• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI RELIGIUSITAS MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN ISLAM DI SMP NEGERI 3 SALATIGA TAHUN 2017 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS NILAI-NILAI RELIGIUSITAS MELALUI KEGIATAN EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN ISLAM DI SMP NEGERI 3 SALATIGA TAHUN 2017 SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

ii

IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS

NILAI-NILAI RELIGIUSITAS MELALUI KEGIATAN

EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN ISLAM

DI SMP NEGERI 3 SALATIGA TAHUN 2017

SKRIPSI

Diajukan untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Pendidikan

Disusun Oleh :

DIAH AYU SITA RESMI

NIM.111-14-062

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

(3)
(4)
(5)
(6)

vi MOTTO

ۚ

رَكْنُمْلا

نَع

َن ْوَهْنَي َو

فوُرْعَمْلا ب

َنوُرُمْأَيَو

رْيَخْلا

ىَل إ

َنوُعْدَي

ةَّمُأ

ْمُكْن م

ْنُكَتْلَو

.

َنوُح لْفُمْلا

ُمُه

َك ئََٰلوُأَو

Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,

menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang

(7)

vii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan untuk:

1. Ayah bundaku tercinta, Zumroni dan Siti Khoiriyah yang selalu dengan sabar mencurahkan kasih sayang, dukungan, dan doa yang tak pernah putus untuk penulis.

2. Adikku tersayang Alfani Syafriudin yang selalu memberi dukungan sehingga terselesainya skripsi ini dengan lancar

3. Bapak Achmad Maimun, M.Ag, yang tidak henti-hentinya membimbing dan meluangkan waktunya

(8)
(9)

ix ABSTRAK

Resmi, Diah Ayu Sita. 2018. Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. Tarbiyah. Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.

Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Nilai-nilai Religiusitas

Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah kurangnya budaya religius, sehingga mengakibatkan adanya faktor lingkungan yang dapat menyimpangkan para siswa dari sifat yang tidak bermoral dan mengakibatkan karakter buruk bagi siswa. Maka dari itu perlu adanya lingkungan yang dapat mendukung perkembangan budaya religius siswa dengan lingkungan non formal yaitu program ekstrakurikuler keagamaan Islam. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. (2) Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. (3) Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.

Penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017” dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan menggunakan metode triangulasi dalam pengecekan keabsahan data.

(10)
(11)
(12)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Pada saat ini bangsa Indonesia telah dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang

sangat kompleks baik secara internal maupun eksternal, dapat di bayangkan seandainya

bangsa ini dipimpin oleh generasi muda atau anak bangsa yang malas, tidak bermoral dan

sifat yang tidak terpuji, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbelakang dan jauh

tertinggal dari negara-negara lainnya. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, bangsa ini

harus memiliki karakter kuat akan mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang

bermartabat. Karakter yang kuat tidak serta merta ada secara instan tanpa adanya proses

internalisasi serta enkulturasi, melainkan perlu adanya penanaman nilai karakter secara

berkelanjutan sejak dini hingga benar-benar terpatri saat anak didik telah dewasa.

Anak didik dipandang sebagai generasi yang belum matang dan dewasa. Untuk itu

perlu dibina dan dididik secara mental sehingga watak anak didik dapat berkembang dengan

baik sesuai dengan yang diharapkan. Pembinaan watak adalah tugas utama pendidikan yang

berupa pikiran dan tindakan yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang terlihat setiap

harinya, dengan kata lain watak yang baik adalah cermin dari sikap dan perilaku yang

menunjang nilai-nilai mental tinggi. Sebagai pengganti generasi tua dan penerima estafet

kepemimpinan dimasa datang, para siswa perlu dibina dan dididik karena masa depan

bangsa ini ditentukan oleh sejauh mana kualitas para generasinya, baik secara moral maupun

keprofesionalannya dalam memimpin bangsa ini pada saatnya nanti.

Seiring dengan perkembangan zaman, banyak siswa yang menyimpang dari

nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Banyak sekali pemberitaan mengenai para siswa yang

(13)

2

dan lainnya. Kasus-kasus tersebut merupakan benang kusut yang sulit dicari mana

pangkalnya dan manapula ujungnya.

Jika terjadi ketimpangan berperilaku maka upaya pembinaan anak didik perlu

ditingkatkan lebih intensif. Hal ini bertujuan untuk menimalisir perilaku yang menyimpang.

Secara umum, watak siswa / siswi saat ini sangat berbeda dengan generasi muda

sebelumnya, umumnya generasi sekarang bersifat santai, kurang mandiri, kurang ulet,

bersifat (lebih mudah terpengaruh), emosional serta kurangnya rasa nasionalisme, hal ini

dapat kita lihat dari kecendrungan setiap hari baik pelajar maupun pemuda yang kerap

melakukan kebrutalan.

Tidak ada orang yang menginginkan putra-putrinya menjadi orang yang jahat, tidak

bermoral dan berwatak tidak baik. Semua orang tua, masyarakat dan pemerintah

menginginkan agar para generasi muda mempunyai akhlak yang baik, bermoral, berwatak

yang baik, dan pintar. Realitas tersebut mendorong lembaga pendidikan untuk menciptakan

pembentukan karakter keagamaan anak dengan mengembangkan sumber daya anak secara

efektif. Agar, dalam kehidupan yang akan datang anak tumbuh lebih cerdas dan bermoral.

Setiap siswa memiliki potensi untuk menjadi baik, berkarakter dan memiliki nilai

religius. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat menyimpangkan para siswa dari

sifat-sifat tersebut, salah satunya adalah lingkungan. Lingkungan adalah faktor penting untuk

membentuk seorang siswa. Baik atau tidaknya perilaku seorang siswa banyak dipengaruhi

oleh lingkungan di sekitar siswa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu lingkungan

yang dapat mendukung proses pendidikan para siswa agar menjadi siswa yang berkarakter

religius dan salah satu lingkungan yang efektif dalam mendukung proses tersebut adalah

kegiatan ekstrakurikuler keagamaan. Lingkungan non-formal yang penulis maksud adalah

lingkungan kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler kegamaan. Oleh karena itu,

(14)

3

menjadi siswa yang berkarakter religius dan salah satu lingkungan yang efektif dalam

mendukung proses tersebut adalah lingkungan non-formal. Lingkungan non-formal yang

penulis maksud adalah lingkungan kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler

kegamaan.

Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap

muka yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah untuk memperkaya dan memperluas

wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran

dalam kurikulum (Surya Subroto, 2002:271). Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sebagai

sarana penunjang bagi proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah yang berguna

untuk mengaplikasikan teori dan praktik yang telah diperoleh sebagai hasil nyata dari proses

pembelajaran dan juga dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler

keagamaan diharapkan dapat meningkatkan pengembangan wawasan anak didik khususnya

dalam bidang nilai religius siswa. Selain itu juga dapat meningkatkan keimanan dan

ketakwaan siswa kepada Allah SWT melalui nilai religius dengan pelaksanaan kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan tersebut.

Muhaimin sebagaimana dikutip oleh Asmaun Sahlan (2010:122) menjelaskan

tentang penciptaan suasana atau budaya religius di lingkungan sekolah,

“Bahwasanya dalam upaya pengembangan pendidikan agama Islam dalam

menciptakan suasana atau budaya religius di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain melalui pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di luar kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten sehingga tercipta budaya religius di lingkungan sekolah”.

Peneliti meneliti di SMP Negeri 3 Salatiga, adanya program sebagai penunjang

dalam mengembangkan potensi para siswa yang di dasari nilai-nilai keagamaan Islam

dengan budaya religus di lingkungan sekolah, di karenakan masalah kurangnya budaya

(15)

4

siswa dari sifat yang tidak bermoral dan mengakibatkan karakter buruk bagi siswa. Maka

dari itu perlu adanya lingkungan yang dapat mendukung perkembangan budaya religius

siswa dengan lingkungan non formal yaitu program ekstrakurikuler keagamaan Islam.

Untuk itu membangun sekolah yang mempunyai budaya religius yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, diharapkan melalui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan,

siswa mampu menanamkan pengetahuan serta pengalamannya terhadap ajaran Islam yang

semakin merosot belakangan ini.

Dari dasar pemikiran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan

peneliti tuangkan dalam skripsi yang berjudul:

“Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas Melalui

Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017”.

B.Rumusan Masalah

Berdasarakan latar belakang tersebut, penelitian ini menghasilkan rumusan masalah

sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP Negeri

3 Salatiga Tahun 2017?

2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga

Tahun 2017?

3. Bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP

Negeri 3 Salatiga Tahun 2017?

C.Tujuan Penelitian

Setiap penulisan pasti ada tujuan penulisan penelitian itu sendiri, oleh karena itu

(16)

5

1. Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP

Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.

2. Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3

Salatiga Tahun 2017.

3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP

Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.

D.Kegunaan Penelitian

Dari hasil penelitian, di harapkan nantinya dapat berguna sebagai berikut:

1. Bagi Pemerintah, Hasil penelitian ini dapat berguna untuk evaluasi agar terus

meningkatkan mutu pendidikan yang berbasis Agama di Sekolah Menengah Pertama.

2. Bagi Sekolah, dengan adanya Ekstrakurikuler Keagamaan diharapkan mampu memberi

percontohan terhadap sekolah lain dilingkungan Kota Salatiga.

3. Bagi masyarakat, Sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan

masyarakat terutama orang tua agar lebih cermat memperhatikan perubahan sikap

anaknya sehingga mampu dicegah dengan pendalaman Agama.

4. Bagi IAIN Salatiga, Untuk memperkaya perbendaharaan perpustakaan

Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.

5. Bagi Peneliti, Sebagai bahan masukan unntuk mengembangkan wawasan dan bahan

dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.

E.Penjelasan Istilah

Untuk menghindari kesalahan dalam memahami definisi pada judul penelitian

diatas, peneliti memberikan batasan-batasan dari beberapa istilah sebagai berikut:

(17)

6

Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya

mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan

yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 2002:70).

2. Pendidikan Karakter

Menurut Sjarkawi (2006:1) bahwasanya: Karakter adalah ciri atau karakteristik atau

gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima

dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.

Ditambahkan oleh Rahardjo (2010:16) berpendapat bahwa: Pendidikan karakter adalah suatu

proses pendidikan yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan

peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup

mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.

Jadi, Pengertian Pendidikan karakter adalah sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai

karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,

dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri

sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

3. Nilai-Nilai Religiusitas

Menurut Atang Abdul Hakim (2004: 4) bahwa, religiusitas itu adalah sikap hidup

seseorang berdasarkan pada nilai-nilai yang diyakininya. Religiusitas merupakan suatu

ekspresi religius yang ditampilkan.

Bustanudin Agus (2000: 6) mengemukakan, ekspresi religius ditemukan dalam

budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, hukum dan sebagainya. Tidak ada aspek

kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan

manusia.

Jadi, nilai-nilai religiusitas didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan

bahaya atau menyimpang yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi diri

(18)

7

ekonomi, sosial, politik atau aktivitas apapun dalam rangka beribadah kepada Allah

(Ancok dan Suroso, 2001: 72-79).

4. Ekstrakurikuler Keagamaan Islam

Ekstrakurikuler dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan di

luar jam pelajaran tatap muka. Kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam atau di luar

lingkungan sekolah dalam rangka memperluas pengetahuan, meningkatkan ketrampilan,

dan juga menginternalisasikan nilai-nilai atau aturan-aturan agama serta normanorma

sosial baik lokal, nasional, maupun global untuk membentuk insan yang sempurna.

F. Kajian Terdahulu

Dalam penelitian yang terdahulu dari Habibi yang meneliti di IAIN Salatiga yakni

“Penerapan Dasa Dharma Pramuka Butir Ke Delapan Dalam Membentuk Karakter

Mahasiswa Melalui Pendidikan Kepramukaan Di Iain Salatiga”. Hasil penelitian ini terdapat

metode dalam penerapan butir dasa dharma ke delapan yang fokus pada kedisiplinan

anggota pramuka melalui program kerja. Penerapan terdapat proses yang cukup untuk diolah, dengan itu peneliti membahas dengan judul “Implementasi Pendidikan Karakter

Berbasis Nilai-Nilai Religiusitas Melalui Ekstrakurukuler Keagamaan Islam”. Dengan

demikian, lebih fokus pada penerapan nilai religiusitas melalui ekstrakurikuler keagamaan

Islam. Jadi, terdapat perbedaan dan persamaan pada subyek penelitian, mulai dari sub besar

dan sub kecil dari judul penelitian, yakni sama-sama penerapan pendidikan karakter dan

perbedaannya pada sub penerapan nilai-nilai melalui ekstrakurikuler.

Penelitian lainya adalah yang di lakukan oleh Arsyad Bagus Syaputra dengan judul “Implementasi Pendidikan Kepramukaan Dalam Menumbuhkan Karakter Religius (Studi

Kasus Anggota Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi IAIN Salatiga Tahun Periode

2017). Hasil dari penelitian tersebut yakni, penelitian dari Arsyad Bagus Syaputra lebih

(19)

8

karakter religius fokus pada 5 dimensi dari nilai religius dan 10 poin dasa dharma,

persamaannya terletak pada penumbuhan karakter dengan 5 dimensi dari nilai religius dan

perbedaanya adalah pada penumbuhan karakter religius kepada subyek yang diteliti oleh

peneliti yakni oleh Arsyad Bagus Syaputra meneliti pada anggota pramuka sedangkan

peneliti meneliti anggota Remas melalui program kerja dari Remas yakni ekstrakurikuler

keagamaan Islam di SMP N 3 Salatiga.

Penelitian yang dilakukan oleh Syarif Anam Muhammad yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Siswa di Man Salatiga Tahun 2013”.

Hasil dari skripsi ini terkandung dalam kegiatan ektrakurikuler siswa di Man Salatiga yang

mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Adapun persamaan skripsi tersebut dengan

skripsi penulis adalah terletak pada objek penelitian yaitu sama-sama mengkaji tentang

pendidikan karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, yang

meneliti ekstrakurikuler dari program keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga.

G.Sistematika Penulisan

Agar terjadi pemikiran yang urut dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui

tata urutan penulisanya, adapun tata urutannya sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, penjelasan istilah, kajian penelitian terdahulu dan sistematika

penulisan skripsi.

Bab II Landasan Teori berisi pendidikan karakter, Nilai-nilai religiusitas dan

penanaman nilai-nilai religius di lingkungan sekolah.

Bab III Metode Penelitian berisi Pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian,

sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data dan

(20)

9

Bab IV Paparan data dan Analisis berisi paparan data, konsep pendidikan karakter

berbasis nilai-nilai religiusitas di SMP Negeri 3 Salatiga, Pelaksanaan ekstrakurikuler

keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga dan Faktor pendukung dan penghambat kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga.

Bab V Penutup berisi Kesimpulan dan saran-saran

Daftar Pustaka

Lampiran-Lampiran

(21)

10 BAB II KAJIAN TEORI

A.Pendidikan Karakter

1. Pengertian Pendidikan Karakter

Thomas Lickona menyimpulkan pendidikan karakter adalah upaya sengaja yang

menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai

etis. Karakter (watak) adalah istilah yang diambil dari bahasa yunani yang berarti to mark

(menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Seseorang dapat disebut sebagai “orang yang berkarakter” (a person of character) apabila tingkah lakunya

sesuai dengan kaidah moral (Bambang Q-Anees, 2008:107).

Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang

melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang,

yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja

keras dan sebagainya. Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan dan

afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan. Pendidikan merupakan alat untuk pembentuk

manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional dan pembentuk

bangsa berkarakter.

Bila nilai-nilai pendidikan tersebut diambil dari sumber dan dasar ajaran agama

Islam sebagaimana termuat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka proses pendidikan

tersebut disebut sebagai pendidikan Islam. Dengan pengertian ini, dapat disimpulkan

bahwa pendidikan karakter Islami adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter

kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,

(22)

11

Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi

manusia insan kamil.

Russel Williams mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot”, dimana

“otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan

kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (body bulding) yang terus

menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Sebuah karakter juga akan terbentuk dengan

praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit). Demikian pula

disiplin dan kepribadian mandiri sangat diperlukan di dalam membentuk karakter

seorang olah-ragawan (Isjoni, 2008:51).

Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran Q.S. Asy-Syam:8-10, manusia

adalah makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar, manusia mempunyai

dua kecenderungan karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.

Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan

ketakwaannya, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,

Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S.

Asy-Syam:8-10)( Departemen Agama RI, 2000: 476).

Ayat di atas menunjuk kepada sesuatu yang dapat mengakibatkan kefasikannya

dan ketakwaannya, lalu menjelaskan kepada manusia tentang mana yang baik dan mana

yang buruk. Sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya dengan

menaati-Nya. Mungkin pula ayat ini berarti sungguh berbahagialah orang yang hatinya disucikan

oleh Allah dan sungguh merugilah orang yang hatinya dibiarkan kotor oleh Allah

(23)

12

UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional

(Sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa,

“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (M. Furqon Hidayatullah, 2010:12).

Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa (social investment), termasuk

investasi untuk menancapkan perilaku sosial yang penuh dengan praktik etika. Dalam

konteks ini, pendidikan selain berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yang

masih layak untuk dipertahankan, pendidikan juga berfungsi sebagai alat transformasi

masyarakat untuk dapat segera beradaptasi dengan perubahan sosial yang tengah terjadi

(M. Furqon Hidayatullah, 2010:39). Tentunya dalam hal ini tanpa meninggalkan karakter

asli masyarakat itu sendiri, khususnya karakter yang baik.

Pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada

manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang

benar. Jika bukan mendidik dan mengasuh anak-anak untuk perkembangan tabiat yang

luhur, buat apakah sistem pendidikan itu? Baik dalam pendidikan rumah tangga maupun

pendidikan dalam sekolah, orang tua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat

yang agung adalah tugas mereka. Pembangunan watak, kepribadian, dan moral mengacu

(24)

13

Artinya: “Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansyur berkata:

menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin Ijlan Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata Rasulallah SAW bersabda: sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Al Imam Ahmad bin Hambal, 504).

Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral,

karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari

itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik

sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.

Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai

dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan dalam

hidupnya (Nurul Zuriah, 2008:15).

2. Fungsi Pendidikan Karakter

Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati

baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku

bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam

pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup

keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia

usaha, dan media massa.

Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu :

a. Pembentukan dan Pengembangan Potensi

Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan mengembangkan

potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan

berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.

(25)

14

Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga

negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan

pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung

jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang

berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.

c. Penyaring

Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa

sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi

karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.

Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan

akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Menurut konsep Kurikulum

Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010 Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter

Bangsa, ada 18 unsur dan nilai yang mana diantaranya adalah : 1. Religius; 2. Jujur; 3.

Toleransi; 4. Disiplin; 5. Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin

Tahu; 10. Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13.

Bersahabat atau Komuniktif; 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli

Lingkungan; 17. Peduli Sosial, dan 18. Tanggung Jawab.

Sedangkan menurut dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter

bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:

a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya

b. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian

c. Kejujuran /amanah dan kearifan

d. Hormat dan santun

(26)

15 f. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras

g. Kepemimpinan dan keadilan

h. Baik dan rendah hati

i. Toleransi kedamaian dan kesatuan

3. Tujuan Pendidikan Karakter

Doni Koesoema (2007:91) menyatakan,

“Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter diterapkan di dalam lembaga pendidikan. Alasan-alasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya dalam diri generasi muda kita, namun telah menjadi cirri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi”

Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,

kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,

berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya

dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.

Dalam sebuah lembaga sekolah pendidikan karakter bertujuan untuk

meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah

pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh,

terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter

diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan

pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai

karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.

Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya

sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan

(27)

16

sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah

tersebut di mata masyarakat luas.

Menurut Mochtar Buchori (2007:44), pendidikan karakter seharusnya membawa

peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan

akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di

SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu

dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di

sekolah.

Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada

setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai

pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks

kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya

pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam

kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.

4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter

Ada beberapa prinsip dasar pendidikan karakter:

a. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, dirinya

memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan atau kondisi yang

mempengaruhi kesadaran.

Berkowitz membagi dua aspek emosi, yaitu selfcensorship (kontrol internal)

dan prososial. Kontrol internal berkaitan dengan adanya perasaan bersalah (guilty

feeling) dan malu (shame), dimana kontrol itu akan mencegah seseorang dari perilaku

buruk dan selalu ada keinginan untuk memperbaiki diri. Sedang aspek prososial

adalah terkait dengan emosi yang timbul karena melihat kesulitan atau penderitaan

(28)

17

2008:104). Apabila kontrol internal dan aspek prososial telah tertanam dalam diri

individu, maka orang itu dapat dikatakan sebagai manusia yang menjalani hidupnya

hanya berdasarkan prinsip-prinsip moral (aprincipled person), atau telah menjadi

manusia yang cerah budi. Inilah pribadi arif yang tidak akan terpengaruh oleh

dorongan nafsu buruk di dalam dirinya, termasuk oleh nilai-nilai komunal atau

kolektif yang bertentangan dengan hati nuraninya.

Atas dasar prinsip ini, pendidikan karakter tidaklah bersifat teoritis (meyakini

telah ada konsep yang akan dijadikan rujukan karakter), tetapi melibatkan penciptaan

situasi yang mengkondisikan peserta didik mencapai pemenuhan karakter utamanya.

Penciptaan konteks (komunitas belajar) yang baik, dan pemahaman akan konteks

peserta didik (latar belakang dan perkembangan psikologi) menjadi bagian dari

pendidikan karakter.

b. Karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai

bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh,

jiwa, dan badan. Tanpa tindakan, semua yang diucapkan dan diyakini bukanlah

apa-apa, tanpa keyakinan maka tindakan dan perkataan tidak memiliki makna.

c. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk

secara ikhlas mengutamakan karakter positif.

Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi dan kapasitanya yang khas)

yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam

dunia pendidikan adalah pemupukan keadaan khusus seseorang yang

memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup.

d. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang tidak

(29)

18

diri, memperhatikan masalah lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai

dengan pengetahuan dan karakter yang dimilikinya.

Manusia yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek intelektual,

afektif maupun spiritual. Manusia semacam ini adalah manusia yang mempunyai

competence, compassion dan conscience. Manusia competence adalah manusia yang

unggul dan menghargai proses. Disini ada kesadaran bahwa segala sesuatu tidak

diperoleh dalam sekejap namun dalam waktu yang panjang dan lama.

Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bermula dari pengingkaran

terhadap prinsip menghargai proses. Karena mengingkari proses atau terlalu

bersemangat menikmati hasil akhir banyak oknum yang menggunakan kedekatan,

kekuatan uang dan kekuasaan sebagai jalan menuju hasil akhir. Sayangnya, mentalitas

tidak menghargai proses ini telah dipupuk dibangku sekolah. Penghargaan pada nilai

ujian akhir, misalnya, mencetak siswa untuk lebih mementingkan nilai akhir, seraya membangkitkan semangat ”menghalalkan segala cara” untuk mendapatkan prestasi

akhir.

Manusia yang memiliki compassion adalah manusia yang peduli dengan

sesamanya. Lewat daya-daya manusiawinya, ia pekan terhadap apa yang ada

disekelilingnya. Ia memiliki kepedulian dan mampu menggunakan kepentingan

banyak orang. Sedangkan manusia yang conscience adalah manusia yang sadar akan

tujuan hidupnya. Dalam pendidikan karakter, tujuan hidup manusia adalah memuji,

memuliakan dan mengabdi kepada Allah, sementara yang lain adalah sarana dan

bukan tujuan hidup manusia.

e. Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya berdasarkan pilihan.

Individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang

(30)

19

karakternya sendiri. Oleh karena itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis. Ia

bukanlah kristalisasi pengalaman masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu

untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia

macam apa dirinya itu melalui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah

setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis

manusia macam apa yang diinginkannya (Doni Koesoema, 2007:218).

Setiap keputusan yang diambil menentukan akan kualitas seseorang dimata

orang lain. Seseorang individu dengan karakter yang baik bisa mengubah dunia secara

perlahan-lahan.

5. Metode-Metode Pendidikan Karakter

Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup

pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah,

mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam

kehidupan sehari-hari (Ignas G Sasono, 2010:125).

Doni A. Kusuma (2007, 105) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) metode

pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah) yaitu:

a. Mengajarkan

Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai

yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan

karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai

tertentu, keutamaan, dan maslahatnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah,

pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua, menjadi pembanding atas

pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses

(31)

20 b. Keteladanan

Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan

menepati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter

yang hendak diajarkan. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya

ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Keteladanan tidak hanya bersumber dari

guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada dalam lembaga pendidikan

tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering

berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan

lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter.

c. Menentukan Prioritas

Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas

berhasil atau tidak nya pendidikan karakter dapat menjadi jelas, tanpa prioritas,

pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil

atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap

penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga

pendidikan memiliki kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan

ditawarkan pada peserta didik. Kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga

pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang akan ditekankan pada

lembaga pendidikan karakter ketiga. Jika lembaga ingin menentukan perilaku standar

yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter lembaga itu harus dipahami oleh anak

didik , orang tua dan masyarakat.

d. Praksis Prioritas

Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah

bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mampu

(32)

21

direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam

lembaga pendidikan itu.

e. Refleksi

Berarti dipantulkan kedalam diri. apa yang telah dialami masih tetap terpisah

dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran

seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematut-matutkan

diri ada peristiwa/konsep yang telah teralami.

B.Nilai-Nilai Religiusitas

1. Pengertian Nilai-Nilai Religius

Abdul Madjid (1989:26) mengemukakan bahwa, Agama adalah keseluruhan

tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha Allah. agama,

dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia

berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan

tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Dalam hal ini, agama mencakup totalitas

tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi dengan iman kepada

Allah, sehingga seluruh tingkah lakunya berlandaskan keimanan dan akan membentuk

akhlak karimah yang terbiasa dalam pribadi dan perilakunya sendiri (Ngainun Naim,

2012:124).

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa nilai religius merupakan nilai

pembentuk karakter yang sangat penting artinya. Memang ada banyak pendapat tentang

relasi antara religius dengan agama. Pendapat yang umum menyatakan bahwa religius

tidak selalu sama dengan agama. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak sedikit

orang beragama, tetapi tidak menjalaankan ajaran agamanya secara baik. Mereka bisa

disebut beragama, tetapi tidak atau kurang religius. Sementara itu ada juga orang yang

(33)

22

Muhaimin (2004:125) berpendapat bahwa kata religius memang tidak selalu

identik dengan kata agama, kata religius dan lebih tepat diterjemahkan sebagai

keberagamaan. Keberagamaan lebih melihat aspek yang sedikit banyak merupakan

misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa cita rasa yang mencakup

totalitas ke dalam pribadi manusia, dan bukan pada aspek yag bersifat formal. Namun

demikian keberagaman dalam konteks character building. Sesungguhnya merupakan

manifestasi lebih mendalam atas agama dalam kehidupan sehari-hari.

Uraian di atas menunjukkan bahwa religius tidak diartikan sebagai agama tetapi

lebih luas dari itu yaitu keberagamaan. Istilah nilai keberagamaan merupakan istilah yang

tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan

sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata

yakni,: nilai dan keberagamaan.

Keberagamaan atau religiusitas, menurut Islam adalah melaksanakan ajaran

agama atau berislam secara menyeluruh. Oleh karena itu setiap muslim, baik dalam

berfikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan untuk melakukannya dalam rangka

beribadah kepada Allah. Dimanapun dan dalam keadaan apa-pun, setiap muslim

hendaknya ber-Islam. Di samping tauhid atau akidah, dalam Islam juga ada syari’ah dan

akhlak (Ngainun Naim, 2012:125)

Jadi secara umum makna nilai-nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang

mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur

pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan

aturan-aturanIllahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan

akhirat.

(34)

23

Keberagaman atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi

kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan

perilaku ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh

kekuasaan supranatural. Bukan hanya kegiatan yang tampak oleh mata tetapi juga

aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagaman

seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.

Dimensi nilai-nilai religius di antaranya, dimensi kayakinan atau akidah dalam

Islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran

agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di

dalam keislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para

malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan mereka serta qadha’ dan qadar.

Penanaman nilai-nilai religius tidak hanya untuk peserta didik tetapi juga

penting dalam rangka untuk memantabkan etos kerja dan etos ilmiah bagi tenaga

kependidikan di Sekolah, agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan

baik. Selain itu juga agar tertanam dalam jiwa tenaga kependidikan bahwa memberikan

pendidikan dan pembelajaran pada peserta didik bukan semata-mata bekerja untuk

mencari uang, tetapi merupakan bagian dari ibadah.

Ancok dan Suroso (1995:165) mengatakan bahwa dalam Islam, dimensi ini

dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan atau perilaku yang baik sebagai amalan

sholeh sebagai muslim, yaitu meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma,

mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegaskan kebenaran dan

keadilan, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak

mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang

memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk

(35)

24

Ari Widiyanta (2005, 78-84) dalam Glock dan Stark membedakan beberapa

dimensi religiusitas yakni:

a. Dimensi Iman

Mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, nabi,

mukjizat, hari akhir dan adanya setan serta takdir baik dan buruk.

b. Dimensi Islam

Sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang.

Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, zakat, puasa dan haji.

c. Dimensi Ihsan

Mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam

kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan menerima

balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan untuk melaksanakan perintah

agama.

d. Dimensi Ilmu

Seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang agamanya, misalnya

pengetahuan tentang tauhid, fiqh dan lain-lain.

e. Dimensi Amal

Meliputi bagaimana pengamalan keempat dimensi di atas yang ditunjukkan

dalam perilaku seseorang. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan

manusia dan dengan lingkungan alamnya.

C.Penanaman Nilai-Nilai Religius di Lingkungan Sekolah

Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama

menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan

bermartabat. Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan

(36)

25

Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral

sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup

pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai keagamaan, serta pengamalan

nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan

potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang

dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai

makhluk Tuhan.

Untuk menanamkan nilai-nilai religius, suatu sekolah atau Sekolah harus mampu

menciptakan suasana religius melalui program atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh

seluruh warga sekolah, sehingga akan membentuk satu kesatuan yaitu budaya religius

sekolah.

Budaya religius sekolah adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang

didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah

menjalankan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah). Tradisi dan perwujudan ajaran

agama memiliki keterkaitan yang erat, karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja

dari masyarakat/lembaga di mana ia dipertahankan, sedangkan masyarakat juga mempunyai

hubungan timbak balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Untuk itu, agama

mempengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan masyarakat mempengaruhi

pemikiran terhadap agama. Dalam kaitan ini, Sudjatmoko juga menyatakan bahwa

keberagamaan manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas

budayanya masing-masing yang berbeda-beda.

Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat berkorban (jihad), semangat

persaudaraan (ukhuwah), semangat saling menolong (ta’awun) dan tradisi mulia lainnya.

Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: berupa tradisi solat berjamaah,

(37)

26

Dengan demikian, budaya religius sekolah adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran

agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh

warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar

maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut

sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.

Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai-nilai keberagamaan (religius) dapat

dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui: kebijakan pimpinan sekolah,

pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ektrakurikuler di luar kelas serta

tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religius

culture tersebut dalam lingkungan sekolah.

Penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah

dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,

pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama

maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang

kehidupan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran agama diharapkan memiliki

prinsip dalam menerapkan keberagaman sebagai berikut:

1. Belajar Hidup dalam Perbedaan

Perilaku-perilaku yang diturunkan ataupun ditularkan oleh orang tua kepada

anaknya atau oleh leluhur kepada generasinya sangatlah dipengaruhi oleh

kepercayaan-kepercayaan dan nilai budaya, selama beberapa waktu akan terbentuk perilaku budaya

yang meresapkan citra rasa dari rutinitas, tradisi, bahasa kebudayaan, identitas etnik,

nasionalitas dan ras.

Perilaku-perilaku ini akan dibawa oleh anak-anak ke sekolah dan setiap siswa

memiliki perbedaan latar belakang sesuai dari mana mereka berasal. Keragaman inilah

(38)

27

Jika pendidikan agama Islam selama ini masih konvensional dengan lebih menekankan

pada proses how to know, how to do dan how to be, maka pendidikan agama Islam

berwawasan multikultural menambahkan proses how to live and work together with other

yang ditanamkan oleh praktek pendidikan melalui:

a. Pengembangan sikap toleransi, empati dan simpati yang merupakan prasyarat esensial

bagi keberhasilan koeksistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. Pendidikan

agama dirancang untuk menanamkan sikap toleran dari tahap yang paling sederhana

sampai komplek.

b. Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif anggota dari

masing-masing kelompok yang berbeda. Pendidikan agama harus bisa menjembatani

perbedaan yang ada di dalam masyarakat, sehingga perbedaan tidak menjadi halangan

yang berarti dalam membangun kehidupan bersama yang sejahtera.

c. Pendewasaan emosional, kebersamaan dalam perbedaan membutuhkan kebebasan

dan keterbukaan. Kebersamaan, kebebabasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama

menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan intra agama-agama.

d. Kesetaraan dalam partisipasi. Perbedaan yang ada pada suatu hubungan harus

diletakkan pada relasi dan kesalingtergantungan, karena itulah mereka bersifat setara.

Perlu disadari bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk hidup serta

memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia yang universal.

e. Kontrak Sosial dan aturan main kehidupan bersama. Perlu kiranya pendidikan agama

memberi bekal tentang ketrampilan berkomunikasi, yang sesungguhnya sudah

termaktub dalam nilai-nilai agama Islam.

2. Membangun Saling Percaya (Mutual Trust)

Saling percaya merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah hubungan.

(39)

28

diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini yang membuat kehati-hatian

dalam melakukan kontrak, transaksi, huibungan dan komunikasi dengan orang lain, yang

justru memperkuat intensitas kecurigaan yang dapat mengarah pada ketegangan dan

konflik. Maka dari itu pendidikan agama memiliki tugas untuk menanamkan rasa saling

percaya anta agama, anatar kultur dan antar etnik.

3. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)

Saling mengerti berarti saling memahami, perlu diluruskan bahwa memahami

tidak serta merta disimpulkan sebagai tindakan menyetujui, akan tetapi memahami

berarti menyadari bahawa nilai-nilai mereka dan kita dapat saling berbeda, bahkan

mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan

hidup. Pendidikan agama berwawasan multikultural mempunyai tanggung jawab

membangun landasan-landasan etis saling kesepahaman antara paham-paham intern

agama, antar entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagi sikap dan kepedulian

bersama.

4. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)

Menghormati dan menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang

dikandung semua agama di dunia. Pendidikan agama menumbuhkembangkan kesadaran

bahwa kedamaian mengandalkan saling menghargai antar penganut agama-agama, yang

dengannya kita dapat dan siap untuk mendengarkan suara dan perspektif agama lain yang

berbeda, menghargai signifikansi dan martabat semua individu dan kelompok

keagamaan yang beragam. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri tidak harus

diperoleh dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri orang lain apalagi dengan

menggunakan sarana dan tindakan kekerasan. Saling menghargai membawa pada sikap

berbagi antar semua individu dan kelompok.

(40)

29

Selayaknya pendidikan memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir

dan bertindak bahkan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru dari para siswa. Dengan

mengondisikan siswa untuk dipertemukan dengan berbagai macam perbedaan, maka

siswa akan mengarah pada proses pendewasaan dan memiliki sudut pandang dan cara

untuk memahami realitas. Dengan demikian siswa akan lebih terbuka terhadap dirinya

sendiri, orang lain dan dunia. Dengan melihat dan membaca fenomena pluralitas

pandangan dan perbedaan radikal dalam kultur, maka diharapkan para siswa mempunyai

kemauan untuk memulai pendalaman tentang makna diri, identitas, dunia kehidupan,

agama dan kebudayaan diri serta orang lain.

6. Apresiasi dan Interdepedensi

Kehidupan yang layak dan manusiawi akan terwujud melalui tatanan sosial yang

peduli, dimana setiap anggota masyarakatnya saling menunjukkan apresiasi dan

memelihara relasi dan kesalingkaitan yang erat. Manusia memiliki kebutuhan untuk

saling menolong atas dasar cinta dan ketulusan terhadap sesama. Bukan hal mudah untuk

menciptakan masyarakat yang dapat membantu semua permasalahan orang-orang yang

berada di sekitarnya, masyarakat yang memiliki tatanan sosial harmoni dan dinamis

dimana individu-individu yang ada di dalamnya saling terkait dan mendukung bukan

memecah belah. Dalam hal inilah pendidikan agama Islam berwawasan multikultural

perlu membagi kepedulian tentang apresiasi dan interdepedensi umat manusia dari

berbagai tradisi agama.

7. Resolusi Konflik

Konflik berkepanjangan dan kekerasan yang merajalela seolah menjadi cara

hidup satu-satunya dalam masyarakat plural, satu pilihan yang mutlak harus dijalani.

Padahal hal ini sama sekali jauh dari konsep agama-agama yang ada di muka bumi ini.

(41)

30

justifikasi dari doktrin dan tafsir keagamaan konvensional. Baik langsung maupun tidak

kekerasan masih belum bisa dihilangkan dari kehidupan beragama.

Adapaun secara eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas

masyarakat yang sedang mengalami krisis moral. Ada beberapa hal strategis yang bisa

diperankan pendidikan dalam meresolusi konflik dan kekerasan di dunia, antara lain:

Pertama, pendidikan mengambil strategi konservasi. Secara fisioner dan kreatif pendidikan perlu diarahkan untuk menjaga, memelihara, mempertahankan “ aset-aset

agama dan budaya” berupa pengetahuan, nilai-nilai, dan kebiasan-kebiasaan yang baik

dan menyejarah. Nilai-nilai pendidikan humanistic yang dikokohkan dengan agama

dipercaya mampu merangkai visi kebudayaan dan peradaban manusia yang bermartabat

tinggi dan mulia.

Kedua, pendidikan mengambil strategi restorasi. Secara visioner dan kreatif

pendidikan diarahkan untuk memperbaiki, memugar, dan memulihkan kembali aset-aset

agama dan budaya yang telah mengalami pencemaran, pembusukan, dan perusakan. Jika

tidak direstorasi, maka set aset agama dan budaya dikhawatirkan berfungsi terbalik, yaitu

merendahkan martabat manusia ke derajat paling rendah (radadna-hu asfala safilin) dan

bahkan yang paling rendah dari binatang (ula-ika kal-an’am bal hum adlallu). Telah

dimaklumi bahwa konflik dan kekerasan yang berskala tinggi selama ini adalah bentuk

pencemaran, pembusukan, dan perusakan aset-aset agama dan budaya.

Di beberapa tempat muncul apa yang disebut dengan “kekerasaan agama” dan

“agama kekerasan” maupun “kekerasan budaya”dan “ budaya kekerasan” . Hakikinya

semua itu merupakan bentuk perilaku menyimpang; menyimpang dari agama dan budaya. Dikatakan sebagai “kekerasan agama” karena kekerasan-kekerasan yang

dilakukan manusia secra terang-terangan melecehkan, merusak, menganiaya, dan

(42)

31

kekerasan” karena kekerasan demi kekerasan yang dilakukan manusia dicarikan

legitimasinya melalui agama. Demikian pula dikenal sebagai “kekerasan budaya” karena

manusia secara terang-terangan telah melakukan destruksi terhadap hasil akal budinya sendiri. Sedangkan pada sisi lain, “budaya kekerasan” adalah kekerasan-kekerasan yang

dilakukan manusia dimana-mana, termasuk nafsu berperang dan memerangi, dijadikan

adat yang disahkan, bahkan oleh pembenaran internasional. Pembenaran dimaksud

antara lain di bawah payung keputusan PBB, atau wadah-wadah kesepakatan multilateral

yang resmi lainnya. Untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan itu, lagi-lagi pendidikan,

agama, dan budaya adalah mata rantai perekat yang harus diperkuat.

Pendidikan dalam memperbaiki, memugar dan memulihkan kembali aset-aset

agama dan budaya adalah sebuah proyeksi masa depan. Hasilnya tidak instan. Karena

tugas pendidikan untuk memberikan alternatif masa depan. Seorang guru yang

mengajarkan nilai-nilai paedagogik ke peserta didik bukan dalam konteks ketika

pelajaran nilai itu diberikan, melainkan suatu proses internalisasi jangka panjang ke arah

masa depan. Peran dan fungsi pendidikan dihadirkan untuk menciptakan

perubahan-perubahan dalam mewujudkan peradaban masa depan. Apa yang mendera Indonesia

dengan konflik dan kekerasan perlu segera didesak untuk dilakukan restorasi. Dan

pendidikan adalah alat terpenting bagi usaha restorasi ke arah hidup damai, aman, dan

(43)

32 BAB III

METODE PENELITIAN

A.Pendekatan dan Jenis Penelitian

Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Implementasi Pendidikan

Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017”, dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dengan

demikian,“ Pendekatan kualitatif mencakup masalah deskripsi tentang pengalaman orang di

lingkungan penelitian. Tujuan deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca mengetahui

apa yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti apa pandangan partisipan yang

berada di latar pengamatan dan seperti apa persitiwa atau aktivitas yang terjadi di latar

penelitian. Dalam pembacaan melalui catatan lapangan dan wawancara, peneliti mulai

mencari bagian-bagian data yang akan diperhalus untuk presentasi sebagai deskrispsi dalam laporan penelitian” (Emzir, 2008:174). Dalam pendekatan kualitatif ini semua data

diperoleh dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia.

Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data dan

statusnya diketahui oleh subjek (Kepala sekolah dan guru) atau informan di lokasi penelitian

yaitu SMP Negeri 3 Salatiga. Namun objek (Siswa) yang sedang diteliti tidak mengetahui

maksud penelitian ini sehingga tidak ada kesan rekayasa justru akan menghasilkan data yang

alami dan apa adanya untuk mendapatkan hasil yang valid sesuai dengan kondisi yang

terjadi di SMP Negeri 3 Salatiga.

B.Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi dalam penelitian ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Salatiga,

Jl Stadion No. 4 Salatiga, Jawa Tengah - Indonesia No. Telepon : ( 0298 ) 326260. Waktu

(44)

33

penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 3 Salatiga yang mengikuti Ekstrakurikuler

Agama Islam dengan jumlah siswa 30 anak.

C.Sumber Data

Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah semua informasi yang diperoleh dari

kepala sekolah, dewan guru maupun para siswa yang dianggap penting, selain itu data juga

dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun data dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer

Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara

langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru

yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus

mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk

mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi terfokus (focus

grup discussion –FGD) dan penyebaran kuesioner (Nazir, 1998:79). Dalam penelitiaan

ini data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu

mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari kepala

sekolah, guru dan beberapa siswa SMP Negeri 3 Salatiga untuk memberikan keterangan

yang relevan.

2. Data Sekunder

Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari

berbagai sumber yang telah ada. Data yang berbentuk tulisan diperoleh peniliti saat

berada di SMP Negeri 3 Salatiga, catatan tersebut berisi Profil, Visi Misi, Data Siswa,

Tata tertib, Struktur Organisasi dan lain sebagainya.

D.Prosedur Pengumpulan Data

Agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama

(45)

34

sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik

pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini:

1. Observasi

Menurut Sukardi (2011: 78-79), observasi adalah pengamatan dan percatatan

secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusah

mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti

terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan

simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang

diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna mengetahui

kegiatan Ekstrakurikuler keagamaan Islam, jumlah siswa maupun kegiatan pendukung

dan penghambat pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Observasi digunakan oleh penulis

untuk mengumpulkan data profil sekolah, keadaan sekolah dan pelaksanaan kegiatan

ekstrakurikuler.

2. Wawancara atau Interview

Pada teknik wawancara peneliti datang dan berhadapan muka langsung dengan

responden atau subjek yang diteliti (Sukardi, 2011:79). Jadi tekhnik ini identik dengan

pengumpulan data dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber.

Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan kepala

sekolah, guru dan siswa. Wawancara kepada Siswa digunakan oleh penulis untuk

mengetahui bentuk Nilai-nilai Religiusitas siwa SMP Negeri 3 Salatiga.

3. Dokumentasi

Dalam memperluas pengumpulan data, teknik ini sangat dibutuhkan. Teknik

dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama

berupa surat-surat, arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat dan teori

(46)

35

digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap kegiatan

ekstrakurikuler keagamaan dan pendukung maupun penghambat kegiatan

ekstrakurikuler di SMP Negeri 3 Salatiga.

E.Analisis Data

Muhadjir (1996:104) mengatakan,

“Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”.

Sedangkan Menurut Suprayogo dan Tobroni (2001:192) bahwa, “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”.

Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi:

1. Menetapkan fokus penelitian

2. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul

3. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan temuan

pengumpulan data sebelumnya

4. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitis dalam rangka pengumpulan data

berikutnya; dan

5. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya.

Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai

tatap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara

data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini

disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan

berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data

yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik

(47)

36

Dengan demikian, penulis akan menunjukkan laporan penelitian akan berisi

kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang

penulis mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi,

dan sebagainya.

F. PengecekanKeabsahan Data

Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan metode

observasi, wawancara dan dokumentasi agar mampu menjawab pertanyaan dari peneliti.

Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai

dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian.

Dalam penelitian ini dalam pengecekan keabsahan data menggunakan metode

Triangulasi. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda

(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain

digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.

Menurut Nasution, selain itu Triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas

tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.

Denzin (dalam Moloeng, 2004:98), membedakan empat macam triangulasi

diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada

penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik

mencari data berupa sumber data dan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.

Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat

kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam

penelitian kualitatif (Patton,1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka

ditempuh langkah sebagai berikut :

(48)

37

2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan

secara pribadi.

3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa

yang dikatakannya sepanjang waktu.

4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan

pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

5. Membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi yang ada.

G.Tahap-Tahap Penelitian

Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Tahap pra lapangan

a. Mengajukan judul penelitian

b. Menyusun proposal penelitian

c. Konsultasi penelitian kepada pembimbing

2. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi:

a. Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian

b. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian

c. Pencatatan data yang telah dikumpulkan

3. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:

a. Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian

b. Pengecekan keabsahan data

4. Tahap penulisan laporan penelitian

(49)

38

b. Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing

c. Perbaikan hasil konsultasi

d. Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian

Gambar

Tabel 4.1. Jumlah Peserta Didik Berdasarkan Jenis Kelamin
Tabel 4.3. Jumlah Peserta Didik Berdasarkan Agama
Tabel 4.5. Data sarana dan prasarana

Referensi

Dokumen terkait

Tabel 4.1 Sarana Yang Dimiliki SMP Negeri I Ngantru 89 Tabel 4.2 Sarana dan Prasarana Kegiatan Ekstrakurikuler.

Bagan 2.1 Kerangka Berpikir Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan dalam Mengembangkan Karakter Peserta Didik. Pelaksanaan Kegiatan Ekstrakurikuler Keagamaan

Evaluasi dan Dampak Ekstrakurikuler Keagamaan terhadap Karakter Religius Peserta Didik SMP Islam Brawijaya Kota Mojokerto Aspek yang paling penting dalam

Dalam penelitian ini memperoleh kesimpulan 1) implementasi kegiatan ekstrakurikuler berbasis keagamaan dalam pembentukan karakter religius peserta didik di MI

(3) Adakah korelasi antara sikap siswa terhadap kegiatan ekstrakurikuler keagamaan dengan prestasi belajar PAI siswa di MTs Negeri Kaliangkrik Kab.. Magelang

Islam Negeri Salatiga.. Model Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Negeri Salatiga Bagi Penyandang Tunarungu Siswa Kelas B SMPLB Negeri Salatiga. Skripsi Fakultas

Bentuk penelitian yang berjudul “ Pengembangan Karakter Religius Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Pramuka Pada Peserta didik SMA Negeri 1 Pabelan Kabupaten Semarang

Implementasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Di Sekolah Dasar Islam Terpadu SDIT Al Aufa Kota Bengkulu Putri Wulan Dari Institut Agama Islam Negeri Bengkulu