• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Immobilisasi dikatakan sebagai tidak mampu secara mandiri memindahkan atau mengubah posisi atau gerakan dibatasi untuk alasan medis.

Hal ini umumnya lebih mudah untuk mencegah komplikasi dari pada mengobati atau menyembuhkan mereka (Potter & Perry, 2013). Imobilitas secara luas didokumentasikan dalam literatur sebagai penyebab peningkatan mortalitas dan komplikasi (Butcher, 2012). pasien imobilisasi berada pada risiko lebih besar untuk kerusakan kulit dan penyembuhan luka tertunda. Sistem muskuloskeletal dipengaruhi oleh imobilitas dan istirahat berkepanjangan (Vollman, 2010).

Pasien yang memiliki penurunan hasil mobilitas dari pembatasan yang ditentukan gerakan dalam bentuk istirahat, pembatasan fisik gerakan atau gangguan motor fungsi skeletal (Potter & Perry, 2013). Mobilisasi adalah kemampuan untuk bergerak dengan bebas berirama dan terarah dilingkungan (Kozier,et al, 2011). Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena esensial untuk mempertahankan kemandirian (Fitriyahsari, 2009).

Immobilisasi pada pasien fraktur panggul dan ekstremitas bawah akan mengalami dispepsia, perut distensi, refleksi ileum dan konstipasi. Pasien paska operasi fraktur pinggul akan mengantispasi kenaikan asam lambung dengan menetralisir asam lambung dengan obat-obatan untuk mengurangi kejadian

morbiditas dan mortalitas. Operasi patah tulang mempunyai beberapa komplikasi medis antara lain perubahan neurologis, komplikasi saluran kemih, anemia, gangguan elektrolit dan metabolik, luka tekan dan gangguan saluran cerna berupa konstipasi. Pada pasien setelah operasi pinggul akan mengalami pengobatan yang panjang dan angka morbiditas akan meningkat tergantung pada apakah fraktur intrascapular atau ekstrascapular (Carpintero et al, 2014).

Menurut hasil penelitian Monmai et al (2011), pasien fraktur tulang pinggul dan ekstremitas bawah akan berisiko tinggi dengan konstipasi. Penurunan gerakan usus atau peristaltik akibat, penurunan pergerakan otot diafragma dan penurunan otot panggul dasar. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan tekanan intra-abdominal untuk memaksa usus untuk bergerak. Imobilisasi merupakan faktor yang dapat menyebab konstipasi.

Komplikasi gastrointestinal pasca operasi umum setelah operasi patah tulang pinggul termasuk dispepsia, perut distensi, refleks ileum dan konstipasi.

Komplikasi gastrointestinal pasca operasi ulkus stres dan perdarahan sekunder didokumentasikan dengan baik sebagai komplikasi medis setelah pinggul operasi, terutama pada pasien dengan riwayat sebelumnya ulkus lambung. Pencegahan komplikasi gastrointestinal seperti perdarahan dengan inhibitor pompa, antasid dan lain-lain sangat penting dalam situasi klinis ini, untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan keluhan gastrointestinal seperti konstipasi (Carpintero et al, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pencegahan konstipasi untuk dirawat di rumah sakit dengan operasi pinggul efektif dalam mengurangi

insiden dan keparahan sembelit. Program ini harus direkomendasikan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk dirawat di rumah sakit lansia yang berisiko mengalami sembelit (Monmai et al, 2011).

Gangguan sistem gastrointestinal yang sering terjadi di Amerika adalah konstipasi, kira-kira 4,5 juta penduduk mengalami masalah konstipasi (Folden et al, 2002). Kejadian konstipasi sebesar 5,9% pada usia dibawah 40 tahun, sebesar 4 - 6% pada individu yang berusia 70 tahun dan terjadi konstipasi persisten pada usia yang sudah lanjut (Harrari et al, 1996 dalam Folden et al, 2002). Kejadian konstipasi meningkat seiring dengan peningkatan usia, wanita dilaporkan lebih sering mengalami konstipasi daripada laki-laki. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa kejadian konstipasi meningkat sebesar 17 – 15% pada usia dewasa yang mengalami penurunan kemampuan fisik seperti pasien fraktur (Emerson &

Baines, 2010).

Konstipasi adalah suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak tuntas (ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya) atau jarang buang air besar. Perubahan pola atau frekuensi buang air besar yang menetap, di sertai keluhan perut terasa penuh dan kembung (Herawati, 2012).

Konstipasi merupakan keluhan yang sering terjadi terutama pada populasi di negara-negara barat. Di Amerika Serikat prevalensi konstipasi berkisar 2 – 27%

dengan sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter dan hampir 100.000 perawatan per tahunnya. Suatu survei pada penduduk berusia lebih dari 60 tahun di beberapa kota di Cina menunjukkan insiden konstipasi yang tinggi, yaitu antara 15 – 20%.

Laporan lain dari suatu studi secara acak pada penduduk usia 18 – 70 tahun di Beijing memperlihatkan insiden konstipasi sekitar 6,07% dengan rasio antara pria dan wanita sebesar 1 : 4. Angka kejadian konstipasi semakin meningkat dengan adanya perubahan komposisi diet masyarakat serta pengaruh faktor-faktor sosiopsikologik (Emerson & Baines, 2010).

Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi.

Aktivitas juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi.

Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas dan gangguan fungsi syaraf (Guyton & Hall, 2010).

Konstipasi umumnya terjadi karena diet yang kurang serat, kurang minum, kurang aktivitas fisik, dan karena adanya perubahan ritme atau frekuensi buang air besar. Konstipasi hanya menyebabkan ketidaknyamanan selama buang air besar dan perut menjadi sakit atau kembung. Namun, jika ini berlangsung lama akan menganggu metabolisme tubuh dan menimbulkan gangguan tubuh yang lainnya (Prawirohatjo, 2009)

Kurangnya konsumsi cairan juga dapat mengakibatkan proses penyembuhan dan pemulihan yang lama. Hampir semua reaksi tubuh memerlukan air, dan kurangnya cairan akan mengganggu reaksi tersebut.. Air dapat membantu dan meredakan keluhan beberapa penyakit, yaitu antara lain : diabetes, penyakit kulit, konstipasi, kolesterol, obesitas, maag, jerawat, anti-penuaan, glukoma,

jantung, kanker, kulit kerut kering, radang sendi, asam urat, liver kerutan dini, edema, darah kental, ginjal, asma, darah tinggi dan disentri (Handoyo, 2014).

Penatalaksanaan yang dapat membantu mengatasi konstipasi adalah penggunaan air putih dapat membantu memperkuat kembali otot-otot dan ligamen serta memperlancar sistem peredaraan darah. Air putih dapat meningkatkan sirkulasi darah dan oksigenasi jaringan, sehingga mencegah kekakuan otot, menghilangkan rasa nyeri serta menenangkan pikiran (Diwanto, 2009).

Pentingnya asupan air setiap hari dilihat dari banyaknya air yang pasti dikeluarkan oleh tubuh setiap hari melalui beberapa mekanisme. Ada yang melalui urine, feses, keringat dan pernapasan. Jumlah air yang dikeluarkan pada orang sehat melalui urine sekitar 1 l/hari. Jumlah feses yang dikeluarkan pada orang sehat sekitar 50-400gr/hari, kandungan airnya 60-90% dari berat fesesnya, air melalui keringat dan saluran pernafasan dalam sehari maksimal 1 liter/hari (Savitri, 2011).

Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Air sangat penting bagi nutrisi tubuh dan air juga termasuk sebagai zat gizi yang ke enam setelah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Potter & Perry, 2013). Air berfungsi untuk transportasi mineral, vitamin, protein dan zat gizi lainnya ke seluruh tubuh serta keseimbangan tubuh dan temperature bergantung pada air (Yuanita, 2011) selain itu air juga berperan dalam proses pembuangan sisa-sisa produksi makanan, menyediakan struktur molekul yang besar, membantu proses metabolisme, sebagai pelarut zat-zat gizi, sebagai pelumas jaringan tubuh dan bantalan sendi, tulang dan otot serta

mengatur suhu tubuh dan menjaga serta mempertahankan volume darah (Potter &

Perry, 2013).

Air putih merupakan minuman yang menyehatkan bagi tubuh diantaranya menjaga keseimbangan pH pada tubuh, melancarkan metabolisme, mencegah konstipasi, meredakan sakit kepala (Hamidin, 2012). Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% pada orang dewasa dari berat badan, pada bayi normal 70%-75% dan remaja 65%-70%. Kebutuhan air dipengaruhi oleh aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta suhu tubuh. Air berasal dari minuman, makanan dan hasil metabolisme. Air yang diminum akan diserap di usus, masuk ke pembuluh darah, beredar ke seluruh tubuh. Di kapiler air difiltrasi ke ruang interstisium, selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi dan sebaliknya dari dalam sel keluar kembali. Dari darah difiltrasi di ginjal dan sebagian kecil dibuang melalui urin.

Ke saluran cerna dikeluarkan sebagai liur pencernaan (umumnya diserap kembali) ke kulit dan saluran napas keluar sebagai keringat dan uap air (FK UI, 2007)..

Masuknya cairan dalam jumlah yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus. Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus.

Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon (Guyton & Hall, 2010).

Air putih memiliki pengaruh untuk melembutkan dan menenangkan tubuh.

Salah satu manfaat air putih adalah memperlancar sistem pencernaan. Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali.

Konstipasi sebagai salah satu keluhan pada gangguan gastrointestinal sering dianggap sebagai masalah yang tidak serius, karena umumnya hanya bersifat temporer (APEC, 2008).

Masukan cairan yang tidak adekuat merupakan salah satu dari sekian banyak penyebab konstipasi. Terapi air yang merupakan bagian dari naturopati mulai banyak digunakan oleh masyarakat dan praktisi kesehatan. Terapi air merupakan terapi alami yang didasarkan pada penggunaan air secara internal dan eksternal sebagai pengobatan (Amirta, 2007).

Menurut hasil studi Robson et al, (2000), bahwa individu yang minum kurang dari 3 gelas per hari mengalami konstipasi sebanyak 27%, individu yang minum 3-5 gelas per hari mengalami konstipasi sebanyak 15%, dan persentase individu yang mengalami konstipasi semakin berkurang dengan meminum cairan 6 gelas per hari, yakni menjadi 11%.

Kejadian konstipasi meningkat pada individu yang mengalami penurunan kemampuan fungsional dan kognitif dan pada usia lanjut. Beberapa faktor resiko terjadinya konstipasi kronis adalah peningkatan usia, obat-obatan, kurangnya asupan serat dan cairan sehari-hari, gangguan fungsional dan kognitif (Murakami et al, 2007). Berdasarkan rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan (RSUP HAM) jumlah pasien imobilisasi dari 45 orang pasien imobilisasi yang di rawat di

RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 88,8% mengalami konstipasi akibat immobilisasi yang lama (Suheri, 2009).

Dokumen terkait