• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Dalam dokumen Prosiding FKPTPI 2017 Ambon (Halaman 77-81)

PENGELOLAAN KELAPA SAWIT BERKELANJUTAN MODEL MDS DARI DIMENSI EKOLOGI

1. Latar Belakang

Kelapa sawit (merupakan komoditi unggul menghasilkan beragam produk industri dan berprospek. Mengacu pada pohon industri, saat ini kelapa sawit menghasilkan beragam produk turunan (down stream industry) dan peraihan pasar dunia (market

share) yang berkembang. Hasil olah kelapa Sawit selain dalam bentuk produk pangan

juga produk non pangan (oleokimia). Bentuk kedua olahan tersebut menghasilkan minyak goreng, minyak makan merah, susu kental manis, margarin, emulsifier serta juga diolah menjadi makanan ternak, pulp and paper minyak alkohol, kompos, arang aktif, pelarut organik, pelumas, sabun, lilin, produk farmasi dan industri kosmetika.

Berdasarkan data Oilword (2010) bahwa negara Indonesia berkontribusi sebesar 47% terhadap produksi minyak sawit (Crude Palm Oil, disingkat CPO) dunia. Data tersebut memposisikan Indonesia sebagai negara terbesar pengekspor minyak kelapa sawit dunia dengan memiliki posisi tawar-menawar (bergaining power) lebih baik (Sunarko, 2009). Kontribusi kelapa sawit terhadap nilai ekspor non migas menunjukkan tren yang meningkat. Pada tahun 2014 nilai ekspor kelapa sawit dalam bentuk minyak sawit dan minyak inti sawit sebesar 17.464.905 ribu dolar US.

Kelapa sawit juga berkontribusi ekonomi secara regional dan nasional melalui pendapatan Produk Domestik Bruto (PDB) dengan berbagai kontribusi langsung seperti: penyerapan tenaga kerja, pembayaran deviden dan pajak kepada pemerintah, serta berbagai bentuk retribusi lainnya. Secara ekonomi, kebun sawit di kawasan pedesaan mengurangi ketimpangan pendapatan. Hasil studi emperis Almasdi Syahza, Guru Besar Universitas Riau membuktikan bahwa bukan hanya indeks kesejahteraan masyarakat petani pedesaan yang makin meningkat, tetapi juga ketimpangan pendapatan baik antar golongan maupun antar Kabupaten/Kota juga berkurang secara signifikan. Hal ini ditunjukkan oleh angka indeks Williamson yang menurun dari 0,5 tahun 2003 menjadi 0,4 tahun 2005 dan turun lagi menjadi 0,3 tahun 2007. Peranan produksi minyak sawit terhadap PDB pertanian, PDB non migas dan PDB total berturut-turut adalah 15,8%, 2,6% dan 2,4%.

Peranan kelapa sawit dalam penyerapan tenaga kerja di subsektor perkebunan juga cukup besar. Jika diasumsikan setiap 10 ha luas lahan perkebunan diperlukan rata-rata 4 orang tenaga kerja lapangan, maka perkebunan kelapa sawit yang pada tahun 2016 seluas sekitar 11. 7 juta ha akan dapat menyerap sekitar 4.7 juta orang, dan ditambah lagi di bagian pengangkutan, pengolahan dan laboratorium akan menyerap 500 ribu orang. Jika dihitung juga tenaga kerja administrasi kebun, panen, angkutan, pengolahan dan laboratorium secara total kebutuhan tenaga kerja pada subsektor perkebunan kelapa sawit dapat mencapai hampir 6 juta orang (Mangoensoekardjo S, 2005).

Selain sisi positif sesuai paparan di atas, kelapa sawit banyak dikritisi karena memberikan dampak negatif terhadap lingkungan terutama semenjak era pelaksanaan otonomi daerah. Pada era tersebut berlaku PP No.60 dan 61 Tahun 2012 mengenai Tata Cara Perubahan Peruntukkan dan Fungsi Kawasan Hutan, dan Penggunaan Kawasan Hutan terkait dengan meluasnya pembukaan lahan perkebunan sawit secara

masif serta mendorong ilegalitas penggunaan kawasan hutan. Menurut laporan

Greenpeace, perluasan dan pembukaan perkebunan kelapa sawit selain menjadi penyebab deforestasi , permasalahan kebakaran lahan. Dampak lanjutan dari hal tersebut adalah terancamnya keragaman hayati hingga timbulnya masalah kesehatan akibat dampak kabut asap kebakaran lahan. Dampak lanjutannya adalah potensi banjir ataupun longsor akibat hilangnya kawasan hutan penyangga.. . Mengingat isu keberlanjutan (sustainable) yang meliputi aspek lingkungan, aspek sosial dan aspek ekonomi telah menjadi isu strategis secara global sehingga perlu dilakukan kajian tentang upaya untuk meminimalisir dampak negatif tersebut dalam pengelolaan kelapa sawit secara berkelanjutan terutama melalui dimensi ekologi.

Daniel (2003) mengatakan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masa mendatang. Salah satu tujuan yang harus dicapai untuk keberlanjutan pembangunan termasuk pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan adalah : keberlanjutan ekologis selain keberlanjutan ekonomi, keberlajutan sosial budaya dan politik, keberlanjutan pertahanan dan keamanan. Pembangunan keberlanjutan mempunyai 4 prinsip dasar, yaitu: pemerataan, partisipasi, keanekaragaman (diversity), integrasi dan perspektif jangka panjang. Cara mengelola dan memperbaiki portofolio asset ekonomi diperlukan untuk dapat melaksanakan pembangunan berkelanjutan, sehingga nilai agregatnya tidak berkurang dengan berjalannya waktu. Portofolio asset ekonomi tersebut adalah capital alami (Kn), capital fisik (Kp) dan capital manusia (Kh). Pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan dari dimensi ekologi atau lingkungan berorientasi pada perbaikan lingkungan lokal seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumberdaya alam.

2. Tujuan

1. Kajian pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan di Indonesia dari dimensi ekologi bertujuan untuk mengetahui status keberlanjutan pengelolaan kelapa sawit dengan menggunakan model Multi Dimentional Scaling (MDS) ditinjau dari beberapa atribut, yaitu: deforestasi, konsumsi energi, pengolahan limbah, reuse dan recycle material, ancaman bencana alam, kualitas lahan, dan penerapan teknologi ramah lingkungan. Berdasarkan status tersebut dilakukan pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan yang dapat menjadi pilihan solusi untuk salah satu

permasalahan lingkungan di Dunia Ketiga terutama yang terkait dengan manajemen lingkungan yang buruk dan persoalan-persoalan ekologi.

2. Pengelolaan kelapa sawit berkelanjutan model MDS dari dimensi ekologi diharapkan dapat merubah anggapan bahwa sektor perkebunan berkontribusi besar bagi penurunan daya dukung lingkungan dan kasus-kasus ketidakadilan ekologi.

BAHAN DAN METODE

Penilaian status keberlanjutan ekologi pengelolaan kelapa sawit digunakan metode Rap-Palm Oil yang telah dimodifikasi dari program Rapfish dengan teknik MDS, seperti pada sistem perikanan (Alder et al., 2003; Fauzy dan Anna, 2005; Ahad et al., 2013), model pengelolaan usaha Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) secara berkelanjutan (Maya, 2015), design sistem budidaya sapi potong berkelanjutan untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten Bengkulu Selatan pada penelitian Mershyah, (2005), model agribisnis peternakan sapi perah berkelanjutan pada kawasan pariwisata di Kabupaten Bogor pada penelitian Ridwan, (2006). Metode MDS digunakan untuk merancang model, menganalisis, serta merancang pengelolaan operasional secara berkelanjutan (Geoffrey dan Roy, 1982). Teknik MDS non metrik

pernah dipergunakan untuk menggambarkan struktur komunitas bakteri dan populasi mikroba serta komunitas ekologi di RPH-R Macelo La Muda di Guaynabo, Puerto Rico (Maria dan Filipa, 2011). Pada awalnya Rapfish dikembangkan oleh Fisheries Centre,

University of British Columbia atau UBC Canada (Fauzi dan Anna 2005). Prinsip aplikasi

alat analisis ini berbasis indikator dengan pendekatan penyelesaian berbasis MDS. Kavanagh (2001) merekomendasikan lima tahapan yang harus dilalui dalam prosedur Rapfish yaitu: (1) penentuan indikator sebagai kriteria penilaian dan identifikasi kondisi saat ini, (2) penilaian atau skor setiap indikator, (3) ordinasi setiap indikator, (4) analisa Monte Carlo dan sensitivitas, serta (5) analisis keberlanjutan. Sedangkan berdasarkan Fauzi, (2012) prosedur penggunaan Rapfish sebagai berikut: (1) review atribut meliputi berbagai kategori dan skoring; (2) identifikasi dan pendefinisian atribut; (3) skoring untuk mengkonstruksi reference point untuk good dan bad; (4) Multi Dimensional

Ordination untuk setiap atribut; (5) Simulasi Monte Carlo, (6) Analisis Leverage; (7)

Analisis keberlanjutan.

Setiap indikator pada masing-masing kriteria diberikan skor berdasarkan

scientific judgment dari pembuat skor. Rentang skor berkisar antara 0-3 atau 0-4,

tergantung pada keadaan masing-masing indikator yang diartikan mulai dari yang buruk (0) sampai baik (3) atau (4). Nilai skor dari masing-masing indikator dianalisis secara multidimensional untuk menentukan satu atau beberapa titik yang mencerminkan posisi keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan kelapa sawit yang dikaji relatif terhadap dua titik acuan yaitu titik baik (good) dan titik buruk (bad). Skor dianalisis dengan Rap-Palm

Oil untuk menentukan status keberlanjutan menurut Kavanagh dan Pitcher (2004) seperti

pada Tabel 1.

Tabel 1. Kategori dan nilai indeks serta status keberlanjutan

No Nilai indeks Kategori

1 0,00- 24,99 Buruk (tidak berkelanjutan) 2 25,00- 49,99 Kurang (kurang berkelanjutan) 3 50,00- 74,99 Cukup (cukup berkelanjutan) 4 75,00-100,00 Baik (berkelanjutan)

Sumber: Kavanagh dan Pitcher (2004)

Nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan kelapa sawit meliputi deforestasi terkait kelestarian lingkungan, konsumsi energi, pengolahan limbah bernilai tambah, reuse dan recycle material, ancaman bencana alam, remanufacturing, kualitas lahan serta penerapan teknologi ramah lingkungan. Indikator yang paling sensitif memberikan kontribusi terhadap indeks keberlanjutan dimensi ekologi pengelolaan kelapa sawit ditampilkan melalui analisis sensitivitas dengan melihat bentuk perubahan Root Mean Square (RMS) ordinasi pada sumbu x. Dalam hal ini semakin besar perubahan nilai RMS maka semakin sensitif indikator tersebut dalam keberlanjutan pengelolaan kelapa sawit.

Rap-Palm Oil merupakan teknik statistik dengan pendekatan MDS, memberikan

hasil yang stabil dibandingkan dengan metode multivariate analysis yang lain (Custancet dan Hillier, 1998). MDS pada hakekatnya adalah perceptual mapping (pemetaan persepsi) yang mengandalkan Euclidian Distance antara satu dimensi dengan dimensi yang lain. Dalam MDS atribut atau ukuran yang akan diukur dapat dipetakan dalam jarak

Euclidian dimana benda yang dipersepsikan memiliki karakteristik yang sama dianggap

memiliki jarak Euclidian terdekat. Sebaliknya obyek dengan karakteristik yang berbeda disebut memiliki dissimilarities sehingga perbedaan keduanya dapat diukur dalam jarak persepsi yang diterjemahkan dalam indeks persepsi seperti indeks keberlanjutan. Teknik penentuan jarak didasarkan pada Euclidian Distance dengan formula sebagai berikut:

1 2

 

2 1 2

 

2 1 2

2

...

2 , 1

XXYYZZ

d ………(1)

Keterangan: d1,2 = Jarak euclidian X, Y, Z = Atribut 1,2 = Pengamatan

Jarak euclidian antara dua titik tersebut (d1,2) kemudian di dalam MDS

diproyeksikan ke dalam jarak euclidian dua dimensi (Ḋ1,2) berdasarkan rumus regresi pada persamaan berikut:

D1,2= a + b D1,2+ c ………...(2) Keterangan:

a = intercept b = slope c = error

Dalam MDS, dua titik atau obyek yang sama dipetakan dalam satu titik yang saling berdekatan. Teknik yang digunakan adalah algoritma ALSCAL dan mudah tersedia pada hampir setiap software statistik (SPSS dan SAS). Rap-Palm Oil pada prinsipnya membuat iterasi proses regresi tersebut sedemikian sehingga didapatkan nilai e yang terkecil dan berusaha memaksa agar intercept pada persamaan tersebut sama dengan 0 (a=0). Iterasi berhenti jika stress < 0,25 (Choe, 2001). Untuk atribut sebanyak m maka stress dapat dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut:

 







m k i j ijk i j ijk ijk

d

d

D

m

stress

1 2 2 2 2

1

………(3)

Besarnya nilai stress ditunjukkan dalam Tabel 2

Tabel 2 Nilai stress

No Nilai stress Kesesuaian

1  20 % Buruk

2 (10- 20) % Cukup 3 ( 5- 10) % Baik 4 ( 2,5- 5) % Sangat baik Sumber: Kavanagh dan Pitcher (2004)

Melalui metode rotasi, maka posisi titik keberlanjutan dapat divisualisasikan melalui sumbu horizontal dan vertikal dengan nilai indeks keberlanjutan diberi skor 0 persen (buruk) dan 100 persen (baik). Jika sistem yang dikaji mempunyai nilai indeks keberlanjutan lebih besar atau sama dengan 50 persen, maka sistem dikatakan berkelanjutan (sustainable), dan tidak berkelanjutan jika nilai indeks kurang dari 50 persen. Ilustrasi penentuan indeks keberlanjutan dalam skala ordinasi pada dua titik ekstrim buruk (0 persen) dan baik (100 persen). Dari hasil analisis tersebut diperoleh pengaruh galat yang dapat disebabkan oleh berbagai hal seperti kesalahan dalam pembuatan skor, kesalahan pemahaman terhadap atribut atau kondisi lokasi penelitian yang belum sempurna, variasi skor akibat perbedaan opini atau penilaian oleh peneliti, proses analisis MDS yang berulang-ulang, kesalahan input data atau ada data yang hilang dan tingginya nilai stress.

Analisis Leverage

Analisis leverage untuk mengetahui efek stabilitas jika salah satu atribut dihilangkan saat dilakukan ordinasi. Hasil analisis Leverage menunjukkan persen perubahan root mean square masing-masing atribut. Atribut yang memiliki persentase tertinggi merupakan atribut paling sensitif terhadap keberlanjutan (Kavanagh dan Pitcher, 2004).

Analisis Monte Carlo

Pengaruh galat pada pendugaan nilai ordinasi dievaluasi dengan menggunakan analisis Monte Carlo, yaitu metode simulasi statistik untuk mengevaluasi efek dari

random error pada proses pendugaan, serta untuk mengevaluasi nilai yang sebenarnya

(Klahr, 1969).

Output dari analisis Rap-Palm Oil adalah indeks keberlanjutan dari 0-100 yang ditampilkan dalam indikator ordinasi dan leveraging. Indeks keberlanjutan dikelompokkan dalam 4 kategori, yaitu: 0-25 (buruk atau tidak berkelanjutan); 25,01-50 (kurang berkelanjutan); 50,01-75 (cukup berkelanjutan); 75,01-100 (baik atau sangat berkelanjutan).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam dokumen Prosiding FKPTPI 2017 Ambon (Halaman 77-81)