• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH MINUM AIR PUTIH HANGAT TERHADAP KONSTIPASI PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. Oleh

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH MINUM AIR PUTIH HANGAT TERHADAP KONSTIPASI PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN TESIS. Oleh"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH MINUM AIR PUTIH HANGAT TERHADAP

KONSTIPASI PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Oleh

MINDARIA TARIGAN

147046018 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

THE INFLUENCE OF DRINKING WARM PLAIN WATER ON CONSTIPATION IN IMMOBILIZATION PATIENTS IN

RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

THESIS

By

MINDARIA TARIGAN

147046018/MEDICAL SURGICAL NURSING

MASTER OF NURSING PROGRAM FACULTY OF NURSING

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)

PENGARUH MINUM AIR PUTIH HANGAT TERHADAP KONSTIPASI PADA PASIEN IMMOBILISASI DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister Ilmu Keperawatan

Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan

Universitas Sumatera Utara

Oleh

MINDARIA TARIGAN

147046018 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEPERAWATAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(4)
(5)

Telah diuji

Pada tanggal : 22 Agustus 2017

KOMISI PENGUJI TESIS Ketua :

Anggota :

Prof. Dr. SutomoKasiman, Sp.PD,KKV, Sp.JP 1. Asrizal,S.Kep., Ns., M.Kep

2. DewiElizadianiSuza, S.Kp., MNS., Ph.D 3. NunungFebrianySitepu, S.Kep., Ns., MNS

(6)
(7)

Judul Tesis : Pengaruh Minum Air Putih Hangat Terhadap Konstipasi pada Pasien Immobilisasi Di RSUP H. Adam Malik Medan

Nama Mahasiswa : Mindaria Tarigan

Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah

Tahun : 2017

ABSTRAK

Konstipasi secara umum pada pasien immobilisasi, hasil dari penurunan peristaltik dan konstriktif sfingter, diet rendah serat dan penurunan asupan cairan juga berkontribusi terhadap konstipasi. Jumlah feses yang dikeluarkan pada orang sehat sekitar 50-400gr/hari, kandungan airnya 60-90% dari berat fesesnya, air melalui keringat dan saluran pernafasan dalam sehari maksimal 1 liter/hari.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat efektifitas suatu intervensi. Penelitian ini merupakan quasi experiment pada one group pre test dan post test. Penelitian ini dilakukan selama 3 hari dalam melakukan intervensi. Pemilihan sampel dilakukan tanpa menggunakan randomisasi (non probability sampling) sebanyak 30 orang dengan kriteria inklusi. Uji statitik yang digunakan adalah Wilcoxon Test. Hasil analisis penelitian dengan uji statistik non parametrik atau Wilcoxon Test tentang pengaruh minum air putih hangat pada pasien konstipasi sebelum dilakukan intervensi sebanyak 30 orang (100%) dan setelah dilakukan intervensi sebanyak 28 orang (93.30%) dengan nilai mean ranks sebelum intervensi 0.00 dan setelah intervensi 11.20 dengan nilai signifikan (p value = 0.000 < 0.05) dimana nilai α = 0.05 . Berdasarkan hasil penelitiaan, disarankan pada pasien yang imobilisasi yang mengalami konstipasi hendak dilakukan pemberian terapi minum air hangat sehingga dapat mencegah terjadinya konstipasi.

Kata kunci : Air putih hangat, konstipasi, immobilisasi

(8)

(9)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul: “Pengaruh Minum Air Putih Hangat Terhadap Konstipasi pada Pasien Immobilisasi di RSUP H. Adam Malik Medan”.

Penulis menyadari bahwa penulisan tesis tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Setiawan S.Kp., MNS., Ph.D selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk menyelesaikan studi dan menyelesaikan tesis ini.

2. Dewi Elizadiani Suza, S.Kp., MNS., Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan Penguji I yang telah memberikan arahan, bimbingan dan saran kepada peneliti dalam penulisan tesis ini.

3. Prof. Dr. Sutomo Kasiman, Sp.PD, KKV, Sp.JP selaku dosen pembimbing I yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada peneliti dari awal bimbingan hingga saat ini dalam penulisan tesis ini.

4. Asrizal, S.Kep.Ns., M.Kep WOC(ET)N selaku dosen pembimbing II yang tidak henti-hentinya memberikan pengarahan, bimbingan dan motivasi kepada peneliti dari awal bimbingan hingga saat ini dalam penulisan tesis ini.

(10)

5. Ns. Nunung Febriany Sitepu, S.Kep, MNS, sebagai penguji II yang telah memberikan kritik dan saran untuk kesempurnaan tesis ini.

6. Ayah dan Ibu peneliti yang telah memberikan banyak dukungan materil dan moril dalam menyelesaikan tesis ini.

7. Suami dan anak-anak yang telah memberikan banyak dukungan materil dan moril dalam menyelesaikan tesis ini.

8. Rekan-rekan Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Angkatan IV 2014/2015 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah banyak membantu dan memberikan dorongan untuk menyelesaikan tesis ini.

Peneliti menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya profesi keperawatan.

Medan, Juli 2017 Peneliti

Mindaria Tarigan

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR SKEMA ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Penelitian ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Hipotesa Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 1I. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1 Konsep Eliminasi Defekasi ... 11

2.1.1 Definisi Eliminasi ... 11

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan ... 11

2.1.2.1 Sistem Pencernaan………... 11

2.1.2.2 Fungsi Sistem Pencernaan……… 12

2.1.3 Karakteristik Feses ... 13

2.2 Konsep Konstipasi ... 15

2.2.1 Definisi Konstipasi ... 15

2.2.2 Anatomi Fisiologi Kolon dan Proses ... 15

2.2.3 Patofisiologi ... 18

2.2.4 Faktor-faktor Penyebab Konstipasi ... 21

2.2.5 Dampak Konstipasi ... 22

2.2.6 Jenis Konstipasi ... 24

2.2.7 Manajemen Konstipasi ... 24

2.2.8 Manifestasi Klinis ... 26

2.2.9 Komplikasi ... 26

2.2.10 Pengukuran Penilaian Konstipasi ... 27

2.3 Terapi Air Putih... 27

2.3.1 Definisi Air Putih ... 27

2.3.2 Kerja Air Putih ... 29

2.3.3 Pengaruh Air Putih Terhadap Saluran Cerna ... 38

2.3.4 Hubungan Air Putih Dengan Konstipasi ... 39

2.3.5 Penerapan Terapi Air Putih ... 40

2.3.6 Kerja Air Putih Agar Tidak Konstipasi ... 42

(12)

2.4 Immobilisasi ... 42

2.4.1 Efek dari Immobilisasi ... 42

2.5 Kerangka Konsep ... 45

BAB III. METODE PENELITIAN ... 48

3.1 Jenis Penelitian ... 48

3.2 Lokasi Dan Waktu Penelitian ... 49

3.3 Populasi dan Sampel ... 49

3.3.1 Populasi………... 49

3.3.1 Sampel………... 49

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 50

3.4.1 TahapPersiapan………... 50

3.4.2 TahapPenelitian………... 51

3.5 Alat Pengumpulan Data ... 53

3.6 Variabel dan Defenisi Operasional ... 54

3.7 Metode Analisis Data ... 55

3.7.1 Analisa Data Univariat……….... 55

3.7.2 Analisa Data Bivariat……….... .. 55

3.8 Pertimbangan Etik ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1 Gambaran Umum RSUP H. Adam Malik Medan ... 57

4.2 Data Demografi ... 58

4.3 Analisa Univariat ... 59

4.4 Analisa Bivariat ... 60

BAB 5. PEMBAHASAN ... 61

5.1.Sebelum Dilakukan Minum Air Putih Hangat ... 62

5.2 Setelah Dilakukan Minum Air Putih Hangat ... 65

5.3 Keterbatasan peneliti ... 69

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

6.1 Kesimpulan... 70

6.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 72

RIWAYAT HIDUP ... 75

LAMPIRAN ... 77

(13)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 2.1 Karakteristik Feses Normal Dan Tidak Normal………. 13 Tabel 3.6 Variabel dan Defenisi Operasional………. 54 Tabel 4.1 Karakteristik Demografi Partisipan……… 58 Tabel 4.2 Distribusi Frekwensi dan Persentase Pasien Konstipasi

Sebelum Intervensi Minum Air Putih Hangat Di RSUP

HAM Medan………... 59 Tabel 4.3 Distribusi Frekwensi dan Persentase Pasien Konstipasi

Setelah Intervensi Minum Air Putih Hangat Di RSUP

HAM Medan……….. 59 Tabel 4.4 Pengaruh Minum Air Putih Hangat Terhadap Konstipasi Pada Pasien Immobilisasi Di RSUP HAM Medan………… 60

(14)

DAFTAR SKEMA

Halaman Skema 2.1 Konsep Penelitian ... 47

(15)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 2.1 Bristol Stool Chart (Clowns)………. 14

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Instrumen Penelitian ... 77

Lampiran 2. Biodata Expert ... 92

Lampiran 3. Izin Penelitian. ... 93

a. Surat Izin Dekan ... 93

b. Surat Ethical Clearence... 94

c. Surat Izin Pengambilan Data ... 95

d. Surat Selesai Penelitian ... 98

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Immobilisasi dikatakan sebagai tidak mampu secara mandiri memindahkan atau mengubah posisi atau gerakan dibatasi untuk alasan medis.

Hal ini umumnya lebih mudah untuk mencegah komplikasi dari pada mengobati atau menyembuhkan mereka (Potter & Perry, 2013). Imobilitas secara luas didokumentasikan dalam literatur sebagai penyebab peningkatan mortalitas dan komplikasi (Butcher, 2012). pasien imobilisasi berada pada risiko lebih besar untuk kerusakan kulit dan penyembuhan luka tertunda. Sistem muskuloskeletal dipengaruhi oleh imobilitas dan istirahat berkepanjangan (Vollman, 2010).

Pasien yang memiliki penurunan hasil mobilitas dari pembatasan yang ditentukan gerakan dalam bentuk istirahat, pembatasan fisik gerakan atau gangguan motor fungsi skeletal (Potter & Perry, 2013). Mobilisasi adalah kemampuan untuk bergerak dengan bebas berirama dan terarah dilingkungan (Kozier,et al, 2011). Mobilisasi dini merupakan suatu aspek yang terpenting pada fungsi fisiologis karena esensial untuk mempertahankan kemandirian (Fitriyahsari, 2009).

Immobilisasi pada pasien fraktur panggul dan ekstremitas bawah akan mengalami dispepsia, perut distensi, refleksi ileum dan konstipasi. Pasien paska operasi fraktur pinggul akan mengantispasi kenaikan asam lambung dengan menetralisir asam lambung dengan obat-obatan untuk mengurangi kejadian

(18)

morbiditas dan mortalitas. Operasi patah tulang mempunyai beberapa komplikasi medis antara lain perubahan neurologis, komplikasi saluran kemih, anemia, gangguan elektrolit dan metabolik, luka tekan dan gangguan saluran cerna berupa konstipasi. Pada pasien setelah operasi pinggul akan mengalami pengobatan yang panjang dan angka morbiditas akan meningkat tergantung pada apakah fraktur intrascapular atau ekstrascapular (Carpintero et al, 2014).

Menurut hasil penelitian Monmai et al (2011), pasien fraktur tulang pinggul dan ekstremitas bawah akan berisiko tinggi dengan konstipasi. Penurunan gerakan usus atau peristaltik akibat, penurunan pergerakan otot diafragma dan penurunan otot panggul dasar. Faktor-faktor ini akan mengakibatkan penurunan tekanan intra-abdominal untuk memaksa usus untuk bergerak. Imobilisasi merupakan faktor yang dapat menyebab konstipasi.

Komplikasi gastrointestinal pasca operasi umum setelah operasi patah tulang pinggul termasuk dispepsia, perut distensi, refleks ileum dan konstipasi.

Komplikasi gastrointestinal pasca operasi ulkus stres dan perdarahan sekunder didokumentasikan dengan baik sebagai komplikasi medis setelah pinggul operasi, terutama pada pasien dengan riwayat sebelumnya ulkus lambung. Pencegahan komplikasi gastrointestinal seperti perdarahan dengan inhibitor pompa, antasid dan lain-lain sangat penting dalam situasi klinis ini, untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas yang terkait dengan keluhan gastrointestinal seperti konstipasi (Carpintero et al, 2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pencegahan konstipasi untuk dirawat di rumah sakit dengan operasi pinggul efektif dalam mengurangi

(19)

insiden dan keparahan sembelit. Program ini harus direkomendasikan sebagai alat untuk meningkatkan kualitas pelayanan untuk dirawat di rumah sakit lansia yang berisiko mengalami sembelit (Monmai et al, 2011).

Gangguan sistem gastrointestinal yang sering terjadi di Amerika adalah konstipasi, kira-kira 4,5 juta penduduk mengalami masalah konstipasi (Folden et al, 2002). Kejadian konstipasi sebesar 5,9% pada usia dibawah 40 tahun, sebesar 4 - 6% pada individu yang berusia 70 tahun dan terjadi konstipasi persisten pada usia yang sudah lanjut (Harrari et al, 1996 dalam Folden et al, 2002). Kejadian konstipasi meningkat seiring dengan peningkatan usia, wanita dilaporkan lebih sering mengalami konstipasi daripada laki-laki. Dari hasil penelitian dilaporkan bahwa kejadian konstipasi meningkat sebesar 17 – 15% pada usia dewasa yang mengalami penurunan kemampuan fisik seperti pasien fraktur (Emerson &

Baines, 2010).

Konstipasi adalah suatu keadaan sukar atau tidak dapat buang air besar, feses (tinja) yang keras, rasa buang air besar tidak tuntas (ada rasa ingin buang air besar tetapi tidak dapat mengeluarkannya) atau jarang buang air besar. Perubahan pola atau frekuensi buang air besar yang menetap, di sertai keluhan perut terasa penuh dan kembung (Herawati, 2012).

Konstipasi merupakan keluhan yang sering terjadi terutama pada populasi di negara-negara barat. Di Amerika Serikat prevalensi konstipasi berkisar 2 – 27%

dengan sekitar 2,5 juta kunjungan ke dokter dan hampir 100.000 perawatan per tahunnya. Suatu survei pada penduduk berusia lebih dari 60 tahun di beberapa kota di Cina menunjukkan insiden konstipasi yang tinggi, yaitu antara 15 – 20%.

(20)

Laporan lain dari suatu studi secara acak pada penduduk usia 18 – 70 tahun di Beijing memperlihatkan insiden konstipasi sekitar 6,07% dengan rasio antara pria dan wanita sebesar 1 : 4. Angka kejadian konstipasi semakin meningkat dengan adanya perubahan komposisi diet masyarakat serta pengaruh faktor-faktor sosiopsikologik (Emerson & Baines, 2010).

Tonus perut, otot pelvik dan diafragma yang baik penting untuk defekasi.

Aktivitas juga merangsang peristaltik yang memfasilitasi pergerakan chyme sepanjang colon. Otot-otot yang lemah sering tidak efektif pada peningkatan tekanan intraabdominal selama proses defekasi atau pada pengontrolan defekasi.

Otot-otot yang lemah merupakan akibat dari berkurangnya latihan (exercise), imobilitas dan gangguan fungsi syaraf (Guyton & Hall, 2010).

Konstipasi umumnya terjadi karena diet yang kurang serat, kurang minum, kurang aktivitas fisik, dan karena adanya perubahan ritme atau frekuensi buang air besar. Konstipasi hanya menyebabkan ketidaknyamanan selama buang air besar dan perut menjadi sakit atau kembung. Namun, jika ini berlangsung lama akan menganggu metabolisme tubuh dan menimbulkan gangguan tubuh yang lainnya (Prawirohatjo, 2009)

Kurangnya konsumsi cairan juga dapat mengakibatkan proses penyembuhan dan pemulihan yang lama. Hampir semua reaksi tubuh memerlukan air, dan kurangnya cairan akan mengganggu reaksi tersebut.. Air dapat membantu dan meredakan keluhan beberapa penyakit, yaitu antara lain : diabetes, penyakit kulit, konstipasi, kolesterol, obesitas, maag, jerawat, anti-penuaan, glukoma,

(21)

jantung, kanker, kulit kerut kering, radang sendi, asam urat, liver kerutan dini, edema, darah kental, ginjal, asma, darah tinggi dan disentri (Handoyo, 2014).

Penatalaksanaan yang dapat membantu mengatasi konstipasi adalah penggunaan air putih dapat membantu memperkuat kembali otot-otot dan ligamen serta memperlancar sistem peredaraan darah. Air putih dapat meningkatkan sirkulasi darah dan oksigenasi jaringan, sehingga mencegah kekakuan otot, menghilangkan rasa nyeri serta menenangkan pikiran (Diwanto, 2009).

Pentingnya asupan air setiap hari dilihat dari banyaknya air yang pasti dikeluarkan oleh tubuh setiap hari melalui beberapa mekanisme. Ada yang melalui urine, feses, keringat dan pernapasan. Jumlah air yang dikeluarkan pada orang sehat melalui urine sekitar 1 l/hari. Jumlah feses yang dikeluarkan pada orang sehat sekitar 50-400gr/hari, kandungan airnya 60-90% dari berat fesesnya, air melalui keringat dan saluran pernafasan dalam sehari maksimal 1 liter/hari (Savitri, 2011).

Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Air sangat penting bagi nutrisi tubuh dan air juga termasuk sebagai zat gizi yang ke enam setelah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Potter & Perry, 2013). Air berfungsi untuk transportasi mineral, vitamin, protein dan zat gizi lainnya ke seluruh tubuh serta keseimbangan tubuh dan temperature bergantung pada air (Yuanita, 2011) selain itu air juga berperan dalam proses pembuangan sisa-sisa produksi makanan, menyediakan struktur molekul yang besar, membantu proses metabolisme, sebagai pelarut zat-zat gizi, sebagai pelumas jaringan tubuh dan bantalan sendi, tulang dan otot serta

(22)

mengatur suhu tubuh dan menjaga serta mempertahankan volume darah (Potter &

Perry, 2013).

Air putih merupakan minuman yang menyehatkan bagi tubuh diantaranya menjaga keseimbangan pH pada tubuh, melancarkan metabolisme, mencegah konstipasi, meredakan sakit kepala (Hamidin, 2012). Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% pada orang dewasa dari berat badan, pada bayi normal 70%- 75% dan remaja 65%-70%. Kebutuhan air dipengaruhi oleh aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta suhu tubuh. Air berasal dari minuman, makanan dan hasil metabolisme. Air yang diminum akan diserap di usus, masuk ke pembuluh darah, beredar ke seluruh tubuh. Di kapiler air difiltrasi ke ruang interstisium, selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi dan sebaliknya dari dalam sel keluar kembali. Dari darah difiltrasi di ginjal dan sebagian kecil dibuang melalui urin.

Ke saluran cerna dikeluarkan sebagai liur pencernaan (umumnya diserap kembali) ke kulit dan saluran napas keluar sebagai keringat dan uap air (FK UI, 2007)..

Masuknya cairan dalam jumlah yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus. Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus.

Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon (Guyton & Hall, 2010).

(23)

Air putih memiliki pengaruh untuk melembutkan dan menenangkan tubuh.

Salah satu manfaat air putih adalah memperlancar sistem pencernaan. Buang air besar yang normal frekuensinya adalah 3 kali sehari sampai 3 hari sekali.

Konstipasi sebagai salah satu keluhan pada gangguan gastrointestinal sering dianggap sebagai masalah yang tidak serius, karena umumnya hanya bersifat temporer (APEC, 2008).

Masukan cairan yang tidak adekuat merupakan salah satu dari sekian banyak penyebab konstipasi. Terapi air yang merupakan bagian dari naturopati mulai banyak digunakan oleh masyarakat dan praktisi kesehatan. Terapi air merupakan terapi alami yang didasarkan pada penggunaan air secara internal dan eksternal sebagai pengobatan (Amirta, 2007).

Menurut hasil studi Robson et al, (2000), bahwa individu yang minum kurang dari 3 gelas per hari mengalami konstipasi sebanyak 27%, individu yang minum 3-5 gelas per hari mengalami konstipasi sebanyak 15%, dan persentase individu yang mengalami konstipasi semakin berkurang dengan meminum cairan 6 gelas per hari, yakni menjadi 11%.

Kejadian konstipasi meningkat pada individu yang mengalami penurunan kemampuan fungsional dan kognitif dan pada usia lanjut. Beberapa faktor resiko terjadinya konstipasi kronis adalah peningkatan usia, obat-obatan, kurangnya asupan serat dan cairan sehari-hari, gangguan fungsional dan kognitif (Murakami et al, 2007). Berdasarkan rekam medik RSUP H. Adam Malik Medan (RSUP HAM) jumlah pasien imobilisasi dari 45 orang pasien imobilisasi yang di rawat di

(24)

RSUP Haji Adam Malik Medan sebanyak 88,8% mengalami konstipasi akibat immobilisasi yang lama (Suheri, 2009).

1.2 Rumusan Penelitian

Konstipasi umumnya terjadi karena diet yang kurang serat, kurang minum, kurang aktivitas fisik, dan karena adanya perubahan ritme atau frekuensi buang air besar. Sembelit hanya menyebabkan ketidaknyamanan selama buang air besar dan perut menjadi sakit atau kembung. Namun, jika ini berlangsung lama akan menganggu metabolisme tubuh dan menimbulkan gangguan tubuh yang lainnya.

Konstipasi secara umum pada pasien imobilisasi, hasil dari penurunan peristaltik dan konstriktif sfingter, diet rendah serat dan penurunan asupan cairan juga berkontribusi terhadap konstipasi. Konstipasi terbaik diperlakukan dengan tinggi serat diet, pelunak feses, obat pencahar iritan, meningkatkan cairan, dan pergerakan usus rutin.

Terapi air yang digunakan dalam mengatasi konstipasi adalah yang sifatnya internal, yaitu dengan minum air dalam jumlah tertentu (Sakthi Foundation, 2007). Terapi air 1500 ml belum pernah diterapkan secara konseptual dan formal dalam asuhan keperawatan pasien konstipasi di rumah sakit, sehingga bagaimana pengaruh terapi air terhadap proses defekasi dan kapan proses defekasi terjadi setelah pemberian terapi masih belum dapat dijelaskan.

(25)

1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh minum air putih hangat terhadap konstipasi pada pasien imobilisasi di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengidentifikasi karakteristik responden

2. Untuk mengetahui frekuensi defekasi pada pasien imobilisasi sebelum diberikan minum air hangat.

3. Untuk mengetahui pengaruh terapi air putih hangat dengan frekuensi defekasi pada pasien imobilisasi sesudah diberikan minum air hangat.

1.4 Hipotesa Penelitian

Hipotesis penelitian adalah hipotesis alternatif (Ha) yaitu: pengaruh minum air putih hangat terhadap proses defekasi pada pasien konstipasi.

1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Peneliti

Menambah pengalaman dan aplikasi kerja yang nyata dari teori-teori yang telah dipelajari dan dikembangkan melalui penelitian dalam keperawatan.

1.5.2 Perkembangan ilmu keperawatan

Menjadi acuan yang bermanfaat untuk dapat memahami kebutuhan pasien yang mengalami immobilisasi khususnya pada pasien tidak dapat melakukan aktivitas secara mandiri dan dijadikan sebagai pendekatan

(26)

intervensi keperawatan kepada pasien yang immobilisasi yang lama untuk pencegahan terjadinya konstipasi.

1.5.3 Bagi peneliti selanjutnya

Dapat dijadikan sebagai acuan dalam mengembangkan penelitian keperawatan dan merencanakan penelitian lanjutan tentang konstipasi.

(27)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.Konsep Eliminasi Defekasi 2.1.1. Definisi eliminasi

Eliminasi adalah proses pengeluaran sisa-sisa pembakaran (metabolisme) yang berupa zat-zat yang tidak berguna bagi tubuh melalui anus, agar tidak terjadi

penimbunan sisa metabolisme di dalam tubuh sehingga tubuh tetap dalam keadaan

seimbang (Niman, 2013).

2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pencernaan 2.1.2.1 Sistem pencernaan

Sistem pencernaan terdiri dari saluran cerna yang dimulai dari mulut sampai anus. Sistem pencernaan atau gastrointestinal adalah sistem yang bertugas mengubah makanan menjadi material dasar yang berfungsi untuk membangun mempertehankan dan memperbaiki sel tubuh yang rusak. Saluran pencernaan makanan menerima makanan dari luar dan mempersiapkan bahan makanan untuk diserap oleh tubuh dengan jalan proses pencernaan (mengunyah, menelan dan penyerapan) dengan bantuan zat cair yang terdapat mulai dari mulut sampai ke anus. Ada dua organ kelompok yang membentuk sistem pencernaan, yaitu : organ utama sistem pencernaan (mulut, pharing, esofagus, lambung, usus halus, usus besar, anus) dan organ assesoris sistem pencernaan (gigi, lidah, kelenjar saliva, hepar, kantung empedu dan pankreas (Niman, 2013).

(28)

2.1.2.2 Fungsi sistem pencernaan

Fungsi utama sistem pencernaan adalah menyediakan zat nutrisi yang sudah dicerna secara berkesinambungan untuk di distribusikan ke dalam sel melalui sirkulasi dengan unsur-unsur air, elektrolit dan gizi. Agar makanan dapat dicerna secara optimal dalam saluran pencernaan maka saluran pencernaan harus memiliki persediaan air, elektrolit dan makanan. Untuk itu dibutuhkan pengaturan fungsi oleh sistem saraf dan hormon. Jadi sistem pencernaan memiliki fungsi yaitu :

1. Ingesti

Proses memasukkan makanan dan minuman ke dalam mulut.

2. Digesti

Proses mekanik dan kimia oleh saluran pencernaan untuk merubah makanan menjadi nutrien yang dapat diabsorpsi. Digesti diikuti oleh proses hidrolisis yaitu pemecahan ikatan oleh air.

3. Sekresi

Setiap hari sel dalam dinding GI tract dan organ asesoris pencernaan mengeluarkan sekitar 7 liter air, asam, buffer, dan enzim ke dalam lumen pencernaan.

4. Mixing dan propulsi

Proses kontraksi dan relaksasi otot dinding pencernaan untuk mencampur makanan dan mendorong makanan.

(29)

5. Absorpsi

Proses dilakukan oleh vili-vili lumen intestinal menyerap hasil pengolahan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Zat-zat yang telah diabsorpsi akan melewati darah atau limfa dan bersirkulasi menuju sel tubuh.

6. Metabolisme

Proses pembentukan energi dari nutrien yang sudah diabsorpsi. Energi tersebut dapat digunakan oleh sel tubuh yang disimpan oleh sel tubuh.

7. Sekresi

Proses pengeluaran sisa-sisa hasil pencernaan yang sudah tidak dapat dicerna atau digunakan lagi. Racun, zat yang tidak dapat dicerna, bakteri, sisa hasil absorpsi dan sisa sel epitel yang lepas akan dikeluarkan dari dalam tubuh melalui anus. Proses tersebut dikenal dengan istilah defekasi (Niman, 2013).

2.1.3. Karakteristik Feses

Karakteristik feses yang normal dan tidak normal akan disajikan dalam tabel berikut ini (Kozier & Erb, 2009):

Tabel 2.1 Karakteristik feses normal dan tidak normal

Karakteristik Feses Normal Tidak Normal

1)Susunan Feses Feses terdiri dari 75 % air dan 25 % masa padat sehigga konsistensinya lembek/ lunak dan berbentuk. Susunan feses yang normal antara lain:

a. Bakteri yang umumnya sudah mati.

b. Lapisan epitelium usus.

c. Sejumlah kecil zat nitrogen terutama musin.

d. Garam terutama calcium fosfat.

(30)

e. Sedikit Zat besi, selulosa.

f. Sisa makanan yang tidak dapat tercerna dan air (±100 cc ).

2) Warna Feses Coklat/kuning (karena

pengaruh sterkobilin, mobilin dan bakteri).

a. Pucat/putih seperti dempul

b. Hitam/Tir c. Merah.

3) Konsistensi Feses

Lembek/lembut d. Keras / kering

e. Encer

4) Bentuk Feses Bulat berbendtuk silinder Kecil seperti pencil (tanda ada obstruksi di rectum).

5) Jumlah Feses Bervariasi sesuai dengan intake (± 100 – 400 gr/hr )

6) Bau Aroma tergantung dari makanan yang di makan dan adanya bekteri dalam usus.

Baunya khas karena pengaruh mikroorganisme.

Berbau tajam (tanda ada infeksi).

Bentuk BAB: Bristol Stool Chart (Clowns)

(31)

2.2 Konsep Konstipasi 2.2.1 Definisi Konstipasi

Konstipasi adalah defekasi tidak teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tidak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang

menimbulkan nyeri (Smeltzer & Bare, 2010). Konstipasi adalah ketidakteraturan atau kesulitan dalam pasase feses atau pasase dari feses yang keras (Black &

Hawks, 2009). Menurut American College of Gastroenterology (2010),

Konstipasi adalah suatu keadaan dimana frekuensi feses yang tidak teratur dan konsistensi feses kadang kering dan keras, keadaan ini ditimbulkan oleh karena absorbsi air oleh feses sebagai dampak dari passase feses yang lambat di kolon.

2.2.2 Anatomi Fisiologi Kolon dan Proses

Defekasi Intestinum crassum (usus besar) merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 1,5 meter yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter intestinum crassum rata-rata sekitar 6,5 cm, tetapi makin dekat anus diameternya makian kecil. Intestinum crassum dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Sekum memiliki katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar 2 atau 3 inci pertama dari kolon.

Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum (Black & Hawks, 2009).

Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendends, dan sigmoid. Tempat di mana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid berada setinggi krista iliaka dan membentuk suatu

(32)

lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Posisi ini mempengaruhi gaya berat untuk membantu mengalirkan air dari rektum ke fleksura sigmoid. Bagian utama Intestinum crassum yang terakhir dinamakan rektum dan terbentang dari kolon sigmoid sampai anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum dinamakan kanalis ani dan dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus (LeMone & Burke, 2008).

Persarafan kolon dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan perkecualian sfingter eksterna yang berada di bawah kontrol volunter. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medulla spinalis melalui saraf splangnikus untuk mencapai kolon.

Perangsangan simpatis meyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan (Ganong, 2008).

Kolon mempunyai berbagai fungsi yang semuanya berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi kolon yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon mengabsorbsi sekitar 600 ml air per hari. Kapasitas absorbsi kolon adalah sekitar 2000 ml/ hari. Diare akan terjadi bila jumlah ini dilampaui, misalnya karena adanya kiriman/ kimus yang berlebihan dari ileum. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir yang menampung massa feses yang konsistensinya sudah padat sampai defekasi berlangsung (Black & Hawks, 2009).

(33)

Berat akhir feses yang dikeluarkan per hari sekitar 200 g, 75% di

antaranya berupa air. Sisanya terdiri dari residu makanan yang tidak diabsorbsi, bakteri, sel epitel yang mengelupas, dan mineral yang tidak diabsorbsi. Sedikitnya pencernaan yang terjadi di kolon terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan karena kerja dari enzim. Kolon mengsekresikan mukus alkali yang tidak

mengandung enzim. Mukus ini bekerja untuk melumasi dan melindungi mukosa (Guyton & Hall, 2008).

Pergerakan kolon pada umumnya lambat. Pergerakan kolon yang khas adalah gerakan mengaduk haustra. Kantong-kantong atau haustra teregang dan dari waktu ke waktu dan otot sirkular akan berkontraksi untuk mengosongkannya.

Pergerakannya tidak progresif, tetapi menyebabkan isi usus bergerak bolak balik dan meremas-remas sehingga memberi cukup waktu untuk absorbsi (Guyton &

Hall, 2008).

Pergerakan usus atau yang dikenal dengan istilah peristaltik usus terdiri dari dua bagian, yaitu peristaltik propulsif dan peristaltik massa. Peristaltik propulsif merupakan kontraksi usus yang lambat dan tidak teratur, berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke depan, menyumbat beberapa haustra.

Peristaltik massa merupakan kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan peristaltik ini menggerakkan massa feses ke depan, akhirnya merangsang defekasi. Kejadian ini timbul dua sampai tiga kali sehari dan dirangsang oleh refleks gastrokolik setelah makan, khususnya setelah makanan pertama masuk pada hari itu (Black & Hawks, 2009).

(34)

Propulsi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Proses defekasi merupakan pengeluaran feses involunter intermiten per anus yang sebelumnya tersimpan dalam rektum.

Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter interna dikendalikan oleh saraf otonom, dan sfingter eksterna berada di bawah kontrol volunter. Refleks defekasi terintegrasi pada segmen sakralis kedua dan keempat dari medula spinalis. Serabut-serabut parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan bertanggung jawab atas kontraksi rektum dan relaksasi sfingter interna. Sudut dan anulus anorektal akan menghilang pada waktu rektum yang mengalami distensi berkontraksi dan otot levator ani berelaksasi. Otot-otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada waktu anus tertarik atas melebihi tinggi massa feses (Ganong, 2008).

Defekasi dipercepat dengan adanya peningkatan tekanan intraabdomen yang terjadi akibat kontraksi volunter otot-otot dada dengan glotis ditutup, dan kontraksi secara terus menerus dari otot abdomen (Valsalva’s maneuver).

Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi volunter otot-otot sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara bertahap akan relaks, dan keinginan untuk defekasi menghilang. Rata-rata frekuensi defekasi pada manusia adalah sekali sehari, tetapi frekuensi bervariasi di antara individu (Smeltzer & Bare, 2010).

2.2.3 Patofisiologi

Patofisiologi konstipasi masih belum dipahami. Konstipasi diyakini berhubungan dengan pengaruh dari sepertiga fungsi utama kolon yaitu: transpor

(35)

mukosa (sekresi mukosa memudahkan gerakan isi kolon), aktivitas mioelektrik (pencampuran massa rektal), atau proses defekasi. Dorongan defekasi secara normal dirangsang oleh distensi rektal melalui empat tahap: rangsangan refleks penyekat rektoanal, relaksasi otot sfingter internal, relaksasi sfingter eksternal dan otot dalam region pelvik, dan peningkatan tekanan intra-abdomen. Gangguan salah satu dari empat proses ini dapat menimbulkan konstipasi (Smeltzer & Bare, 2010).

Membran mukosa rektal dan muskulatur menjadi tidak peka terhadap adanya massa fekal apabila dorongan untuk defekasi diabaikan. Hal ini mengakibatkan perlunya rangsangan yang lebih kuat untuk menghasilkan dorongan peristaltik tertentu agar terjadi defekasi. Efek awal retensi fekal adalah untuk menimbulkan kepekaan kolon,di mana pada tahap ini sering mengalami spasme, khususnya pada saat makan. Kondisi ini dapat menimbulkan nyeri kolik midabdominal atau abdomen bawah. Setelah proses ini berlangsung sampai beberapa tahun, kolon kehilangan tonus dan menjadi sangat responsif terhadap rangsang normal sehingga terjadi konstipasi. Atoni usus juga terjadi pada proses penuaan yang dapat diakibatkan oleh penggunaan laksatif yang berlebihan (Smeltzer & Bare, 2010).

Karakteristik dinding saluran cerna mempunyai fungsi motorik usus dilakukan oleh berbagai lapisan otot polos. Dinding usus terdiri dari lapisan- lapisan berikut (dari permukaan luar ke arah dalam) yaitu: serosa, lapisan otot longitudinal, lapisan otot sirkular, submukosa, dan mukosa. Selain itu, lapisan-

(36)

lapisan mukosa yang lebih dalam terdapat lapisan serat otot polos yang tersusun longgar, muskularis mukosa (Guyton & Hall, 2010).

Otot polos gastrointestinal berfungsi sebagai suatu sinsitium. Serat-serat otot polos di lapisan otot longitudinal dan sirkular secara elektris dihubungkan melalui taut celah (gap junctions) yang memungkinkan ion-ion berpindah dari satu sel ke sel berikutnya. Setiap lapisan otot berfungsi sebagai suatu sinsitium:

jika pada massa otot terpicu suatu potensial aksi, potensial aksi umumnya merambat ke semua arah di otot polos (Smeltzer & Bare, 2010).

Pengaturan fungsi gastrointestinal oleh saraf atau sistem saraf enterik, saluran cerna memiliki sistem sendiri yang dinamai sistem saraf enterik. Sistem ini berada seluruhnya dalam dinding usus, dimulai esophagus dan memanjang hingga ke anus. Sistem enterik terutama terdiri dari dua pleksus yaitu pleksus mienterikus, atau pleksus auerbach, adalah pleksus sebelah luar yang terletak antara lapisan-lapisan otot (Smeltzer & Bare, 2010).

Perangsangan menyebabkan meningkatnya tonus dinding usus, meningkatkan intesitas kontraksi ritmis, meningkatnya laju kontraksi, dan meningkatnya kecepatan hantaran. Pleksus mienterikus juga bermanfaat untuk menghambat sfingter pylorus yang mengontrol pengosongan lambung dan sfinter katup ileosekum yang mengontrol pengosongan usus halus ke dalam sekum.

Pleksus submukosa, atau pleksus Meissner, adalah pleksus sebelah dalam yang terletak di submukosa. Berbeda dari pleksus mienterikus, pleksus ini berkaitan dengan pengendalian fungsi di dinding dalam setiap jengkal usus (Smeltzer &

Bare, 2010).

(37)

Pengaturan otonom saluran cerna adalah saraf parasimpatis meningkatkan aktivitas sistem saraf enterik. Persarafan parasimpatis ke usus terdiri dari divisi cranial dan sacral. Parasimpatis cranial mempersarafi melalui: vagus, esophagus,lambung, pancreas, dan paruh pertama usus besar. Sedangkan parasimpatis sacral mempersarafi melalui: saraf panggul, paruh distal usus besar.

Daerah sigmoid, rectum, dan anus banyak mengandung serat parasimpstis yang berfungsi pada reflex defekasi (Guyton & Hall, 2010).

Sistem saraf simpatis biasanya menghambat aktivitas saluran cerna, menyebabkan banyak efek yang berlawanan dengan efek yang ditimbulkan oleh system parasimpatis. Saraf simpatis lebih mempersarafi semua bagian saluran cerna daripada mempersarafi bagian –bagian dekat rongga mulut dan anus. Ujung saraf parasimpatis mengeluarkan norepinefrin, yang menimbulkan efek melalui dua cara: efek langsung yang menghambat otot polos dan efek tak langsung dengan menghambat neuron-neuron system saraf enterik (Guyton & Hall, 2010).

Tanda dan gejala konstipasi yaitu kurang dari buang air besar, penurunan jumlah buang air besar, kotoran lebih keras daripada biasanya, usus masih merasa kenyang setelah buang air besar, merasa kembung, tegang selama buang air besar, gerakan usus tidak membaik setelah mengubah diet dan mendapatkan cukup latihan, sakit perut atau dubur sembelit bergantian dengan diare, berat badan menurun (Guyton & Hall, 2010).

2.2.4 Faktor-Faktor Penyebab Konstipasi

Menurut LeMone & Burke (2008), ada beberapa hal yang menjadi faktor- faktor terjadinya konstipasi yaitu :

(38)

a. Gangguan fungsi yang meliputi: kelemahan otot abdomen, pengingkaran kebiasaan/ mengabaikan keinginan untuk defekasi, ketidakadekuatan defekasi (misalnya: tanpa waktu, posisi saat defekasi, dan privasi), kurangnya aktivitas fisik, kebiasaan defekasi tidak teratur, dan perubahan lingkungan yang baru terjadi

b. Psikologis/ psikogenik yang meliputi: depresi, stres emosional, dan konfusi mental

c. Farmakologis: penggunaan antasida (kalsium dan aluminium), antidepresan, antikolinergik, antipsikotik, antihipertensi, barium sulfat, suplemen zat besi, dan penyalahgunaan laksatif (Lewis, Heitkemper &

Dirksen, 2011).

d. Mekanis: Ketidakseimbangan elektrolit, hemoroid, megakolon (penyakit Hirschprung), gangguan neurologis, obesitas, obstruksi pascaoperasi, kehamilan, pembesaran prostat, abses rektal atau ulkus, fisura anal rektal, striktur anal rektal, prolaps rektal, rektokel, dan tumor (Wilkinson, 2011).

e. Fisiologis: perubahan pola makan dan makanan yang biasa dikonsumsi, penurunan motilitas saluran gastrointestinal, dehidrasi, insufisiensi asupan serat, insufisiensi asupan cairan, pola makan buruk (Smeltzer & Bare, 2008).

2.2.5 Dampak Konstipasi

Menurut Smeltzer & Bare (2010), konstipasi yang terjadi sesekali mungkin tidak merugikan kesehatan, namun bila konstipasi ini terjadi berulang–

(39)

ulang dan dalam jangka waktu yang lama dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain:

1) Hipertensi arterial

Mengejan saat defekasi dapat mengakibatkan pengeluaran nafas dengan kuat dan glotis menutup, sehingga menimbulkan efek pengerutan pada tekanan darah arteri. Selama mengejan aktif, aliran darah vena di dada untuk sementara dihambat akibat peningkatan tekanan intra thorakal. Tekanan ini menimbulkan kolaps pada vena besar di dada. Atrium dan ventrikel menerima sedikit darah dan akibatnya sedikit darah yang dikirimkan melalui kontraksi sistolik dari ventrikel kiri. Curah jantung menurun dan terjadi penurunan sementara dari tekanan arteri.

Hampir segera setelah periode hipotensi, terjadi peningkatan pada tekanan arteri.

2) Impaksi fekal

Impaksi fekal terjadi apabila suatu akumulasi massa feses kering tidak dapat dikeluarkan. Massa ini dapat menimbulkan tekanan pada mukosa kolon yangmengakibatkan pembentukan ulcus dan dapat menimbulkan rembesan feses cair yang sering.

3) Fisura anal

Fissura anal dapat diakibatkan oleh pasase feses yang keras melalui anus, sehingga merobek lapisan kanal anal.

4) Hemoroid

Hemoroid terjadi sebagai akibat kongesti vaskuler perianal yang disebabkan oleh peregangan.

(40)

5) Megakolon

Massa fekal yang menyumbat pasase isi kolon dapat menyebabkan dilatasi dan atoni kolon (megakolon). Megakolon dapat menimbulkan perforasi usus.

2.2.6 Jenis Konstipasi

Konstipasi kolonik, konstipasi dirasakan/ persepsi (perceived constipation), dan konstipasi idiopatik. Defekasi yang tidak teratur yang abnormal, dan juga pengerasan feses tak normal yang membuat pasasenya sulit dan kadang menimbulkan nyeri disebut sebagai konstipasi kolonik. Konstipasi persepsi adalah masalah subjektif yang terjadi bila pola eliminasi usus seseorang tidak konsisten dengan apa yang dirasakan orang tersebut sebagai normal (Smeltzer & Bare, 2010).

2.2.7 Manajemen Konstipasi

Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi konstipasi antara lain:

1) Kebiasaan toileting

a. Tidak mengabaikan isyarat defekasi

Kebiasaan toileting yang teratur harus dilakukan segera saat ada isyarat untuk defekasi.

b. Menyediakan waktu yang teratur untuk defekasi

Waktu yang teratur untuk defekasi selalu dilakukan setelah makan atau seseorang dapat memilih waktu sendiri yang rutin untuk defekasi, sehingga kebutuhan defekasi menjadi kebutuhan hidup sehari-hari. Pergerakan feses terjadi lebih cepat kurang lebih 15 menit, satu jam setelah makan, pergerakan feses yang

(41)

cepat ini juga dipengaruhi oleh reflek dari lambung dan duodenum (Guyton &

Hall, 2010).

2) Posisi upright

Pengaturan posisi upright diberikan pada individu yang bed rest , seperti pada pasien parkinson atau pasien-pasien yang sudah berusia lanjut. Dengan posisi upright dapat mengurangi ketajaman pada sudut anorectal dan dapat mempengaruhi pergerakan feses di rectum

3) Kandungan serat dalam makanan

Makanan yang dikonsumsi sehari-hari sebaiknya mengandung serat 20-35 gr/hari, untuk menjaga fungsi sistem intestinal agar dapat bekerja dengan normal Pada klien yang menggunakan feeding tube, kebutuhan akan serat berasal dari kalori dimana 10-15 gr serat terkandung dalam setiap 1000 kalori yang

dikonsumsi oleh pasien. Mengkonsumsi makanan yang tinggi serat dapat membantu menambah massa feses dan menjadikan feses lebih lunak. Serat juga dapat menstimulasi peristaltik usus sehingga pasase feses menjadi lebih mudah

4) Intake cairan

Rata-rata intake cairan sehari-hari untuk usia dewasa adalah 30 ml/kg BB.

Jumlah minimum cairan yang dikonsumsi sehari-hari 1.500 – 2.000 ml untuk kebutuhan sehari-hari. Pada pasien yang mengalami gangguan pencernaan seperti konstipasi dianjurkan untuk mengkonsumsi air putih sebanyak 2.000 ml – 3.000 ml, sehingga pasien yang mengalami gangguan pencernaan seperti konstipasi mengkonsumsi 1.000 ml air tambahan diluar dari pada normalnya (Popkin et al, 2010).

(42)

5) Aktivitas teratur

Aktivitas fisik yang reguler dapat meningkatkan tonusitas otot yang diperlukan untuk pengeluaran feses, selain itu juga dapat meningkatkan sirkulasi pada sistim pencernaan sehingga dapat meningkatkan peristaltik usus dan memudahkan pasase feses

6) Penggunaan Laksatif

Obat–obat laksatif dapat melunakkan feses sehingga pasase feses akan menjadi lebih mudah. Lakstif sebaiknya digunakan dalam waktu yang tidak terlalu lama karena terlalu banyak menggunakan laksatif akan menyebabkan kerusakan pada kolon, hal ini akan memperburuk masalah konstipasi

2.2.8 Manifestasi klinis

Manifestasi klinis mencakup distensi abdomen, borborigimus (gemuruh usus), rasa nyeri dan tekanan, penurunan nafsu makan, sakit kepala, kelelahan, tidak dapat makan, sensasi pengosongan tidak lengkap, mengejan saat defekasi, serta eliminasi volume feses sedikit, keras dan kering (Smeltzer & Bare, 2010).

2.2.9 Komplikasi

Rektum akan relaksasi dan hasrat untuk defekasi hilang apabila defekasi tidak sempurna. Air tetap terus di absorbsi dari massa feses yang menyebabkan feses menjadi keras, sehingga defekasi selanjutnya lebih sukar. Tekanan feses berlebihan menyebabkan kongesti vena hemoroidalis interna dan eksterna, dan merupakan salah satu penyebab hemoroid (vena varikosa rektum). Daerah anorektal sering merupakan tempat abses dan fistula. Kanker kolon dan rektum merupakan kanker saluran cerna yang paling sering terjadi pada penderita

(43)

konstipasi (Smeltzer & Bare, 2010). Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah:

hipertensi arterial, impaksi fekal, fisura, serta megakolon (Smeltzer & Bare, 2010).

2.2.10 Pengukuran Penilaian Konstipasi

Menurut Smeltzer & Bare (2010), dalam menilai konstipasi pasien yang perlu diperhatikan adalah kriteria-kriteria penilaian konstipasi yaitu:

1. Distensi abdomen

2. Keinginan buang air besar 3. Bising usus meningkat

4. Frekuensi buang air besar kurang dari 3x dalam seminggu 5. Perasaan buang air besar ada atau tidak

6. Feces lunak atau keras

Kategori dalam skala konstipasi memiliki 2 kategori dengan menggunakan skala 1-6. Kriteria konstipasi pada skala ini yaitu:

1-3 : konstipasi ringan 4-6 : konstipasi berat

2.3 Terapi Air Putih 2.3.1 Definisi Air Putih

Air merupakan sumber kehidupan dan merupakan komponen terbesar dari tubuh manusia. Air sangat penting bagi nutrisi tubuh dan air juga termasuk sebagai zat gizi yang ke enam setelah karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral (Potter & Perry, 2013).

(44)

Air berfungsi untuk transportasi mineral, vitamin, protein dan zat gizi lainnya ke seluruh tubuh serta keseimbangan tubuh dan temperature bergantung pada air (Yuanita, 2011) selain itu air juga berperan dalam proses pembuangan sisa-sisa produksi makanan, menyediakan struktur molekul yang besar, membantu proses metabolisme, sebagai pelarut zat-zat gizi, sebagai pelumas jaringan tubuh dan bantalan sendi, tulang dan otot serta mengatur suhu tubuh dan menjaga serta mempertahankan volume darah (Potter & Perry, 2013).

Air putih merupakan minuman yang menyehatkan bagi tubuh diantaranya menjaga keseimbangan pH pada tubuh, melancarkan metabolisme, mencegah konstipasi, meredakan sakit kepala (Hamidin, 2012).

Jumlah cairan tubuh total kurang lebih 55-60% pada orang dewasa dari berat badan, pada bayi normal 70%-75% dan remaja 65%-70%. Kebutuhan air dipengaruhi oleh aktivitas fisik, suhu lingkungan, serta suhu tubuh. Air berasal dari minuman, makanan dan hasil metabolisme. Air yang diminum akan diserap di usus, masuk ke pembuluh darah, beredar ke seluruh tubuh. Di kapiler air difiltrasi ke ruang interstisium, selanjutnya masuk ke dalam sel secara difusi dan sebaliknya dari dalam sel keluar kembali. Dari darah difiltrasi di ginjal dan sebagian kecil dibuang melalui urin. Ke saluran cerna dikeluarkan sebagai liur pencernaan (umumnya diserap kembali) ke kulit dan saluran napas keluar sebagai keringat dan uap air (FK UI, 2007).

Tubuh manusia membutuhkan 1.5 ml air untuk setiap KKal dari energy yang digunakan. Makan buah-buahan atau makan padat seperti buah segar, sayuran kesemuanya membantu memenuhi kebutuhan cairan. Air selalu

(45)

diproduksi ketika makanan dioksidasi selama proses pencernaan berlangsung (Potter & Perry, 2013).

Pentingnya asupan air setiap hari dilihat dari banyaknya air yang pasti dikeluarkan oleh tubuh setiap hari melalui beberapa mekanisme. Ada yang melalui urine, feses, keringat dan pernapasan. Jumlah air yang dikeluarkan pada orang sehat melalui urine sekitar 1 l/hari. Jumlah feses yang dikeluarkan pada orang sehat sekitar 50-400gr/hari, kandungan airnya 60-90% dari berat fesesnya, air melalui keringat dan saluran pernafasan dalam sehari maksimal 1 liter/hari (Savitri, 2011).

2.3.2 Kerja Air Putih

Pelaksanaan terapi 1,5 L air putih dapat dilaksanakan tanpa menggangu fisiologi tubuh karena berdasarkan anatomi fisiologi manusia kapasitas lambung orang dewasa mencapai 1,5-2 L (Black & Hawks, 2009). Selain itu, pelaksanaan terapi air ini juga telah menjadi sebuah budaya di India yang disebut “usha kaala chikitsa”, sebuah istilah bahasa Sansekerta untuk terapi air. Tradisi ini dilakukan dengan minum 1,5 liter air putih setelah bangun tidur tanpa menggosok gigi terlebih dahulu. Setengah jam sampai satu jam sebelum dan sesudah minum air ini tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi minuman lainnya, seperti teh, kopi, atau susu (Black & Hawks, 2009).

Bagian air yang diserap ke dalam aliran darah dan sisanya mencapai rektum mana mendorong kotoran keluar dari tubuh. Peneliti menyadari bahwa minum sedikit air hangat sepenuhnya flushes kotoran di dubur hampir seperti mengambil enema. Jumlah cairan yang banyak sesuai kapasitas lambung (1,5 L)

(46)

diperlukan dalam satu kali pemberian di pagi hari untuk proses pembersihan organ tubuh. Masuknya cairan dalam jumlah yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus (Black & Hawks, 2009).

Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus.

Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon (Guyton & Hall, 2010).

Pelaksanaan terapi air dengan minum 1,5 L air putih di pagi hari segera setelah bangun tidur memang bukanlah hal yang mudah, khususnya bagi individu yang tidak terbiasa mengkonsumsi air dengan jumlah yang banyak (>300 ml) sekaligus. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 68% responden kelompok intervensi yang mengalami keluhan mual selama pemberian minum 1,5 liter, tetapi muntah maupun komplikasi yang berat tidak terjadi selama pelaksanaan intervensi (Black & Hawks, 2009).

Minum air putih harus dilakukan sebelum berkumur, karena saliva yang mengendap di mulut semalam banyak mengandung enzim-enzim dan antibiotik alami yang diperlukan tubuh. Jadi menelan air saliva sendiri adalah sehat. Setelah minum air putih, gosok dan bersihkan mulut tetapi jangan makan ataupun minum apapun selama 45 menit sesudahnya. Lebih baik menunggu 45 menit untuk makan

(47)

setelah minum 8 gelas air putih. Maksudnya memberikan kesempatan kepada air putih untuk membersihkan 8 meter usus halus. Setelah usus halus bersih, makanan dibiarkan masuk untuk diproses. Setelah 45 menit kemudian, boleh makan dan minum seperti biasa. Lima belas menit setelah sarapan, atau makan siang atau makan malam jangan minum apapun selama 2 jam sesudahnya. Untuk yang berusia lanjut ataupun yang sedang sakit dan tidak dapat minum 4 gelas air sekaligus, dapat digantikan dengan meminum air terlebih dahulu dan secara bertahap ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga mampu meminum 4 gelas air (Black & Hawks, 2009).

Metode di atas adalah untuk mengobati orang yang sedang sakit, bagi orang yang sedang tidak sakit dapat menikmati hidup sehat, antara lain: pagi hari ketika bangun tidur (bahkan tanpa gosok gigi terlebih dahulu) minumlah 1,5 liter air, yaitu 6 sampai 8 gelas. Lebih baik air ditakar dahulu sebanyak 1.5 liter.

Setelah itu boleh melanjutkan kegiatan pagi hari (Black & Hawks, 2009).

Hal itu sangat penting diketahui bahwa jangan minum atau makan apapun satu jam sebelum dan sesudah minum 1,5 liter air, tidak boleh minum minuman beralkohol pada malam sebelumnya, bila memungkinkan, gunakanlah air hangat, air rebus atau air jernih yang sudah disaring, khusus para pekerja atau para pelajar (yang pagi-pagi sudah harus berangkat), bangun lebih awal sehingga memberikan sela 1 jam sebelum sarapan.Untuk bergadang hingga pagi, minum 1,5 liter air putih dilakukan setelah bangun dari tidur yang lama (Diwanto, 2009).

Kotoran akan bereaksi dengan asam dipecah dan diserap oleh instetine lebih cepat daripada makanan padat. Kotoran akan berbaris dalam usus besar

(48)

dengan cepat akan berubah menjadi lemak dan menjadi pemicu kanker.

Dianjurkan untuk meminum air putih hangat untuk memperlancar pencernaan (Hamidin, 2010).

Pelaksanaan terapi 1,5 L air putih dapat dilaksanakan tanpa menggangu fisiologi tubuh karena berdasarkan anatomi fisiologi manusia kapasitas lambung orang dewasa mencapai 1,5-2 L. Selain itu, pelaksanaan terapi air ini juga telah menjadi sebuah budaya di India yang disebut “usha kaala chikitsa”, sebuah istilah bahasa Sansekerta untuk terapi air. Tradisi ini dilakukan dengan minum 1,5 liter air putih setelah bangun tidur tanpa menggosok gigi telebih dahulu. Setengah jam sampai satu jam sebelum dan sesudah minum air ini tidak dianjurkan untuk mengkonsumsi minuman lainnya, seperti teh, kopi, atau susu. Dengan demikian, peneliti yakin bahwa terapi air ini dapat dan baik digunakan sebagai salah satu pilihan intervensi pada asuhan keperawatan pasien konstipasi (Black & Hawks, 2009).

Dalam usus besar, bagian air yang diserap ke dalam aliran darah dan sisanya mencapai rektum mana mendorong kotoran keluar dari tubuh. Peneliti menyadari bahwa minum sedikit air hangat sepenuhnya flushes kotoran di dubur hampir seperti mengambil enema. Jumlah cairan yang banyak sesuai kapasitas lambung (1,5 L) diperlukan dalam satu kali pemberian di pagi hari untuk proses pembersihan organ tubuh. Masuknya cairan dalam jumlah yang banyak ke dalam lambung akan menimbulkan efek gastrokolik yang kemudian merangsang terjadinya peristaltik usus (Black & Hawks, 2009).

(49)

Air mengisi lambung, mengalir ke usus dan membersihkan rongga usus.

Bahan sisa metabolisme dalam saluran cerna akan membawa sejumlah air yang telah digunakan untuk mencairkan makanan, dan hal ini tergantung pada ketersediaan air di dalam tubuh. Air yang membawa sisa metabolisme akan bertindak sebagai pelumas untuk membantu sisa metabolisme ini bergerak di sepanjang kolon (Guyton & Hall, 2010).

Pelaksanaan terapi air dengan minum 1,5 L air di pagi hari segera setelah bangun tidur memang bukanlah hal yang mudah, khususnya bagi individu yang tidak terbiasa mengkonsumsi air dengan jumlah yang banyak (>300 ml) sekaligus.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 68% responden kelompok intervensi yang mengalami keluhan mual selama pemberian minum 1,5 liter, tetapi muntah maupun komplikasi yang berat tidak terjadi selama pelaksanaan intervensi. Keluhan mual yang dialami pasien sebenarnya bersifat ringan dan wajar karena lambung terisi penuh dengan cairan. Penggunaan air minum yang lebih hangat dan minum 1,5 L air secara bertahap dalam rentang 15-20 menit dapat dilakukan untuk meminimalkan rasa mual tersebut (Black & Hawks, 2009).

Keluhan mual juga akan semakin berkurang apabila individu/ pasien sudah terbiasa melaksanakan terapi tersebut, karena manusia memiliki respon adaptasi.

Oleh karena itu, penggunaan terapi air sebagai intervensi keperawatan pada pasien konstipasi tergolong aman karena hanya menimbulkan efek mual yang ringan yang dapat diatasi dengan berbagai cara (Diwanto, 2009).

Minum air putih 1,5 L di pagi hari segera setelah bangun tidur adalah hal yang dianggap sulit bagi sebagian orang. Beberapa perawat yang peneliti temui

(50)

justru merasa ragu dengan jumlah cairan yang dianjurkan karena khawatir pasien maupun individu lainnya tidak akan sanggup melakukannya. Melalui hasilpenelitian ini, peneliti dapat membuktikan bahwa pelaksanaan terapi 1,5 L air putih sangat mungkin dan dapat dilaksanakan oleh setiap orang (Guyton & Hall, 2010).

Minum air putih harus dilakukan sebelum berkumur, karena saliva yang mengendap di mulut semalam banyak mengandung enzim-enzim dan antibiotik alami yang diperlukan tubuh. Jadi menelan air saliva sendiri adalah sehat. Setelah minum air putih, gosok dan bersihkan mulut tetapi jangan makan ataupun minum apapun selama 45 menit sesudahnya. Lebih baik menunggu 45 menit untuk makan setelah minum 8 gelas air putih. Maksudnya memberikan kesempatan kepada air putih untuk membersihkan 8 meter usus halus. Setelah usus halus bersih, makanan dibiarkan masuk untuk diproses (Guyton & Hall, 2010).

Setelah 45 menit kemudian, boleh makan dan minum seperti biasa. Lima belas menit setelah sarapan, atau makan siang atau makan malam jangan minum apapun selama 2 jam sesudahnya. Untuk yang berusia lanjut ataupun yang sedang sakit dan tidak dapat minum 4 gelas air sekaligus, dapat digantikan dengan meminum air terlebih dahulu dan secara bertahap ditingkatkan sedikit demi sedikit hingga mampu meminum 4 gelas air (Guyton & Hall, 2010).

Metode di atas adalah untuk mengobati orang yang sedang sakit, bagi orang yang sedang tidak sakit dapat menikmati hidup sehat, antara lain: pagi hari ketika bangun tidur (bahkan tanpa gosok gigi terlebih dahulu) minumlah 1,5 liter

(51)

air, yaitu 6 sampai 8 gelas. Lebih baik air ditakar dahulu sebanyak 1.5 liter.

Setelah itu boleh melanjutkan kegiatan pagi hari (Guyton & Hall, 2010).

Hal itu sangat penting diketahui bahwa jangan minum atau makan apapun satu jam sebelum dan sesudah minum 1,5 liter air, tidak boleh minum minuman beralkohol pada malam sebelumnya, bila memungkinkan, gunakanlah air hangat, air rebus atau air jernih yang sudah disaring, khusus para pekerja atau para pelajar (yang pagi-pagi sudah harus berangkat), bangun lebih awal sehingga memberikan sela 1 jam sebelum sarapan. Untuk bergadang hingga pagi, minum 1,5 liter air putih dilakukan setelah bangun dari tidur yang lama. Kotoran akan bereaksi dengan asam dipecah dan diserap oleh instetine lebih cepat daripada makanan padat. Kotoran akan berbaris dalam usus besar dengan cepat akan berubah menjadi lemak dan menjadi pemicu kanker. Dianjurkan untuk meminum air putih hangat untuk memperlancar pencernaan (Hamidin, 2010).

Terapi air adalah suatu metoda penyembuhan dengan menggunakan air untuk mendapatkan efek-efek terapis atau penyembuhan (Hamidin, 2010). Terapi air merupakan sebuah budaya di India yang disebut “usha kaala chikitsa”, sebuah istilah bahasa Sansekerta untuk terapi air. Penggunaan terapi air saat ini sudah mulai meluas di Asia dan Amerika. Terapi ini ada yang bersifat internal dan eksternal. Terapi air yang digunakan untuk mencegah dan mengatasi konstipasi adalah yang sifatnya internal, yaitu dengan minum air putih sebanyak 1,5 liter. Air adalah salah satu nikmat anugrah yang diberikan oleh Tuhan kepada makhluknya terutama umat manusia. Air putih memiliki daya penyembuhan (Hamidin, 2010).

(52)

Air adalah cairan tidak berwarna dan tidak berbau terdiri dari molekul yang mengandung dua atom hidrogen dan satu atom oksigen. Walaupun tubuh manusia lebih banyak terdiri atas air, tapi setiap harinya kehilangan banyak air.

Manusia kehilangan sekitar 1,5 liter air sehari meskipun hanya duduk-duduk. Air akan semakin tercurah keluar dari tubuh bila melakukan aktivitas yang menguras tenaga. Menurut Hamidin (2010), kehilangan 4 persen cairan akan mengakibatkan penurunan kinerja sebanyak 22 persen. Jika kehilangan cairan lebih dari 7 persen, mulai merasa lemah, lesu, dan pusing-pusing.

Menurut Hamidin (2010), fungsi air di dalam tubuh sebagai:

a. Mengatur suhu tubuh Tubuh akan menurun kondisinya ketika kadar air

Hal ini terjadi apabila tubuh tidak mendapatkan pemasukan cairan dengan segera untuk memenuhi kebutuhan air dalam tubuh. Suhu tubuh akan meningkat bila tubuh kekurangan air. Masukan cairan ke dalam tubuh akan menyeimbangkan suhu tubuh.

b. Memperlancar Peredaran Darah

Darah dalam tubuh manusia terdiri dari 90% air. Darah akan menjadi lebih kental bila tubuh kekurangan air. Hal ini disebakan cairan di dalam darah tersedot untuk kebutuhan dalam tubuh. Darah berfungsi untuk membawa nutrisi dan oksigen ke seluruh tubuh sehingga ketika tubuh kehilangan air secara terus- menerus maka bisa dipastikan darah akan lebih cepat mengental. Akibatnya jantung dipaksa untuk bekerja lebih keras memompa darah ke seluruh tubuh.

(53)

c. Menyehatkan dan menghaluskan kulit tubuh

Ketika tubuh kekurangan air, tubuh akan menyerap kandungan air di dalam kulit sehingga kulit akan menjadi tampak kering, kusam, kasar, berkerut dan tidak segar. Air sangat penting untuk mengatur struktur dan fungsi kulit.

Kecukupan air di dalam tubuh perlu untuk menjaga kelembaban, kelembutan, dan elastisitas kulit akibat pengaruh panas dari luar tubuh.

d. Memperlancar Fungsi Pencernaan

Konsumsi air yang cukup akan membantu organ-organ pencernaan seperti usus besar agar berfungsi mencegah konstipasi karena gerakan-gerakan usus menjadi lebih lancar. Metabolisme di dalam tubuh akan berjalan dengan sempurna dengan konsumsi air yang cukup.

e. Membantu Pernafasan Tubuh

Paru-paru di dalam tubuh manusia harus selalu basah dalam melaksanakan fungsinya untuk memasukkan oksigen ke dalam sel tubuh dan mengeluarkan karbondioksida.

f. Melumasi Sendi dan Otot

Air yang cukup di dalam tubuh akan melindungi dan melumasi gerakan sendi dan otot. Air membantu melumasi sendi agar bergerak lebih luwes. Otot- otot tubuh akan mengempis apabila otot-otot tubuh kekurangan cairan, sehingga tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik karena kekurangan cairan

g. Media Untuk Memulihkan Kondisi Tubuh

Cairan yang keluar dari dalam tubuh akan lebih banyak pada saat terjadi peningkatan suhu tubuh. Kondisi ini memerlukan konsumsi cairan yang lebih

(54)

banyak dari biasanya, karena air berfungsi untuk menggantikan cairan yang telah terbuang dari dalam tubuh. Efek hormon pertumbuhan tidak lagi merupakan faktor dominan dalam pengaturan asupan air bagi tubuh setelah pertumbuhan fisik terjadi secara penuh, dan tubuh tidak lagi berada dalam tahap pertumbuhan dari perkembangan fisik. Pengaturan air tubuh terutama menjadi tanggung jawab pusat-pusat saraf di otak yang mengeluarkan histamin sebagai pembawa pesan kimianya. Sensasi haus tidak memadai untuk mengatur kecukupan asupan air.

Sistem vaskuler (peredaran darah) akan membawa air ke bagian tubuh yang memerlukan cairan.

2.3.3 Pengaruh air putih terhadap saluran cerna

Sel-sel pada organ tubuh yang rusak akan segera diganti oleh sel yang baru melalui zatzat makanan yang diangkut oleh air. Minum air yang hangat akan sangat membantu menurunkan suhu tubuh bagi orang yang mengalami demam.

Minum air yang banyak tidak akan merugikan kesehatan tubuh (kecuali pada penyakit yang memiliki kontra indikasi terhadap pemberian minum yang banyak, seperti: gagal jantung dan gagal ginjal), dan tidak ada dampak buruk jika mengkonsumsi air yang terlalu banyak sepanjang kodisi air yang diminum baik (Hamidin, 2010).

Kotoran-kotoran tubuh/ ampas metabolisme akan cepat keluar melalui urin dengan asupan cairan yang banyak. Air tidak mengandung kalori, gula, atau lemak sehingga menyehatkan. Kurangnya konsumsi cairan juga dapat mengakibatkan proses penyembuhan dan pemulihan yang lama. Hampir semua reaksi tubuh memerlukan air, dan kurangnya cairan akan mengganggu reaksi

(55)

tersebut. Konsumsi air harus cukup setiap harinya, oleh karena itu air harus diminum sedikitnya 8 gelas (sekitar 2 liter) per hari (Hamidin, 2010).

Air dapat membantu dan meredakan keluhan beberapa penyakit, yaitu antara lain : diabetes, penyakit kulit, konstipasi, kolesterol, obesitas, maag, jerawat, anti-penuaan, glukoma, jantung, kanker, kulit kerut kering, radang sendi, asam urat, liver kerutan dini, edema, darah kental, ginjal, asma, darah tinggi dan disentri (Handoyo, 2014).

2.3.4 Hubungan air putih dengan konstipasi

Kolon menggunakan banyak air untuk memecah makanan padat. Air harus mencairkan komponen-komponen makanan padat yang tidak dapat larut agar sarinya dapat diserap. Apa pun yang dilarutkan kemudian akan diserap ke dalam aliran darah dan dikirim ke hati untuk diproses. Komponen makanan yang tidak dapat dipecah lebih lanjut akan dilewatkan melalui beberapa segmen usus dan secara bertahap dipadatkan untuk pembuangan (Black & Hawks, 2009).

Jalan keluar alami untuk mencegah konstipasi adalah dengan menambah asupan air dan serat. Penyerapan ulang air di saluran pencernaan juga melibatkan pengaturan katup di antara bagian terakhir usus kecil dan bagian awal kolon, yang dikenal sebagai katup ileosekal. Katup menutup dan memberi waktu pada usus halus untuk menyerap air sebanyak mungkin dari ampas metabolisme. Penutupan katup bisa menjadi terlalu kuat dan menimbulkan spasme pada tingkat dehidrasi tertentu (Batmanghelidj, 2007). Satu setengah liter air direkomendasikan dengan mempertimbangkan rata-rata kapasitas lambung. Lambung merupakan suatu

Referensi

Dokumen terkait

Penerapan tema pada bangunan adalah dengan membuat disain yang terdiri dari berbagai unsur-unsur yang tedapat pada bangunan tradisional Jepang yang kemudian digabungkan

profil informasi terkait obat dan non farmakologi yang diberikan oleh petugas apotek terhadap pasien swamedikasi yang datang dengan keluhan batuk.. untuk mengetahui profil tingkat

Analisis teknikal menggunakan data historis dari perilaku pasar untuk perhitungan menggunakan software metastock yang digunakan untuk menentukan waktu jual, waktu beli, dan waktu

Dari penulisan ini dapat diketahui bahwa dengan sistem bagi hasil, setiap seribu rupiah dana nasabah yang diinvestasikan mendapatkan bagi hasil yang berfluktuasi, tergantung

Website ini dibangun dengan menggunakan perangkat lunak Macromedia Flash MX yang digunakan untuk pembuatan animasi didalam halaman web, sehingga halaman web menjadi lebih

Hasil penelitian dapat diketahui bahwa, Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga

If you are using an older version of Packet Tracer and encounter an issue, please download and install Packet Tracer 7.1.. Most known issues in older versions of Packet Tracer

Sedangkan pada rumah sakit dengan sistem tiga shift kerja, menunjukkan bahwa stres kerja lebih tinggi pada perawat dengan masa kerja 2-4 tahun dengan nilai rerata stres