• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.7 Metodologi Penelitian

1.7.4 Sumber Data

Judul Buku : Nayla

Pengarang : Djenar Maesa Ayu

21 Tahun Terbit : 2005

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta

Halaman : 180

1.8 Sistematika Penyajian

Penyajian hasil penelitian diuraikan dalam beberapa bab. Bab I berisi pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat hasil penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metodologi penelitian, dan sistematika penyajian. Bab II merupakan analisis dinamika dalam struktur yaitu tokoh Nayla dalam novel Nayla.

Bab III berisi tentang analisis Id, Ego, dan Superego yang terdapat dalam tokoh Nayla dan Ibu. Bab IV merupakan bab terakhir yang menjadi penutup atas isi makalah. Bab IV berisi mengenai kesimpulan dan saran.

22 BAB II

ANALISIS TOKOH DAN PENOKOHAN

DALAM NOVEL NAYLA KARYA DJENAR MAESA AYU

2.1 Pengantar

Dalam bab ini, akan dianalisis tokoh dan penokohan dalam novel Nayla.

Keberlangsungan sebuah novel sangat dipengaruhi oleh hadirnya seseorang atau beberapa orang yang menjadi tokoh. Tokohlah yang mengalami peristiwaatau perlakuan dalam berbagai peristiwa cerita tersebut. Tokoh tentu saja dilengkapi dengan watak atau karakteristik tertentu.

Hartono (2003: 5) menjelaskan pendapat Freud, bahwa alam tak sadar dapat mempengaruhi dinamika kepribadian tokoh. Berbagai kebutuhan badaniah manusia menimbulkan berbaga ketegangan atau kegairahan dan akan terungkap melalui sejumlah perwakilan mental dalam bentuk dorongan/keinginan yang dinamakan naluri. Jadi naluri adalah perwujudan ketegangan badaniah yang berusaha mencari pengungkapan dan peredaan serta merupakan bawaan tiap makhluk hidup.

Dinamika tersebut akan membentuk struktur kepribadian yang terbagi menjadi id, ego, dan superego. Id bekerja berdasarkan prinsip kesenangan, dimana ia selalu mencari kesenangan dan menghindari ketegangan. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas, ego dapat menunda pemuasan diri dan mencari pemuasan lain yang sesuai dengan batasan lingkungan dan hati nurani. Superego

23

merupakan perwakilan dari berbagai nilai dan norma yang ada dalam masyarakat.

Pada novel Nayla, Id dalam tokoh Nayla selalu dominan.

Dalam novel Nayla, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh Nayla menentukan perjalanan hidupnya. Peristiwa yang dialami oleh Nayla membuatnya bertahan.

Dalam bab ini akan dianalisis dimensi fisik, psikis dan sosiologis dua tokoh yaitu Nayla dan Ibunya. Kedua tokoh ini dipilih karena menjadi tokoh protagonis dan antagonis.

2.2 Dimensi Fisik

Dimensi fisik adalah keadaan fisik tokohnya meliputi usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, gagah, pincang, dan sebagainya), ciri wajah (cantik, jelek, keriput, dan sebagainya), serta ciri khas yang spesifik. Lebih lanjut peneliti akan menjelaskan tentang dimensi fisik tokoh dalam novel Nayla.

Nayla adalah anak remaja yang usianya sudah menjelang sepuluh tahun.

Dengan usia yang menjelang sepuluh tahun ia masih saja mengompol. Ketika ia mengompol Ibu selalu menusukan peniti ke selangkangannya bahkan ke vaginanya. Hal ini sudah dialami Nayla berkali-kali sehingga menurut Nayla hal ini sudah biasa. Tampak pada kutipan berikut.

(1) Tapi kini, beberapa tahun kemudian, tak ada satu peniti pun yang membuat Nayla gentar maupun gemetar. Ia malah menantang dengan memilih peniti yang terbesar. Membuka pahanya lebar-lebar. Tak terisak. Tak meronta. Membuat Ibu semakin murka. Tak hanya

24

selangkangan Nayla yang ditusukinya. Tapi juga vaginanya. Nayla diam saja. Tak ada sakit terasa. Hanya nestapa. Tak ada takut. Hanya kalut.

Pertanyaan-pertanyaan masih kerap hadir di kepalanya walaupun fisiknya sudah terbiasa. Ia masih saja heran kenapa setiap malam ngompol di celana padahal sudah menjelang sepuluh tahun usianya (Nayla, 2005:2).

Kutipan (1) mendeskripsikan tokoh Nayla yang mempunyai fisik tegar.

Rasa tegarnya karena ia sudah terbiasa ditusuki dengan peniti. Hukuman yang Ibu berikan membuat Nayla menjadi anak yang tegar dan ketika ia disiksa oleh Ibunya ia pun sudah merasa terbiasa. Begitu pula dengan Ibunya yang mempunyai fisik yang tegar dan kuat. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(2) Ibu memang orang yang kuat. Tak akan pernah saya sekuat Ibu. Saya tak pernah melihat Ibu begitu mencintai laki-laki seperti ia mencintai Om Indra. Tapi ketika hubungan mereka berakhir pun, Ibu terlihat biasa-biasa saja.

Ya, saya tak akan pernah sekuat Ibu. Ibu yang dulu, maupun Ibu yang sekarang. Ibu yang semakin kuat saja setelah putus dengan Om Indra.

Ia tidak hanya memasuki vagina saya dengan peniti setiap kali saya ngompol. Ia memukuli saya tanpa sebab yang bisa diterima akal sehat.

Karena Ibu berkuasa. Karena Ibu kuat (Nayla, 2005:112).

Kutipan (2) menjelaskan bahwa Ibu mempunyai fisik yang kuat dan tegar.

Dengan fisik Ibu yang seperti itu ia selalu saja menyiksa Nayla tanpa alasan yang tepat. Hanya karena ngompol Ibu lalu menusiki vagina Nayla dengan peniti. Ibu tak melihat dan mencoba mengerti bagaimana perasaan Nayla.

25 2.3 Dimensi Psikis

Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakternya seperti misalnya mentalitas, ukuran moral dan kecerdasan, temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi, kecakapan dan keahlian khusus.

Nayla ingin melihat Ibu seperti Ibu-ibu lainnya yang menjaga dan menyayangi anaknya dengan tulus bukan dengan siksaan. Rasa cinta Ibu yang tidak dirasakan oleh Nayla membuatnya kepikiran. Dalam benaknya ia selalu menyalahkan sosok Ibu yang dimilikinya. Hal ini tampak dalam kutipan berikut.

(3) Rasa sakit di hatinya pun masih kerap menusuk setiap kali melihat sosok Ibu tak ubahnya monster. Padahal ia ingin melihat ibu-ibu lain yang biasa dilihatnya di sekolah ataupun di ruang tunggu dokter. Ia ingin Ibu seperti ibu-ibu lain yang terkejut ketika anak kandungnya jatuh hingga terluka dan mengeluarkan darah, bukan sebaliknya membuat berdarah. Nayla ingin punya ibu, tapi bukan ibunya sendiri.

Nayla ingin memilih tak punya ibu, ketimbang punya Ibu yang mengharuskannya memilih peniti (Nayla, 2005:2).

Kutipan (3) membuat Nayla semakin tenggelam dengan perasaannya terhadap Ibu. Ia ingin mempunyai Ibu seperti ibu-ibu lainnya bukan Ibu yang memilih peniti. Itulah perasaan yang dialami Nayla saat ini. Menahan rasa sakit di hatinya dan mencoba terus tegar saat Ibu memilih peniti. Menurut Ibu yang dilakukannya memilih peniti adalah hal yang baik, agar Nayla tidak ngompol dan tidak membuat kesalahn lagi. Ibu ingin Nayla mengikuti sifat Ibunya bukan Ayahnya yang telah meninggalkan mereka. Karena selama ini Nayla tinggal bersama Ibunya. Hal ini tampak pada kutipan berikut.

(4) Kamu tak pernah tahu, anakku, seberapa dalam Ayahmu menyakiti hatiku. Ia menyakiti kita dengan tidak mengakui janin yang kukandung adalah keturunannya. Ia meninggalkan kita begitu saja tanpa mengurus ataupun mendiskusikan terlebih dulu masalah perceraian. Aku yang

26

merawatmu penuh dengan ketegaran sejak kamu berada di dalam kandungan. Aku yang membesarkanmu penuh ketabahan. Aku menyediakan segala kebutuhan sandang dan pangan. Akan kubuktikan kepadanya, anakku, bahwa aku bisa berdiri sendiri tanpa perlu ia mengulurkan tangan. Kamu milikku, bukan milik ayahmu (Nayla, 2005:6).

Kutipan tersebut membuktikan bahwa perasaan Ibu sangat hancur atau sangat membenci ayah. Sikap ayah yang meninggalkan ibu begitu saja membuat ibu harus tegar dan bekerja keras membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan Nayla. Kerja keras Ibu selama ini untuk Nayla. Ia ingin Nayla tak mengikuti sifat ayahnya.

Tokoh ibu berwatak keras. Semua yang ibu inginkan harus tercapai. Ibu juga memegang prinsip bahwa Nayla harus menjadi seperti yang ia inginkan.

Setiap keputusan yang sudah ibu buat tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Ibu selalu memandang semua benar dan salah menurut aturannya. Bahkan bentuk kedisiplinan yang diterapkan untuk Nayla juga sesuai dengan aturannya, bila Nayla melakukan kesalahan, ibu menghukum tanpa melihat sebab akibat nayla melakukan kesalahan itu. Seperti saat Nayla tetap mengompol dan ibu menghukumnya dengan menusukkan peniti ke selangkangan dan vagina Nayla.

Bentuk watak keras ibu juga terlihat karena ibu tidak mau mendengar alasan Nayla mengapa masih mengompol pada malam hari, sebenarnya bukan karena malas tetapi ada alasan lain. Kutipan ini juga menunjukan bahwa tokoh ibu berperilaku keras. Perilaku keras diakibatkan Ego yang mempengaruhi kepribadiannya.

27

Faktor dari lingkungan juga membentuk kepribadian Nayla seperti lingkungan fisik saat Nayla tinggal di jalanan, faktor status sosial dan budaya.

Faktor lingkungan fisik dalam novel ini, lingkungan tempat Nayla pernah tinggal di jalanan dan mencari nafkah juga dari jalanan. Sikap Nayla yang keras serta berani menghadapi semua yang menentang itu juga karena lingkunagn fisik

2.4 Dimensi Sosiologis

Dimensi sosiologis menunjukkan latar belakang kedudukan tokoh tersebut dalam masyarakat dan hubungannya dengan tokoh lainnya misalnya status sosial, pekerjaan, pandangan hidup, aktivitas sosial, suku (bangsa dan keturunan). Setiap dimensi sosiologis memberikan konsekuensi, misalnya dalam melukiskan watak, pakaian, latar belakang, kebiasaan, bahasa yang digunakan, dan sebagainya.

Nayla yang tumbuh menjadi gadis dewasa tidak menyadari bahwa sikap yang dia ambil salah. Karena tertekan dan tidak suka dengan sikap Ibunya yang selalu menghukumnya, Nayla selalu mencari rasa aman lewat alkohol. Sampai ia bekerja sebagai juru lampu di diskotek, dan bertemu dengan Juli. Saat ia bekerja sebagai juru lampu umur dia baru empat belas tahun.

(5) Adalah Juli yang pertama kali menawarkan persahabatan di hari pertama saya bekerja sebagai juru lampu di diskotek. Adalah juga Juli yang mengajari saya berbagai hal yang semula tak saya pahami. Mulai dari beat per menit hingga cara menghadapi tamu laki-laki yang genit.

Kutipan (5) membuktikan bahwa Nayla mengalami frustasi atau dampak

28

perkembangan anak yang ditimbulkan oleh perilaku orang tua. Akibat ibu yang selalu menyiksa Nayla, akhirnya Nayla tumbuh menjadi anak yang nakal dan kenal dengan dunia malam. Tapi dengan kehidupannya sekarang ia bisa membuktikan kepada Ibunya bahwa ia bisa hidup tanpa bantuan orang tuanya dan akhirnya ia menjadi seorang penulis.

(6) INTERVIEW 1

“Kapan pertama kali suka nulis?

“Hmmm... sejak mulai bisa nulis pasti.”

“Apa yang menjadi inspirasi Mbak ketika nulis?”

“Apa ya? Gak tentu. Saya pikir semua hal menjadi inspirasi saya. Saya punya pengalaman harafiah dan nonharafiah sejak dilahirkan sampai detik ini. Referensi inilah yang saya tuangkan ke dalam tulisan. (Nayla, 2005:116)

Ketika Nayla menjadi seorang penulis pun, Ibu masih saja memarahinya karena tulisan yang ia buat. Ibu merasa tulisan Nayla tak pantas dimuat di majalah, karena tulisan yang Nayla buat hanya omong kosong. Nayla menuliskan pengalaman hidupnya dan orang-orang di sekitarnya, dari ibunya yang bekerja sebagai pelacur, ayahnya, ibu tirinya, pacarnya, dan lain-lain.

(7) Aku tak mau kamu menjadi perempuan kosong tanpa isi. Batinmu, fisikmu, otakmu, harus kaya. Hanya dengan itu kamu bisa menaklukkan mereka. Contohlah aku. Aku tak butuh mereka. Lihat betapa banyak laki-laki yang takluk padaku. Lihat betapa mereka rela meyerahkan jiwa dan raganya hanya untukku. Kamu pun harus bisa seperti aku. (Nayla, 2005:8)

Kutipan (7) menjelaskan bahwa dimensi sosial Ibu harus diikuti oleh Nayla.

Nayla harus mengikuti jejak atau sifat Ibu. Ibu tidak ingin Nayla sama seperti Ayahnya. Ibu ingin Nayla mencontohnya, karena menurut Ibu hidup ini keras.

29

Jadi Nayla harus benar-benar dewasa dan pandai. Agar kelak Nayla bisa menaklukan laki-laki sama seperti Ibunya.

Dimensi-dimensi dalam tokoh novel ini terutama pada tokoh yang menonjol yaitu Nayla dan Ibu menyebabkannya melakukan dinamika Id, Ego, dan Superego yang dalam bab III akan dianalisis dan dideskripsikan.

2.5 Rangkuman

Analisis dalam bab II ini mengungkapkan tokoh dan penokohan Nayla dan Ibunya. Kedua tokoh ini dipilih karena mengungkapkan tokoh kita dan memiliki masalah kajian analisis terhadap tokoh Nayla dan Ibunya.

Tokoh Nayla menghasilkan pandangan lebih dari dimensi fisik yaitu usianya yang sudah remaja tetapi ia masih saja mengompol. Ketika ia mengompol Ibu selalu menusukan peniti keselangkangannya bahkan ke vaginanya.

Dimensi psikis Nayla yaitu Nayla ingin melihat Ibu seperti Ibu-ibu lainnya yang menjaga dan menyayangi anaknya dengan tulus bukan dengan siksaan.

Dimensi sosiologis Nayla ialah ketika Nayla tumbuh menjadi gadis dewasa dan ia tidak menyadari bahwa sikap yang diambilnya salah. Karena tertekan dan tidak suka dengan sikap Ibunya yang selalu menghukumnya, Nayla selalu mencari rasa aman lewat alkohol.

Analisis terhadap tokoh Ibu menunjukkan dimensi fisik Ibu yang kuat dan tegar. Dengan fisik Ibu yang tegar dan kuat membuat ia selalu menyiksa Nayla tanpa alasan yang tepat. Hanya karena Nayla mengompol, Ibu selalu menusuki

30

vagin Nayla dengan peniti. Ibu tak melihat dan mencoba mengerti bagaimana perasaan Nayla.

Dimensi psikis Ibu yaitu perasaan Ibu sangat hancur dan sangat membenci ayah. Ibu membenci ayah karena ayah meninggalkan ibu begitu saja. Oleh karena itu Ibu harus tegar dan bekerja keras atau membanting tulang untuk mencukupi kebutuhan Nayla.

Dimensi sosiologis Ibu yaitu ia ingin sikapnya diikuti oleh Nayla. Nayla harus mengikuti jejak atau sifat Ibu. Ibu tidak ingin Nayla sama seperti Ayahnya.

Ibu ingin Nayla mencontohnya, karena menurut Ibu hidup ini keras. Jadi Nayla harus benar-benar dewasa dan pandai. Agar kelak Nayla bisa menaklukkan laki-laki sama seperti Ibunya. Itulah latar belakang Ibu yang ia terapkan untuk anaknya Nayla.

Tokoh Ibu memang berwatak keras. Semua yang Ibu inginkan harus tercapai. Ibu juga memegang prinsip bahwa Nayla harus menjadi seperti yang ia inginkan. Setiap keputusan yang sudah Ibu buat tidak bisa diubah dan ditawar lagi. Bahkan bentuk kedisiplinan yang diterapkan untuk Nayla juga sesuai dengan aturannya, bila Nayla melakukan kesalahan, Ibu menghukum tanpa melihat sebab akibat Nayla melakukan kesalahan itu. Seperti saat Nayla tetap mengompol dan Ibu menghukumnya dengan menusukkan peniti ke selangkangan dan vagina Nayla.

Penyiksaan fisik dan psikis serta pelecehan seksual yang dialami Nayla pada waktu kecil memberikan dampak trauma dalam kehidupannya. Trauma tersebut berpengaruh terhadap kepribadian Nayla. Struktur kepribadian Nayla

31

berkembang dengan tidak seimbang. Hal tersebut dapat dilihat dari besarnya Id yang terlalu mendominasi dalam kepribadian Nayla. Ego selalu dituntut untuk memenuhi apa yang diinginkan oleh Id tanpa memikirkan norma-norma yang ada.

Semua terjadi disebabkan tidak terbentuknya Superego yang baik dalam kepribadian Nayla. Struktur kepribadian yang tidak seimbang juga mengakibatkan Nayla mengalami gangguan kepribadian seperti neurosis dan depresi.

Pengalaman-pengalaman traumatis pada masa kecil memberikan inspirasi terhadap tulisan-tulisan Nayla, khususnya penyiksaan yang dilakukan oleh Ibu dan pelecehan seksual yang dilakukan oleh kekasih Ibunya. Hal yang menjadi inspirasi Nayla dalam dunia kepengarangannya yaitu seksualitas dan dunia perempuan. Hubungan problematis Ibu dan anak dan seksualitas kerap menjadi tema dalam setiap tulisannya. Dalam dunia kepengarangannya, Nayla menghasilkan sebuah cerita pendek yang berjudul “Laki-laki Binatang!”, dan dua buah tulisan yang membahas seksualitas dan pelecahan seksual. Trauma yang mengikat kehidupan Nayla berdampak pada tulisan-tulisan yang dihasilkannya.

Selalu menonton, gaya penulisan Nayla yang cenderung menggunakan stream of consciousness, yaitu teknik aliran kesadaran, dan dalam setiap tulisannya selalu dibumbui oleh seksualitas dari sudut pandang dunia perempuan.

Hal yang sangat menarik adalah masalah kejiwaan yang berkaitan dengan interaksi Id, Ego dan Superego. Hal ini akan dibahas di dalam bab III.

32 BAB III

KAJIAN TENTANG ID, EGO DAN SUPEREGO DALAM DIRI TOKOH NAYLA DAN TOKOH IBU DALAM NOVEL NAYLA KARYA

DJENAR MAESA AYU

3.1 Pengantar

Dalam bab II telah dianalisis tokoh dan penokohan pada novel Nayla. Oleh karena itu, pada bab III peneliti akan menganalisis id, ego, dan superego tokoh Nayla dan Ibu. Menurut Freud, alam tak sadar merupakan segi pengalaman yang tidak pernah kita sadari (karena terjadi pada tahap perkembangan ketika kita belum berbahasa atau karena berlangsung cepat sekali maupun terjadi di luar pusat perhatian kita) (Hartono, 2003: 3).

Freud menyatakan bahwa kecemasan merupakan hasil dari konflik antara impuls id (umumnya seksual dan agresif) dan pertahanan dari ego. Impuls-impuls id mengancam individu yang disebabkan pertentangan nilai-nilai personal atau berseberangan dengan nilai-nilai dalam suatu masyarakat. Misalnya, perasaan tidak senang seorang anak kepada oranng tuanya yang bertentangan dengan keharusan anak mencintai orang tuanya. Mengakui perasaan sesungguhnya akan mengakibatkan kecemasan bagi si anak karena akan menghancurkan konsep diri sebagai anak baik dan mengancam posisinya karena akan kehilangan kasih sayang dan dukungan orang tua. Ketika ia marah kepada orang tuanya, kecemasan akan timbul sebagai tanda bahaya (Mindertop, 2010:28).

33

Psikoanalisis Sigmund Freud membahas mengenai id, ego, dan superego.

Dinamika ini mampu menciptakan arus alam bawah sadar. Hal ini juga terjadi pada tokoh Nayla yang mengalami berbagai peristiwa yang dialaminya secara nyata. Dengan demikian, hasil kajian dalam penelitian ini merupakan psikoanalisis, maka sub judul pembahasan didasarkan pada id, ego, dan superego pada tokoh Nayla dan Ibu.

3.2 Kajian Id, Ego dan Superego Tokoh Nayla

Id adalah lapisan psikis yang paling dasariah: yang di dalamnya terdapat naluri-naluri bawaan (seksual dan agresif) dan keinginan-keinginan yang direpresi. Id menjadi bahan dasar bagi pembentukan psikis lebih lanjut dan tidak terpengaruhi oleh kontrol pihak ego dan prinsip realitas. Id memiliki perlengkapan berupa dua macam proses. Proses pertama adalah tindakan-tindakan refleks, yakni suatu bentuk tingkah laku atau tindakan yang melibatkan sejumlah reaksi psikologis yang rumit (Koswara, 1991:33). Jadi Id merupakan sistem yang paling dasar yang dimiliki oleh manusia. Id tidak membutuhkan perintah dari sistem yang lainnya karena Id akan bekerja secara otomatis.

Nayla seorang anak yang mengalami hukuman badan sewaktu masih berusia belasan tahun hanya karena ngompol. Nayla mengompol karena mempertahankan rasa malas tetapi bukan hanya itu saja, Nayla juga tertekan dengan perilaku Ibunya.

34

(8) “Kenapa ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuk vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas” (Nayla, 2005:2)

Tokoh Ibu juga memberi pernyataan bahwa Nayla anak yang malas. Tetapi Nayla menganggap bahwa hukuman itu merupakan tekanan buat dia. Mengompol itu dikarenakan tekanan yang terjadi pada diri Nayla. Hal ini juga yang membuat Nayla berwatak keras karena tekanan-tekanan yang dihadapinya.

(9) “Apalagi yang kamu harapkan ketika semua kebutuhan tak ada yang kurang? Kenapa untuk pergi kekamar mandi saja kamu begitu malas?”

(Nayla, 2005:7)

Tokoh Nayla sendiri berkepribadian keras. Kepribadian yang keras ini karena Nayla dipengaruhi oleh Ego. Ego memegang prinsip dan selalu memandang hidup sesuai dengan realitas. Nayla saat berumur belasan sudah dipengaruhi oleh Ego karena dia diusir dari rumah Ibu setelah keluar dari Panti Rehabilitasi. Hal ini merupakan penolakan orang tua terhadap anak yang akan mengakibatkan anak menjadi seorang pemberontak, ingin melarikan diri dari rumah, dan bersikap agresif.

(10) “Ia berjalan melewati kucing-kucing dan anjing-anjing tak bertuan.

Mendadak Nayla merasa tak lebih dari binatang-binatang ini. Tak lebih dari sampah yang belum dibersihkan di jalan. Tak bisa selamanya begini. Ia butuh pekerjaan. Butuh tempat tinggal. Butuh sesuatu yang bisa membuatnya sedikit merasa berarti ketimbang binatang dan sampah ini. Nayla butuh pilihan. Tapi apa yang bisa ia pilih ketika ia sama sekali tak punya pilihan? Hanya untuk semua inikah ia dilahirkan? Terlahir, terluka, dan disia-siakan?

Sampai matikah ia akan seperti ini?” (Nayla, 2005:15)

Kutipan di atas menunjukan bahwa Nayla sudah berpikir rill tentang hidupnya. Nayla juga berpikir tentang masa depannya kalau dia harus terus menerus hidup di jalan. Dia punya masa depan yang harus diperjuangkan. Saat

35

harus memilih peniti dan Nayla mulai tidak takut lagi. Secara tidak sadar Nayla telah dipengaruhi oleh Ego, Nayla sadar bahwa ini pilihan dan harus dijalani.

(11) “Tapi kini, beberapa tahun kemudian, tak ada satu peniti pun yang membuat Nayla gentar maupun gemetar. Ia malah menentang dengan memilih peniti yang terbesar. Membuka pahanya lebar-lebar.

Tak terisak. Tak meronta. Membuat Ibu semakin murka. Tak hanya selangkangan Nayla yang ditusukinya tapi juga vaginanya. Nayla diam saja. Tak ada sakit terasa. Hanya nestapa. Tak ada takut. Hanya kalut” (Nayla, 2005:2)

Nayla sadar bahwa pilihan untuk memilih peniti harus dia hadapi. Nayla sudah terbiasa maka dia tidak takut tetapi ada perasaan tertekan, Nayla pun menjadi kalut. Nayla berusaha tegar dan tabah dengan tidak meronta dan menangis. Ego membuat Nayla berpikir rill tentang hukuman yang diberikan Ibu karena dia sudah terbiasa menghadapinya. Nayla juga menentang tindakan Ibu

Nayla sadar bahwa pilihan untuk memilih peniti harus dia hadapi. Nayla sudah terbiasa maka dia tidak takut tetapi ada perasaan tertekan, Nayla pun menjadi kalut. Nayla berusaha tegar dan tabah dengan tidak meronta dan menangis. Ego membuat Nayla berpikir rill tentang hukuman yang diberikan Ibu karena dia sudah terbiasa menghadapinya. Nayla juga menentang tindakan Ibu

Dalam dokumen PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI (Halaman 33-0)

Dokumen terkait