• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGGUNAAN PAKAIAN BEKAS DULU DAN KIN

A. Ngrombeng Dulu

A.1. Latar Belakang Ngrombeng

Penggunaan pakaian bekas sebagaimana berkembang dalam masyarakat Yogyakarta era 1990-an bisa diperiksa melalui keberadaan istilah ngrombèng. Secara etimologi, kata ngrombèng yang merupakan kosa kata Bahasa Jawa, adalah kata bentukan dengan kata dasar rombèng.1 Sebagai adjektiva atau kata keterangan,

rombèng (diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombeng’) diterjemahkan sebagai “compang-camping, sobek karena sudah tua“. Selain kata ngrombèng (diadopsi ke dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘merombeng’), dari kata dasar rombeng ini dihasilkan kata rombèngan (diadopsi secara tetap dalam Bahasa Indonesia sebagai ‘rombengan’). Kata ngrombeng, yang merupakan verba atau kata kerja, diterjemahkan sebagai “menjual barang-barang bekas (kepada tukang loak)”. Sementara kata rombengan,yang merupakan nomina atau kata benda, diterjemahkan sebagai barang-barang (pakaian, alat-alat) yang sudah lama (bekas pakai,

rongsokan); barang-barang yang sudah dijual oleh tukang loak; barang loakan”. 2

1 Kata rombeng sejajar dengan kata loak atau rosok. Tentang kesejajaran makna dan konjugasi dari ketiga kata ini, periksa Eko Endarmoko (2008), Tesaurus Bahasa Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, hlm. 533.

2 Departemen Pendidikan Nasional (2008), Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi keempat, Jakarta: PT. Gramedia Utama, hlm. 849. Eko Endarmoko (2007), Loc. cit. Kecuali kata ngrombèng penulisan

40

Batasan leksikal tentang sifat dan cara orang berhubungan dengan rombengan seperti dikemukakan di atas kiranya tidak sepenuhnya memiliki akurasi yang memadai. Sifat rombengan sebagaimana dilukiskan sebagai sesuatu yang sudah “compang-camping” atau “koyak-koyak,” dalam kenyataan keseharian kiranya jauh dari kenyataan. Apabila sifat rombengan yang dimaksudkan adalah lusuh atau cacat-cacat kecil seperti kancing hilang, jahitan dhèdhèl (lepas) atau ritsluiting rusak, barangkali masih bisa dibenarkan. Deskripsi tentang sifat atau kondisi rombengan sebagaimana dinyatakan dalam kamus di atas kiranya mengandung eksagerasi dan hanya sesuai jika yang dimaksudkan adalah gombal; bekas kain yang tidak lagi memiliki nilai.3 Demikian halnya secara sosio- antropologis istilah ngrombèng tidak hanya terbatas pada aktivitas menjual rombengan, tetapi juga meliputi aktivitas membeli pakaian bekas atau rombengan.

Popularitas ngrombèng pada masa lalu berkait berkelindan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan sejumlah negara Asia sebagaimana berlangsung pada tahun 1998. Krisis yang awalnya merupakan krisis moneter (populer dengan istilah “Krismon”), tetapi kemudian menjadi krisis ekonomi yang memiliki efek domino dalam pelbagai dimensi kehidupan sosial masyarakat. Pada level makro, krisis ekonomi tersebut berdampak pada goncangnya fondasi perekonomian nasional di pelbagai sektor sebagaimana ditandai dengan terjadinya “capital flight” investasi asing keluar Indonesia dan bangkrutnya perusahaan nasional di pelbagai sektor dan level. Hal yang kemudian melahirkan dampak dan pelafalan kata rombèng dan rombèngan, selanjutnya akan mengikuti padan kata sebagaimana diadopsi dalam langue Bahasa Indonesia.

3 Secara sosio-antropologis pakaian semacam ini bisa dipersamakan dengan “klambi têlêsan” atau “klambi rêgêtan” sebagaimana dikenakan oleh para petani, pengrajin batu bata, genting, atau batako. Pakaian semacam ini akan dikenakan secara sengaja untuk “ber-têlês-têlês” (berbasah-basah) di lumpur atau “ber-rêgêt-rêgêt” (berkotor-kotor) dalam adonan tanah liat dan semen.

41

susulan berupa terganggunya proses produksi dalam negeri dan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK).4 Hancurnya proses produksi dalam negeri dan

meningkatnya PHK berkontribusi pada kenaikan harga pelbagai jenis komoditas pokok5 dan hilangnya sumber pendapatan masyarakat.

Pada level mikro hilangnya sumber pendapatan atau mata pencaharian masyarakat pada gilirannya berimplikasi pada semakin rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat sebagaimana ditandai dengan lemahnya daya beli. Pelbagai problem sosial yang berakar pada kesejahteraan akibat krisis ekonomi terjadi di sana-sini.6 Kebijakan pemulihan kondisi ekonomi nasional melalui

mekanisme hutang yang dilakukan pemerintah kepada lembaga keuangan asing internasional seperti World Bank dan IMF (International Monetary Fund) justru melahirkan problem susulan baru.7 Kebijakan yang diyakini sebagai resep jitu untuk

keluar dari permasalahan selain meningkatkan beban hutang luar negeri,8 justru

memantik inflasi dan melemahkan nilai tukar rupiah atas dollar Amerika hingga

4 Lihat, “DEPERINDAG RI: Industri Kulit PHK 18 ribu Karyawan”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, hlm. 2.

5 Lihat, “Harga Minyak Sawit dan Daging Ayam Kembali Melambung”, Kedaulatan Rakyat, 7 Juli 1998, hlm. 2. Juga, “Setelah Beras, Giliran Gula Pasir Naik”, Bernas, 8 Juli 1998, hlm. 2.

6 Lihat, “Dampak Krisis, Angka Drop Out Naik”, Kedaulatan Rakyat, 25 Juli 1998, hlm. 2. Lihat, “KAKANWIL Depdikbud DIY: Banyak Pelajar Jadi Pengasong”, Kedaulatan Rakyat, 11 September 1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat Krisis Jadi Polisi Palsu”, Kedaulatan Rakyat, 25 Agustus 1998, hlm. 2. Lihat, “Pasien RSJ Pakem Meningkat Selama Krisis”, Bernas, 24 Juli 1998, hlm. 2. Lihat, “Akibat Krisis Terpaksa Mengemis”, Bernas, 25 Juli 1998, hlm. 2.

7 Lihat, “Untuk Menutup Defisit APBN 1998/99 Bank Dunia Bantu 4-6 Miliar Dolar”, Kedaulatan

Rakyat, 11 Juli 1998, hlm.2

8 Lihat, “Lagi, Injeksi Rp. 8,8 Triliun: BI Terperangkap Pasar Uang”, Kedaulatanan Rakyat, 12 Juli 1998, hlm. 2. Sementara itu hutang luar negeri Indonesia per 2002 sebesar Rp. 1.500 triliun dan naik menjadi Rp. 1.700 triliun pada 2009. Tentang hutang luar negeri, politik anggaran, dan dampaknya terhadap kehancuran alam dan lingkungan di Indonesia, lihat Patricia Adams (2002), Odious Debts [Utang Najis] Obral Utang, Korupsi dan Kerusakan Lingkungan di Dunia, terj. Eddy Zainury, Jakarta: INFID. Perhitungan hutang Indonesia versi pemerintah tahun 2009 adalah Rp. 1.500 triliun atau 30% dari GDP (Gross Domestic Brutto) sebesar Rp. 5.000 trilliun dengan nilai kurs Rp. 10.000/dollar sebagaimana disampaikan Menteri Keuangan kala itu, Sri Mulyani, dalam sebuah

42

mendekati angka Rp. 20.000 per $ US 1.9 “Dhuwit ora ana ajine” (uang tak lagi

punya nilai) adalah ungkapan yang kerap keluar dari mulut orang kecil untuk mengilustrasikan situasi kala itu.

Kondisi sosial ekonomi yang berubah secara drastis sebagaimana diakibatkan oleh krisis ekonomi inilah kiranya yang kemudian menjadi faktor pendorong atau penggerak penggunaan rombengan atau pakaian bekas dalam masyarakat Yogyakarta pada akhir 1990-an.10 Selama kurun waktu ini penggunaan

rombengan atau pakaian bekas dalam masyarakat mengalami peningkatan yang sangat signifikan.Intensitas dan cakupan penggunaan rombengan dalam masyarakat Yogyakarta dari waktu ke waktu menunjukkan peningkatan yang semakin luas dan mendalam. Sementara itu percepatan penggunaan pakaian bekas atau rombengan lewat cara ngrombèng sebagaimana berkambang dalam masyarakat juga tidak terlepas dari keberadaan dan peran pedagang rombengan itu sendiri. Hampir semua pedagang rombengan adalah korban PHK. Korban yang berusaha bangkit dari keterpurukan keadaan sebagaimana diakibatkan krisis multidimesi dan mencoba bangkit untuk memertahankan kehidupan mereka melalui aktivitas ekonomi perdagangan.