• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah nilai awal adalah persamaan diferensial yang dilengkapi dengan serangkaian kendala yang disebut dengan kondisi awal atau syarat awal yang diberikan dalam suatu masalah diferensial, dan solusi untuk masalah nilai awal adalah suatu nilai atau fungsi yang juga memenuhi kondisi awal (Boyce &

DiPrima, 2012). Kondisi awal adalah turunan fungsi solusi di batas-batas titik ujung kedua interval. Untuk mendapatkan solusi dari sistem persamaan diferensial ada beberapa metode yang digunakan, salah satunya menggunakan metode Runge-Kutta.

Setiap metode Runge-Kutta diturunkan dari metode Taylor yang sesuai sedemikian sehingga final global error (galat global akhir) secara berurutan yaitu 𝑂(β„Žπ‘). Metode Runge-Kutta dapat dibangun untuk sembarang orde 𝑁, dan 𝑁 dapat dipilih suatu bilangan bulat positif tak nol yang besar sehingga kesalahan yang dihasilkan akan kecil. Metode Runge-Kutta terdiri dari beberapa metode, bergantung pada orde yang diketahui. Metode Runge-Kutta dengan orde atau derajad satu biasa dikenal sebagai metode Euler, metode Runge-Kutta dengan orde dua dikenal dengan metode Heun, selanjutnya metode Runge-Kutta orde tiga, metode Runge-Kutta orde empat, sampai metode Runge-Kutta orde 𝑁 (Mathews & Fink, 1999).

Berikut ini adalah masing-masing bentuk umum dari metode Runge-Kutta orde satu, Runge-Kutta orde dua, Runge-Kutta orde tiga, dan Runge-Kutta orde empat.

1) Metode Runge-Kutta Orde Satu atau Metode Euler (Chapra, 2012).

Diketahui 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(π‘Ž) = 𝑦0. Maka langkah umumnya yaitu:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž

π‘¦π‘˜+1= π‘¦π‘˜+ β„Žπ‘“(π‘‘π‘˜, π‘¦π‘˜).

Untuk π‘˜ = (0, 1, 2, … , 𝑀 βˆ’ 1), dengan β„Ž =π‘βˆ’π‘Ž

𝑀 . Nilai β„Ž disebut ukuran langkah.

2) Metode Runge-Kutta Orde Dua (Chapra, 2012).

Diketahui 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(𝑑0) = 𝑦0. Maka langkah umumnya yaitu:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž Nilai β„Ž disebut ukuran langkah.

3) Metode Runge-Kutta Orde Tiga (Chapra and Canale, 2010).

Diketahui 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(𝑑0) = 𝑦0. Maka langkah umumnya yaitu:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž Nilai β„Ž disebut ukuran langkah.

4) Metode Runge-Kutta Orde Empat (Chapra, 2012).

Diketahui 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(𝑑0) = 𝑦0. Maka langkah umumnya yaitu:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž

𝑓4 = 𝑓(π‘‘π‘˜+ β„Ž, π‘¦π‘˜+ β„Žπ‘“3) π‘¦π‘˜+1 = π‘¦π‘˜+β„Ž(𝑓1+2𝑓2+2𝑓3+𝑓4)

6 .

Dengan metode Runge-Kutta didapatkan perkiraan-perkiraan solusi dari solusi eksak persamaan diferensial biasa yang paling akurat dari keempat orde. Metode ini akan menghasilkan pendekatan secara numeris untuk menunjukkan keakuratan dan efisiensi dari algoritma yang dikembangkan.

B. Perumusan Masalah

Rumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah:

1. Bagaimana menyusun rumusan umum metode Runge-Kutta orde satu, dua, tiga, dan empat?

2. Bagaimana menyelesaikan persamaan diferensial menggunakan metode Runge-Kutta orde satu, dua, tiga, dan empat?

C. Batasan Masalah

Pembahasan masalah dalam tugas akhir ini akan dibatasi oleh beberapa hal sebagai berikut:

1. Metode yang digunakan adalah metode Runge-Kutta orde satu, dua, tiga, dan empat.

2. Data yang digunakan berasal dari referensi literatur.

3. Aplikasi pengolahan data yang digunakan pada tugas akhir ini adalah bahasa pemrograman MATLAB.

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan tugas akhir ini adalah:

1. Menyusun rumusan umum metode Runge-Kutta orde satu, dua, tiga, dan empat.

2. Menerapkan metode Runge-Kutta orde satu, dua, tiga, dan empat untuk menyelesaikan beberapa persamaan diferensial.

E. Manfaat Penulisan

Manfaat penulisan tugas akhir ini adalah:

1. Dengan menggunakan metode Runge-Kutta didapatkan solusi masalah nilai awal.

2. Metode Runge-Kutta dapat diterapkan pada masalah-masalah terkait persamaan diferensial atau pada pemodelan matematika.

F. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam tugas akhir ini adalah metode studi pustaka, yaitu dengan mempelajari beberapa bagian materi dari buku dan jurnal-jurnal matematika yang digunakan sebagai bahan acuan dan menggunakan bantuan program komputer khususnya program MATLAB.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan tugas akhir ini disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang B. Rumusan Masalah C. Batasan Masalah D. Tujuan Penulisan E. Manfaat Penuliasan F. Metode Penulisan G. Sistematika Penulisan

BAB II: PERSAMAAN DIFERENSIAL A. Turunan

B. Persamaan Diferensial Secara Umum C. Persamaan Diferensial Biasa

D. Persamaan Diferensial Linier dan Tak Linier E. Persamaan Diferensial Parsial

F. Masalah Nilai Awal

BAB III: RUMUSAN METODE RUNGE-KUTTA ORDE SATU, DUA, TIGA, DAN EMPAT

A. Rumusan Umum Metode Runge-Kutta Orde Satu B. Rumusan Umum Metode Runge-Kutta Orde Dua C. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Tiga

D. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Empat

BAB IV: PENERAPAN METODE RUNGE-KUTTA ORDE SATU, DUA, TIGA, DAN EMPAT

A. Penerapan Metode Runge-Kutta Orde Satu B. Penerapan Metode Runge-Kutta Orde Dua C. Penerapan Metode Runge-Kutta Orde Tiga D. Penerapan Metode Runge-Kutta Orde Empat

E. Diskusi Perbandingan Error Metode Runge-Kutta Orde Satu, Dua, Tiga, dan Empat

BAB V: PENUTUP A. Kesimpulan B. Saran

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

6

BAB II

LANDASAN TEORI

Dalam bab ini akan dibahas definisi turunan, contoh dari turunan, pengertian dari persamaan diferensial secara umum, pengelompokan persamaan diferensial berdasarkan jenis persamaan atau banyaknya variabel bebas yaitu persamaan diferensial biasa dan persamaan diferensial parsial, pengertian masalah nilai awal dan masalah nilai batas.

A. Turunan

Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi turunan dan contoh dari turunan.

Definisi 2.1 (Purcel, et al., 2003)

Turunan dari sebuah fungsi 𝑓 adalah fungsi yang diberi lambang 𝑓′ (dibaca β€œπ‘“ aksen”) dan didefinisikan sebagai berikut:

𝑓′(π‘₯) = lim

β„Žβ†’0

𝑓(π‘₯ + β„Ž) βˆ’ 𝑓(π‘₯) β„Ž

asalkan limit ini ada dan bukan ∞ atau βˆ’βˆž.

Jika 𝑓′(π‘₯) bisa diperoleh, 𝑓 dikatakan dapat diturunkan atau dengan kata lain 𝑓 terdiferensial di π‘₯. 𝑓′(π‘₯) disebut turunan dari 𝑓 terhadap π‘₯.

Notasi dari suatu turunan dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑓′(π‘₯), 𝑦′, 𝑑

𝑑π‘₯[𝑓(π‘₯)],𝑑𝑦 𝑑π‘₯.

Semua notasi di atas sama-sama menyatakan turunan dari fungsi 𝑦 = 𝑓(π‘₯).

Secara umum, notasi suatu turunan dari fungsi 𝑦 terhadap π‘₯ dapat dituliskan sebagai berikut:

𝑦′, 𝑦′′, 𝑦′′′, 𝑦′′′′, … dst.

𝑦(1), 𝑦(2), 𝑦(3), 𝑦(4), … dst.

𝑑𝑦 𝑑π‘₯,𝑑2𝑦

𝑑π‘₯2,𝑑3𝑦

𝑑π‘₯3,𝑑4𝑦

𝑑π‘₯4 , … dst.

Berikut ini adalah beberapa contoh penyelesaian dari suatu turunan.

Contoh 2.2

= lim

B. Persamaan Diferensial Secara Umum

Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi persamaan diferensial.

Definisi 2.5 (Boyce & DiPrima, 2012)

Persamaan diferensial adalah persamaan matematika yang memuat turunan (derivatif) dari suatu fungsi. Persamaan diferensial melibatkan turunan dari satu atau lebih variable terikat terhadap satu atau lebih variable bebas.

Persamaan diferensial muncul dalam berbagai bidang sains dan teknologi, bilamana hubungan deterministik yang melibatkan besaran yang berubah secara kontinu (dimodelkan oleh fungsi matematika) dan perubahan laju (dinyatakan sebagai turunan) diketahui. Sebagai contoh, Hukum Newton memungkinkan kita mengetahui hubungan kecepatan, percepatan, dan berbagai gaya yang bertindak terhadap benda tersebut, dan menyatakan hubungan tersebut adalah persamaan diferensial sebagai fungsi waktu. Dalam teori persamaan diferensial, ada dua kategori yang digunakan sesuai dengan jumlah variabel bebasnya yaitu, Persamaan Diferensial Biasa (PDB) dan Persamaan Diferensial Parsial (PDP).

Solusi atau penyelesaian persamaan diferensial adalah suatu nilai atau fungsi yang memenuhi persamaan diferensialnya.

Sebagai contoh, turunan dari fungsi 𝑦 = log(π‘₯) berturut-turut diberikan oleh:

𝑦

β€²

=

1

π‘₯

, 𝑦

β€²β€²

= βˆ’

1

π‘₯2

, 𝑦

β€²β€²β€²

=

2

π‘₯3

,

dan seterusnya.

Dimana dalam persamaan diferensial, turunan dari sebuah variabel biasa digantikan dengan tanda petik tunggal.

𝑦′ = 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ 𝑦′′ = 𝑑𝑑π‘₯2𝑦2 , dst.

Definisi 2.6 (Darmawijoyo, 2019)

Orde dari suatu persamaan diferensial adalah orde tertinggi derivatif yang termuat dalam persamaan itu.

Bentuk umum persamaan diferensial orde satu adalah 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = 𝑓(π‘₯, 𝑦).

Berikut beberapa contoh persamaan diferensial : 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = 2𝑦 + 3 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = 1

π‘₯2βˆ’ π‘₯ βˆ’ 6 𝑦′= cos 2π‘₯ 𝑦′= π‘₯ sinπ‘₯

Terorema 2.7 (Adam & Essex, 2018)

Aturan Penjumlahan, Selisih, dan Kelipatan Konstan:

Jika fungsi 𝑓 dan 𝑔 terdiferensial di π‘₯, dan jika 𝐢 adalah konstanta, maka fungsi 𝑓 + 𝑔, 𝑓 βˆ’ 𝑔, dan 𝐢𝑓 dapat terdiferensial di π‘₯ dan

(𝑓 + 𝑔)β€²(π‘₯) = 𝑓′(π‘₯) + 𝑔′(π‘₯) (𝑓 βˆ’ 𝑔)β€²(π‘₯) = 𝑓′(π‘₯) βˆ’ 𝑔′(π‘₯)

(𝐢𝑓)β€²(π‘₯) = 𝐢𝑓′(π‘₯).

Bukti Teorema 2.7 dapat dilihat pada buku Calculus A Complete Course karangan Robert A. Adams dan Christopher Essex.

Terorema 2.8 (Adam & Essex, 2018) Aturan Perkalian:

Jika fungsi 𝑓 dan 𝑔 terdiferensial di π‘₯, maka fungsi 𝑓𝑔 juga terdiferensial di π‘₯ dan (𝑓𝑔)β€²(π‘₯) = 𝑓′(π‘₯)𝑔(π‘₯) + 𝑓(π‘₯)𝑔′(π‘₯).

Bukti Teorema 2.8 dapat dilihat pada buku Calculus A Complete Course karangan Robert A. Adams dan Christopher Essex.

Terorema 2.9 (Adam & Essex, 2018) Aturan Pembagian:

Jika fungsi 𝑓 dan 𝑔 terdiferensial di π‘₯, dan jika 𝑔(π‘₯) β‰  0, maka fungsi 𝑓/𝑔 juga terdiferensial di π‘₯ dan

(𝑓 𝑔)

β€²

(π‘₯) =𝑓′(π‘₯)𝑔(π‘₯) βˆ’ 𝑓(π‘₯)𝑔′(π‘₯) (𝑔(π‘₯))2 .

Bukti Teorema 2.9 dapat dilihat pada buku Calculus A Complete Course karangan Robert A. Adams dan Christopher Essex.

Terorema 2.10 (Adam & Essex, 2018) Aturan Rantai:

Jika 𝑓(𝑒) terdiferensial di 𝑒 = 𝑔(π‘₯), dan 𝑔(π‘₯) terdiferensial di π‘₯, maka fungsi 𝑓 π‘œ 𝑔(π‘₯) = 𝑓(𝑔(π‘₯)) juga terdiferensial di π‘₯ dan

(𝑓 π‘œ 𝑔)β€²(π‘₯) = 𝑓′(𝑔(π‘₯)) 𝑔′(π‘₯).

Bukti Teorema 2.10 dapat dilihat pada buku Calculus A Complete Course karangan Robert A. Adams dan Christopher Essex.

C. Persamaan Diferensial Biasa

Persamaan Diferensial Biasa (PDB) adalah suatu persamaan yang memuat satu atau lebih turunan fungsi dengan satu peubah bebas. Pada persamaan diferensial biasa terdapat beberapa contoh fenomena fisik yang melibatkan laju perubahan antara lain, gerakan cairan, gerakan sistem mekanis, aliran arus dalam rangkaian listrik, aliran panas dalam benda padat, gelombang seismik dan, dinamika populasi. Persamaan diferensial yang menggambarkan proses fisik ini sering disebut sebagai model matematika. (Boyce & DiPrima, 2012)

Notasi turunan pertama 𝑦 terhadap π‘₯ adalah 𝑦′ = 𝑑𝑦

𝑑π‘₯

dan bentuk umum solusi persamaan diferensial biasa adalah 𝑦 = β„Ž(π‘₯).

Contoh menyelesaikan persamaan diferensial biasa sebagai berikut :

Contoh 2.11

Tentukan solusi dari persamaan diferensial berikut ini 𝑦′= 𝑑𝑦

𝑑π‘₯= 𝑒π‘₯. Solusi:

Untuk mencari solusi persamaan diferensial tersebut, pertama kita kalikan sisi kiri dan sisi kanan dengan 𝑑π‘₯ sehingga menghasilkan:

𝑑𝑦 = 𝑒π‘₯ 𝑑π‘₯.

Pengintegralan kedua sisi akan menghasilkan:

∫ 𝑑𝑦 = ∫ 𝑒π‘₯ 𝑑π‘₯.

Sehingga solusi persamaan diferensial 𝑦′= 𝑒π‘₯ adalah 𝑦 = 𝑒π‘₯+ 𝑐.

Contoh 2.12

Tentukan solusi dari persamaan diferensial berikut ini 𝑦′= 𝑑𝑦

𝑑π‘₯= cos π‘₯.

Solusi:

Untuk mencari solusi persamaan diferensial tersebut, pertama kita kalikan sisi kiri dan sisi kanan dengan 𝑑π‘₯ sehingga menghasilkan

𝑑𝑦 = cos π‘₯ 𝑑π‘₯.

Pengintegralan kedua sisi akan menghasilkan

∫ 𝑑𝑦 = ∫ cos π‘₯ 𝑑π‘₯.

Sehingga solusi persamaan diferensial 𝑦′= cos π‘₯ adalah 𝑦 = sin π‘₯ + 𝑐.

Ada beberapa macam solusi dari persamaan diferensial biasa, antara lain:

1. Variabel Terpisah (Separable Equations)

Bentuk umum persamaan diferensial dengan variabel terpisah adalah 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = 𝑓(π‘₯) . 𝑔(𝑦) 𝑑𝑦

𝑔(𝑦)= 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯ 1

𝑔(𝑦)𝑑𝑦 = 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯

Penyelesaiannya diperoleh y = βˆ«π‘”(𝑦)1 𝑑𝑦 = ∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯.

Contoh 2.13

Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial 𝑑𝑦

𝑑π‘₯= π‘₯𝑦 . Solusi:

Dengan kata lain dari contoh diatas, π‘₯ merupakan 𝑓(π‘₯) dan 𝑦 merupakan 𝑔(𝑦).

Dengan menggunakan variabel terpisah diperoleh

𝑑𝑦

𝑦 = π‘₯ 𝑑π‘₯.

Solusi dari contoh diatas adalah:

∫1

𝑦𝑑𝑦 = ∫ π‘₯ 𝑑π‘₯ ln|𝑦| + 𝑐1 =1

2π‘₯2+ 𝑐2 ln|𝑦| =1

2π‘₯2+ 𝑐2βˆ’ 𝑐1 ln|𝑦| =1

2π‘₯2+ 𝐢 ln|𝑦| = ln 𝑒12π‘₯2+𝐢

|𝑦| = 𝑒12π‘₯2. 𝑒𝐢 𝑦 = Β± 𝐾. 𝑒12π‘₯2 di cek:

𝑦 = 𝐾. 𝑒12π‘₯2 𝑦′ = 𝐾. 𝑒12π‘₯2. π‘₯

𝑑𝑦

𝑑π‘₯= 𝑦. π‘₯ benar.

2. Persamaan Linier (Linier Equations)

Bentuk umum persamaan diferensial dengan persamaan linier adalah 𝑦′+ 𝑃(π‘₯)𝑦 = π‘Ÿ(π‘₯).

Penyelesaiannya diperoleh dengan mengalikan sisi kiri dan sisi kanan dengan faktor integral π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯

Sehingga diperoleh :

π‘¦β€²π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯+ 𝑃(π‘₯)π‘¦π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯ = π‘Ÿ(π‘₯)π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯ (π‘¦π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯)β€²= π‘Ÿ(π‘₯) π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯

dengan mengintegralkan kedua ruas terhadap x dihasilkan π‘¦π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯ = ∫ π‘’βˆ« 𝑃(π‘₯)𝑑π‘₯ π‘Ÿ(π‘₯) 𝑑π‘₯ + 𝑐

𝑦 = π‘’βˆ’β„Ž[∫ π‘’β„Žπ‘Ÿ(π‘₯)𝑑π‘₯ + 𝑐].

Dimana β„Ž = ∫ 𝑃(π‘₯).

Contoh 2.14

Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial (4 + π‘₯2)𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 2π‘₯𝑦 = 4π‘₯.

Solusi:

Sisi kiri dari persamaan diferensial di atas adalah kombinasi linier dari 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ dan y.

Jika disesuaikan dengan bentuk umumnya menjadi:

(4 + π‘₯2)𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 2π‘₯𝑦 = 4π‘₯ (4 + π‘₯2)𝑦′+ 2π‘₯𝑦 = 4π‘₯ 𝑦′+ 2π‘₯

(4 + π‘₯2)𝑦 = 4π‘₯ (4 + π‘₯2)

dengan demikian, 𝑃(π‘₯) = (4+π‘₯2π‘₯2) ; β„Ž(π‘₯) = ∫(4+π‘₯2π‘₯2)𝑑π‘₯ = ln(4 + π‘₯2) + 𝑐

𝑦 = π‘’βˆ’ ln(π‘₯2+4)(∫ 𝑒ln(π‘₯2+4). 4π‘₯

(4 + π‘₯2)𝑑π‘₯ + 𝑐 ) 𝑦 = 1

(4 + π‘₯2)(∫ 4π‘₯ 𝑑π‘₯ + 𝑐)

𝑦 = 2π‘₯2

(4 + π‘₯2)+ 𝑐 (4 + π‘₯2) . Sehingga didapat solusi umum dari persamaan diferensial

(4 + π‘₯2)𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 2π‘₯𝑦 = 4π‘₯ adalah 𝑦 = 2π‘₯2

(4+π‘₯2)+ 𝑐

(4+π‘₯2)

3. Persamaan Koefisien Fungsi Homogen

Persamaan koefisien fungsi homogen merupakan Persamaan diferensial biasa yang dapat ditulis ke dalam bentuk

𝑦′= 𝐴(π‘₯, 𝑦) 𝐡(π‘₯, 𝑦)

Dengan A dan B adalah fungsi homogen dengan derajat yang sama.

Solusi penyelesaian dari persamaan koefisien fungsi homogen ini yaitu, dengan menggunakan subtitusi 𝑦 = 𝑒π‘₯ , 𝑒 = 𝑒(π‘₯) dengan

𝑦′= 𝑒′π‘₯ + 𝑒 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = π‘₯𝑑𝑒 𝑑π‘₯+ 𝑒 𝑑𝑦 = π‘₯𝑑𝑒 + 𝑒𝑑π‘₯ Contoh 2.15

Tentukan solusi umum dari persamaan diferensial (π‘₯ + 𝑦) βˆ’ π‘₯𝑦′ = 0.

Solusi:

Persamaan diferensial diatas dapat ditulis menjadi:

𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = π‘₯ + 𝑦 π‘₯

Misalkan 𝑦 = 𝑒π‘₯, sehingga 𝑑𝑦 = π‘₯𝑑𝑒 + 𝑒𝑑π‘₯ 𝑑𝑦

𝑑π‘₯ = 1 +𝑦 π‘₯ π‘₯ 𝑑𝑒 + 𝑒𝑑π‘₯

𝑑π‘₯ = 1 + 𝑒 π‘₯𝑑𝑒 + 𝑒 𝑑π‘₯ = (1 + 𝑒)𝑑π‘₯ π‘₯ 𝑑𝑒 + 𝑒𝑑π‘₯ = 𝑑π‘₯ + 𝑒𝑑π‘₯ π‘₯𝑑𝑒 = 𝑑π‘₯

𝑑𝑒 =𝑑π‘₯ π‘₯

∫ 𝑑𝑒 = βˆ«π‘‘π‘₯ π‘₯ 𝑒 = ln π‘₯ + 𝑐

𝑦

π‘₯= ln π‘₯ + 𝑐 𝑦 = π‘₯ ln π‘₯ + 𝑐 π‘₯.

Jadi solusi dari persamaan diferensial (π‘₯ + 𝑦) βˆ’ π‘₯𝑦′ = 0 adalah 𝑦 = π‘₯ ln π‘₯ + 𝑐 π‘₯.

D. Persamaan Diferensial Linier dan Tak Linier

Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi persamaan diferensial linier orde satu.

Definisi 2.16 (Darmawijoyo, 2019)

Persamaan diferensial linier orde satu adalah persamaan diferensial yang dapat ditulis dalam bentuk:

𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 𝑃(π‘₯)𝑦 = 𝑄(π‘₯),

dalam hal ini 𝑃(π‘₯) dan 𝑄(π‘₯) adalah fungsi kontinu dari variable bebas π‘₯ pada interval dimana 𝑃 dan Q terdefinisi.

Terkadang lebih baik untuk menulis persamaan tersebut dalam bentuk:

𝑃(π‘₯)𝑑𝑦

𝑑π‘₯+ 𝑄(π‘₯)𝑦 = 𝐺(π‘₯).

Dimana fungsi P, Q, dan G adalah fungsi yang diberikan dan 𝑃(π‘₯) β‰  0.

Sementara pada persamaan diferensial tak liner tidak terdapat formula yang bersesuaian sehingga lebih sulit untuk menyatakan sifat-sifat umum dari solusi.

E. Persamaan Diferensial Parsial

Dalam subbab ini akan dijelaskan definisi persamaan diferensial parsial dan contoh persamaan diferensial parsial.

Definisi 2.17

Persamaan Diferensial Parsial (PDP) adalah persamaan yang memuat turunan (derivative) parsial dari satu atau lebih variable terikat terhadap lebih dari satu variable bebas.

Diketahui bahwa pada persamaan diferensial biasa, variabel terikat 𝑒 = 𝑒(π‘₯) hanya bergantung pada satu variabel bebas yaitu π‘₯. Berbeda dengan persamaan diferensial biasa, pada persamaan diferensial parsial variabel terikatnya seperti:

𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑑) atau 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑑), harus bergantung pada lebih dari satu variabel bebas. Jika 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑑), maka fungsi u bergantung pada variabel bebas π‘₯, dan pada variabel waktu 𝑑. Apabila 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑑) maka, fungsi 𝑒 bergantung pada variabel ruang (panjang, lebar) π‘₯, 𝑦, dan pada variabel waktu 𝑑.

Berikut beberapa contoh persamaan diferensial parsial antara lain:

𝑒𝑑 = π‘˜π‘’π‘₯π‘₯ , (1.1)

𝑒𝑑 = π‘˜(𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦), (1.2) 𝑒𝑑 = π‘˜(𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦+ 𝑒𝑧𝑧), (1.3) yang menggambarkan aliran panas dalam ruang satu dimensi, ruang dua dimensi, dan ruang tiga dimensi masing-masing. Pada (1.1), variabel terikat 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑑) tergantung pada posisi π‘₯, dan variabel waktu t. Pada persamaan (1.2), 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑑) tergantung pada tiga variabel bebas yaitu, variabel ruang π‘₯, 𝑦, dan variabel waktu 𝑑. Dalam persamaan (1.3), variabel terikat 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑧, 𝑑) tergantung pada empat variabel bebas yaitu, variabel ruang π‘₯, 𝑦, 𝑧, dan variabel waktu 𝑑. (Wazwaz, 2009)

Berikut beberapa contoh lain untuk persamaan diferensial parsial:

𝑒𝑑𝑑 = 𝑐2𝑒π‘₯π‘₯, (1.4)

𝑒𝑑𝑑 = 𝑐2(𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦), (1.5) 𝑒𝑑𝑑 = 𝑐2(𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦+ 𝑒𝑧𝑧), (1.6) yang menggambarkan perambatan gelombang dalam ruang satu dimensi, ruang dua dimensi, dan ruang tiga dimensi. Pada persamaan (1.4) fungsi yang tidak diketahui yaitu 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑑), pada persamaan (1.5) fungsi yang tidak diketahui yaitu fungsi 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑑), pada persamaan (1.6) fungsi yang tidak diketahui yaitu fungsi 𝑒 = 𝑒(π‘₯, 𝑦, 𝑧, 𝑑).

2.18 Derajad Persamaan Diferensial Parsial

Derajad persamaan diferensial parsial adalah derajad turunan parsial tertinggi yang muncul di persamaan. Misalnya persamaan berikut ini:

𝑒π‘₯βˆ’ 𝑒𝑦 = 0, 𝑒π‘₯π‘₯ βˆ’ 𝑒𝑑 = 0,

𝑒𝑦 βˆ’ 𝑒𝑒π‘₯π‘₯π‘₯ = 0, (1.7)

yang mana, persamaan diferensial parsialnya masing-masing adalah derajad pertama, derajad kedua, dan derajad ketiga.

Contoh 2.19

Tentukan derajad dari persamaan diferensial berikut ini:

(a) 𝑒𝑑 = 𝑒π‘₯π‘₯ + 𝑒𝑦𝑦 (b) 𝑒π‘₯+ 𝑒𝑦 = 0 (c) 𝑒4𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒π‘₯π‘₯𝑦 = 2 (d) 𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦𝑦𝑦 = 1 Penyelesaian :

(a) Turunan parsial tertinggi yang terdapat pada persamaan ini adalah 𝑒π‘₯π‘₯ atau 𝑒𝑦𝑦. Oleh karena itu, derajad persamaan diferensial parsial ini adalah berderajad dua.

(b) Turunan parsial tertinggi yang terdapat pada persamaan ini adalah 𝑒π‘₯ atau 𝑒𝑦 . Oleh karena itu, derajad persamaan diferensial parsial ini adalah berderajad satu.

(c) Turunan parsial tertinggi yang terdapat pada persamaan ini adalah 𝑒π‘₯π‘₯𝑦 . Oleh karena itu, derajad persamaan diferensial parsial ini adalah berderajad tiga.

(d) Turunan parsial tertinggi yang terdapat pada persamaan ini adalahu 𝑒𝑦𝑦𝑦𝑦. Oleh karena itu, derajad persamaan diferensial parsial ini adalah berderajad empat.

2.20 Persamaan Diferensial Parsial Linier dan Nonlinier

Persamaan diferensial parsial diklasifikasikan menjadi persamaan diferensial parsial linear dan persamaan diferensial parsial nonlinier. Persamaan diferensial parsial disebut linier jika:

1) pangkat dari variabel terikat dan setiap turunan parsial yang terkandung dalam persamaan tersebut adalah satu.

2) koefisien variabel terikat dan koefisien masing-masing turunan parsial adalah konstanta atau variabel bebas. Namun, jika salah satu dari kondisi tersebut tidak ada, maka disebut persamaan diferensial parsial nonlinier.

Contoh 2.21

Klasifikasikan persamaan diferensial parsial berikut ini linier atau nonlinier:

(a) π‘₯𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑦𝑒𝑦𝑦 = 0 (b) 𝑒𝑒𝑑+ π‘₯𝑒π‘₯ = 2 (c) 𝑒π‘₯+ βˆšπ‘’ = π‘₯ (d) π‘’π‘Ÿπ‘Ÿ+1

π‘Ÿπ‘’π‘Ÿ+ 1

π‘Ÿ2π‘’πœƒπœƒ = 0 Penyelesaian :

(a) Pangkat dari setiap turunan parsial 𝑒π‘₯π‘₯ dan 𝑒𝑦𝑦 adalah satu. Selain itu, koefisien dari turunan parsial adalah variabel bebas π‘₯ dan 𝑦 masing-masing. Oleh karena itu, persamaan diferensial parsial ini bersifat linier.

(b) Meskipun pangkat dari setiap turunan parsialnya adalah satu, tetapi 𝑒𝑑 memiliki ketergantungan variabel 𝑒 sebagai koefisiennya. Oleh karena itu, persamaan diferensial parsial ini bersifat nonlinier.

(c) Persamaan diferensial parsial ini nonlinier karena suku tersebut berupa βˆšπ‘’.

(d) Persamaan diferensial parsial ini linier karena memenuhi dua kondisi yang diperlukan.

2.22 Persamaan Diferensial Parsial Homogen dan Persamaan Diferensial Parsial Nonhomogen

Persamaan diferensial parsial juga diklasifikasikan sebagai homogen atau tidak homogen. Persamaan diferensial parsial dengan urutan apa pun disebut homogen jika setiap istilah persamaan diferensial parsial berisi variabel terikat 𝑒 atau salah satu turunannya, jika tidak persamaan diferensial parsial itu disebut persamaan diferensial yang tidak homogen. Hal ini dapat diilustrasikan dengan melihat contoh di bawah ini.

Contoh 2.23

Klasifikasikan persamaan diferensial berikut merupakan persamaan diferensial parsial homogen atau nonhomogen:

(a) 𝑒𝑑 = 4𝑒π‘₯π‘₯ (b) 𝑒𝑑 = 𝑒π‘₯π‘₯ + π‘₯ (c) 𝑒π‘₯π‘₯+ 𝑒𝑦𝑦 = 0 (d) 𝑒π‘₯+ 𝑒𝑦 = 𝑒 + 4 Penyelesaian :

(a) Suku-suku dalam persamaan diferensial parsial tersebut hanya mengandung turunan parsial dari 𝑒 , oleh karena itu persamaan diferensial parsial ini disebut persamaan diferensial parsial homogen.

(b) Karena pada persamaan diferensial parsial ini satu suku mengandung variabel bebas π‘₯ , maka persamaan diferensial ini disebut persamaan diferensial parsial nonhomogen.

(c) Persamaan diferensial ini disebut persamaan diferensial parsial homogen.

(d) Persamaan diferensial ini disebut persamaan diferensial parsial nonhomogen.

2.24 Penyelesaian dari Persamaan Diferensial Parsial

Solusi persamaan diferensial parsial adalah fungsi 𝑒 sehingga memenuhi persamaan yang sedang dibahas dan memenuhi kondisi yang diberikan juga.

Dengan kata lain, untuk memenuhi persamaan diferensial ini, sisi kiri persamaan diferensial parsial dan sisi kanan harus sama setelah mengganti solusi yang dihasilkan. Konsep ini akan diilustrasikan dengan melihat beberapa contoh berikut.

Contoh 2.25

Tunjukkan bahwa 𝑒(π‘₯, 𝑦) = sinπ‘₯ sin𝑦 + π‘₯2 adalah penyelesaian dari persamaan diferensial parsial 𝑒π‘₯π‘₯ = 𝑒𝑦𝑦 + 2

Penyelesaian:

Sisi sebelah kiri 𝑒π‘₯π‘₯ = βˆ’sinπ‘₯ sin𝑦 + 2

Sisi sebelah kanan 𝑒𝑦𝑦+ 2 = βˆ’sinπ‘₯ sin𝑦 + 2 = sisi sebelah kiri.

Contoh 2.26

Tunjukkan bahwa 𝑒(π‘₯, 𝑑) = cosπ‘₯ cos𝑑 adalah penyelesaian dari persamaan diferensial parsial 𝑒𝑑𝑑 = 𝑒π‘₯π‘₯

Penyelesaian:

Sisi sebelah kiri 𝑒𝑑𝑑 = βˆ’cosπ‘₯ cos𝑑

Sisi sebelah kanan 𝑒π‘₯π‘₯ = βˆ’cosπ‘₯ cos𝑑 = sisi sebelah kiri.

F. Masalah Nilai Awal

Pada persamaan diferensial biasa, masalah nilai awal adalah persamaan diferensial yang dilengkapi dengan serangkaian kendala yang disebut dengan kondisi awal atau syarat awal yang diberikan dalam suatu masalah diferensial, dan solusi untuk masalah nilai awal adalah suatu nilai atau fungsi persamaan diferensial yang juga memenuhi kondisi awal (Boyce & DiPrima, 2012). Kondisi awal adalah turunan fungsi solusi di batas-batas titik ujung kedua interval.

21

BAB III

RUMUSAN METODE RUNGE-KUTTA ORDE SATU, DUA, TIGA, DAN EMPAT

Dalam bab ini akan dibahas penurunan rumusan metode Runge-Kutta orde satu, penurunan rumusan metode Runge-Kutta orde dua, penulisan skema metode Runge-Kutta orde tiga, dan penulisan skema metode Runge-Kutta orde empat.

A. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Satu

Pada beberapa kasus tertentu tidak semua masalah nilai awal dapat diselesaikan secara eksplisit, dan seringkali tidak mungkin untuk menemukan rumusan untuk solusi 𝑦(𝑑). Oleh karena itu, untuk menyelesaikan masalah tersebut diperlukan metode untuk dapat mendekati solusi. Pendekatan yang pertama adalah metode Runge-Kutta orde satu atau yang seringkali lebih dikenal dengan metode Euler.

Metode Euler berfungsi untuk menggambarkan konsep-konsep yang terlibat dalam integrasi numerik dari persamaan diferensial biasa. Metode Euler merupakan metode Runge-Kutta yang paling sederhana, sehingga penggunaan metode ini terbatas karena kesalahan yang diperoleh merupakan akumulasi dari setiap proses perhitungannya. Oleh karena itu, metode Euler akan menghasikan kesalahan atau galat lebih besar. Metode Euler sering menjadi dasar untuk membangun metode yang lebih kompleks, misalnya metode prediktor-korektor (Mathews dan Fink, 1999).

Berikut ini adalah langkah-langkah dalam menyelesaikan masalah nilai awal dengan menggunakan metode Euler:

Misalkan terdapat masalah nilai awal yang terletak pada interval selang tertutup [π‘Ž, 𝑏] yaitu 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(π‘Ž) = 𝑦0.

1) Pilih absis dari titik.

Bagi interval [π‘Ž, 𝑏] menjadi 𝑀 subinterval sama besar dan pilih titik diskritisasinya

π‘‘π‘˜ = π‘Ž + π‘˜β„Ž untuk π‘˜ = 0, 1, 2, … , 𝑀 dengan β„Ž =π‘βˆ’π‘Ž

𝑀 . Nilai β„Ž disebut ukuran Langkah.

2) Menentukan hampiran penyelesaian.

𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦), 𝑑0 ≀ 𝑑 ≀ 𝑑𝑀 , dengan 𝑦(𝑑0) = 𝑦0. Diasumsikan 𝑦(𝑑), 𝑦′(𝑑), dan 𝑦′′(𝑑) kontinu.

Teorema Taylor:

Suatu fungsi yang terdiferensiasi dapat dinyatakan dalam suatu deret pangkat atau suku banyak (polinomial). Koefisien polinomial tersebut hanya bergantung pada turunan fungsi pada titik yang bersangkutan. Berikut rumusan umum teorema Taylor yang berlaku untuk setiap fungsi 𝑓 yang dapat diturunkan, dengan hampiran untuk π‘₯ mendekati π‘Ž:

𝑓(π‘₯) β‰ˆ 𝑓(π‘Ž) + 𝑓′(π‘Ž)(π‘₯ βˆ’ π‘Ž) +𝑓′′(π‘Ž)

2! (π‘₯ βˆ’ π‘Ž)2+ β‹― +𝑓(𝑛)(π‘Ž)

𝑛! (π‘₯ βˆ’ π‘Ž)𝑛, dengan 𝑛 bilangan bulat positif.

Lalu, menggunakan teorema Taylor diatas untuk mengekspansi 𝑦(𝑑) di sekitar 𝑑 = 𝑑0, maka untuk setiap nilai 𝑑 terdapat 𝑐1 ∈ [𝑑0 , 𝑑].

Sehingga,

𝑦(𝑑) = 𝑦(𝑑0) + 𝑦′(𝑑0)(𝑑 βˆ’ 𝑑0) +𝑦′′(𝑐1)(𝑑 βˆ’ 𝑑0)2

2 .

Subtitusi 𝑦′(𝑑0) = 𝑓(𝑑0, 𝑦(𝑑0)) dan β„Ž = 𝑑1βˆ’ 𝑑0 pada persamaan di atas, untuk 𝑑 = 𝑑1 akan diperoleh

𝑦(𝑑1) = 𝑦(𝑑0) + β„Ž 𝑓(𝑑0, 𝑦(𝑑0)) + 𝑦′′(𝑐1)β„Ž2 2.

Jika ukuran langkah β„Ž dipilih cukup kecil, maka suku orde 2 (yang melibatkan β„Ž2) dapat diabaikan, sehingga diperoleh

𝑦1 = 𝑦0+ β„Žπ‘“(𝑑0, 𝑦0).

Proses diulang sampai menghasilkan barisan titik yang menghampiri kurva penyelesaian 𝑦 = 𝑦(𝑑).

Sehingga langkah umum dalam menyelesaikan masalah nilai awal

𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(π‘Ž) = 𝑦0 menggunakan metode Euler adalah:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž

π‘¦π‘˜+1= π‘¦π‘˜+ β„Žπ‘“(π‘‘π‘˜, π‘¦π‘˜).

Untuk π‘˜ = (0, 1, 2, … , 𝑀 βˆ’ 1), dengan β„Ž =π‘βˆ’π‘Ž

𝑀 . Nilai β„Ž disebut ukuran langkah.

Secara geometris, metode Euler dapat ditunjukkan oleh gambar dibawah ini:

Gambar 3.1 Hampiran metode Euler (Chapra, 2012)

B. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Dua

Pendekatan solusi untuk menyelesaikan masalah nilai awal yang kedua adalah metode Runge-Kutta orde dua atau yang seringkali lebih dikenal dengan metode Heun. Metode Heun merupakan salah satu perbaikan atau peningkatan dari metode sebelumnya yaitu metode Euler. Pada metode Heun, solusi yang diperoleh dari metode Euler dijadikan solusi perkiraan awal yang akan diperbaiki dengan metode Heun. Metode Heun melibatkan dua buah persamaan. Persamaan yang pertama adalah persamaan prediktor. Persamaan prediktor menggunakan metode Euler untuk memprediksi nilai integrasi awal atau dengan kata lain, persamaan prediktor ini digunakan untuk menentukan hampiran dari 𝑦(𝑑1).

Persamaan yang kedua adalah persamaan korektor. Persamaan korektor ini akan

mengoreksi hasil integrasi awal pada persamaan prediktor. Persamaan korektor menggunakan aturan trapezoidal untuk menentukan hampiran nilai integral dari 𝑦′(𝑑).

Berikut ini adalah rumusan untuk persamaan prediktor dan korektor metode Heun:

Untuk mendapatkan titik penyelesaian (𝑑1, 𝑦1) digunakan Teorema Fundamental Kalkulus.

Bunyi Teorema Fundamental Kalkulus:

Jika fungsi 𝑓: [π‘Ž, 𝑏] β†’ ℝ terintegral pada [π‘Ž, 𝑏], maka

∫ 𝑓(π‘₯)𝑑π‘₯ = [𝐹(π‘₯)]π‘Žπ‘ = 𝐹(𝑏) βˆ’ 𝐹(π‘Ž).

𝑏

π‘Ž

Sehingga, titik penyelesaian (𝑑1, 𝑦1) yaitu:

∫ 𝑓(𝑑, 𝑦(𝑑)) 𝑑𝑑 = ∫ 𝑦′(𝑑) 𝑑𝑑 = 𝑦(𝑑1) βˆ’ 𝑦(𝑑0)

𝑑1

𝑑0 𝑑1

𝑑0

sehingga

𝑦(𝑑1) = 𝑦(𝑑0) + ∫ 𝑦′(𝑑) 𝑑𝑑.

𝑑1

𝑑0

Nilai integral tentu pada ruas kanan diaproksimasi secara numeris, dalam hal ini digunakan aturan trapezoidal, sehingga akan diperoleh

𝑦(𝑑1) β‰ˆ 𝑦(𝑑0) +β„Ž

2(𝑓(𝑑0, 𝑦0) + 𝑓(𝑑1, 𝑦1)).

Nilai 𝑦(𝑑1) pada ruas kiri dihampiri dengan menggunakan metode Euler, diperoleh

𝑦1 = 𝑦0+ β„Žπ‘“(𝑑0, 𝑦0).

Dengan demikian, rumus untuk menemukan nilai (𝑑1, 𝑦1) pada metode Heun adalah:

𝑦1 = 𝑦(𝑑0) +β„Ž

2(𝑓(𝑑0, 𝑦0) + 𝑓(𝑑1, 𝑦0+ β„Žπ‘“(𝑑0, 𝑦0))).

Dengan begitu, rumus untuk fungsi prediktor secara umum yaitu:

π‘π‘˜+1 = π‘¦π‘˜+ β„Žπ‘“(π‘‘π‘˜, π‘¦π‘˜), dengan 𝑝 = prediktor,

dan rumus untuk fungsi korektor secara umum yaitu:

π‘¦π‘˜+1 = π‘¦π‘˜+β„Ž

2(𝑓(π‘‘π‘˜, π‘¦π‘˜) + 𝑓(π‘‘π‘˜+1, π‘π‘˜+1)).

Secara geometris, metode Heun dapat ditunjukkan oleh gambar dibawah ini:

Gambar 3.2 Hampiran fungsi prediktor metode Heun (Chapra & Canale, 2010)

Gambar 3.3 Hampiran fungsi korektor metode Heun (Chapra & Canale, 2010)

C. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Tiga

Pendekatan solusi untuk menyelesaikan masalah nilai awal yang ketiga adalah metode Runge-Kutta orde tiga. Metode ini merupakan perbaikan dari metode sebelumnya yaitu metode Runge-Kutta orde dua atau metode Heun.

Metode ini menghasilkan keakuratan nilai solusi yang lebih tinggi dibandingkan dengan dua metode sebelumnya yaitu metode Euler dan metode Heun.

Berikut ini adalah rumusan metode Runge-Kutta orde tiga.

Apabila diketahui 𝑦′= 𝑓(𝑑, 𝑦) , π‘Ž ≀ 𝑑 ≀ 𝑏 dengan nilai awal 𝑦(𝑑0) = 𝑦0. Maka langkah umumnya yaitu:

π‘‘π‘˜+1= π‘‘π‘˜+ β„Ž π‘˜1 = 𝑓(π‘‘π‘˜, π‘¦π‘˜) π‘˜2 = 𝑓(π‘‘π‘˜+β„Ž

2, π‘¦π‘˜+β„Ž

2π‘˜1)

π‘˜3 = 𝑓(π‘‘π‘˜+ β„Ž, π‘¦π‘˜βˆ’ β„Žπ‘˜1+ 2β„Žπ‘˜2) π‘¦π‘˜+1= π‘¦π‘˜+β„Ž

6[π‘˜1+ 4π‘˜2+ π‘˜3].

Untuk π‘˜ = (0, 1, 2, … , 𝑀 βˆ’ 1), dengan β„Ž =π‘βˆ’π‘Žπ‘€ . Nilai β„Ž disebut ukuran langkah.

Karena bukti dari rumusan metode Runge-Kutta orde tiga ini cukup panjang, penulis tidak mencantumkan bukti tersebut di sini, bukti penurunan rumus metode Runge-Kutta orde tiga dapat dilihat pada buku referensi metode numerik, misalnya Chapra dan Canale (2010).

D. Rumusan Metode Runge-Kutta Orde Empat

Pendekatan solusi untuk menyelesaikan masalah nilai awal yang keempat

Pendekatan solusi untuk menyelesaikan masalah nilai awal yang keempat

Dokumen terkait