen laba) bukanlah suatu hal yang baru dalam pelaporan keuangan (financial reporting). Perusahaan berlomba-lomba menunjukkan kualitas dan kinerja yang baik, tidak peduli apakah cara yang digunakan tersebut diperbolehkan atau tidak oleh karena pengaruh pasar dan tingginya tingkat persaingan (Sinuhaji, 2011). Praktik manajemen laba pun meningkat setiap tahunnya sampai dengan sekarang.

Peluang untuk melakukan manajemen laba lebih tinggi di antara perusahaan yang memiliki free cash flow atau aliran kas bebas (Bukit dan Iskandar, 2009). Jensen dalam Rosnidi (2009) berargumentasi bahwa manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan nilai perusahaan yang negatif. Investasi seperti ini dinamakan investasi berlebih (over investment) dengan menggunakan dana yang dihasilkan dari sumber internal perusahaan yaitu aliran kas bebas (free cash flow). Padahal seharusnya dana tersebut dibayarkan kepada pemegang saham dalam bentuk peningkatan dividen atau pembelian kembali saham perusahaan.

Sementara Agustia (2013) menyatakan bahwa perusahaan dengan free cash flow yang tinggi cenderung tidak akan melakukan manajemen laba karena sebagian besar investor merupakan transient investor (pemilik sementara perusahaan) yang lebih berfokus pada bagaimana kemampuan perusahaan dalam

membagikan dividen sehingga dengan arus kas bebas yang tinggi tanpa adanya manajemen laba, perusahaan sudah bisa meningkatkan harga sahamnya karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut mempunyai kelebihan kas untuk pembagian dividen.

Free cash flow sering digunakan oleh para analis untuk menentukan nilai suatu perusahaan karena perusahaan dengan aliran kas bebas berlebih menunjukkan perusahaan memiliki kinerja yang lebih baik dibandingkan perusahaan lainnya karena perusahaan tersebut dapat memperoleh keuntungan atas berbagai kesempatan yang mungkin tidak dapat diperoleh perusahaan lain (Van Hennie, 2005: 47). Perusahaan dengan free cash flow (arus kas bebas) yang tinggi juga diduga lebih mampu bertahan dalam situasi yang buruk, sedangkan aliran kas bebas negatif menunjukkan sumber dana internal tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan investasi perusahaan sehingga memerlukan tambahan dana eksternal baik dalam bentuk hutang maupun penerbitan saham baru (Zuhri dan Prabowo, 2010).

Free cash flow menunjukkan gambaran bagi investor bahwa dividen yang dibagikan oleh perusahaan tidak sekadar strategi untuk menyiasati pasar dengan maksud meningkatkan nilai perusahaan. Jika free cash flow dalam perusahaan tidak digunakan atau diinvestasikan untuk memaksimalkan atau menyeimbangkan pendapatan pemegang saham dalam bentuk investasi yang menguntungkan maka akan meningkatkan masalah keagenan. Investor akan merasa bahwa manajemen tidak mampu memberikan keuntungan kepada pemilik perusahaan. Sebagai dampaknya, perusahaan akan dapat berada pada posisi pertumbuhan yang rendah.

Tidak adanya sistem pengawasan yang efektif atau tindakan disipliner oleh pemegang saham independen, maka manajer dapat mengaburkan informasi atas tindakan mereka dengan meminimalkan pengungkapan atau melakukan manipulasi akuntansi.

Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh pihak manajemen perusahaan. Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer yang menanggung risiko apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah. Hal tersebut menyatakan bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen pada perusahaan akan dapat menyatukan kepentingan antara manajer dengan pemegang saham, sehingga kinerja perusahaan semakin bagus menurut Jensen dalam Anggraeni (2013). Dwi Putri (2013) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Ini berarti bahwa semakin tinggi kepemilikan manajerial perusahaan, maka manajemen laba akan semakin rendah. Sementara itu Asward dan Lina (2015) menemukan hasil yang berbeda dimana kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

Kepemilikan oleh institusional dinilai dapat mengurangi praktek manajemen laba karena mampu untuk mengendalikan pihak manajemen melalui proses monitoring secara efektif. Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional yang dianggap sophisticated investor yang tidak mudah dibodohi oleh manajer dapat mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya

terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistic atau mementingkan diri sendiri untuk melakukan praktik manajemen laba (Dwi Putri, 2013). Tri Widyastuti (2007) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Ini berarti semakin tinggi kepemilikan institusional maka manajer lebih berhati-hati dalam melakukan manejemen laba. Hal ini ditolak oleh Asward dan Lina (2015) yang menyatakan sebaliknya bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap manajemen laba.

Salah satu penyebab manajemen laba adalah leverage. Dengan adanya leverage, hal itu dapat menunjukkan seberapa besar aset perusahaan yang dibiayai oleh hutang. Leverage diukur dengan cara perbandingan total hutang dengan total aset. Financial leverage merupakan penggunaan sumber dana yang memiliki beban tetap dengan harapan akan memberikan tambahan keuntungan yang lebih besar dari pada beban tetap, sehingga keuntungan pemegang saham bertambah. Perusahaan yang memiliki hutang besar memiliki kecenderuangan melanggar perjanjian hutang jika dibandingkan dengan perusahaan yang memiliki hutang yang lebih kecil. Perusahaan yang melanggar perjanjian hutang lebih potensial menghadapi berbagai kemungkinan seperti, percepatan jatuh tempo, peningkatan tingkat bunga, dan negosiasi ulang masa hutang. Perusahaan yang memiliki rasio leverage yang tinggi, berarti proporsi hutangnya lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi aktivanya akan cenderung melakukan praktik manajemen laba yaitu dengan menaikkan atau menurunkan laba periode masa datang ke periode saat ini (Agustia, 2013). Hasil analisis dari penelitian Agustia (2013) menunjukkan bahwa

rasio leverage berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Sementara penelitian dari Selahudin et al. (2014) yang melakukan penelitian di dua negara yaitu Malaysia dan Thailand menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh signifikan antara leverage dan earnings management di Malaysia. Namun, terdapat pengaruh positif dan signifikan antara leverage dan earnings management di Thailand.

Dari penjelasan tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai

“Pengaruh Free Cash Flow, Struktur Kepemilikan, dan Leverage Terhadap

Earnings Management pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di

Bursa Efek Indonesia Periode 2010-2014”.

Dokumen terkait