• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Kebijakan Hukum Pidana Dalam Penanggulangan Tindak Pidana Narkotika Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)"

Copied!
174
0
0

Teks penuh

(1)

4KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR

35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

(Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 090200175

CHRISPO MUAL NATIO SIMANJUNTAK

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35

TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

(Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

NIM: 090200175

CHRISPO MUAL NATIO SIMANJUNTAK

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui oleh:

Ketua Departemen Hukum Pidana

(DR. Muhammad Hamdan, S.H, M.H

Pembimbing I, Pembimbing II, )

NIP.195703261986011001

(Dr.Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum) (Rafiqoh Lubis.,SH M.Hum) NIP. 197404012002121001 NIP. 197407252002122002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Chrispo Mual Natio Simanjuntak*) Dr.Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum**)

Rafiqoh Lubis.,SH M.Hum***)

Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) adalah narkotika jenis baru yang belum terdaftar dalam lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan senyawa turunan dari Narkotika Golongan I yaitu katinona. Melihat bahaya dari metilon, hukum pidana sebagai ultimum remedium seharusnya ditegakkan guna mencegah penyalahgunaan metilon. Namun penegakan hukum pidana terhadap metilon terkendala “asas legalitas” yang menjunjung tinggi kepastian hukum dalam sistem hukum civil law yang dianut Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat ditarik rumusan masalah yaitu, perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika di Indonesia dan penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika senyawa jenis Metilon dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Data dari penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan yang kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan hasil yang besifat deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kebijakan hukum pidana di Indonesia mendapat pengaruh dari Convention on Psychotropic Substances 1971 dan Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. Produk hukum nasional yang mengatur tindak pidana narkotika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang Tahun 2009 tentang Narkotika. Kebijakan Hukum pidana terkait tindak pidana narkotika memiliki dimensi kebijakan kriminalisasi perbuatan, pertanggungjawaban Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 pidana, sanksi, pemidanaan dana pemberatan. Metilon memiliki struktur kimia yang mirip dengan ekstasi namun memiliki dampak yang lebih dahsyat bahkan tidak dapat digunakan sama sekali untuk medis maupun kosmetik. Melihat hal tersebut penegakan hukum pidana dalam hal pemidanaan merupakan hal yang sangat krusial. Penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon menuntut para penegak hukum melakukan penemuan hukum lewat jalan penafsiran (interpretasi). Metode penafsiran dilakukan secara sistematis, doktriner, teleologis serta ekstensif. Namun demikian, penafsiran harus tetap dilakukan secara limitatif. Bahkan demi menghindari polemik, sebaiknya Menteri Kesehatan segera menerbitkan peraturan terkait dengan perubahan atas Golongan Narkotika.

______________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Yesus Kristus Tuhan semesta alam dan JuruSelamat umat manusia karena hanya di dalam NamaNya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul : “KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA (Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika). Penulisan skripsi ini dimaksudkan sebagai syarat yang harus dipenuhi dalam rangka memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam penyelesaian skripsi ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:.

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum. selaku Dekan FH USU, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan I, Bapak Syafruddin S.H., M.Hum., D.F.M. selaku Pembantu Dekan II, dan Bapak Husni S.H., M.Hum. selaku Pembantu Dekan III.

2. Bapak Dr. M. Hamdan S.H., M.Hum. dan Ibu Liza Erwina S.H., M.Hum. selaku Ketua dan Sekretaris Departemen Hukum Pidana.

(5)

4. Bapak Dosen Pembimbing I Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum., dan Ibu Dosen Pembimbing II Rafiqoh Lubis SH.,M.Hum., penulis berterimakasih yang sebesar-besarnya atas bimbingan dan arahan selama ini.

5. Seluruh staf pengajar, staf administrasi dan pegawai pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orangtuaku tercinta, Ir. S.H Simanjuntak dan Ir. R.E.D Sinambela S.Th., yang tiada hentinya mendoakan, menemani, mengasihi, dan memberikan dukungan serta semangat pantang menyerah kepada penulis.

7. Adikku Chredo Macedo Niagara Simanjuntak dan Jingga Nemeeses Epiphani Simanjuntak..

8. Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang telah membimbing penulis sehingga menjadi kader yang tinggi iman, tinggi ilmu, dan tinggi Pengabdian, UKM The Chair Foundation, Komunitas Peradilan Semu FH-USU, Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Hukum USU periode 2013-2014.

9. Sahabat terhebatku Juliagustinasari Inggriany Kesumawati Ireneriska Hutagaol.

(6)

Saya sadari skripsi ini masih sangat jauh dari sempurna, sehingga penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran. Demikianlah penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat dan berguna bagi masyarakat.

Medan,

Hormat Penulis

(7)

DAFTAR ISI

Abstrak ...……..… i

Kata Pengantar ...……. ii

Daftar Isi ...…...……. v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang……….…...………… 1

B. Perumusan Masalah………...………..………… 12

C. Tujuan Penulisan……… 12

D. Manfaat Penulisan………..……….. 13

E. Keaslian Penulisan………..……..……. 13

F. Tinjauan Kepustakaan………..….…….... 14

1. Pengertian Tindak Pidana………..………...……. 14

2. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika……..……… 23

3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan……..……… 30

G. Metode Penelitian……….……….. 33

H. Sistematika Penulisan……….………. 37

BAB II PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA A. Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia terkait dengan Tindak Pidana Narkotika……….………. 39

1. Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971)………..………. 41 2. United Nation Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and

(8)

Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988)………..……….... 54

B. Pengaturan Tindak Pidana Narkotika di Indonesia………. 63 1. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun

1976 tentang Narkotika………. 64 2. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun

1997 tentang Narkotika………. 78 3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun

2009 tentang Narkotika………. 88

BAB III PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA JENIS KATINON DALAM KAITANNYA DENGAN ASAS LEGALITAS DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009

A. Penggolongan Narkotika dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika………...……..…..……… 100 B. Analisis Terhadap Struktur Kimia dan Dampak Penyalahgunaan senyawa

Katinon………...………...……….. 110 C. Penegakan Hukum Pidana Terhadap Penyalahgunaan Metilon (3,4

Metilendioksi Metkatinon) dalam Kaitannya dengan Asas Legalitas………...….…… 114 BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan……….... 147

B. Saran……….. 150

(9)

ABSTRAKSI

Chrispo Mual Natio Simanjuntak*) Dr.Mahmud Mulyadi, SH.M.Hum**)

Rafiqoh Lubis.,SH M.Hum***)

Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) adalah narkotika jenis baru yang belum terdaftar dalam lampiran I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang merupakan senyawa turunan dari Narkotika Golongan I yaitu katinona. Melihat bahaya dari metilon, hukum pidana sebagai ultimum remedium seharusnya ditegakkan guna mencegah penyalahgunaan metilon. Namun penegakan hukum pidana terhadap metilon terkendala “asas legalitas” yang menjunjung tinggi kepastian hukum dalam sistem hukum civil law yang dianut Indonesia. Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat ditarik rumusan masalah yaitu, perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika di Indonesia dan penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika senyawa jenis Metilon dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 Tentang Narkotika.

Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah yuridis normatif. Data dari penelitian ini diperoleh dari penelitian kepustakaan yang kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif untuk mendapatkan hasil yang besifat deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan kebijakan hukum pidana di Indonesia mendapat pengaruh dari Convention on Psychotropic Substances 1971 dan Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988. Produk hukum nasional yang mengatur tindak pidana narkotika terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika, Undang-Undang Tahun 2009 tentang Narkotika. Kebijakan Hukum pidana terkait tindak pidana narkotika memiliki dimensi kebijakan kriminalisasi perbuatan, pertanggungjawaban Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika dan Undang-Undang Nomor 35 pidana, sanksi, pemidanaan dana pemberatan. Metilon memiliki struktur kimia yang mirip dengan ekstasi namun memiliki dampak yang lebih dahsyat bahkan tidak dapat digunakan sama sekali untuk medis maupun kosmetik. Melihat hal tersebut penegakan hukum pidana dalam hal pemidanaan merupakan hal yang sangat krusial. Penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon menuntut para penegak hukum melakukan penemuan hukum lewat jalan penafsiran (interpretasi). Metode penafsiran dilakukan secara sistematis, doktriner, teleologis serta ekstensif. Namun demikian, penafsiran harus tetap dilakukan secara limitatif. Bahkan demi menghindari polemik, sebaiknya Menteri Kesehatan segera menerbitkan peraturan terkait dengan perubahan atas Golongan Narkotika.

______________________

* Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara ** Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum merupakan alat rekayasa sosial. Hal ini berarti hukum bisa berfungsi untuk mengendalikan masyarakat dan bisa juga menjadi sarana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam masyarakat.1

Hukum bersifat terbuka berarti hukum harus selalu peka dan berinteraksi dengan lingkungan sosial sehingga terjadi pertukaran informasi antara hukum dengan lingkungan sosial tersebut.Dengan demikian, disamping hukum merupakan suatu institusi normatif yang memberikan pengaruhnya terhadap lingkungannya, ia juga menerima pengaruh serta dampak dari lingkungannya tersebut.

Untuk menjalankan fungsi hukum sebagai alat rekayasa sosial tersebut maka hukum harus bersifat terbuka terhadap dinamika sosial yang terjadi dalam masyarakat.

2

Keterbukaan hukum terhadap lingkungan sosial tersebut bertujuan agar hukum selalu efektif dan efisien dalam menyikapi setiap perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat mengingat sifat masyarakat yang senantiasa dinamis akibat adanya interaksi sosial dalam rangka memenuhi kebutuhan masing-masing individu. Dengan keterbukaan tadi, diharapkan hukum dapat mengimbangi perubahan sosial tersebut.

1

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010) hal.189 2

(11)

Namun kenyataan yang sering terjadi adalah hukum seringkali tertinggal dari kejadian sosial dalam masyarakat.Tertinggalnya hukum dari dinamika masyarakat juga dinyatakan oleh R.Soeroso melalui uraiannya tentang pekerjaan pembuatan undang-undang yang meliputi 2 (dua) aspek yaitu :3

- Pembuat undang-undang hanya menerapkan aturan-aturan umum saja: pertimbangan-pertimbangan tentang hal konkret diserahkan kepada hakim.

- Pembuat undang-undang selalu ketinggalan dengan kejadian-kejadian sosial yang timbul di kemudian di dalam masyarakat, maka hakim sering menambah undang-undang itu.

Ketertinggalan hukum dari kejadian yang timbul dalam masyarakat akan menimbulkan suatu kesenjangan.Kesenjangan tersebut lama-kelamaan akan mempengaruhi tingkah laku dan kesadaran hukum anggota-anggota masyarakat. Kesenjangan tersebut akan mencapai tingkat sedemikian rupa, sehingga kebutuhan akan perubahan ditandai oleh tingkah laku anggota-anggota masyarakat, yang tidak lagi merasakan kewajiban-kewajiban yang dituntut oleh hukum, sebagai sesuatu yang harus dijalankan. 4Keadaan tersebut tentu bertentangan dengan gagasan Von Savigny (1799-1861) salah seorang pemuka ilmu sejarah hukum yang menyatakan bahwa hukum merupakan perwujudan dari kesadaran hukum masyarakat (volkgeist).5

3

R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,2001), hal.110 4

Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal.192 5

(12)

Ketertinggalan hukum (terutama hukum tertulis) terhadap perubahan sosial masyarakat merupakan masalah yang harus disikapi secara serius oleh setiap stakeholder di bidang hukum mengingat salah satu tujuan hukum adalah menjaga ketertiban masyarakat. Secara sederhana dapat kita tarik analogi, kalau hukum tidak dapat beradaptasi seiring perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat, bagaimana mungkin hukum dapat menjaga ketertiban masyarakat tersebut? Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum sangat dekat dan bahkan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sosial masyarakat.

Salah satu bidang hukum yang paling dekat dengan kehidupan sosial adalah hukum pidana. Hal ini dapat dilihat dari tujuan hukum pidana modern yaitu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan.6

Uraianyang dikemukakan di atas sudah cukup menggambarkan bahwa hukum pidana harus memperhatikan dan mengarah pada tercapainya tujuan kebijakan sosial Kejahatan dalam hal ini tidak boleh dimaknai begitu sempit sebatas rumusan delik yang tercantum dalam buku kedua KUHP ataupun delik yang tercantum dalam keseluruhan perundang-undangan pidana di Indonesia melainkan lebih mendasar sebagai suatu masalah sosial. Karena sebenarnya saat terjadi kejahatan, keseimbangan dan keharmonisan dalam kehidupan sosial masyarakat terganggu yang selanjtunya menimbulkangap ataupun kekacauan dalam tatanan sosial masyarakat. Penerapan hukum pidana seyogyanya harus dapat memperbaiki tatanan sosial masyarakat yang rusak akibat kejahatan tersebut.

6

(13)

(social policy) berupa social welfare dan social defence.7

Salah satu jenis kejahatan yang cukup menyita perhatian ilmu hukum pidana adalah Tindak Pidana Narkotika. Narkotika semula ditujukan untuk kepentingan pengobatan, namun dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi obat-obatan maka jenis-jenis narkotika dapat diolah sedemikian banyak seperti yang terdapat saat ini serta dapt pula disalahgunakan fungsinya yang bukan lagi untuk kepentingan di bidang pengobatan, bahkan sudah mengancam kelangsungan eksistensi generasi suatu bangsa.

Dampak paling nyata dari kedekatan hukum pidana dengan kebijakan sosial tersebut adalah hukum pidana harus senantiasa berkembang seiring dengan perkembangan kejahatan akibat interaksi sosial dalam masyarakat..

8

Bahaya lain dari tindak pidana penyalahgunaan narkotika ini adalah efeknya yang dimensional, artinya tindak pidana Narkotika dapat menimbulkan tindak pidana Oleh karena itu tindak pidana narkotika terbilang cukup unik karena pada apabila Narkotika digunakan dengan dosis yang tepat dan dibawah pengawasan dokter anastesia atau dokter psikiater dapat digunakan untuk kepentingan pengobatan atau penelitian sehingga berguna bagi kesehatan fisik dan kejiwaan manusia, namun di sisi lain apabila disalahgunakan dapat menimbulkan ketergantungan dan kerusakan mental bahkan fisik si penyalahguna.

7

Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, (Jakarta: Kencana, 2007) hal.77

8

(14)

lain. Efek adiktif dari narkotika tersebut menyebabkan tidak sedikit para pecandu terpaksa melakukan tindak pidana lainnya seperti pencurian, penggelapan demi mendapatkan uang untuk membeli narkotika tersebut. Selain dapat melatarbelakangi berbagai tindak pidana, penyalahgunaan narkotika juga dapat membahayakan keselamatan jiwa orang lain. Sebut saja kasus kecelakaan maut di tugu tani yang merenggut hingga sembilan nyawa sebagai contohnya.

Tingkat penyalahgunaan narkotika di Indonesia tergolong masih sangat tinggi. Dalam sebuah berita, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Republik Indonesia Komjen Anang Iskandar menyebutkan, jumlah pengguna narkoba di Indonesia sudah mencapai 4,9 juta lebih.9 Penyalahgunaan tersebut tidak boleh dianggap enteng, karena tidak sedikit penyalahgunaan tersebut berujung maut. Bahkan setiap tahunnya korban meninggal akibat penyalahgunan narkotika tersebut mencapai angka 15.000 jiwa.10

Efek ketergantungan yang ditimbulkan oleh narkotika membuat orientasi peredaran narkotika bergeser ke arah matrealistis dengan mencari sasaran pasar global. Demi mengejar keuntungan materi, tindak pidana narkotika dimodifikasi Jumlah tersebut bukanlah jumlah yang sedikit dan apabila hal ini terus terjadi maka penyalahgunaan narkotika tersebut akan menurunkan kualitas maupun kuantitas Sumber Daya Manusia di Indonesia yang berujung pada melemahnya ketahanan nasional.

(15)

menjadi tindak pidana yang bersifat luar extraordinary (luar biasa), transnasional dan terorganisir. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur perdagangan internasional serta potensi pariwisata Indonesia yang menyebabkan Indonesia menjadi ladang subur dari peredaran Narkotika Internasional. Hal ini terbukti daristatistik yang menunjukkan bahwa 70 persen narkotika yang beredar di di dalam negeri merupakan kiriman dari luar negeri.11

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan juga membuat tindak pidana narkotika sangat sulit untuk ditanggulangi. Berbagai modus operandi serta varian narkotika jenis baru bermunculan dan menjadi tantangan bagi hukum pidana yang merupakan ultimum remedium terhadap tindak pidana narkotika.

Sebut saja narkotika jenis baru Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan semenjak mencuatnya kasus Raffi Ahmad dan ternyata tidak terdaftar dalam Lampiran Undang-Undang No.35 Tahun 2009 Tentang Narkotika. Metilon (3,4 Metilendioksi Metkatinon)sendiri jika disalahgunakandapat menyebabkan hilangnya nafsu makan, kejang, muntah, sakit kepala, perubahan warna (discolorisation) pada kulit, hipertensi, hiper-refleksia, euforia, halusinasi, gelisah, lekas marah, insomnia dan serangan panik.Pengguna kronis beresiko terkena gangguan kepribadian, menderita infark miokard sampai kematian. Infark miokard yaitu matinya sekelompok otot jantung karena penyumbatan mendadak dari arteri

(16)

koroner.Hal ini biasanya disertai dengan nyeri dada luar biasa dan sejumlah kerusakan jantung.

Permasalahan yang fundamentalterkait dengan metilon adalah Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental atau sering juga disebut Civil Law yang menitikberatkan pada kodifikasi peraturan perundang-undangan ataupun hukum positif. Dalam konteks hukum pidana dalam sistem hukum eropa kontinental, karakteristik utama hukum pidana terletak dalam “asas legalitas” yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Asas tersebut umumnya dikenal dalam Bahasa Latin yang berbunyi “ Nullum delictum Nula Poena Sine Previa Legi Poenalle”. Eddie O.S Hiariej mencoba menterjemahkan asas ini ke dalam bahasa Indonesia yaitu:

“Tiada Perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan ketentuan pidana menurut ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu”.12

Jika ditelusuri sejarahnya, keberadaan asas legalitas ini sebenarnya bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan persamaan hak warga negara dari kesewenang-wenangan pemerintah. Karena itu, dampak konkrit dari asas legalitas adalah hukum pidana di Indonesia sangat berpatokan dan bergantung kepada peraturan-perundangan ataupun hukum tertulis.Maka untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika haruslah berpatokan pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun

12

(17)

2009 tentang Narkotika sebagai payung hukum terhadap pengaturan narkotika di Indonesia.

Pasal 1 angka (1) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika disebutkan pengertian Narkotika: Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang ini.

Uraian pasal tersebut secara tegas menyataka bahwa yang tergolong narkotika hanyalah yang terdaftar dalam Undang-Undang tersebut dan yang tidak terdaftar bukanlah narkotika secara yuridis. Dengan demikian apabila kita memandang secara sempit dari perspektif asas legalitas maka metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana yang karena bukan merupakan narkotika sebagaimana dimaksud dan terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Ketergantungan hukum pidana terhadap hukum tertulis sebagai konsekuensi asas legalitas merupakan hal yang krusialmengingat betapa pesatnya perkembangan dan perubahan dalam masyarakat dengan aneka kejahatannya. Apalagi hukum tertulis itu sendiri cenderung kaku dan sulit melakukan adaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi.13

13

Satjipto Rahardjo, Op.Cit, hal 191.

(18)

mengakomodir bahaya penyalahgunaan metilon yang berpotensi menimbulkan dampak negatif narkotika pada umumnya.

Keberadaan mengenai metilon kian dilematis mengingat Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengharamkan para hakim menolak untuk memeriksa, mengadili, memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalil hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.14

Pada umumnya dalam menanggapi kekosongan hukum sebagaimana yang terjadi terhadap katinon tersebut, ilmu hukum mengenal istilah penemuan hukum (Rechtsvinding) yang lazim dipraktekkan oleh para penegak hukum. Menurut Sudikno Mertukusumo penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugaskan untuk menerapkan peraturan Konsekuensinya, para penegak hukumuntuk aktif dan tidak boleh menutup mata terhadap perkara-perkara yang terjadi danmengganggu tatanan sosial dalam masyarakatdengan dalih belum ada hukumnya.Demikian halnya terhadapmetilon yang tidakdimasukkan dalam daftar narkotika dalam lampiran Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Kekosongan hukum tersebuttidak bisa dijadikan alasan absennya kebijakan hukum pidana terhadap Metilon.

14

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman:

(19)

hukum umum pada peristiwa konkret.15

Dalam penemuan hukum tersebut juga terdapat dua unsur penting yang harus diperhatikan yaitu sumber hukum dan kedua adalah fakta.

Dalam penemuan hukum dikenal dua metode yaitu Konstruksi Hukum dan Intrepetasi ( Penafsiran ).

16

Mengenai sumber hukum G.W Paton mengemukakan sebagai berikut :

Maka dalam melakukan penemuan hukum untuk merumuskan kebijakan hukum pidana terhadap fakta yaitu“penyalahgunaanmetilon” sangat penting mencari sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan bahan referensi para penegak hukum dalam melakukan penemuan hukum tersebut.

“ The term sources of law has many meanings and is frequent causes of error unless we scrutinize carefully the particular meaning given to it in any particular text( Ada banyak arti dari istilah sumber hukum dan sering kali menjadi sebab terjadinya kekeliruan – kekeliruan terkecuali jika kita teliti dengan seksama arti-arti yang khusus yang diberikan terhadap istilah tersebut yang terdapat di dalam suatu teks tertentu)”17

Uraian menurut Paton tersebut telah menjelaskan bahwa tidak ada pengertian resmi dari sumber hukum yang menyebabkan sering terjadinya kekeliruan baik dalam dunia teori maupun praktik hukum. Sebelum melakukan penemuan hukum maka haruslah dipahami apa sebenarnya sumber hukum yang diakui secara umum dalam dunia teori maupun praktik hukum.

15

Eddy O.S Hiariej, Op.Cit, hal 56 16

Ibid

17

(20)

Achmad Ali mencoba merumuskan sumber hukum lebih sederhana yaitu : Sumber hukum adalah tempat dimana kita menemukan hukum namun adakalanya sumber hukum sekaligus merupakan hukum seperti keputusan hakim.18

1. Undang-Undang

Beritik tolak dari pandangan tersebut maka dalam ilmu hukum sendiri dikenal lima sumber hukum sebaga tempat dimana kita menemukan hukum yaitu:

2. Kebiasaan/adat 3. Traktat ( Perjanjian) 4. Jurisprudensi 5. Doktrina

Melihat sumber-sumber hukum yang dikemukakan di atas, maka dalam kasus metilon, tidak dapat digunakan hanya satu sumber hukum yaitu Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang menyebabkan penyalahgunaan metilon tidak dapat dikenakan penegakan hukum pidana. Hukum terhadap metilon masih harus dicari dan ditemukan dari sumber-sumber hukum lainnya.

Metilon sebenarnya tidaklahsama sekali tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Katinona yang merupakan senyawa induk dari metilon telah termasuk dalam daftar Narkotika Golongan I Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Berdasarkan semua uraian di atas maka penulis terdorong untuk mengangkat dan membahas ke dalam skripsi yang diberi judul: “KEBIJAKAN HUKUM

18

(21)

PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA(Analisis Mengenai Penyalahgunaan Metilon Salah Satu Senyawa Turunan Katinona sebagai Tindak Pidana Narkotika).”

B. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari latar belakang permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini. Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak menyimpang dari pokok materi yang ada dan lebih terarah, maka penulis membatasi lingkup pembahasan dalam skripsi ini dengan tujuan agar lebih mudah dipahami dan dimengerti.

Atas dasar itulah, Penulis membatasi ruang lingkup kajian permasalahan yang ada sebagai berikut :

1. Bagaimana perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana narkotika di Indonesia?

(22)

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan perumusan masalah yang penulis kemukakan di atas, maka tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana Narkotika di Indonesia.

2. Untuk mengetahui penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan narkotika jenis Katinon dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

D. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan ini adalah:

1. Secara teoritis skripsi ini diharapkan akan memberikan masukan dan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya, dan ilmu hukum pidana khususnya

(23)

E. Keaslian Penulisan

Penelitian ini adalah asli, sebab ide, gagasan pemikiran dalam penelitian ini bukan merupakan hasil ciptaan atau hasil penggandaan dari karya tulis orang lain yang dapat merugikan pihak-pihak tertentu. Demikian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya dan belum pernah ada judul yang sama. Setelah penulis melakukan browsing serta melalui tahap pemeriksaan oleh Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara/ Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum USU tertanggal 07 Oktober 2013. Jika di kemudian hari ditemukan penelitian yang sama dan muncul permasalahan, maka penulis bersedia untuk mempertanggungjawabkannya baik secara moral maupun ilmiah. Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengertian Tindak Pidana

(24)

peraturan perundang-undangan hukum pidana di Belanda.19 Dalam perkembangannya timbul permasalahan dalam penterjemahannya karena perbedaan pendapat oleh para ahli dikarenakan dalam WvS sendiri tidak diberi penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud Strafbaar feit ini. Di Negeri Belanda sendiri pemakaian istilah “feit” dikarenakan istilah itu meliputi perbuatan (handelen) dan juga pengabaian (nalaten) .20

Dalam perkembangan ilmu hukum di Indonesia sendiri terdapat beberapa istilah yang lazim digunakan sebagai terjemahan dari strafbaar feit yaitu :

1. Tindak Pidana, dalam dunia hukum Indonesia dewasa ini, istilah inilah yang paling lazim digunakan dan bisa dikatakan istilah resmi dalam hukum pidana Indonesia. Dikatakan resmi karena beberapa peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah tindak pidana tersebut, seperti dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian uang. Pemakaian istilah tindak pidana ini secara resmi telah membuatnya mendapat posisi yang sangat kuat dalam kesadaran hukum masyarakat Indonesia. Namun pemakaian istilah tindak pidana ini juga mendapat kritikan dari beberapa ahli dikarenakan istilah tindak menggambarkan suatu gerakan/tindakan yang aktif secara jasmaniah oleh

19

Andi Hamzah, Pengantar Azas-azas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.86 20

(25)

manusia, sementara dalam hukum pidana Indonesia terdapat delik pasif (Ommisionis) seperti yang diatur dalam Pasal 164 KUHP.

2. Peristiwa Pidana, digunakan oleh beberapa ahli hukum seperti : Mr. R. Tresna, Mr. Drs. HJ van Schravendijk, Utrecht. Istilah ini juga pernah dipakai secara resmi dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.21 Utrecht menyalin dan menterjemahkan langsung istilah Strafbaar feit menjadi peristiwa pidana.22 Mengenai pemakaian istilah peristiwa pidana ini Moeljatno mengatakan bahwa pemakaian istilah “peristiwa pidana” ini kurang tepat dikarenakan peristiwa itu merupakan pengertian yang konkret, yang hanya menunjuk pada suatu kejadian tertentu saja, misalnya matinya orang.23

3. Delik, berasal dari kata “delictum” dalam bahasa latin. Istilah ini dipakai oleh Utrecht, Zainal Abidin. Moeljatno dalam bukunya juga pernah menggunakan istilah ini yang berjudul “ Delik-Delik Percobaan dan Delik-Delik Penyertaan”. Andi Hamzah juga menggunakan istilah ini dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana karena menganggap istilah ini lebih netral.24

4. Pelanggaran Pidana, dipakai oleh Mr.M.H Tirtaamidjaja dalam bukunya Pokok-Pokok Hukum Pidana.

5. Perbuatan yang boleh hukum dipergunakan oleh Mr.Karni dan Schravendik.

21

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I ( Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) hal.68

22

Andi Hamzah, Op.Cit., hal 86. 23

Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana ( Jakarta: Rineka Cipta, 2008) hal.60 24

(26)

6. Perbuatan yang dapat dihukum pernah digunakan secara resmi dalam Undang-Undang No.12/Drt/1951 tentang senjata api dan bahan peledak.

7. Perbuatan pidana digunakan oleh Moeljatno. Moeljatno menyatakan pemakaian kata “perbuatan” karena merupakan suatu pengertian yang abstrak yang menunjuk kepada dua keadaan konkret: pertama, adanya kejadian yang tertentu, kedua adanya orang yang berbuat, yang menimbulkan kejadian itu.25

8. Perbuatan yang kriminal yang diusulkan oleh A.Z Abidin karena “perbuatan pidana” yang dipakai oleh Moeljatno kurang tepat karena baik kata “perbuatan” dan “pidana” tidak ada hubungan logis antara keduanya.

Melihat penjelasan di atas maka paling tidak sedikitnya ada delapan istilah hasil terjemahan dari Strafbaar feit. Dalam skripsi ini penulis menggunakan istilah “tindak pidana” karena istilah ini telah mendapat posisi yang sangat kuat dalam kesadaran dan budaya hukum masyarakat Indonesia akibat dari penggunaannya secara resmi dengan berkala dan berulang-ulang dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia. Terlebih lagi dalam Pasal (1) angka (18) Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika juga menggunakan istilah “Tindak Pidana Narkotika”.

Meskipun istilah Tindak Pidana ini lazim dipakai dalam berbagai peraturan perundang-undangan resmi, tak satupun dari peraturan perundang-undangan tersebut memberikan defenisi tentang apa yang dimaksud dengan tindak pidana itu sendiri. Oleh karena itu para ahli mencoba merumuskannya yang hasilnya memunculkan dua

25

(27)

aliran dalam ilmu hukum pidana terkait dengan pemaknaan dan pendefenisian tindak pidana yaitu :

1. Aliran Dualistis yaitu aliran yang memisahkan antara dilarangnya suatu perbuatan (criminal act atau actus reus) dengan dapat dikenakannya pertanggungjawaban pidana (pertanggungjawaban pidana atau mens rea)terhadap si pelaku. Aliran ini menyatakan bahwa pertanggungjawaban pidana bukanlah unsur dari tindak pidana tetapi merupakan suatu syarat dapat atau tidaknya si pelaku dipidana.26

a. Pompe merumuskan tindak pidana sebagai “ tindakan yang menurut suatu rumusan Undang-Undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum “ dan ditambhakannya lagi menurut teori Straafbar feit itu adalah perbuatan, yang bersifat melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan (schuld) dan diancam pidana. Dalam hukum positif, sifat melawan hukum ( wederrechtelijkheid) dan kesalahan ( schuld ) bukanlah syarat mutlak adanya tindak pidana ( Strafbaar feit).

Secara sederhana dapat diambil kesimpulan bahwa aliran ini beranggapan bahwa pertanggung jawaban pidana terpisah dengan tindak pidana. Beberapa ahli yang beraliran ini memberikan defenisi tindak pidana sebagai berikut :

27

26

Mohammad Eka Putra, Op.Cit, hal 83.

Bahkan untuk menjatuhkan pidana pun harus disertai dengan adanya orang yang dapat dipidana.

27

(28)

b. Vos menyatakan bahwa tindak pidana ( Strafbaar feit ) merupakan suatu kelakuan manusia yan diancam oleh Undang-Undang

c. R. Tresna menyatakan bahwa peristiwa pidana itu merupakan sesuatu perbuatan atau rangkaian manusia yang bertentangan dengan Undang-Undang atau peraturan-peraturan lainnya dan terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman.28

d. Moeljatno merumuskan istilah perbuatan pidana sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi siapa yang melanggar larangan tersebut.29 2. Aliran monistis, aliran ini berpandangan tidak memisahkan antara perbuatan

dengan unsur-unsur yang melekat pada diri orangnya ( pertanggungjawaban). Aliran ini tidak secara tegas memisahkan antara unsur tindak pidana dengan syarat untuk dapat dipidananya si pelaku sebagaimana yang dilakukan oleh aliran dualistis.30

a. J.E Jonkers merumuskan peristiwa pidana ialah : perbuatan yang melawan hukum ( wederrechtelijk ) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggunjawabkan.

Dengan demikian, aliran ini memasukkan syarat dapat dipidananya si pelaku ke dalam unsur dari suatu tindak pidana. Berikut beberapa ahli yang berpandangan monistis :

31

28

Ibid

29

Moeljatno, Op.Cit, hal 37. 30

Adami Chazawi, Op.Cit, hal.76 31

(29)

b. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana32

c. H.J van Schravendijk merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukum asal dilakukan oleh seorang yang karena itu dapat dipersalahkan.33

d. J. Baumann merumuskan bahwa tindak pidana merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan.34

e. J.E Jonkers memberikan Strafbaar feit menjadi dua pengertian yaitu dalam pengertian pendek adalah suatu kejadian ( feit ) yang diancam pidana oleh undang-undang. Dan dalam pengertian panjang dan lebih mendalam strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan hukum ( wederrechtelijkheid ) berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan. Ditambahkannya lagi sifat melawan hukum merupakan unsure tersembunyi dari tiap peristiwa pidana, namun tidak dapat dipertanggungjawabkan merupakan alasan umum untuk dibebaskan dari pidana. Kesengajaan dan kesalahan selalu merupakan unsur dari kejahatan.

32

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia ( Bandung : Eresco, 1969). 33

Adami Chazawi, Op.Cit hal.75 34

(30)

Jonkers berpendapat bahwa peristiwa pidana selalu ditinjau dalam hubungannya dengan si pelaku.35

Di antara kedua aliran tersebut sebenarnya tidak dapat ditentukan mana yang lebih benar. Pada dasarnya perbedaan tersebut timbul dari perbedaan sudut pandang. Aliran dualistis memandang dari sudut abstrak dalam memberikan pengertian mengenai tindak pidana dengan langsung membayangkan orang yang dapat dipidana tetapi hanya memandang tindak pidana sebagai perbuatan dan akibat sifat dilarangnya. Jika perbuatan tersebut telah dilakukan (konkrit) barulah orangnya ataupun pelakunya dilihat dapat atau tidak dijatuhi pidana.36

Sedangkan aliran monistis memandang sebaliknya,strafbaar feit sebagai hal yang konkrit dengan membayangkan strafbaar feit tidak dapat dipisahkan dari pelakunya. Oleh karena itu unsur mengenai orangnya tidak dapat dipisahkan dan dimasukkan dalam unsur tindak pidana.

Perbedaan pemahaman ini sebenarnya mengantarkan kita kepada suatu kesimpulan pemahaman bahwa strafbaar feit itu mengarah pada dua arti yaitu menunjuk kepada perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang dan menunjuk kepada perbuatan melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

Banyak ahli berpendapat bahwa perbedaan pemahaman ini hanya penting dibicarakan dalam dunia teori saja, tapi sebenarnya perbedaan ini sebenarnya dapat

35

Ibid.

36

(31)

mempengaruhi dunia praktek hukum. Berikut contohnya yang dikemukakan oleh A.Z. Abidin :

Perempuan A berselisih dengan perempuan C. Untuk melampiaskan dendamnya, maka A membuat sehingga seorang laki-laki bernama B melakukan pemerkosaan terhadap C. Lelaki yang dipilih oleh A tidak mampu bertanggung jawab berdasarkan pasal 44 KUHPidana ( sakit jiwa ). Berarti bahwa ada satu unsur atau dua unsure delik yang tidak terbukti yaitu kemampuan bertanggung jawab dan/atau kesengajaan (dolus). Menurut pemeriksaan dokter psikiater ( keterangan ahli ), B memang sakit jiwa. Kalau hakim mau konsekuen pada pandangan monistis, sudah tentu dia membebaskan atau melepaskan dari segala tuntutan baik B yang menjadi pembuat materiil dan A sebagai aktor intelektual.37

Akibat paling nyata dari perbedaan pandangan kedua aliran ini sebenarnya dapat dilihat dalam dunia praktek hukum saat proses pembuktian jika saja para juris mau konsekuen berpegangan pada salah satu aliran. Pada umumnya sekarang para terdakwa yang dihadapkan ke muka persidangan dianggap sudah cakap hukum dan tidak perlu diadakan pembuktian mengenai dapat tidaknya diberikan pertanggungjawaban pidana terhadap si terdakwa kecuali salah satu pihak mendalilkan adanya alasan si terdakwa tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban. Hal ini sebenarnya berkaitan dengan asas “siapa yang mendalilkan dia yang membuktikan”.

Dari pengalaman dunia praktek tersebut sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa dunia praktek hukum di Indonesia secara “tidak sengaja” atau dapat dikatakan secara “tidak langsung” cenderung menganut pandangan dualistis karena pertanggungjawaban pidana tidak serta-merta masuk ke dalam unsur suatu tindak pidana dan oleh karenanya tidak menjadi suatu keharusan untuk dibuktikan dalam

37

(32)

suatu proses peradilan. Pembuktian itu baru dilaksanakan jika terdapat keragu-raguan ataupun didalilkan oleh salah satu pihak dan persoalan mengenai pertanggungjawaban ini barulah menjadi hal yang penting ketika pidana hendak dijatuhkan.38

Berbeda halnya jika para praktisi hukum di Indonesia konsekuen pada pandangan monistis yang menganggap pertanggungjawaban merupakan salah satu unsur mutlak yang masuk ke dalam unsur tindak pidana. Jika berpandangan demikian, maka sudah pastilah setiap kasus harusnya melakukan pembuktian terhadap dapat tidaknya si pelaku dikenakan pertanggungjawaban tanpa harus terlebih dahulu menemukan keragu-raguan atau didalilkan salah satu pihak.

Pembuktian mengenai pertanggungjawaban tersebut sebenarnya murni didasarkan pada asas geen straf zonder schuld atau yang lazim dalam bahasa Indonesia disebut tiada pidana tanpa kesalahan dan sama sekali tidak dipengaruhi pada pandangan aliran monistis.

Melihat potensi pengaruh tersebut sebenarnya ilmu hukum pidana di Indonesia sudah memberikan reaksi dan berusaha menentukan sikap melalui pasal 11 rancangan konsep KUHPidana baru yang menyebutkan:39

1. Tindak Pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.

38

Ibid,hal.87 39

(33)

2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.

3. Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada pembenar.

Berdasarkan uraian pasal tersebut dapat diambil kesimpulan sebenarnya ilmu hukum pidana Indonesia sudah mulai mengarah pada aliran dualistis. Bahkan lebih tegas dalam pasal 37 Konsep KUHPidanabaru tahun 2006/2007 disebutkan bahwa pengertian tindak pidana tidak termasuk pertanggungjawaban pidana.40

Semua uraian dan penjelasan di atas mengarah kepada suatu kesimpulan bahwa secara sederhana yang dimaksud dengan tindak pidana adalah:

a. Perbuatan baik secara pasif maupun aktif.

b. Dilarang dalam suatu rumusan yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan dan diancam dengan sanksi pidana.

c. Mengandung sifat melawan hukum dalam artinya yang formil dan materiil.41

40

Pertanggungjawaban pidana menurut pasal 36 Konsep KUHPidana baru adalah diteruskannya celaan yang objektif ada pada tindak pidana, secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu. Lihat Ibid hal.83

41

(34)

2. Pengertian Penyalahgunaan Narkotika

Sebelum memahami mengenai pengertian penyalahgunaan narkotika maka perlu terlebih dahulu dikemukakan apa yang dimaksud dengan narkotika untuk menghindari pembiasan makna mengenai penyalahgunaan narkotika.

Narkotika berasal dari bahasa Inggris “Narcotics” yang berarti obat bius dan memiliki kesamaan arti dengan kata “Narcosis” dalam bahasa Yunani yang berarti menidurkan atau membiuskan, maka secara umum narkotika dapat diartikan sebagai suatu zat yang dapat menimbulkan perubahan perasaan, suasana pengamatan/penglihatan karena zat tersebut mempengaruhi syaraf pusat.42

Namun ada juga pengertian yang lebih memfokuskan kepada pengaruh dari narkotika tersebut dengan merumuskannya sebagai sejenis zat apabila dipergunakan akan membawa efek pengaruh-pengaruh tertentu pada tubuh si pemakai, yaitu:

a. mempengaruhi kesadaran

b. memberikan dorongan yang dapat berpengaruh terhadap perilaku manusia berupa penenang, perangsang, halusinasi (pemakainya tidak mampu membedakan antara khayalan dan kenyataan, kehilangan kesadaran akan waktu dan tempat).

secara materiil, apakah ada alasan pembenar atau tidak, dan apakah perbuatan itu benar-benar bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Apabila perbuatannya secara materiil tidak bersifat melawan hukum, maka tidak dapat dikatakan ada tindak pidana dan oleh karena itu, tidak dapat dipidana. Dengan ketentuan demikian, terlihat disini adanya keseimbangan antara patokan formal ( melawan hukum formal/kepastian hukum ) dan patokan materiil ( melawan hukum materiil/nilai keadilan. Lihat Ibid hal.89

42

(35)

Beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia juga turut mencoba memberikan pengertian terhadap narkotika tersebut antara lain :

a. Menurut Verdoovende Middelen Ordonantie Staatblaad 1972 No.278 jo.No.536 yaitu “bahan-bahan yang terutama mempunyai efek kerja pembiusan, atau yang dapat menurunkan kesadaran. Di samping menurunkan kesadaran juga menimbulkan gejala-gejala fisik dan mental lainnya apabila dipakai secara terus-menerus dan liar dengan akibat antara lain terjadinya ketergantungan pada bahan-bahan tersebut”.

b. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 Narkotika adalah : 1) bahan-bahan yang disebut pada angka 2 sampai dengan angka 13;

2) garam-garam dan turunan-turunan dari Morfina dan Kokain

3) bahan lain, baik alamiah, sintetis maupun semi sintetis yang belum disebutkan yang dapat dipakai sebagai pengganti Morfina atau Kokaina yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan sebagai narkotika, apabila penyalahgunaannya dapat menimbulkan akibat ketergantungan yang meninggikan seperti Morfina atau Kokaina;

4) campuran-campuran dan sediaan-sediaan yang mengandung bahan yang tersebut dalam huruf a, b, dan c.

(36)

penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongangolongan sebagaimana terlampir dalam Undang-undang ini atau yang kemudian ditetapkan dengan KeputusanMenteri Kesehatan. Dalam Undang-Undang tersebut narkotika dibagi ke dalam tiga golongan yaitu : 1) Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2) Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3) Golongan III adalah narkotika yang khasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan.

(37)

dasar pembagian golongan-golongan tersebut menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika adalah :

1) Golongan I : Narkotika yang hanya dapat digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

2) Golongan II adalah narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

3) Golongan III adalah narkotika yang khasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ini terdapat hal baru terkait pengertian narkotika karena pengertian narkotika dalam Undang-Undang tersebut mencakup psikotropika Golongan I dan Golongan II yang dulunya terlampir dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika.43

Hal tersebut dapat dilihat dari Pasal 153 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 yang menyatakan :

Dengan berlakunya Undang-Undang ini:

a) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor67, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3698); dan;

43

(38)

b)Lampiran mengenai jenis Psikotropika Golongan I danGolongan II sebagaimana tercantum dalam LampiranUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor3671) yang telah dipindahkan menjadi Narkotika GolonganI menurut Undang-Undang ini,dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Sementara dari sudut pandang farmakologis medis, narkotika adalah obat yang dapat menghilngkan (terutama) rasa nyeri yang berasal dari daerah visceral dan yang dapat menibulkan efek stupor ( bengong, masih sadar teteapi harus digertak ) serta adiksi.44

Maka berdasarkan penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa narkotika merupakan zat atau obat yang jika digunakan dapat menimbulkan efek :

a. Depresant yaitu mengendurkan atau mengurangi aktivitas atau kegiatan susunan syaraf pusat, sehingga dipergunakan untuk menenangkan syaraf seseorang untuk dapat tidur.

b. Stimulant yaitu meningkatkan keaktifan susunan syaraf pusat, sehingga merangsang dan meningkatkan kemampuan fisik seseorang.

c. Halusinogen yaitu menimbulkan perasaan-perasaan yang tidak riil atau khayalan-khayalan yang menyenangkan.

d. Adiktif/kecanduan

e. Kerusakan organ tubuh manusia akibat penggunaan yang berlebihan.

44

(39)

Setelah memahami mengenai pengertian narkotika maka selanjutnya barulah akan dikemukakan mengenai pengertian penyalahgunaan narkotika. Penyalahgunaan narkotika terjadi melalui sebuah proses. Diawali dari tahapan coba-coba ( experimental use ) kemudian ke tahap memaki narkotika untuk senang-senang lalu apabila tidak berhenti akan memasuki tingkatan pemakaian situasional yaitu memakai narkotika dalam keadaaan tertentu seperti tegang, kecewa, sedih dan lain sebagainya dan pada akhirnya memasuki tahap penyalahgunaan narkotika karena ketergantugan.45

Secara umum pengertian mengenai penyalahgunaan narkotika dapat digolongkan yaitu :

a. Menurut kaidah bahasa, Penyalahgunaan berarti proses, cara, perbuatan menyalahgunakan; penyelewengan.46 Sedangkan menyalahgunakan berarti melakukan sesuatu tidak sebagaimana mestinya, menyelewengkan.47

b. Menurut beberapa peraturan perundang-undangan :

Dengan demikian penyalahgunaan narkotika adalah proses atau cara menggunakan narkotika dengan tidak sebagaimana mestinya/fungsinya atau dapat dikatakan penyelewengan narkotika.

1) Menurut Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Penyalahguna adalah orang yang menggunakan narkotika tanpa

45

AR Sujono, Bony Daniel, Op.Cit hal.6. 46

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.983

47

(40)

sepengetahuan dan pengawasan dokter dengan demikian penyalahgunaan narkotika adalah penggunaan narkotika tanpa sepengetahuan dan pengawasan dokter.

2) Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009: “Penyalahguna adalah orang yang menggunakan Narkotika tanpa hak atau melawan hukum.”

Dengan demikian penyalahgunaan narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 dapat diartikan sebagai perbuatan menggunakan narkotika secara tanpa hak atau melawan hukum.Tanpa hak atau melawan hukum disini mencakup pengertian melawan hukum dalam arti formil maupun dalam artinya yang materiil. Dalam arti formil berarti penyalahgunaan narkotika tersebut tidak memiliki izin ( baik terhadap yang subjek maupun objek yang dikenai penyalahgunaan narkotika ) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan dalam arti materiil penyalahgunaan narkotika tersebut berarti tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( hukum tertulis) tetapi lebih hakiki dimaknai bertentangan dengan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.

c. Menurut para ahli ditinjau dari metode penyalahgunaan narkotika dan akibatnya : 1)Dari metodenya penyalahgunaan obat dapat dikategorikan menjadi 2 yaitu:48

a) Misuse yaitu mempergunakan obat yang tidak sesuai dengan fungsinya. 48

(41)

b) Overuse yaitu penggunaan obat yang tidak sesuai dengan aturan atau berlebihan.

2)Dari akibatnya Kusno Adi mengemukakan sebagai berikut : “Penyalahgunaan narkotika adalah pola penggunaan narkotika yang patologik sehingga mengakibatkan hambatan dalam fungsi sosial. Hambatan fungsi sosial dapat berupa kegagalan untuk memenuhi tugasnya bagi keluarga atau teman-temannya akibat perilaku yang tidak wajar dan ekspresi perasaan agresif yang tidak wajar, dapat pula membawa akibat hukum karena kecelakaan lalu lintas akibat mabuk atau tindak criminal demi mendapatkan uang untuk membeli narkotika.”49

3. Kebijakan Penanggulangan Kejahatan

Kebijakan Penanggulangan kejahatan sering disebut juga politik kriminal (criminal policy ). Istilah politik, politiek dalam Bahasa Belandaatau politics dalam Bahasa Inggris dipakai dalam berbagai arti. Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah bermacam-macam kegiatan dalam satu sistem politik (atau negara) yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.50

49

KusnoAdi, Op.Cit hal.19

Berdasarkan uraian tersebut maka dapat dikatakan bahwa politik criminal merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan dan merupakan usaha yang rasional dari masyarakat sebagai reaksi mereka atas kejahatan.

50

(42)

Sudarto pernah mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal yaitu:51 a. Dalam arti sempit ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari

reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana.

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen) ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.

Marc Ancel merumuskan kebijakan penanggulangan kejahatan dari sudut pandang yang berbeda dan mengarah kepada peran sosial kemasyarakatan yaitu : “ the rational organization of the control of crime by society”52. Senada dengan beliau G.Peter Hoefnagles juga mengemukakan bahwa ” Criminal Policy is the rational organization of the social reaction to crime “ 53

Kebijakan penanggulangan kejahatan memang sangat dekat dunia sosial mengingat kejahatan merupakan masalah sosial dan masalah kemanusiaan. Pada hakikatnya, kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan merupakan bagian integral dari upaya perlindang masyarakat ( social defence ) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat ( social welfare ).

51

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana ( Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru ) , (Jakarta : Kencana, 2008) hal.1

52

Ibid

53

(43)

Perumusan tujuan kebijakan penanggulangan kejahatan tersebut pernah pula dinyatakan dalam salah satu laporan kursus latihan ke-34 yang diselenggarakan di Tokyo tahun 1973 :

“Most of group members agreed some discussion that protection of the society could be accepted as the final goal of criminal policy. Although not the ultimate aim of society, which might perhaps be described by terms like happiness citizen. A wholesame and cultural living, social welfare or equality. “54

Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari kebijakan penanggulangan kejahatan adalah “ perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan rakyat”.55 Oleh karena itu mustahil rasanya mencapai tujuan tersebut jika hanya mengandalkan penerapan/penegakan hukum pidana semata. Kebijakan penanggulangan kejahatan harus melihat pada akar lahirnya persoalan kejahatan dari persoalan sosial, sehingga kebijakan sosial sangat penting untuk dilaksanakan.56

Hoefnagles juga megemukakan hal yang senada bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan tindak pidana ( kejahatan ) dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu 57:

a. Criminal law application ( penerapan hukum pidana )

54

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai… Op.Cit hal.2 55

Ibid

56

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy Pendekatan integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasan (Medan : Pustaka Bangsa Press, 208 ) hal.51

57

(44)

b. Prevention without punishment ( pencegahan tanpa penghukuman)

c. Influencing views of society on crime and punishment ( mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan penghukuman/pemidanaan)

Berdasarkan uraian di atas secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (politik kriminal) dapat ditempuh melalui 2 (dua) carayang harus saling dipadukan dan harmonis yaitu:

a. Upaya penal atau sering disebut dengan politik hukum pidana merupakan upaya penanggulangan kejahatan dengan menggunakan hukum pidana. Sudarto memberikan defenisi politik hukum pidana mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.58

b. Upaya Non-penal yaitu penanggulangan kejahatan tanpa menggunakan atau menerapkan hukum pidana.

Maka melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna.

G. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang akan ditempuh dalam memperoleh data-data atau bahan-bahan dalam penelitian meliputi :

58

(45)

1. Jenis Penelitian

Seperti penulisan dalam penyusunan dan penulisan karya tulis ilmiah yang harus berdasarkan fakta-fakta dan data-data yang benar dan layak dipercaya, demikian halnya dalam menyusun dan menyelesaikan penulisan penelitian ini sebagai sebuah karya tulis ilmiah juga menggunakan pengumpulan data secara ilmiah (metodologi), guna memperoleh data-data yang diperlukan dalam penyusunannya sesuai dengan yang telah direncanakan semula yaitu menjawab permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya.

Metode penulisan yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif (yuridis normatif) yang dilakukan dan ditujukan pada norma-norma hukum yang berlaku. Dalam penelitian ini, metode yuridis normatif yang digunakan adalah norma-norma hukum nasional maupun perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

2. Jenis Data

Data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut :

(46)

penelitian, yakni berupa Peraturan Perundang-undangan, Perjanjian Internasional yaitu:

1)Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP);

2)Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3)Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971 (Konvensi Psikotropika 1971);

4)Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances 1988 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika 1988);

5)Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika; 6)Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; 7)Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

8)Surat Edaran Mahkamah Agung ( SEMA ) Nomor 04 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan dan Pecandu Narkotika ke dalam Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial;

9)Presiden Nomor 6 Tahun 1971 kepada Kepala Badan Koordinasi Intelijen Nasional untuk menanggulangi 6 (enam) pokok permasalahan nasional.

(47)

c. Bahan hukum tersier, yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, kamus bahasa, ensiklopedia, dan lain-lain.

3. Metode Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau yang disebut dengan data sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain berasal dari buku-buku koleksi pribadi maupun pinjaman dari perpustakaan, makalah, jurnal serta artikel baik yang diambil dari media cetak maupun media elektronik.

Tahap-tahap pengumpulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut :

a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian.

b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dan peraturan perundang-undangan.

c. Mengelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan.

(48)

4. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah tempat atau daerah yang dipilih sebagai tempat pengumpulan data di lapangan untuk menemukan jawaban atas masalah. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah perpustakaan sesuai dengan metode “ Library Research” yang digunakan dalam penelitian ini.

5. Analisis Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa secara perspektif dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik penelitian ini, sehingga diperoleh kesimpulan

Dalam hal mendukung penelitian ini dipakai pendapat-pendapat para sarjana yang diambil atau dikutip berdasarkan daftar referensi dari buku para sarjana yang ada hubungannya dengan masalah dan pembahasan yang disajikan.

(49)

Secara sistematis penelitian ini dibagi dalam beberapa bab dan tiap-tiap bab dibagi atas sub bab yang dapat diperinci sebagai berikut :

Bab I : Merupakan Bab Pendahuluan yang isinya meliputi: Latar Belakang Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan. Selanjutnya Tinjauan Kepustakaan yang menguraikan: Pengertian Tindak Pidana, Pengertian Penyalahgunaan Narkotika dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. Pada bagian akhir bab ini berisi tentang Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Bab ini membahas tentang perkembangan kebijakan hukum pidanaterhadap Tindak Pidana Narkotika di Indonesia.Bab ini menguraikan tentang perkembangan peraturan hukum tentang Narkotika di Indonesia yang ada di dalam Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia maupun dalam berbagai Undang-Undang tentang Narkotika yang pernah berlaku di Indonesia dari persepektif kebijakan hukum pidana.

(50)

Undang-Undang 35 tahun 2009 tentang Narkotika, struktur kimia dan dampak penyalahgunaan metilon sebagai senyawa turunan dari katinonaserta penegakan hukum pidana terhadap penyalahgunaan metilon yang merupakan senyawa turunan dari katinona dalam kaitannya dengan asas legalitas ditinjau dari Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009.

(51)

BAB II

PERKEMBANGAN KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA

A. Konvensi Internasional yang diratifikasi oleh Indonesia terkait dengan Tindak Pidana Narkotika

Konvensi Internasional merupakan salah satu bentuk dari perjanjian Internasional. Secara sederhana Perjanjian Internasional dapat diartikan sebagai perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu.59

Perkembangan pengaturan hukum mengenai narkotika di Indonesia tidak terlepas dari akibat hukum dari berbagai Konvensi Internasional tentang narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia. Pada waktu perang Vietnam sedang mencapai puncaknya pada tahun 1970-an, hampir semua negara di dunia terutama di Amerika Serikat penyalahgunaan narkotika sangat meningkat dan sebagian besar korbannya adalah anak-anak muda.

Dari pengertian yang diuraikan di atas dapat dipahami bahwa konvensi memiliki akibat hukum terhadap subjek hukum yang terikat dalam Perjanjian Internasional tersebut.

60

59

Mochtar Kusumaatmadja, Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung : Alumni, 2003 ) hal.117

Konvensi-Konvensi Internasional tentang Narkotika yang diratifikasi oleh Indonesia antara lain: Convention on Psychotrophic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971) dan United Nation Convention Against Illicit Traffic

60

(52)

in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 ( Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Peredaran Gelap Narkotika dan Psikotropika, 1988 ).

J.G Starke membagi Perjanjian Internasional ke dalam 2(dua) jenis berdasarkan pengaruhnya yaitu: 61

a. Traktat-Traktat “ yang membuat hukum” (law making treaty), yang menetapkan kaidah-kaidah yang berlaku secara universal dan umum;

b. “ Traktat-traktat kontrak” (Treaty contracts) misalnya, suatu traktat antara dua atau hanya beberapa negara, yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan khusu yang secara ekslusif menyangkut negara-negara ini.

Berdasarkan pembagian tersebut maka kedua Konvensi yang diratifikasi Indonesia tersebut termasuk ke dalam “ law making treaty” karena kedua konvensi tersebut secara tidak langsung telah menjadi sumber hukum terhadap pengaturan narkotika baik dalam masyarakat internasional maupun hukum nasional Indonesia.

Kedua konvensi tersebut telah menjadi hukum nasional Indonesia lewat cara aksesi yang kemudian diratifikasi melalui Undang-Undang. Convention on Psychtrophic substances 1971 diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971). Sedangkan diratifikasi Convention Against Illicit Traffic in Narotic Drugs and Psychotropic Substances, 1988 melalui Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1997.

61

(53)

Ratifikasi memiliki arti yang penting dalam dunia Hukum Internasional. Dalam Pratek modern, ratifikasi lebih penting dari sekedar konfirmasi saja, yang dianggap merupakan pernyataan resmi oleh suatu negara tentang persetujuannya untuk terikat oleh suatu traktat.62

Keterikatan akibat ratifikasi tersebut juga memberi pengaruh terhadap perkembangan kebijakan hukum pidana terhadap narkotika di Indonesia. Pengaruh hukum Internasional terhadap hukum pidana nasional juga dinyatakan oleh Romli Atmasasmita dalam pendapatnya mengenai defenisi Hukum Pidana Internasional berikut:

“Pengertian yang kedua dari hukum pidana internasional ini adalah menyangkut kejadian-kejadian dimana suatu negara yang terikat pada hukum internasional berkewajiban memperhatikan sanksi-sanksi atas tindakan perorangan sebagaimana ditetapkan di dalam hukum pidana nasionalnya. Kewajiban-kewajiban ini dapat terjadi dan berasal dari perjanjian-perjanjian internasional (treaties) atau dari kewajiban-kewajiban negara-negara yang diatur di dalam hukum kebiasaan internasional”63

1. Convention on Psychotrophic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971)

Perkembangan teknologi dan transportasi yang kiat pesat membuat peredaran psikotropika dan narkotika menjadi kejahatan yang bersifat transnasional serta berdimensi internasional. Melihat hal tersebut, masyarakat internasional menyadari perlunya kerjasama, tindakan, serta koordinasi universal melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa

62

J.G Starke, Pengantar Hukum Internasional 2, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2001) hal.601 63

(54)

Perhatian masyarakat internasional terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia merupakan faktor utama yang mendorong terciptanya konvensi ini. Perhatian terhadap kesejahteraan dan kesehatan umat manusia tersebut menuntut perhatian secara khusus terhadap psikotropika yang memiliki dua sisi. Dalam mukadimah konvensi ini diakui bahwa satu sisi psikotropika sangat bermanfaat bagi dunia medis dan ilmu pengetahuan sehingga ketersediaannya perlu dijamin. Namun di sisi lain, psikotropika sangat berbahaya jika disalahgunakan karena selain merusak tubuh si penyalahguna juga dapat menimbulkan berbagai masalah sosial yang sangat pelik. Atas dasar pertimbangan di atas maka dibuatlah Convention on Psychotrophic substances 1971. Convention on Psychtrophic substances 1971 juga mengatur mengenai Kebijakan Hukum Pidana untuk memaksimalkan pencegahan penyalahgunaan narkotika.

a. Tinjauan umum terhadap Convention on Psychotropic Substances 1971 ( Konvensi Psikotropika 1971)

(55)

Dalam penjelasan umum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971 ) terdapat delapan pokok pikiran yang mendorong lahirnya Konvensi Psikotropika 1971 yaitu :

1. Perhatian terhadap kesehatan dan kesejahteraan umat manusia

2. Perhatian terhadap kesehatan masyarakat dan masalah sosial yang ditimbulkan oleh penyalahgunaan psikotropika.

3. Tekad untuk mencegah dan memerangi penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika

4. Pertimbangan bahwa tindakan yang tepat diperlukan untuk membatasi penggunaan psikotropika hanya untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan.

5. Pengakuan bahwa penggunaan psikotropika untuk pengobatan dan/atau tujuan ilmu pengetahuan sangat diperlukan sehingga ketersediannya perlu terjamin.

6. Keyakinan bahwa tindakan efektif untuk memerangi penyalahgunaan psikotropika tersebut memerlukan koordinasi dan tindakan yang universal.

7. Pengakuan adanya kewenangan Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam melakukan pengawasan psikotropika dan keinginan bahwa badan internasional yang melakukanpengawasan tersebut beradadalam kerangka organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa.

(56)

menteri luar negeri Ali Alatas yang saat itu menjabat yang kemudian di ratifikasi melalui 8 Tahun 1996 Tentang Pengesahan Convention on Psychotropic Substances 1971( Konvensi Psikotropika 1971 ). Indonesia menganggap materi dalam Konvensi Psikotropika 1971 selaras dengan usaha pemerintah dalam mengendalikan peredaran dan penyalahgunaan psikotropika bahkan memperbesar kemungkinan kerjasama dengan negara-negara lain dalam melakukan pengawasan serta pemberantasan peredaran psikotropika. Sementara dari aspek kepe

Referensi

Dokumen terkait

Dari uraian diatas maka yang menjadi permasalahan adalah tentang bagaimana Bagaimana pengaturan hukum mengenai tindak pidana narkotika menurut undang-undang nomor

kedua undang-undang tersebut, dengan demikian penulis hanya membatasi.. dalam hal deskripsi tentang penegakan hukum tindak pidana narkotika dan.. psikotropika di Kota

Agar tujuan penanggulangan dapat dilakukan secara berkelanjutan .Hasil penelitian ditemukan perumusan pengaturan tindak pidana narkotika ini masih memiliki

Direktorat Hukum, Deputi Hukum dan Kerjasama Badan Narkotika Nasional, Himpunan Perundang-Undangan Republik Indonesia, Jakarta, BNN RI, 2011.. Farid, Z ainal Abidin, Hukum

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pembahasan mengenai permasalahan penegakan hukum yang dilakukan Badan Narkotika Nasional kota Gunungsitoli terhadap tindak pidana

Rumusan masalah Penegakan Hukum oleh Hakim Terhadap Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika pada Putusan Hakim Pengadilan Negeri Balige, Bagaimana Pelaksanaan Eksekusi Barang

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan berbagai masalah yang berhubungan dengan kebijakan hukum pidana terhadap pengaturan tindak

Permasalahan dalam tesis ini adalah bagaimana pengaturan hukum terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana narkotika, bagaimana perlindungan hukum terhadap anak pelaku tindak pidana