• Tidak ada hasil yang ditemukan

Abdurrahman Wahid alias Gus Dur telah lancar baca Al-Qur‟an pada usia 5 tahun walaupun selain membaca Al-qu‟an Abdurrahman Wahid juga hobi membaca berbagai buku. Pada saat ayahnya diangkat sebagai Mentri Agama di tahun 1949 Abdurrahman Wahid sekeluarga pindah ke Jakarta yang membuatnya menyelesaikan sekolahnya di sana. Olehnya ayah Abdurrahman Wahid diikutkan les privat bahasa Belanda yang pada saat itu guru lesnya adalah seorang muallaf Jerman bernama Willem Buhel. Pada saat di Jakarta pernah memenankan karya tulis ilmiah.

Sedari kecil Abdurrahman Wahid memiliki hobbi membaca serta menggunakan perpustakaan pribadi ayahnya sebagai tempat untuk memperluas cakrawala wawasannya. Disisi lain Abdurrahman Wahid juga sering berkunjung ke perpustakaan umum di Jakarta. Meskipun usia pada saat ini masih belasan tahun, ternyata Abdurrahman Wahid telah banyak membaca berbagai sumber

24Greg Barton, Biografi Gus Dur Aouthorizetd Bhiografie of Abdurrahman Wahid .h. 65

keilmuan seperti buku-buku, surat, kabar, majalah, hingga novel. Abdurrahman Wahid juga memiliki hobbi lain seperti bermain catur, bermain bola, serta mendalami, berbagai jenis music khususnya musik-musik eropa dikarenakan dahulu sewaktu belajar bahasa Belanda sang guru terbiasa memperdengarkan musik-musik klasik.

Pada suatu hari ketika Abdurrahman Wahid mengunjungi Jawa Barat dalam rangka meresmikan sebuah madrasah baru, Abdurrahman Wahid dan ayahnya yang mengakibatkan ayahnya meninggal di titik itulah menjadi dorongan buat Abdurrahman Wahid untuk merubah perjalan hidupnya karena rasa kehilangan ayahnya yang membuatnya mandiri secara mental dimasa-masa mendatang.

Pada tahun 1954 Abdurrahman Wahid gagal dalam ujiannya pada sekolah ekonomi pertama dan karena hal itu Abdurrahman Wahid dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan sekolahnya pada bangku sekolah SMP. Di Yogya Abdurrahman Wahid tinggal bersama teman ayahnya yang bernama Kiai Junairi yang merupakan tokoh Muhammadiyah. Hal tersebut bertolak belakang dengan latar belakang keluarga Abdurrahman Wahid yang merupakan keluarga Nahdiyin, dimana antara NU dan Muhammadiyah memiliki perbedaan dalam mempersepsi keislaman serta praktek kepercayaan yang terintegrasi dalam kebudayaan Indonesia.

Pada saat Abdurrahman Wahid di Yogya. Abdurrahman Wahid belajar bahasa Inggris yang membuatnya mengeyam beberap buku dalam bahasa Inggris.

Disamping itu juga meningkatkan kemampuan verbal bahasa Inggrisnya dengan

senantiasa mendengarkan siaran radio Voice of America dan BBC London. Tak hanya itu Abdurrahman Wahid sering berpetualang dari satu tokoh buku ke tokoh buku lainnya dalam rangka mengayakan wawasannya dengan membeli buku-buku filsafat seperti buku karangan Plato dan Aristoteles. Begitupun buku-buku kiri seperti Das Capital karya Karl Marx beserta buku Lenin yang berjudul What Is To Be Done. Abdurrahman Wahid juga sangat tertarik dengan karya-karya Lenin

yang lain seperti Inpantel Communisem dan Little Red Book- Mo. 25

Tak lupa juga tetap tak ingin membuat keilmuan santrinya stagnan, Abdurrahman Wahid tetap memperdalam ilmu-ilmu keislaman di Pondok Pesantren Al-Munawwir terletak di Krapyak Yogyakarta. Di pesantren tersebut Abdurrahman Wahid belajar bahasa Arab pada K.H. Ma‟sum. Pada saat itu kemampuan bahasa Arab Abdurrahman Wahid sebenarnya sudah cukup bagus namun, masih terbilang fasif. Pembelajaran Pondok Pesantren Al-Munawwir tersebut berhasil melejitkan kemampuan bahasa Arabnya disaat yang sama pada waktu itu Abdurrahman Wahid telah menguasai bahasa Inggris dengan baik serta bahasa Prancis dan Belanda.

Setelah tamat pada sekolah pertama ditahun 1957, Abdurrahman Wahid secara penuh mengikuti proses pembelajaran di Pesantren Tegal Rejo Magelang Jawa Tengah. Abdurrahman Wahid berguru pada Kiai Khudori yang merupakan tokoh NU di Magelang. Pada saat itu Abdurrahman Wahid juga belajar paruh waktu di Pesantren Den Anyar Jombang dimana kakenya dari pihak ibu Kiai Bisri

25 Greg Barton, Biografi Gus Dur Aouthorizetd Bhiografie of Abdurrahman Wahid . h. 78

Syansuri menjadi gurunya. Abdurrahman Wahid menyelesaikan pendidikanya pada tahun 1959.

Selepas Abdurrahman Wahid belajar di Pesantren Tegal Rejo, Abdurrahman Wahid kemudian kembali ke Jombang untuk belajar di Pesantren Tambak Beras di bawah asuhan KH. Wahab Chasbullah, dan menyelesaikan proses belajarnya sampai tahun 1963. Selain menimba ilmu di pondok Pesantren Tambak Beras Abdurrahman Wahid juga mulai mengajar bahkan Abdurrahman Wahid menjadi kepala sekolah.

Selama masa tersebut Abdurrahman Wahid kerap berkunjung ke Pondok Pesantren Krapyak dimana dibimbing oleh K.H Ali Ma‟sum pada masa itulah Abdurrahman Wahid senantiasa berkontenplasi dalam studinya dalam Sastra Arab klasik. Dikalangan para kiai menganggap Abdurrahman Wahid sebagai siswa yang brilian, dikarenakan kekuatan ingatannya yang cemerlang meskipun hal yang unik melekat padanya dikarenakan Abdurrahman Wahid seringkali malas dan kurang disiplin dalam studi formalnya. Abdurrahman Wahid naik ke tanah suci Mekkah untuk ibadah haji pada saat berusia 22 tahun dan dimasa itu Abdurrahman Wahid memiliki keinginan untuk melanjutkan studinya di Timur Tengah. dan bernisiatif untuk belajar di Universitas Al-Azhar Mesir.

Dalam pergumulannya pada studi di Universitas Al-Azhar, Abdurrahman Wahid sangat merasa sangat kecewa karena ternayata harus mengulang kembali materi perkuliahan yang jauh sebelumnya telah dialami semenjak di pondok pesantren. Untuk menutupi kekecewaanya Abdurrahman Wahid mencoba mengarungi keilmuan lainnya dengan mengunjungi perpustakaan dan pusat

pelayanan informasi Amerika serta tokoh-tokoh buku yang menawarkan oase keilmuan yang belum pernah didapatkan. Pada saat studi di Al-Azhar Abdurrahman Wahid kurang berpartisipasi dalam merampungkan proses perkulihannya dengan tidak teraturnya mengahadiri absensi perkuliahan. Hal ini dikarenakan Abdurrahman Wahid merasa bahwa hampir seluruh materi yang dipelajari di Universitas tersebut telah dipelajari selama mondok di pesantren.

Pada salah satu mata kuliah inti tidak lolos yang mengakibatkan Abdurrahman Wahid harus mengulang proses perkuliahan tanpa adanya lagi tanggungan beasiswa. Namun Abdurrahman Wahid mendapatkan kabar baik yakni penawaran beasiswa univesitas Baghdad Irak. Di universitas tersebut intelektualitas Abdurrahman Wahid semakin meningkat Abdurrahman Wahid mendisiplinkan diri dalam mengikuti proses perkuliahan serta merasa nyaman karena Abdurrahman Wahid berinteraksi langsung dengan masyarakat muslim klasik yang kaji secara empiris dengan metodologi yang tajam.

Abdurrahman Wahid mendalami bahasa Prancis pada pusat kebudayaan Prancis serta bekerja pada perusahaan tekstil yang berasal dari Eropa.

Abdurrahman Wahid menyelesaikan studinya pada tahun 1970 dan pindah ke Eropa dalam rangka mencari pengalaman selama hampir setahun dan kembali ke tanah air 1971.

Abdurrahman Wahid menikahi Sinta Nuriyah yang merupakan muridnya dengan cara pernikahan jarak jauh karena waktu itu Abdurrahman Wahid telah menjalankan studinya di Bagdhad Irak. Pada tahun 1969 Abdurrahman Wahid mengajar Theologi dan ilmu-ilmu keagamaan fakultas Ushuluddin Universitas

Hasyim Asyari Jombang, pada saat yang sama Abdurrahman Wahid menjadi salah satu anggota syuriah NU. Namun perannya sebagai anggota syuriah NU menuntutnya bekerja di Jakarta yang membuatnya merintis sebuah pesantren Ciganjur.26

Di tahun 1980 Abdurrahman Wahid mendapat amanah baru sebagai wakil katib syuriah NU dan pada saat itu pula menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta. juga pernah dimandatkan sebagai ketua Forum Demokrasi yang anggota-anggotanya terdiri atas kaum nasionalis dan juga non muslim. Abdurrahman Wahid pernah menjadi Ketua PB NU selama 15 tahun, dan di posisi inilah dialektika pemikiran Abdurrahman Wahid mengalami tantangan serta peningkatan. Perannya sebagai Ketua PB NU membuatnya harus terjung membahas masalah-masalah agama, sosial, dan politik. Selain sebagai Ketua PB NU di juga terjun langsung pada beberapa LSM beberapa tokoh nasional seperti Aswab Mahasin, Adi Sasono, serta Rian Raharjo.

Pengalamannya di beberapa lembaga sosial, LSM, serta forum-forum diskusi membuat peningkatan intelektualitasnya menjadi bertambah serta dapat menjadi ajang untuk menyebarkan pemikiran-pemikirannya yang cemerlang.

Abdurrahman Wahid terlibat aktif dalam LP3ES (Lembaga Pengkajian Pengetahun Pendidikan Ekonomi dan Sosial), dimana perannya sangat sentral sebagai penanggungjawab penerbitan Jurnal Prisma yang selama beberapa tahun menjadi rujukan ilmu pengetahuan sosial yang utama di Indonesia. Peran lainnya adalah sebagai kontributor dalam setiap penerbitan jurnal.

26Greg Barton, Biografi Gus Dur Aouthorizetd Bhiografie of Abdurrahman Wahid .h. 89.

Pengalaman politik berawal ketika Abdurrahman Wahid menjabat anggota MPR-RI pada pemilu 1987. Pada tahun 1998 terkena stroke yang berdampak pada kornea matanya sehingga mengalami gangguan penglihatan. Kondisinya tersebut berhenti dari berbagai aktivitas terlebih dari aktivitas membaca dan kegiatan lainnya seperti sepak bola dan menonton wayang. Meskipun penyakitya tersebut sama sekali tidak mengurangi ingatannya dan hal tersebut terbukti dengan berbagai aktifitas Abdurrahman Wahid dalam mengisi berbagai seminar perkuliahan, serta dialog diberbagai tempat.

Dokumen terkait