ii
IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS
NILAI-NILAI RELIGIUSITAS MELALUI KEGIATAN
EKSTRAKURIKULER KEAGAMAAN ISLAM
DI SMP NEGERI 3 SALATIGA TAHUN 2017
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun Oleh :
DIAH AYU SITA RESMI
NIM.111-14-062
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA
vi MOTTO
ۚ
رَكْنُمْلا
نَع
َن ْوَهْنَي َو
فوُرْعَمْلا ب
َنوُرُمْأَيَو
رْيَخْلا
ىَل إ
َنوُعْدَي
ةَّمُأ
ْمُكْن م
ْنُكَتْلَو
.
َنوُح لْفُمْلا
ُمُه
َك ئََٰلوُأَو
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang
vii
PERSEMBAHAN
Skripsi ini kupersembahkan untuk:
1. Ayah bundaku tercinta, Zumroni dan Siti Khoiriyah yang selalu dengan sabar mencurahkan kasih sayang, dukungan, dan doa yang tak pernah putus untuk penulis.
2. Adikku tersayang Alfani Syafriudin yang selalu memberi dukungan sehingga terselesainya skripsi ini dengan lancar
3. Bapak Achmad Maimun, M.Ag, yang tidak henti-hentinya membimbing dan meluangkan waktunya
ix ABSTRAK
Resmi, Diah Ayu Sita. 2018. Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. Tarbiyah. Pendidikan Agama Islam. Institut Agama Islam (IAIN) Salatiga.
Kata Kunci: Pendidikan Karakter, Nilai-nilai Religiusitas
Latar belakang masalah dalam penelitian ini adalah kurangnya budaya religius, sehingga mengakibatkan adanya faktor lingkungan yang dapat menyimpangkan para siswa dari sifat yang tidak bermoral dan mengakibatkan karakter buruk bagi siswa. Maka dari itu perlu adanya lingkungan yang dapat mendukung perkembangan budaya religius siswa dengan lingkungan non formal yaitu program ekstrakurikuler keagamaan Islam. Tujuan penelitian ini adalah (1) Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. (2) Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017. (3) Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.
Penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017” dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif dan menggunakan metode triangulasi dalam pengecekan keabsahan data.
1 BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pada saat ini bangsa Indonesia telah dihadapkan dengan berbagai permasalahan yang
sangat kompleks baik secara internal maupun eksternal, dapat di bayangkan seandainya
bangsa ini dipimpin oleh generasi muda atau anak bangsa yang malas, tidak bermoral dan
sifat yang tidak terpuji, maka bangsa ini akan menjadi bangsa yang terbelakang dan jauh
tertinggal dari negara-negara lainnya. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, bangsa ini
harus memiliki karakter kuat akan mampu menjadikan dirinya sebagai bangsa yang
bermartabat. Karakter yang kuat tidak serta merta ada secara instan tanpa adanya proses
internalisasi serta enkulturasi, melainkan perlu adanya penanaman nilai karakter secara
berkelanjutan sejak dini hingga benar-benar terpatri saat anak didik telah dewasa.
Anak didik dipandang sebagai generasi yang belum matang dan dewasa. Untuk itu
perlu dibina dan dididik secara mental sehingga watak anak didik dapat berkembang dengan
baik sesuai dengan yang diharapkan. Pembinaan watak adalah tugas utama pendidikan yang
berupa pikiran dan tindakan yang diwujudkan dalam sikap dan perilaku yang terlihat setiap
harinya, dengan kata lain watak yang baik adalah cermin dari sikap dan perilaku yang
menunjang nilai-nilai mental tinggi. Sebagai pengganti generasi tua dan penerima estafet
kepemimpinan dimasa datang, para siswa perlu dibina dan dididik karena masa depan
bangsa ini ditentukan oleh sejauh mana kualitas para generasinya, baik secara moral maupun
keprofesionalannya dalam memimpin bangsa ini pada saatnya nanti.
Seiring dengan perkembangan zaman, banyak siswa yang menyimpang dari
nilai-nilai moral yang ada di masyarakat. Banyak sekali pemberitaan mengenai para siswa yang
2
dan lainnya. Kasus-kasus tersebut merupakan benang kusut yang sulit dicari mana
pangkalnya dan manapula ujungnya.
Jika terjadi ketimpangan berperilaku maka upaya pembinaan anak didik perlu
ditingkatkan lebih intensif. Hal ini bertujuan untuk menimalisir perilaku yang menyimpang.
Secara umum, watak siswa / siswi saat ini sangat berbeda dengan generasi muda
sebelumnya, umumnya generasi sekarang bersifat santai, kurang mandiri, kurang ulet,
bersifat (lebih mudah terpengaruh), emosional serta kurangnya rasa nasionalisme, hal ini
dapat kita lihat dari kecendrungan setiap hari baik pelajar maupun pemuda yang kerap
melakukan kebrutalan.
Tidak ada orang yang menginginkan putra-putrinya menjadi orang yang jahat, tidak
bermoral dan berwatak tidak baik. Semua orang tua, masyarakat dan pemerintah
menginginkan agar para generasi muda mempunyai akhlak yang baik, bermoral, berwatak
yang baik, dan pintar. Realitas tersebut mendorong lembaga pendidikan untuk menciptakan
pembentukan karakter keagamaan anak dengan mengembangkan sumber daya anak secara
efektif. Agar, dalam kehidupan yang akan datang anak tumbuh lebih cerdas dan bermoral.
Setiap siswa memiliki potensi untuk menjadi baik, berkarakter dan memiliki nilai
religius. Akan tetapi ada beberapa faktor yang dapat menyimpangkan para siswa dari
sifat-sifat tersebut, salah satunya adalah lingkungan. Lingkungan adalah faktor penting untuk
membentuk seorang siswa. Baik atau tidaknya perilaku seorang siswa banyak dipengaruhi
oleh lingkungan di sekitar siswa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan suatu lingkungan
yang dapat mendukung proses pendidikan para siswa agar menjadi siswa yang berkarakter
religius dan salah satu lingkungan yang efektif dalam mendukung proses tersebut adalah
kegiatan ekstrakurikuler keagamaan. Lingkungan non-formal yang penulis maksud adalah
lingkungan kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler kegamaan. Oleh karena itu,
3
menjadi siswa yang berkarakter religius dan salah satu lingkungan yang efektif dalam
mendukung proses tersebut adalah lingkungan non-formal. Lingkungan non-formal yang
penulis maksud adalah lingkungan kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler
kegamaan.
Kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran tatap
muka yang dilaksanakan di sekolah atau luar sekolah untuk memperkaya dan memperluas
wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dipelajari dari berbagai mata pelajaran
dalam kurikulum (Surya Subroto, 2002:271). Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah sebagai
sarana penunjang bagi proses pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah yang berguna
untuk mengaplikasikan teori dan praktik yang telah diperoleh sebagai hasil nyata dari proses
pembelajaran dan juga dengan adanya kegiatan ekstrakurikuler khususnya ekstrakurikuler
keagamaan diharapkan dapat meningkatkan pengembangan wawasan anak didik khususnya
dalam bidang nilai religius siswa. Selain itu juga dapat meningkatkan keimanan dan
ketakwaan siswa kepada Allah SWT melalui nilai religius dengan pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan tersebut.
Muhaimin sebagaimana dikutip oleh Asmaun Sahlan (2010:122) menjelaskan
tentang penciptaan suasana atau budaya religius di lingkungan sekolah,
“Bahwasanya dalam upaya pengembangan pendidikan agama Islam dalam
menciptakan suasana atau budaya religius di sekolah dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain melalui pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di luar kelas serta tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten sehingga tercipta budaya religius di lingkungan sekolah”.
Peneliti meneliti di SMP Negeri 3 Salatiga, adanya program sebagai penunjang
dalam mengembangkan potensi para siswa yang di dasari nilai-nilai keagamaan Islam
dengan budaya religus di lingkungan sekolah, di karenakan masalah kurangnya budaya
4
siswa dari sifat yang tidak bermoral dan mengakibatkan karakter buruk bagi siswa. Maka
dari itu perlu adanya lingkungan yang dapat mendukung perkembangan budaya religius
siswa dengan lingkungan non formal yaitu program ekstrakurikuler keagamaan Islam.
Untuk itu membangun sekolah yang mempunyai budaya religius yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits, diharapkan melalui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan,
siswa mampu menanamkan pengetahuan serta pengalamannya terhadap ajaran Islam yang
semakin merosot belakangan ini.
Dari dasar pemikiran di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang akan
peneliti tuangkan dalam skripsi yang berjudul:
“Implementasi Pendidikan Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas Melalui
Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017”.
B.Rumusan Masalah
Berdasarakan latar belakang tersebut, penelitian ini menghasilkan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP Negeri
3 Salatiga Tahun 2017?
2. Bagaimana pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga
Tahun 2017?
3. Bagaimana faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP
Negeri 3 Salatiga Tahun 2017?
C.Tujuan Penelitian
Setiap penulisan pasti ada tujuan penulisan penelitian itu sendiri, oleh karena itu
5
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan karakter berbasis nilai-nilai Religiusitas di SMP
Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.
2. Untuk mengetahui pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3
Salatiga Tahun 2017.
3. Untuk mengetahui faktor-faktor pendukung dan penghambat pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan dalam upaya menanamkan nilai religius siswa di SMP
Negeri 3 Salatiga Tahun 2017.
D.Kegunaan Penelitian
Dari hasil penelitian, di harapkan nantinya dapat berguna sebagai berikut:
1. Bagi Pemerintah, Hasil penelitian ini dapat berguna untuk evaluasi agar terus
meningkatkan mutu pendidikan yang berbasis Agama di Sekolah Menengah Pertama.
2. Bagi Sekolah, dengan adanya Ekstrakurikuler Keagamaan diharapkan mampu memberi
percontohan terhadap sekolah lain dilingkungan Kota Salatiga.
3. Bagi masyarakat, Sebagai sumbangan informasi bagi semua lapisan
masyarakat terutama orang tua agar lebih cermat memperhatikan perubahan sikap
anaknya sehingga mampu dicegah dengan pendalaman Agama.
4. Bagi IAIN Salatiga, Untuk memperkaya perbendaharaan perpustakaan
Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Salatiga.
5. Bagi Peneliti, Sebagai bahan masukan unntuk mengembangkan wawasan dan bahan
dokumentasi untuk penelitian lebih lanjut.
E.Penjelasan Istilah
Untuk menghindari kesalahan dalam memahami definisi pada judul penelitian
diatas, peneliti memberikan batasan-batasan dari beberapa istilah sebagai berikut:
6
Implementasi adalah bermuara pada aktivitas, aksi, tindakan, atau adanya
mekanisme suatu sistem. Implementasi bukan sekedar aktivitas, tetapi suatu kegiatan
yang terencana dan untuk mencapai tujuan kegiatan (Usman, 2002:70).
2. Pendidikan Karakter
Menurut Sjarkawi (2006:1) bahwasanya: Karakter adalah ciri atau karakteristik atau
gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima
dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil, dan juga bawaan seseorang sejak lahir.
Ditambahkan oleh Rahardjo (2010:16) berpendapat bahwa: Pendidikan karakter adalah suatu
proses pendidikan yang menghubungkan dimensi moral dengan ranah sosial dalam kehidupan
peserta didik sebagai fondasi bagi terbentuknya generasi yang berkualitas yang mampu hidup
mandiri dan memiliki prinsip suatu kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, Pengertian Pendidikan karakter adalah sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada peserta didik yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa, diri
sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.
3. Nilai-Nilai Religiusitas
Menurut Atang Abdul Hakim (2004: 4) bahwa, religiusitas itu adalah sikap hidup
seseorang berdasarkan pada nilai-nilai yang diyakininya. Religiusitas merupakan suatu
ekspresi religius yang ditampilkan.
Bustanudin Agus (2000: 6) mengemukakan, ekspresi religius ditemukan dalam
budaya material, perilaku manusia, nilai, moral, hukum dan sebagainya. Tidak ada aspek
kebudayaan lain dari agama yang lebih luas pengaruh dan implikasinya dalam kehidupan
manusia.
Jadi, nilai-nilai religiusitas didorong oleh keinginan untuk menghindari keadaan
bahaya atau menyimpang yang akan menimpa dirinya dan memberi rasa aman bagi diri
7
ekonomi, sosial, politik atau aktivitas apapun dalam rangka beribadah kepada Allah
(Ancok dan Suroso, 2001: 72-79).
4. Ekstrakurikuler Keagamaan Islam
Ekstrakurikuler dapat diartikan sebagai kegiatan pendidikan yang dilakukan di
luar jam pelajaran tatap muka. Kegiatan tersebut dilaksanakan di dalam atau di luar
lingkungan sekolah dalam rangka memperluas pengetahuan, meningkatkan ketrampilan,
dan juga menginternalisasikan nilai-nilai atau aturan-aturan agama serta normanorma
sosial baik lokal, nasional, maupun global untuk membentuk insan yang sempurna.
F. Kajian Terdahulu
Dalam penelitian yang terdahulu dari Habibi yang meneliti di IAIN Salatiga yakni
“Penerapan Dasa Dharma Pramuka Butir Ke Delapan Dalam Membentuk Karakter
Mahasiswa Melalui Pendidikan Kepramukaan Di Iain Salatiga”. Hasil penelitian ini terdapat
metode dalam penerapan butir dasa dharma ke delapan yang fokus pada kedisiplinan
anggota pramuka melalui program kerja. Penerapan terdapat proses yang cukup untuk diolah, dengan itu peneliti membahas dengan judul “Implementasi Pendidikan Karakter
Berbasis Nilai-Nilai Religiusitas Melalui Ekstrakurukuler Keagamaan Islam”. Dengan
demikian, lebih fokus pada penerapan nilai religiusitas melalui ekstrakurikuler keagamaan
Islam. Jadi, terdapat perbedaan dan persamaan pada subyek penelitian, mulai dari sub besar
dan sub kecil dari judul penelitian, yakni sama-sama penerapan pendidikan karakter dan
perbedaannya pada sub penerapan nilai-nilai melalui ekstrakurikuler.
Penelitian lainya adalah yang di lakukan oleh Arsyad Bagus Syaputra dengan judul “Implementasi Pendidikan Kepramukaan Dalam Menumbuhkan Karakter Religius (Studi
Kasus Anggota Racana Kusuma Dilaga-Woro Srikandhi IAIN Salatiga Tahun Periode
2017). Hasil dari penelitian tersebut yakni, penelitian dari Arsyad Bagus Syaputra lebih
8
karakter religius fokus pada 5 dimensi dari nilai religius dan 10 poin dasa dharma,
persamaannya terletak pada penumbuhan karakter dengan 5 dimensi dari nilai religius dan
perbedaanya adalah pada penumbuhan karakter religius kepada subyek yang diteliti oleh
peneliti yakni oleh Arsyad Bagus Syaputra meneliti pada anggota pramuka sedangkan
peneliti meneliti anggota Remas melalui program kerja dari Remas yakni ekstrakurikuler
keagamaan Islam di SMP N 3 Salatiga.
Penelitian yang dilakukan oleh Syarif Anam Muhammad yang berjudul “Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Dalam Kegiatan Ekstrakurikuler Siswa di Man Salatiga Tahun 2013”.
Hasil dari skripsi ini terkandung dalam kegiatan ektrakurikuler siswa di Man Salatiga yang
mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Adapun persamaan skripsi tersebut dengan
skripsi penulis adalah terletak pada objek penelitian yaitu sama-sama mengkaji tentang
pendidikan karakter. Sedangkan perbedaannya terletak pada subjek penelitian, yang
meneliti ekstrakurikuler dari program keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga.
G.Sistematika Penulisan
Agar terjadi pemikiran yang urut dalam memahami skripsi ini, maka perlu diketahui
tata urutan penulisanya, adapun tata urutannya sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
kegunaan penelitian, penjelasan istilah, kajian penelitian terdahulu dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab II Landasan Teori berisi pendidikan karakter, Nilai-nilai religiusitas dan
penanaman nilai-nilai religius di lingkungan sekolah.
Bab III Metode Penelitian berisi Pendekatan dan jenis penelitian, lokasi penelitian,
sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan data dan
9
Bab IV Paparan data dan Analisis berisi paparan data, konsep pendidikan karakter
berbasis nilai-nilai religiusitas di SMP Negeri 3 Salatiga, Pelaksanaan ekstrakurikuler
keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga dan Faktor pendukung dan penghambat kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan di SMP Negeri 3 Salatiga.
Bab V Penutup berisi Kesimpulan dan saran-saran
Daftar Pustaka
Lampiran-Lampiran
10 BAB II KAJIAN TEORI
A.Pendidikan Karakter
1. Pengertian Pendidikan Karakter
Thomas Lickona menyimpulkan pendidikan karakter adalah upaya sengaja yang
menolong orang agar memahami, peduli akan, dan bertindak atas dasar inti nilai-nilai
etis. Karakter (watak) adalah istilah yang diambil dari bahasa yunani yang berarti to mark
(menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Seseorang dapat disebut sebagai “orang yang berkarakter” (a person of character) apabila tingkah lakunya
sesuai dengan kaidah moral (Bambang Q-Anees, 2008:107).
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang
melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang,
yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, kerja
keras dan sebagainya. Hal ini dapat dikaitkan dengan tujuan takdib, yaitu pengenalan dan
afirmasi atau aktualisasi hasil pengenalan. Pendidikan merupakan alat untuk pembentuk
manusia Indonesia yang berkualitas, penyangga ekonomi nasional dan pembentuk
bangsa berkarakter.
Bila nilai-nilai pendidikan tersebut diambil dari sumber dan dasar ajaran agama
Islam sebagaimana termuat dalam al-Qur’an dan Hadits, maka proses pendidikan
tersebut disebut sebagai pendidikan Islam. Dengan pengertian ini, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan karakter Islami adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter
kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan,
11
Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil.
Russel Williams mengilustrasikan bahwa karakter adalah ibarat “otot”, dimana
“otot-otot” karakter akan menjadi lembek apabila tidak pernah dilatih, dan akan kuat dan
kokoh kalau sering dipakai. Seperti seorang binaragawan (body bulding) yang terus
menerus berlatih untuk membentuk ototnya. Sebuah karakter juga akan terbentuk dengan
praktik-praktik latihan yang akhirnya akan menjadi kebiasaan (habit). Demikian pula
disiplin dan kepribadian mandiri sangat diperlukan di dalam membentuk karakter
seorang olah-ragawan (Isjoni, 2008:51).
Sebagaimana yang termaktub dalam Al-Quran Q.S. Asy-Syam:8-10, manusia
adalah makhluk dengan berbagai karakter. Dalam kerangka besar, manusia mempunyai
dua kecenderungan karakter yang berlawanan, yaitu karakter baik dan buruk.
Artinya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya, Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
Dan Sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya”. (Q.S.
Asy-Syam:8-10)( Departemen Agama RI, 2000: 476).
Ayat di atas menunjuk kepada sesuatu yang dapat mengakibatkan kefasikannya
dan ketakwaannya, lalu menjelaskan kepada manusia tentang mana yang baik dan mana
yang buruk. Sungguh berbahagialah orang yang menyucikan jiwanya dengan
menaati-Nya. Mungkin pula ayat ini berarti sungguh berbahagialah orang yang hatinya disucikan
oleh Allah dan sungguh merugilah orang yang hatinya dibiarkan kotor oleh Allah
12
UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang sistem pendidikan nasional
(Sisdiknas) pasal 3 menyatakan bahwa,
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab (M. Furqon Hidayatullah, 2010:12).
Pendidikan adalah investasi masa depan bangsa (social investment), termasuk
investasi untuk menancapkan perilaku sosial yang penuh dengan praktik etika. Dalam
konteks ini, pendidikan selain berfungsi sebagai pelestari nilai-nilai kebudayaan yang
masih layak untuk dipertahankan, pendidikan juga berfungsi sebagai alat transformasi
masyarakat untuk dapat segera beradaptasi dengan perubahan sosial yang tengah terjadi
(M. Furqon Hidayatullah, 2010:39). Tentunya dalam hal ini tanpa meninggalkan karakter
asli masyarakat itu sendiri, khususnya karakter yang baik.
Pembangunan karakter adalah usaha paling penting yang pernah diberikan kepada
manusia. Pembangunan karakter adalah tujuan luar biasa dari sistem pendidikan yang
benar. Jika bukan mendidik dan mengasuh anak-anak untuk perkembangan tabiat yang
luhur, buat apakah sistem pendidikan itu? Baik dalam pendidikan rumah tangga maupun
pendidikan dalam sekolah, orang tua dan guru tetap sadar bahwa pembangunan tabiat
yang agung adalah tugas mereka. Pembangunan watak, kepribadian, dan moral mengacu
13
Artinya: “Dari Abdullah menceritakan Abi Said bin Mansyur berkata:
menceritakan Abdul Aziz bin Muhammad dari Muhammad bin Ijlan Qo’qo’ bin Hakim dari Abi Shalih dari Abi Hurairah berkata Rasulallah SAW bersabda: sesungguhnya aku hanya diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia (Al Imam Ahmad bin Hambal, 504).
Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi daripada pendidikan moral,
karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah. Lebih dari
itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang yang baik
sehingga siswa didik menjadi faham, mampu merasakan, dan mau melakukan yang baik.
Seseorang dapat dikatakan berkarakter atau berwatak jika telah berhasil menyerap nilai
dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan dalam
hidupnya (Nurul Zuriah, 2008:15).
2. Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berfungsi (1) mengembangkan potensi dasar agar berhati
baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (2) memperkuat dan membangun perilaku
bangsa yang multikultur; (3) meningkatkan peradaban bangsa yang kompetitif dalam
pergaulan dunia. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai media yang mencakup
keluarga, satuan pendidikan, masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia
usaha, dan media massa.
Pendidikan karakter memiliki tiga fungsi utama, yaitu :
a. Pembentukan dan Pengembangan Potensi
Pendidikan karakter berfungsi untuk membentuk dan mengembangkan
potensi manusia atau warga negara Indonesia agar berpikiran baik, berhati baik, dan
berperilaku baik sesuai dengan falsafah hidup Pancasila.
14
Pendidikan karakter berfungsi memperbaiki karakter manusia dan warga
negara Indonesia yang bersifat negatif dan memperkuat peran keluarga, satuan
pendidikan, masyarakat, dan pemerintah untuk ikut berpartisipasi dan bertanggung
jawab dalam pengembangan potensi manusia atau warga negara menuju bangsa yang
berkarakter, maju, mandiri, dan sejahtera.
c. Penyaring
Pendidikan karakter bangsa berfungsi memilah nilai-nilai budaya bangsa
sendiri dan menyaring nilai-nilai budaya bangsa lain yang positif untuk menjadi
karakter manusia dan warga negara Indonesia agar menjadi bangsa yang bermartabat.
Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan
akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri. Menurut konsep Kurikulum
Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010 Nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter
Bangsa, ada 18 unsur dan nilai yang mana diantaranya adalah : 1. Religius; 2. Jujur; 3.
Toleransi; 4. Disiplin; 5. Kerja Keras; 6. Kreatif; 7. Mandiri; 8. Demokratis; 9. Rasa Ingin
Tahu; 10. Semangat Kebangsaan; 11. Cinta Tanah Air; 12. Menghargai Prestasi; 13.
Bersahabat atau Komuniktif; 14. Cinta Damai; 15. Gemar Membaca; 16. Peduli
Lingkungan; 17. Peduli Sosial, dan 18. Tanggung Jawab.
Sedangkan menurut dalam UU No 20 tahun 2003 pasal 3 menyebutkan
pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter
bangsa yang bermartabat. Ada 9 pilar pendidikan berkarakter, diantaranya adalah:
a. Cinta Tuhan dan segenap ciptaannya
b. Tanggung jawab, kedisiplinan dan kemandirian
c. Kejujuran /amanah dan kearifan
d. Hormat dan santun
15 f. Percaya diri, kreatif dan bekerja keras
g. Kepemimpinan dan keadilan
h. Baik dan rendah hati
i. Toleransi kedamaian dan kesatuan
3. Tujuan Pendidikan Karakter
Doni Koesoema (2007:91) menyatakan,
“Memang tidak dapat diingkari bahwa sudah sangat mendesak pendidikan karakter diterapkan di dalam lembaga pendidikan. Alasan-alasan kemerosotan moral, dekadensi kemanusiaan yang terjadi tidak hanya dalam diri generasi muda kita, namun telah menjadi cirri khas abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah kultur yang membuat peradaban kita semakin manusiawi”
Pendidikan karakter pada intinya bertujuan membentuk bangsa yang tangguh,
kompetitif, berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang semuanya
dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan yang Maha Esa berdasarkan Pancasila.
Dalam sebuah lembaga sekolah pendidikan karakter bertujuan untuk
meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan di sekolah yang mengarah
pada pencapaian pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh,
terpadu, dan seimbang, sesuai standar kompetensi lulusan. Melalui pendidikan karakter
diharapkan peserta didik SMP mampu secara mandiri meningkatkan dan menggunakan
pengetahuannya, mengkaji dan menginternalisasi serta mempersonalisasi nilai-nilai
karakter dan akhlak mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.
Pendidikan karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya
sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan
16
sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah
tersebut di mata masyarakat luas.
Menurut Mochtar Buchori (2007:44), pendidikan karakter seharusnya membawa
peserta didik ke pengenalan nilai secara kognitif, penghayatan nilai secara afektif, dan
akhirnya ke pengamalan nilai secara nyata. Pendidikan karakter yang selama ini ada di
SMP perlu segera dikaji, dan dicari altenatif-alternatif solusinya, serta perlu
dikembangkannya secara lebih operasional sehingga mudah diimplementasikan di
sekolah.
Pendidikan karakter pada dasarnya dapat diintegrasikan dalam pembelajaran pada
setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai
pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya
pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam
kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
4. Prinsip-Prinsip Pendidikan Karakter
Ada beberapa prinsip dasar pendidikan karakter:
a. Manusia adalah makhluk yang dipengaruhi dua aspek, dirinya
memiliki sumber kebenaran dan dari luar dirinya ada juga dorongan atau kondisi yang
mempengaruhi kesadaran.
Berkowitz membagi dua aspek emosi, yaitu selfcensorship (kontrol internal)
dan prososial. Kontrol internal berkaitan dengan adanya perasaan bersalah (guilty
feeling) dan malu (shame), dimana kontrol itu akan mencegah seseorang dari perilaku
buruk dan selalu ada keinginan untuk memperbaiki diri. Sedang aspek prososial
adalah terkait dengan emosi yang timbul karena melihat kesulitan atau penderitaan
17
2008:104). Apabila kontrol internal dan aspek prososial telah tertanam dalam diri
individu, maka orang itu dapat dikatakan sebagai manusia yang menjalani hidupnya
hanya berdasarkan prinsip-prinsip moral (aprincipled person), atau telah menjadi
manusia yang cerah budi. Inilah pribadi arif yang tidak akan terpengaruh oleh
dorongan nafsu buruk di dalam dirinya, termasuk oleh nilai-nilai komunal atau
kolektif yang bertentangan dengan hati nuraninya.
Atas dasar prinsip ini, pendidikan karakter tidaklah bersifat teoritis (meyakini
telah ada konsep yang akan dijadikan rujukan karakter), tetapi melibatkan penciptaan
situasi yang mengkondisikan peserta didik mencapai pemenuhan karakter utamanya.
Penciptaan konteks (komunitas belajar) yang baik, dan pemahaman akan konteks
peserta didik (latar belakang dan perkembangan psikologi) menjadi bagian dari
pendidikan karakter.
b. Karena menganggap bahwa perilaku yang dibimbing oleh nilai-nilai utama sebagai
bukti dari karakter, pendidikan karakter tidak meyakini adanya pemisahan antara roh,
jiwa, dan badan. Tanpa tindakan, semua yang diucapkan dan diyakini bukanlah
apa-apa, tanpa keyakinan maka tindakan dan perkataan tidak memiliki makna.
c. Pendidikan karakter mengutamakan munculnya kesadaran pribadi peserta didik untuk
secara ikhlas mengutamakan karakter positif.
Setiap manusia memiliki modal dasar (potensi dan kapasitanya yang khas)
yang membedakan dirinya dengan orang lain. Aktualisasi dari kesadaran ini dalam
dunia pendidikan adalah pemupukan keadaan khusus seseorang yang
memungkinkannya memiliki daya tahan dan daya saing dalam perjuangan hidup.
d. Pendidikan karakter mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang tidak
18
diri, memperhatikan masalah lingkungannya, dan memperbaiki kehidupan sesuai
dengan pengetahuan dan karakter yang dimilikinya.
Manusia yang dapat diandalkan dari segala aspek, baik aspek intelektual,
afektif maupun spiritual. Manusia semacam ini adalah manusia yang mempunyai
competence, compassion dan conscience. Manusia competence adalah manusia yang
unggul dan menghargai proses. Disini ada kesadaran bahwa segala sesuatu tidak
diperoleh dalam sekejap namun dalam waktu yang panjang dan lama.
Perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) bermula dari pengingkaran
terhadap prinsip menghargai proses. Karena mengingkari proses atau terlalu
bersemangat menikmati hasil akhir banyak oknum yang menggunakan kedekatan,
kekuatan uang dan kekuasaan sebagai jalan menuju hasil akhir. Sayangnya, mentalitas
tidak menghargai proses ini telah dipupuk dibangku sekolah. Penghargaan pada nilai
ujian akhir, misalnya, mencetak siswa untuk lebih mementingkan nilai akhir, seraya membangkitkan semangat ”menghalalkan segala cara” untuk mendapatkan prestasi
akhir.
Manusia yang memiliki compassion adalah manusia yang peduli dengan
sesamanya. Lewat daya-daya manusiawinya, ia pekan terhadap apa yang ada
disekelilingnya. Ia memiliki kepedulian dan mampu menggunakan kepentingan
banyak orang. Sedangkan manusia yang conscience adalah manusia yang sadar akan
tujuan hidupnya. Dalam pendidikan karakter, tujuan hidup manusia adalah memuji,
memuliakan dan mengabdi kepada Allah, sementara yang lain adalah sarana dan
bukan tujuan hidup manusia.
e. Karakter seseorang ditentukan oleh apa yang dilakukannya berdasarkan pilihan.
Individu mengukuhkan karakter pribadinya melalui setiap keputusan yang
19
karakternya sendiri. Oleh karena itu, karakter seseorang itu bersifat dinamis. Ia
bukanlah kristalisasi pengalaman masa lalu, melainkan kesediaan setiap individu
untuk terbuka dan melatihkan kebebasannya itu dalam membentuk jenis manusia
macam apa dirinya itu melalui keputusan-keputusan dalam hidupnya. Untuk inilah
setiap keputusan menjadi semacam jalinan yang membingkai, membentuk jenis
manusia macam apa yang diinginkannya (Doni Koesoema, 2007:218).
Setiap keputusan yang diambil menentukan akan kualitas seseorang dimata
orang lain. Seseorang individu dengan karakter yang baik bisa mengubah dunia secara
perlahan-lahan.
5. Metode-Metode Pendidikan Karakter
Pendidikan untuk pembangunan karakter pada dasarnya mencakup
pengembangan substansi, proses dan suasana atau lingkungan yang menggugah,
mendorong dan memudahkan seseorang untuk mengembangkan kebiasaan baik dalam
kehidupan sehari-hari (Ignas G Sasono, 2010:125).
Doni A. Kusuma (2007, 105) menyatakan bahwa terdapat 5 (lima) metode
pendidikan karakter (dalam penerapan di lembaga sekolah) yaitu:
a. Mengajarkan
Pemahaman konseptual tetap dibutuhkan sebagai bekal konsep-konsep nilai
yang kemudian menjadi rujukan bagi perwujudan karakter tertentu. Mengajarkan
karakter berarti memberikan pemahaman pada peserta didik tentang struktur nilai
tertentu, keutamaan, dan maslahatnya. Mengajarkan nilai memiliki dua faedah,
pertama, memberikan pengetahuan konseptual baru, kedua, menjadi pembanding atas
pengetahuan yang telah dimiliki oleh peserta didik. Karena itu, maka proses
20 b. Keteladanan
Manusia lebih banyak belajar dari apa yang mereka lihat. Keteladanan
menepati posisi yang sangat penting. Guru harus terlebih dahulu memiliki karakter
yang hendak diajarkan. Peserta didik akan meniru apa yang dilakukan gurunya
ketimbang yang dilaksanakan sang guru. Keteladanan tidak hanya bersumber dari
guru, melainkan juga dari seluruh manusia yang ada dalam lembaga pendidikan
tersebut. Juga bersumber dari orang tua, karib kerabat, dan siapapun yang sering
berhubungan dengan peserta didik. Pada titik ini, pendidikan karakter membutuhkan
lingkungan pendidikan yang utuh, saling mengajarkan karakter.
c. Menentukan Prioritas
Penentuan prioritas yang jelas harus ditentukan agar proses evaluasi atas
berhasil atau tidak nya pendidikan karakter dapat menjadi jelas, tanpa prioritas,
pendidikan karakter tidak dapat terfokus dan karenanya tidak dapat dinilai berhasil
atau tidak berhasil. Pendidikan karakter menghimpun kumpulan nilai yang dianggap
penting bagi pelaksanaan dan realisasi visi lembaga. Oleh karena itu, lembaga
pendidikan memiliki kewajiban. Pertama, menentukan tuntutan standar yang akan
ditawarkan pada peserta didik. Kedua, semua pribadi yang terlibat dalam lembaga
pendidikan harus memahami secara jernih apa nilai yang akan ditekankan pada
lembaga pendidikan karakter ketiga. Jika lembaga ingin menentukan perilaku standar
yang menjadi ciri khas lembaga maka karakter lembaga itu harus dipahami oleh anak
didik , orang tua dan masyarakat.
d. Praksis Prioritas
Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah
bukti dilaksanakan prioritas karakter tersebut. Lembaga pendidikan harus mampu
21
direalisasikan dalam lingkungan pendidikan melalui berbagai unsur yang ada dalam
lembaga pendidikan itu.
e. Refleksi
Berarti dipantulkan kedalam diri. apa yang telah dialami masih tetap terpisah
dengan kesadaran diri sejauh ia belum dikaitkan, dipantulkan dengan isi kesadaran
seseorang. Refleksi juga dapat disebut sebagai proses bercermin, mematut-matutkan
diri ada peristiwa/konsep yang telah teralami.
B.Nilai-Nilai Religiusitas
1. Pengertian Nilai-Nilai Religius
Abdul Madjid (1989:26) mengemukakan bahwa, Agama adalah keseluruhan
tingkah laku manusia yang terpuji, yang dilakukan demi memperoleh ridha Allah. agama,
dengan kata lain, meliputi keseluruhan tingkah laku itu membentuk keutuhan manusia
berbudi luhur (berakhlak karimah), atas dasar percaya atau iman kepada Allah dan
tanggung jawab pribadi di hari kemudian. Dalam hal ini, agama mencakup totalitas
tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari yang dilandasi dengan iman kepada
Allah, sehingga seluruh tingkah lakunya berlandaskan keimanan dan akan membentuk
akhlak karimah yang terbiasa dalam pribadi dan perilakunya sendiri (Ngainun Naim,
2012:124).
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa nilai religius merupakan nilai
pembentuk karakter yang sangat penting artinya. Memang ada banyak pendapat tentang
relasi antara religius dengan agama. Pendapat yang umum menyatakan bahwa religius
tidak selalu sama dengan agama. Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa tidak sedikit
orang beragama, tetapi tidak menjalaankan ajaran agamanya secara baik. Mereka bisa
disebut beragama, tetapi tidak atau kurang religius. Sementara itu ada juga orang yang
22
Muhaimin (2004:125) berpendapat bahwa kata religius memang tidak selalu
identik dengan kata agama, kata religius dan lebih tepat diterjemahkan sebagai
keberagamaan. Keberagamaan lebih melihat aspek yang sedikit banyak merupakan
misteri bagi orang lain karena menapaskan intimitas jiwa cita rasa yang mencakup
totalitas ke dalam pribadi manusia, dan bukan pada aspek yag bersifat formal. Namun
demikian keberagaman dalam konteks character building. Sesungguhnya merupakan
manifestasi lebih mendalam atas agama dalam kehidupan sehari-hari.
Uraian di atas menunjukkan bahwa religius tidak diartikan sebagai agama tetapi
lebih luas dari itu yaitu keberagamaan. Istilah nilai keberagamaan merupakan istilah yang
tidak mudah untuk diberikan batasan secara pasti. Ini disebabkan karena nilai merupakan
sebuah realitas yang abstrak. Secara etimologi nilai keberagamaan berasal dari dua kata
yakni,: nilai dan keberagamaan.
Keberagamaan atau religiusitas, menurut Islam adalah melaksanakan ajaran
agama atau berislam secara menyeluruh. Oleh karena itu setiap muslim, baik dalam
berfikir, bersikap maupun bertindak, diperintahkan untuk melakukannya dalam rangka
beribadah kepada Allah. Dimanapun dan dalam keadaan apa-pun, setiap muslim
hendaknya ber-Islam. Di samping tauhid atau akidah, dalam Islam juga ada syari’ah dan
akhlak (Ngainun Naim, 2012:125)
Jadi secara umum makna nilai-nilai religius adalah nilai-nilai kehidupan yang
mencerminkan tumbuh kembangnya kehidupan beragama yang terdiri dari tiga unsur
pokok yaitu aqidah, ibadah dan akhlak yang menjadi pedoman perilaku sesuai dengan
aturan-aturanIllahi untuk mencapai kesejahteraan serta kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat.
23
Keberagaman atau religiusitas seseorang diwujudkan dalam berbagai sisi
kehidupannya. Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan
perilaku ritual (beribadah) tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh
kekuasaan supranatural. Bukan hanya kegiatan yang tampak oleh mata tetapi juga
aktivitas yang tidak tampak atau terjadi dalam hati seseorang. Karena itu, keberagaman
seseorang akan meliputi berbagai macam sisi atau dimensi.
Dimensi nilai-nilai religius di antaranya, dimensi kayakinan atau akidah dalam
Islam menunjukkan pada seberapa tingkat keyakinan muslim terhadap kebenaran ajaran
agamanya, terutama terhadap ajaran-ajaran yang bersifat fundamental dan dogmatik. Di
dalam keislaman, isi dimensi keimanan menyangkut keyakinan tentang Allah, para
malaikat, Nabi/Rasul, kitab-kitab Allah, surga dan mereka serta qadha’ dan qadar.
Penanaman nilai-nilai religius tidak hanya untuk peserta didik tetapi juga
penting dalam rangka untuk memantabkan etos kerja dan etos ilmiah bagi tenaga
kependidikan di Sekolah, agar dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab dengan
baik. Selain itu juga agar tertanam dalam jiwa tenaga kependidikan bahwa memberikan
pendidikan dan pembelajaran pada peserta didik bukan semata-mata bekerja untuk
mencari uang, tetapi merupakan bagian dari ibadah.
Ancok dan Suroso (1995:165) mengatakan bahwa dalam Islam, dimensi ini
dapat diwujudkan dengan melakukan perbuatan atau perilaku yang baik sebagai amalan
sholeh sebagai muslim, yaitu meliputi perilaku suka menolong, bekerjasama, berderma,
mensejahterakan dan menumbuh kembangkan orang lain, menegaskan kebenaran dan
keadilan, berlaku jujur, memaafkan, menjaga lingkungan hidup, menjaga amanat, tidak
mencuri, tidak korupsi, tidak menipu, tidak berjudi, tidak meminum minuman yang
memabukkan, mematuhi norma-norma Islam dalam perilaku seksual, berjuang untuk
24
Ari Widiyanta (2005, 78-84) dalam Glock dan Stark membedakan beberapa
dimensi religiusitas yakni:
a. Dimensi Iman
Mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, malaikat, kitab-kitab, nabi,
mukjizat, hari akhir dan adanya setan serta takdir baik dan buruk.
b. Dimensi Islam
Sejauh mana tingkat frekuensi, intensitas dan pelaksanaan ibadah seseorang.
Dimensi ini mencakup pelaksanaan shalat, zakat, puasa dan haji.
c. Dimensi Ihsan
Mencakup pengalaman dan perasaan tentang kehadiran Tuhan dalam
kehidupan, ketenangan hidup, takut melanggar perintah Tuhan, keyakinan menerima
balasan, perasaan dekat dengan Tuhan dan dorongan untuk melaksanakan perintah
agama.
d. Dimensi Ilmu
Seberapa jauh pengetahuan seseorang tentang agamanya, misalnya
pengetahuan tentang tauhid, fiqh dan lain-lain.
e. Dimensi Amal
Meliputi bagaimana pengamalan keempat dimensi di atas yang ditunjukkan
dalam perilaku seseorang. Dimensi ini menyangkut hubungan manusia dengan
manusia dan dengan lingkungan alamnya.
C.Penanaman Nilai-Nilai Religius di Lingkungan Sekolah
Agama memiliki peran yang amat penting dalam kehidupan umat manusia. Agama
menjadi pemandu dalam upaya mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan
bermartabat. Pendidikan Agama dimaksudkan untuk peningkatan potensi religius dan
25
Yang Maha Esa dan berakhlak mulia. Akhlak mulia mencakup etika, budi pekerti, dan moral
sebagai perwujudan dari pendidikan agama. Peningkatan potensi religius mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai keagamaan, serta pengamalan
nilai-nilai tersebut dalam kehidupan individual ataupun kolektif kemasyarakatan. Peningkatan
potensi religius tersebut pada akhirnya bertujuan pada optimalisasi berbagai potensi yang
dimiliki manusia yang aktualisasinya mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai
makhluk Tuhan.
Untuk menanamkan nilai-nilai religius, suatu sekolah atau Sekolah harus mampu
menciptakan suasana religius melalui program atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh
seluruh warga sekolah, sehingga akan membentuk satu kesatuan yaitu budaya religius
sekolah.
Budaya religius sekolah adalah cara berfikir dan cara bertindak warga sekolah yang
didasarkan atas nilai-nilai religius (keberagamaan). Religius menurut Islam adalah
menjalankan ajaran agama secara menyeluruh (kaffah). Tradisi dan perwujudan ajaran
agama memiliki keterkaitan yang erat, karena itu tradisi tidak dapat dipisahkan begitu saja
dari masyarakat/lembaga di mana ia dipertahankan, sedangkan masyarakat juga mempunyai
hubungan timbak balik, bahkan saling mempengaruhi dengan agama. Untuk itu, agama
mempengaruhi jalannya masyarakat dan pertumbuhan masyarakat mempengaruhi
pemikiran terhadap agama. Dalam kaitan ini, Sudjatmoko juga menyatakan bahwa
keberagamaan manusia, pada saat yang bersamaan selalu disertai dengan identitas
budayanya masing-masing yang berbeda-beda.
Dalam tataran nilai, budaya religius berupa: semangat berkorban (jihad), semangat
persaudaraan (ukhuwah), semangat saling menolong (ta’awun) dan tradisi mulia lainnya.
Sedangkan dalam tataran perilaku, budaya religius berupa: berupa tradisi solat berjamaah,
26
Dengan demikian, budaya religius sekolah adalah terwujudnya nilai-nilai ajaran
agama sebagai tradisi dalam berperilaku dan budaya organisasi yang diikuti oleh seluruh
warga sekolah. Dengan menjadikan agama sebagai tradisi dalam sekolah maka secara sadar
maupun tidak ketika warga sekolah mengikuti tradisi yang telah tertanam tersebut
sebenarnya warga sekolah sudah melakukan ajaran agama.
Oleh karena itu, untuk membudayakan nilai-nilai keberagamaan (religius) dapat
dilakukan dengan beberapa cara, antara lain melalui: kebijakan pimpinan sekolah,
pelaksanaan kegiatan belajar mengajar di kelas, kegiatan ektrakurikuler di luar kelas serta
tradisi dan perilaku warga sekolah secara kontinyu dan konsisten, sehingga tercipta religius
culture tersebut dalam lingkungan sekolah.
Penanaman nilai-nilai religius dalam rangka mewujudkan budaya religius sekolah
dihadapkan pada berbagai tantangan baik secara internal maupun eksternal. Secara internal,
pendidikan dihadapkan pada keberagaman siswa, baik dari sisi keyakinan beragama
maupun keyakinan dalam satu agama. Lebih dari itu, setiap siswa memiliki latar belakang
kehidupan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pembelajaran agama diharapkan memiliki
prinsip dalam menerapkan keberagaman sebagai berikut:
1. Belajar Hidup dalam Perbedaan
Perilaku-perilaku yang diturunkan ataupun ditularkan oleh orang tua kepada
anaknya atau oleh leluhur kepada generasinya sangatlah dipengaruhi oleh
kepercayaan-kepercayaan dan nilai budaya, selama beberapa waktu akan terbentuk perilaku budaya
yang meresapkan citra rasa dari rutinitas, tradisi, bahasa kebudayaan, identitas etnik,
nasionalitas dan ras.
Perilaku-perilaku ini akan dibawa oleh anak-anak ke sekolah dan setiap siswa
memiliki perbedaan latar belakang sesuai dari mana mereka berasal. Keragaman inilah
27
Jika pendidikan agama Islam selama ini masih konvensional dengan lebih menekankan
pada proses how to know, how to do dan how to be, maka pendidikan agama Islam
berwawasan multikultural menambahkan proses how to live and work together with other
yang ditanamkan oleh praktek pendidikan melalui:
a. Pengembangan sikap toleransi, empati dan simpati yang merupakan prasyarat esensial
bagi keberhasilan koeksistensi dan proeksistensi dalam keragaman agama. Pendidikan
agama dirancang untuk menanamkan sikap toleran dari tahap yang paling sederhana
sampai komplek.
b. Klarifikasi nilai-nilai kehidupan bersama menurut perspektif anggota dari
masing-masing kelompok yang berbeda. Pendidikan agama harus bisa menjembatani
perbedaan yang ada di dalam masyarakat, sehingga perbedaan tidak menjadi halangan
yang berarti dalam membangun kehidupan bersama yang sejahtera.
c. Pendewasaan emosional, kebersamaan dalam perbedaan membutuhkan kebebasan
dan keterbukaan. Kebersamaan, kebebabasan dan keterbukaan harus tumbuh bersama
menuju pendewasaan emosional dalam relasi antar dan intra agama-agama.
d. Kesetaraan dalam partisipasi. Perbedaan yang ada pada suatu hubungan harus
diletakkan pada relasi dan kesalingtergantungan, karena itulah mereka bersifat setara.
Perlu disadari bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk hidup serta
memberikan kontribusi bagi kesejahteraan manusia yang universal.
e. Kontrak Sosial dan aturan main kehidupan bersama. Perlu kiranya pendidikan agama
memberi bekal tentang ketrampilan berkomunikasi, yang sesungguhnya sudah
termaktub dalam nilai-nilai agama Islam.
2. Membangun Saling Percaya (Mutual Trust)
Saling percaya merupakan faktor yang sangat penting dalam sebuah hubungan.
28
diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini yang membuat kehati-hatian
dalam melakukan kontrak, transaksi, huibungan dan komunikasi dengan orang lain, yang
justru memperkuat intensitas kecurigaan yang dapat mengarah pada ketegangan dan
konflik. Maka dari itu pendidikan agama memiliki tugas untuk menanamkan rasa saling
percaya anta agama, anatar kultur dan antar etnik.
3. Memelihara Saling Pengertian (Mutual Understanding)
Saling mengerti berarti saling memahami, perlu diluruskan bahwa memahami
tidak serta merta disimpulkan sebagai tindakan menyetujui, akan tetapi memahami
berarti menyadari bahawa nilai-nilai mereka dan kita dapat saling berbeda, bahkan
mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis dan
hidup. Pendidikan agama berwawasan multikultural mempunyai tanggung jawab
membangun landasan-landasan etis saling kesepahaman antara paham-paham intern
agama, antar entitas-entitas agama dan budaya yang plural, sebagi sikap dan kepedulian
bersama.
4. Menjunjung Sikap Saling Menghargai (Mutual Respect)
Menghormati dan menghargai sesama manusia adalah nilai universal yang
dikandung semua agama di dunia. Pendidikan agama menumbuhkembangkan kesadaran
bahwa kedamaian mengandalkan saling menghargai antar penganut agama-agama, yang
dengannya kita dapat dan siap untuk mendengarkan suara dan perspektif agama lain yang
berbeda, menghargai signifikansi dan martabat semua individu dan kelompok
keagamaan yang beragam. Untuk menjaga kehormatan dan harga diri tidak harus
diperoleh dengan mengorbankan kehormatan dan harga diri orang lain apalagi dengan
menggunakan sarana dan tindakan kekerasan. Saling menghargai membawa pada sikap
berbagi antar semua individu dan kelompok.
29
Selayaknya pendidikan memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berpikir
dan bertindak bahkan mengadaptasi sebagian pengetahuan baru dari para siswa. Dengan
mengondisikan siswa untuk dipertemukan dengan berbagai macam perbedaan, maka
siswa akan mengarah pada proses pendewasaan dan memiliki sudut pandang dan cara
untuk memahami realitas. Dengan demikian siswa akan lebih terbuka terhadap dirinya
sendiri, orang lain dan dunia. Dengan melihat dan membaca fenomena pluralitas
pandangan dan perbedaan radikal dalam kultur, maka diharapkan para siswa mempunyai
kemauan untuk memulai pendalaman tentang makna diri, identitas, dunia kehidupan,
agama dan kebudayaan diri serta orang lain.
6. Apresiasi dan Interdepedensi
Kehidupan yang layak dan manusiawi akan terwujud melalui tatanan sosial yang
peduli, dimana setiap anggota masyarakatnya saling menunjukkan apresiasi dan
memelihara relasi dan kesalingkaitan yang erat. Manusia memiliki kebutuhan untuk
saling menolong atas dasar cinta dan ketulusan terhadap sesama. Bukan hal mudah untuk
menciptakan masyarakat yang dapat membantu semua permasalahan orang-orang yang
berada di sekitarnya, masyarakat yang memiliki tatanan sosial harmoni dan dinamis
dimana individu-individu yang ada di dalamnya saling terkait dan mendukung bukan
memecah belah. Dalam hal inilah pendidikan agama Islam berwawasan multikultural
perlu membagi kepedulian tentang apresiasi dan interdepedensi umat manusia dari
berbagai tradisi agama.
7. Resolusi Konflik
Konflik berkepanjangan dan kekerasan yang merajalela seolah menjadi cara
hidup satu-satunya dalam masyarakat plural, satu pilihan yang mutlak harus dijalani.
Padahal hal ini sama sekali jauh dari konsep agama-agama yang ada di muka bumi ini.
30
justifikasi dari doktrin dan tafsir keagamaan konvensional. Baik langsung maupun tidak
kekerasan masih belum bisa dihilangkan dari kehidupan beragama.
Adapaun secara eksternal, pendidikan agama dihadapkan pada satu realitas
masyarakat yang sedang mengalami krisis moral. Ada beberapa hal strategis yang bisa
diperankan pendidikan dalam meresolusi konflik dan kekerasan di dunia, antara lain:
Pertama, pendidikan mengambil strategi konservasi. Secara fisioner dan kreatif pendidikan perlu diarahkan untuk menjaga, memelihara, mempertahankan “ aset-aset
agama dan budaya” berupa pengetahuan, nilai-nilai, dan kebiasan-kebiasaan yang baik
dan menyejarah. Nilai-nilai pendidikan humanistic yang dikokohkan dengan agama
dipercaya mampu merangkai visi kebudayaan dan peradaban manusia yang bermartabat
tinggi dan mulia.
Kedua, pendidikan mengambil strategi restorasi. Secara visioner dan kreatif
pendidikan diarahkan untuk memperbaiki, memugar, dan memulihkan kembali aset-aset
agama dan budaya yang telah mengalami pencemaran, pembusukan, dan perusakan. Jika
tidak direstorasi, maka set aset agama dan budaya dikhawatirkan berfungsi terbalik, yaitu
merendahkan martabat manusia ke derajat paling rendah (radadna-hu asfala safilin) dan
bahkan yang paling rendah dari binatang (ula-ika kal-an’am bal hum adlallu). Telah
dimaklumi bahwa konflik dan kekerasan yang berskala tinggi selama ini adalah bentuk
pencemaran, pembusukan, dan perusakan aset-aset agama dan budaya.
Di beberapa tempat muncul apa yang disebut dengan “kekerasaan agama” dan
“agama kekerasan” maupun “kekerasan budaya”dan “ budaya kekerasan” . Hakikinya
semua itu merupakan bentuk perilaku menyimpang; menyimpang dari agama dan budaya. Dikatakan sebagai “kekerasan agama” karena kekerasan-kekerasan yang
dilakukan manusia secra terang-terangan melecehkan, merusak, menganiaya, dan
31
kekerasan” karena kekerasan demi kekerasan yang dilakukan manusia dicarikan
legitimasinya melalui agama. Demikian pula dikenal sebagai “kekerasan budaya” karena
manusia secara terang-terangan telah melakukan destruksi terhadap hasil akal budinya sendiri. Sedangkan pada sisi lain, “budaya kekerasan” adalah kekerasan-kekerasan yang
dilakukan manusia dimana-mana, termasuk nafsu berperang dan memerangi, dijadikan
adat yang disahkan, bahkan oleh pembenaran internasional. Pembenaran dimaksud
antara lain di bawah payung keputusan PBB, atau wadah-wadah kesepakatan multilateral
yang resmi lainnya. Untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan itu, lagi-lagi pendidikan,
agama, dan budaya adalah mata rantai perekat yang harus diperkuat.
Pendidikan dalam memperbaiki, memugar dan memulihkan kembali aset-aset
agama dan budaya adalah sebuah proyeksi masa depan. Hasilnya tidak instan. Karena
tugas pendidikan untuk memberikan alternatif masa depan. Seorang guru yang
mengajarkan nilai-nilai paedagogik ke peserta didik bukan dalam konteks ketika
pelajaran nilai itu diberikan, melainkan suatu proses internalisasi jangka panjang ke arah
masa depan. Peran dan fungsi pendidikan dihadirkan untuk menciptakan
perubahan-perubahan dalam mewujudkan peradaban masa depan. Apa yang mendera Indonesia
dengan konflik dan kekerasan perlu segera didesak untuk dilakukan restorasi. Dan
pendidikan adalah alat terpenting bagi usaha restorasi ke arah hidup damai, aman, dan
32 BAB III
METODE PENELITIAN
A.Pendekatan dan Jenis Penelitian
Pada penelitian ini penulis menitikberatkan pada “Implementasi Pendidikan
Karakter berbasis Nilai-nilai Religiusitas melalui Ekstrakurikuler Keagamaan Islam di SMP Negeri 3 Salatiga Tahun 2017”, dengan menggunakan jenis pendekatan kualitatif. Dengan
demikian,“ Pendekatan kualitatif mencakup masalah deskripsi tentang pengalaman orang di
lingkungan penelitian. Tujuan deskripsi ini adalah untuk membantu pembaca mengetahui
apa yang terjadi di lingkungan di bawah pengamatan, seperti apa pandangan partisipan yang
berada di latar pengamatan dan seperti apa persitiwa atau aktivitas yang terjadi di latar
penelitian. Dalam pembacaan melalui catatan lapangan dan wawancara, peneliti mulai
mencari bagian-bagian data yang akan diperhalus untuk presentasi sebagai deskrispsi dalam laporan penelitian” (Emzir, 2008:174). Dalam pendekatan kualitatif ini semua data
diperoleh dalam bentuk kata-kata lisan maupun tulisan yang bersumber dari manusia.
Peneliti dalam hal ini bertindak sebagai instrumen sekaligus pengumpul data dan
statusnya diketahui oleh subjek (Kepala sekolah dan guru) atau informan di lokasi penelitian
yaitu SMP Negeri 3 Salatiga. Namun objek (Siswa) yang sedang diteliti tidak mengetahui
maksud penelitian ini sehingga tidak ada kesan rekayasa justru akan menghasilkan data yang
alami dan apa adanya untuk mendapatkan hasil yang valid sesuai dengan kondisi yang
terjadi di SMP Negeri 3 Salatiga.
B.Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi dalam penelitian ini di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 3 Salatiga,
Jl Stadion No. 4 Salatiga, Jawa Tengah - Indonesia No. Telepon : ( 0298 ) 326260. Waktu
33
penelitian ini adalah seluruh siswa SMP Negeri 3 Salatiga yang mengikuti Ekstrakurikuler
Agama Islam dengan jumlah siswa 30 anak.
C.Sumber Data
Sumber data dalam penelitian kualitatif ialah semua informasi yang diperoleh dari
kepala sekolah, dewan guru maupun para siswa yang dianggap penting, selain itu data juga
dihasilkan dari dokumentasi yang menunjang. Adapun data dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer
Data Primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh peneliti secara
langsung dari sumber datanya. Data primer disebut juga sebagai data asli atau data baru
yang memiliki sifat up to date. Untuk mendapatkan data primer, peneliti harus
mengumpulkannya secara langsung. Teknik yang dapat digunakan peneliti untuk
mengumpulkan data primer antara lain observasi, wawancara, diskusi terfokus (focus
grup discussion –FGD) dan penyebaran kuesioner (Nazir, 1998:79). Dalam penelitiaan
ini data yang berbentuk kata-kata diambil dari para informan / responden pada waktu
mereka diwawancarai. Dengan kata lain data-data tersebut berupa keterangan dari kepala
sekolah, guru dan beberapa siswa SMP Negeri 3 Salatiga untuk memberikan keterangan
yang relevan.
2. Data Sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan peneliti dari
berbagai sumber yang telah ada. Data yang berbentuk tulisan diperoleh peniliti saat
berada di SMP Negeri 3 Salatiga, catatan tersebut berisi Profil, Visi Misi, Data Siswa,
Tata tertib, Struktur Organisasi dan lain sebagainya.
D.Prosedur Pengumpulan Data
Agar sebuah kajian ilmiah dapat disajikan secara sistematis, maka langkah pertama
34
sebuah metode penelitian rasional dan terarah maka peneliti menggunakan teknik-teknik
pengumpulan data seperti yang tersebut di bawah ini:
1. Observasi
Menurut Sukardi (2011: 78-79), observasi adalah pengamatan dan percatatan
secara sisitematik terhadap gejala yang tampak pada obyek penelitian”. Penulis berusah
mengamati dan mendengarkan dalam rangka memahami, mencari Jawab, mencari bukti
terhadap fenomena sosial keagamaan (perilaku, kejadian-kejadian, keadaan, benda dan
simbol-simbol tertentu) selama beberapa waktu tanpa mempengaruhi fenomena yang
diobservasi dengan mencatat, merekam, memotret fenomena tersebut guna mengetahui
kegiatan Ekstrakurikuler keagamaan Islam, jumlah siswa maupun kegiatan pendukung
dan penghambat pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler. Observasi digunakan oleh penulis
untuk mengumpulkan data profil sekolah, keadaan sekolah dan pelaksanaan kegiatan
ekstrakurikuler.
2. Wawancara atau Interview
Pada teknik wawancara peneliti datang dan berhadapan muka langsung dengan
responden atau subjek yang diteliti (Sukardi, 2011:79). Jadi tekhnik ini identik dengan
pengumpulan data dengan bertanya langsung, lisan maupun tertulis kepada nara sumber.
Ciri utamanya adalah kontak langsung dengan tatap muka antara penulis dengan kepala
sekolah, guru dan siswa. Wawancara kepada Siswa digunakan oleh penulis untuk
mengetahui bentuk Nilai-nilai Religiusitas siwa SMP Negeri 3 Salatiga.
3. Dokumentasi
Dalam memperluas pengumpulan data, teknik ini sangat dibutuhkan. Teknik
dokumentasi adalah cara pengumpulan data melalui peninggalan tertulis, terutama
berupa surat-surat, arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat dan teori
35
digunakan untuk lebih memperluas pengamatan dan pengumpulan data terhadap kegiatan
ekstrakurikuler keagamaan dan pendukung maupun penghambat kegiatan
ekstrakurikuler di SMP Negeri 3 Salatiga.
E.Analisis Data
Muhadjir (1996:104) mengatakan,
“Analisis data merupakan upaya untuk mencapai dan menata secara sistematis catatan hasil observasi, wawancara dan lainya. Untuk meningkatkan pemahaman penelitian tentang kasus yang diteliti dan menyajikanya sebagi temuan bagi orang lain. Sedangkan untuk meningkatkan pemahaman tersebut, analisis perlu dilanjutkan dengan berupaya mancari makna”.
Sedangkan Menurut Suprayogo dan Tobroni (2001:192) bahwa, “Kegiatan analisis data selama pengumpulan data dapat dimulai setelah peneliti memahami fenomena sosial yang sedang diteliti dan setelah mengumpulkan data yang dapat dianalisis”.
Kegiatan-kegiatan analisis selama penulis mengumpulkan data meliputi:
1. Menetapkan fokus penelitian
2. Penyusunan temuan-temuan sementara berdasarkan data yang telah terkumpul
3. Pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya berdasarkan temuan temuan
pengumpulan data sebelumnya
4. Pengembangan pertanyaan-pertanyaan analitis dalam rangka pengumpulan data
berikutnya; dan
5. Penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya.
Setelah data terkumpul maka selanjutnya adalah tahap menganalisis data, sebagai
tatap akhir suatu penelitian maka penulis menggunakan metode deskriptif yaitu dengan cara
data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, hal ini
disebabkan oleh adanya penerapan metode kualitatif. Selain itu, semua yang dikumpulkan
berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Jadi, ” Teknik analisis data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah reduksi data, penyajian data serta menarik
36
Dengan demikian, penulis akan menunjukkan laporan penelitian akan berisi
kutipan-kutipan data untuk memberikan gambaran penyajian laporan tersebut. Data yang
penulis mungkin berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, dokumen pribadi,
dan sebagainya.
F. PengecekanKeabsahan Data
Keabsahan data dalam penelitian ini ditentukan dalam menggunakan metode
observasi, wawancara dan dokumentasi agar mampu menjawab pertanyaan dari peneliti.
Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan bahwa apa yang berhasil dikumpulkan sesuai
dengan kenyataan yang ada dalam latar penelitian.
Dalam penelitian ini dalam pengecekan keabsahan data menggunakan metode
Triangulasi. Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda
(Nasution, 2003:115) yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain
digunakan untuk mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data.
Menurut Nasution, selain itu Triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas
tafsiran peneliti terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.
Denzin (dalam Moloeng, 2004:98), membedakan empat macam triangulasi
diantaranya dengan memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada
penelitian ini, dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik
mencari data berupa sumber data dan metode observasi, wawancara dan dokumentasi.
Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik derajat
kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang berbeda dalam
penelitian kualitatif (Patton,1987:331). Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka
ditempuh langkah sebagai berikut :
37
2. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan
secara pribadi.
3. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa
yang dikatakannya sepanjang waktu.
4. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
5. Membandingkan hasil wawancara dengan dokumentasi yang ada.
G.Tahap-Tahap Penelitian
Tahap-tahap penelitian yang digunakan oleh peneliti sebagai berikut:
1. Tahap pra lapangan
a. Mengajukan judul penelitian
b. Menyusun proposal penelitian
c. Konsultasi penelitian kepada pembimbing
2. Tahap pekerjaan lapangan, yang meliputi:
a. Persiapan diri untuk memasuki lapangan penelitian
b. Pengumpulan data atau informasi yang terkait dengan fokus penelitian
c. Pencatatan data yang telah dikumpulkan
3. Tahap analisis data, meliputi kegiatan:
a. Penemuan hal-hal yang penting dari data penelitian
b. Pengecekan keabsahan data
4. Tahap penulisan laporan penelitian
38
b. Konsultasi hasil penelitian kepada pembimbing
c. Perbaikan hasil konsultasi
d. Pengurusan kelengkapan persyaratan ujian