BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Apendisitis
2.1.11 Prognosis Apendisitis
Selama dua dekade terakhir, hasil yang didapat setelah perawatan yang tepat untuk apendisitis akut telah meningkat secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang rendah. Namun komplikasi dan kematian meningkat secara signifikan pada orang tua dan wanita hamil. Angka kematian janin berkisar
0%-1,5% pada kasus apendisitis sederhana dan 20%-35% pada kasus apendisitis perforasi, maka dibutuhkan terapi dini dan agresif untuk pasien hamil (Vasser &
Anaya, 2012). Angka kematian pada pasien apendisitis akut non-komplikata sebesar 0,09% dan angka terjadinya komplikasi yaitu sebesar 5,5%. Pada orang tua angka kematian akibat apendisitis akut non-komplikata adalah 0,2% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 6%. Morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien dengan apendisitis komplikata terutama yang dengan perforasi. Angka kematian pasien dengan apendisitis perforasi sebesar 1% sampai 4% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 12% sampai 25%. Pada pasien yang berusia lebih tua dari 70 tahun, yang memiliki apendisitis perforasi dan penyakit komorbid lainnya, memiliki angka kematian yang tinggi sebesar 32% (Sarosi, 2016).
2.1.12 Komplikasi Apendisitis
Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi, yang mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis. Pasien dengan apendisitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi akan terbebas masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya peritonitis difusa.
Abses akan terbentuk setelah perforasi jika apendiks yang mengalami perforasi dikelilingi oleh sisa rongga peritoneum karena lokasinya yang retroperitoneal atau dikelilingi oleh lilitan usus halus atau omentum. Komplikasi yang paling parah yang dapat terjadi pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah tromboflebitis sepsis dari vena porta yang juga dikenal sebagai pieloflebitis (Sarosi, 2016).
2.2 PERITONITIS
2.2.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptic pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen (Japanesa et al., 2016).
2.2.2 Anatomi Peritoneum
2.2.2.1 Anatomi Besar Peritoneum
Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi oleh selapis sel mesotelial, diperkirakan luas arenya sekitar 1,7 m2, hampir sama dengan luas total permukaan tubuh. Umumnya rongga peritoneal mengandung beberapa milliliter cairan peritoneal yang steril yang berperan sebagai pertahanan lokal terhadap bakteri, dan sebagai lubrikan.
Peritoneum dapat terbagi menjadi dua komponen yaitu peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi bagian anterior, lateral, dan posterior dinding abdominal; permukaan inferior diafragma; dan juga pelvis.
Sebagian besar permukaan dari organ intraperitoneal (lambung, jejunum, ileum, kolon transversum, hati, dan limpa) dilapisi oleh peritoneum visceral, dimana hanya bagian anterior dari organ retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, kolon desendens, pankreas, ginjal, dan kelenjar adrenal) yang dilapisi oleh peritoneum visceral.
Organ-organ intraperitoneal digantung oleh bagian peritoneum yang menebal atau ligamen abdominal. Menurut Meyer terdapat 9 ligamen dan 2 mesenterika yang memfiksasi organ-organ intraperitoneal. Sembilan ligamen tersebut antara lain ligamentum koronaria, gastrohepatika, hepatoduodenal, falciforme, gastrocolica,duodenocolica, gastrosplenica, splenorenalis, dan ligamentum phrenicocolica. Dua mesenterika tersebut yaitu mesenterica mesocolon transversus dan mesenterika bowel kecil. Struktur-struktur ligamen ini, yang terlihat pada saat laparotomi, begitu pula dengan CT-scan, membagi abdomen menjadi beberapa kompartmen yang saling berhubungan (Wyers & Matthews, 2016).
2.2.2.2 Anatomi Mikroskopik Peritoneum
Peritoneum berasal dari bahasa Yunani “peri” yang berarti sekitar dan “tonos”
yang berarti peregangan yang apabila digabungkan keduanya memiliki arti membentang di sekitar. Mesothelium berasal dari mesoderm. Sel-sel mesothelial berbentuk pipih, seperti sel skuamus dan memiliki diameter kira-kira 25 µm. Sel-sel mesothelial terletak diatas membran basal yang tipis dan stroma jaringan ikat.
Sel-sel mesothelial dilapisi oleh mikrovili dan kadang-kdang terdapat beberapa silia tambahan di permukaan luminal dan mereka tergabung dengan baik oleh intercellular junctional comp lexes yang terdiri atas tight junctions, adherens junctions, gap junctions, dan desmosome yang membentuk dan mempertahankan barrier yang semipermeable untuk cairan, zat-zat terlarut, dan partikel (Wyers &
Matthews, 2016).
2.2.2.3. Perdarahan dan Inervasi Peritoneum
Peritoneum visceral diperdarahi oleh pembuluh darah spalnknik, dan peritoneum parietal diperdarahi oleh pembuluh darah interkostal, subkostal, lumbar, dan iliaka. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom, sedangkan peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf somatik. Oleh karena itu, nyeri visceral bersifat sulit dilokalisir, menyebar, dan samar-samar. Nyeri viseral disebabkan oleh perenggangan, distensi, torsio, dan twisting. Peritoneum vesiral tidak menimbulkan nyeri pada saat terpotong ataupun terbakar. Saat serabut nyeri viseral dari struktur midgut distimulasi, timbul rasa tidak nyaman yang samar pada periumbilikalis yang disebabkan oleh serabut nyeri viseral melewati korda spinalis pada level yang sama dengan serabut somatik dermatom T10. Oleh karena itu, sensasi ini dialami sebagai rasa tidak nyaman dalam distribusi dermatomal. Begitu juga dengan rangsangan nyeri viseral dari struktur foregut menghasilkan rasa tidak nyaman pada daerah epigastrium (distribusi T8) , dan stimulasi viseral ada struktur hindgut menghasilkan rasa tidak nyaman pada daerah suprapubik (T12). Serabut nyeri parietal diaktivasi oleh beberapa stimulus seperti terpotong, terbakar, dan inflamasi. Nyeri parietal ini mudah untuk dilokalisir. Salah contoh yang baik
adalah apendisitis. Pada awal perjalanan penyakit pasien mengalami rasa tidak nyaman pada daerah periumbilikal yang disebabkan adanya distensi pada lumen apendiks, dan apabila inflamasi ini sudah melewati dinding apendiks dan melibatkan peritoneum parietal maka akan timbul nyeri terlokalisir pada kuadran kanan bawah abdomen (Wyers & Matthews, 2016).
Sumber: Gray’s Anatomy 40 th edition
2.2.3 Fisiologi Peritoneum
Sel-sel mesothelial memelihara homeostasis dari rongga peritoneum. Pada keadaan yang normal, sel-sel mesothelial mensekresikan banyak glikosaminoglikan, proteoglikan, dan fosfolipid dari permukaan lumennya yang berfungsi untuk memproteksi dan melubrikasi glikokalis. Sel-sel mesothelial mensintesis protein matriks di permukaan basal dan mempertahankan bentuk membran peritoneum. Peritoneum dapat beregenerasi setelah mengalami cedera
ataupun operasi. Pada kondisi inflamasi, sel mesothelial menginisiasi dan meregulasi respon inflamasi dengan mensintesis cytokines, chemokines,dan growth factor. Sel mesothelial peritoneum mampu melakukan fagositosis dan dapat berperan sebagai antigen-presenting cell. Pada kondisi sehat maupun inflamasi, sel mesotelial memfasiltasi transpor cairan, zat-zat terlarut, dan partikel melewati membran peritoneum.
Pergerakan cairan dan zat-zat terlarut diatur oleh konveksi dan difusi. Partikel-partikel diserap dari rongga peritoneal oleh dua rute anatomis yang berbeda.
Partikel yang berukuran lebih kecil dari 2 kd akan diabsorbsi melalui pori-pori pembuluh vena peritoneum dan diarahkan ke sirkulasi porta. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 3 kd diserap melalui sirkulasi limfatik peritoneum, yang memasuki duktus torako limfatikus dan dari sana menuju ke sirkulasi sistemik. Rute terakhir penyerapan ini memainkan peranan penting dalam mengontrol infeksi abdominal karena memiliki kapasitas absorbs yang besar. Struktur anatomis dari saluran-saluran besar diantara rongga peritoneal dan pembuluh-pembuluh darah diafragma dan tekanan negatif dari toraks saat inspirasi menyebabkan mekanisme ini sangat efektif untuk menyingkirkan bakteri dan sel-sel. Permukaan yang besar dan semipermeable dari membran peritoneum dapat dimanfaatkan dari segi terapi pada dialisis peritoneal (Wyers & Matthews, 2016).
2.2.4 Patofisiologi Peritonitis
Peritonitis dapat disebabkan oleh berbagai penyebab baik yang infeksius maupun non-infeksius yang menyebabkan terjadinya peradangan pada peritoneum visceral dan parietal. Respon inflamasi awal dari peritoneum terhadap infeksi bakteri ditandai adanya vasodilatasi, edema pada jaringan, transudasi cairan, dan masuknya makrofag dan leukosit sebagai tanda inflamasi. Saluran limfatik yang terletak dibawah permukaan diafragma memfasilitasi pembersihan bakteri, endotoksin, dan partikel-partikel infeksius lainnya dari rongga peritoneum. Sistem drainase ini menyediakan mekanisme pertahanan tambahan yang penting untuk
respon imun seluler lokal. Gangguan proses ini oleh fibrin dan debris inflamasi dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan peritoneum dan dilusi immunoglobulin dan opsonin. Hal ini sangat relevan dengan patofisiologis peritonitis pada anak-anak dengan asites yang sudah ada sebelumnya, dimana dijumpai konsentrasi immunoreaktif ini lebih rendah daripada yang terlihat pada anak yang sehat.
2.2.5 Etiologi Peritonitis
Peritonitis primer pada anak, kini sudah jarang ditemukan, disebabkan oleh infeksi bakteri Escherichia coli. Peritonitis primer yang terjadi pada perempuan diakibatkan oleh mikroorganisme yang dipercaya berasal dari saluran genital.
Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh monomikrobial dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab tersering dan biasanya tidak memerlukan tindakan operatif (Cavallaro et al., 2008; Rangel et al., 2012).
Peritonitis sekunder umumnya disebabkan oleh bocornya mikroorganisme yang berasal dari organ gastrointestinal atau genitourinaria ke dalam rongga peritoneal sebagai hasil dari hilangnya intergritas barier mukosa. Penyebab peritonitis sekunder antara lain apendisitis, divertikultis, kolesistitis, luka tusuk pada organ bowel, dan perforasi lambung atau ulkus duodenum (Dani et al., 2015). Peritonitis sekunder cenderung disebabkan oleh infeksi polimikrobial, dan jenis bakteri yang menginfeksi tergantung pada lokasi dari perforasi. Bakteri gram negatif aerob maupun fakultatif, seperti E.coli, Klebsiella, Pseudomonas spp., dan Candida spp., sering menginfeksi bila perforasi terjadi pada saluran gastrointestinal bagian proksimal. Bacteriodes merupakan jenis bakteri yang sering menginfeksi pada kolon yang mengalami perforasi (Rangel et al., 2012).
Peritonitis tersier terjadi akibat infeksi intaabdominal yang menetap atau berulang setelah dilakukannya pengobatan yang adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder (kurangnya respon terhadap operasi dan terapi antibiotik). Organisme yang paling sering menyebabkan infeksi peritonitis tersier adalah Enterococcus, Candida, Staphylococcus epidermidis, dan Enterobacter (Cavallaro et al., 2008).
2.2.6 Epidemiologi Peritonitis
Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 jumlah kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus (Japanesa et al., 2016). Peritonitis primer biasanya terjadi pada pasien sirosis dan asites. Diperkirakan sekitar 10%-30% pasien sirosis dan asites mengalami peritonitis primer (Levison,Bush,2015).Penelitian di Kota Bengal Barat India, terhadap 545 kasus peritonitis sekunder ditemukan penyebab peritonitis sekunder terbanyak adalah perforasi gastroduodenal sebesar 48,44% yang diikuti oleh perforasi apendiks sebesar 18,53% dan perforasi traumatik sebesar 13,57% (Ghosh, et al.,2016). Di Indonesia, prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebesar 68,4%
pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kejadian peritonitis pada perempuan sebesar 31,6%. Kelompok usia terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10-19 tahun sebesar 24,5%. Peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi yaitu sebesar 53,1% (Japanesa et al., 2016).
2.2.7 Klasifikasi Peritonitis
Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, peritonitis sekunder dan peritonitis tersier (Japanesa et al., 2016).
1. Peritonitis primer
Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial peritonitis, kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan sebagai kelompok penyakit yang memilikin penyebab berbeda-beda tetapi merupakan infeksi pada rongga peritoneal tanpa ada sumber yang jelas(Levison & Bush,2015).Peritonitis primer kebanyakan terjadi pada pasien sirosis dan asites. (Wyers & Matthews, 2016).
2. Peritonitis sekunder
Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal (Japanesa et al., 2016). Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang bias disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangrene dari struktur intraabdominal dan retroperitoneal. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis, diverticulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneal akibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma (Wyers &
Matthews, 2016).
3. Peritonitis tersier
Peritonitis tersier telah dikonseptualisakan sebagai tahap lanjutan dari peritonitis, ketika gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis menetap setelah mendapat pengobatan untuk peritonitis primer atau sekunder (Levison & Bush, 2015).Peritonitis tersier disebabkan iritan langsung yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid (Japanesa et al., 2016).
Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata (Skipworth & Fearon, 2005). Peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu kegawatdaruratan bedah yang paling umum (Doklestitc et al.,2014).
2.2.8 Diagnosis Peritonitis
Diagnosis peritonitis adalah diagnosis klinis dimana diagnosisnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gejala utama dari seluruh kasus peritonitis adalah nyeri abdomen. Pasien sering mengeluhkan anoreksia, mual, muntah,
meriang, menggigil, rasa haus, jarang berkemih, sulit untuk buang air besar dan flatus sertanya adanya distensi abdomen (Pinto & Romano., 2013; Levison & Bush, 2015).
Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis biasanya memilih posisi terlentang di tempat tidur dengan lutut di fleksikan dan bernafas dengan otot intercostal secara cepat dan sempit karena gerakan apapun dapat meningkatkan intensitas nyeri abdominal. Suhu tubuh bisa mencapai 42°C. Takikardi dan melemahnya denyut nadi mengindikasikan keadaan hipovolemik yang umum terjadi pada kebanyakan pasien. Tekanan darah biasanya normal pada fase awal penyakit. Semakin parahnya peritonitis, tekanan darah semakin menurun hingga mencapai level syok (Pinto & Romano, 2013; Levison & Bush, 2015).
Nyeri tekan baik baik superfisial maupun nyeri tekan dalam adalah tanda yang paling khas pada peritonitis. Nyeri ini biasanya terasa paling sakit pada daerah organ penyebabnya.Kekakuan pada otot dinding abdomen disebabkan oleh reflex spasme otot dan proses sadar tubuh untuk mengurangi nyeri. Suara hipersonor yang disebabkan distensi usus akibat adanya udara sering terdengar pada pemeriksaan perkusi.Pneumoperitoneum akibat rupturnya organ berongga bisa menyebabkan penurunan suara beda pada hati. Bising usus melemah dan akhirnya menghilang.
Pada pemeriksaan rektal dan vaginal dapat dijumpai nyeri tekan dan adanya abses yang mengindikasikan penyebab utamanya adalah organ-organ pada pelvis wanita (Pinto & Romano, 2013; Levison & Bush, 2015).
2.2.9 Pemeriksaan Penunjang Peritonitis
1. Pemeriksaan laboratorium
Pasien mengalami peningkatan jumlah leukosit hingga lebih dari 11.000 sel/ml. Keadaan leukopenia mengindikasikan adanya sepsis generalisata dan biasanya memiliki prognosis yang buruk. Analisis darah biasanya normal tetapi pada kasus yang berat dapat ditemukan peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan hipernatremia yang mengindikasikan keadaan dehidrasi berat. Selain itu dapat juga ditemukan asidosis metabolik. Pemeriksaan
urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis (Pinto & Romano, 2013).
2. Pemeriksaan Radiologis
Wyers dan Matthews (2016) memaparkan jenis-jenis pemeriksaan radiologis untuk peritonitis, yaitu :
a. Foto polos toraks
Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi tegak maupun foto abdomen pada posisi decubitus, tetapi adanya pneumoperitoneum pada pemeriksaan rediologis memiliki tingkat sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya perforasi usus.
Tidak ditemukannya udara bebas tidak seharusnya menunda dilakukannya tindakan operasi (Wyers & Matthews, 2016).
b. Ultrasonography (USG)
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran empedu, dan adanya penumpukan cairan (Wyers & Matthews, 2016).
c. Computed tomography (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat tempat pasti terjadinya perforasi. Pemeriksaan CT-Scan dapat mendeteksi adanya lesi diluar dari tempat yang dicurigai berdasarkan gejala klinis dan berfungsi sebagai pedoman untuk tatalaksana percutaneous drainage cairan peritoneal atau abses (Levison & Bush,2015).
d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam rongga peritoneal melalui kateter. Jika cairan yang keluar mengandung leukosit lebih dari 500 sel/ml, kadar enzim amylase atau bilirubin meningkat dari normal atau ditemukannya bakteri pada pewarnaan Gram, maka
kemungkinan diagnosis peritonitis sekunder sebesar 90% (Pinto &
Romano, 2013).
e. Laparoskopi
Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam menentukan diagnosis peritonitis sekunder dan banyak penyakit penyebabnya yang dapat ditangani dengan laparoskopi sehingga tidak perlu dilakukan laparotomi (Pinto & Romano, 2013).
2.2.10 Penatalaksanaan Peritonitis 1. Terapi antibiotik
Terapi antibiotik perlu diberikan sebelum, sesaat dan sesudah terapi pembedahan. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder tergantung pada flora normal dari organ mengalami perforasi atau ruptur. Berbagai jenis antibiotik dianjurkan dapat digunakan tunggal maupun kombinasi : sefalosporin generasi kedua, sefalosporin generasi ketiga, betalaktam dengan spektrum luas, fluorokuinolon dengan metronidazol, serta aminoglikosida dengan klindamisin atau metronidazol (Wyers & Matthews, 2016).
2. Bedah
Tatalaksana bedah sebaiknya dilakukan segera setelah pasien distabilisasi, diresusitasi, dan diberikan antibiotik. Tatalaksana bedah digunakan untuk membuang organ sumber infeksi, memperbaiki lesi perforasi, bowel resection serta memperbaiki—jika memungkinkan—pecahnya anastomosis, peritoneal lavage, dan lain-lain. Laparatomi menjadi gold standard untuk diagnosis pasti dan menjadi pedoman utama dalam tatalaksana bedah (Cavallaro et al.,2008;
Wyers & Matthews, 2016)
2.2.11 Prognosis Peritonitis
Kemampuan pasien peritonitis sekunder untuk bertahan hidup tergantung pada banyak faktor meliputi, usia, status gizi, kadar albumin, kondisi komorbid atau kondisi lain yang menyertai, adanya keganasan, lama waktu terkontaminasinya peritoneum, kapan dimulainya pengobatan, keberadaan benda asing , dan kemampuan tubuh untuk mengontrol sumber infeksi, dan jenis mikroorganisme yang terlibat. Prognosis memburuk jika ditemukan banyak mikroorganisme pada eksudat peritoneum. Angka kematian akan meningkat jika sumber kontaminasinya berasal dari bagian yang lebih distal gastrointestinal (Pinto & Romano, 2013).
2.2.12 Komplikasi Peritonitis
Peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi-organ hingga kematian. Komplikasi yang berat lebih sering dihubungkan pada peritonitis sekunder (Rangel et al., 2012).
2.3 HUBUNGAN APENDISITIS DENGAN PERITONITIS
Berdasarkan penjelasan mengenai apendisitis dan peritonitis diatas, didapati bahwa peritonitis sekunder merupakan komplikasi dari apendisitis yang telah mengalami perforasi sebelumnya. Apendisitis dapat menjadi perforasi jika tidak ditangani segera. Peritonitis yang terjadi akibat apendisitis dapat menyebabkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa apabila tidak segera ditangani.
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah trombosis vena mesenterika, tromboflebitis sepsis vena porta atau disebut juga pieloflebitis, respiratory distress syndrome, kegagalan multi organ dan dapat berakhir pada kematian.
2.4 KERANGKA TEORI
Apendisitis
Komplikasi Klasifikasi
Apendisitis lainnya
Apendisitis akut
Apendisitis akut dengan abses
peritoneal Apendisitis akut lainnya dan tidak
dapat ditentukan Apendisitis akut dengan peritonitis
lokalisata Apendisitis akut dengan peritonitis
generalisata
Pieloflebitis
Perforasi Abses
Peritonitis Sekunder
Peritonitis Klasifikasi
Peritonitis Tersier Peritonitis
Primer
: yang diteliti
: yang tidak diteliti
2.5 KERANGKA KONSEP Apendisitis
AkApendi
Peritonitis Jenis kelamin Usia
Gejala klinis Lama rawatan Sepsis
Kondisi keluar
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 JENIS PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional. Data yang akan digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis.Pada penelitian ini ingin diketahui prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik periode 2015-2017.
3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN
Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.
Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di Provinsi Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2018 sampai Desember 2018.
3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 POPULASI PENELITIAN
Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017 dan memiliki karakteristik sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :
a. Kriteria Inklusi
Seluruh pasien yang didiagnosis apendisitis di RSUP Haji Adam Malik dari bulan Januari 2017 sampai Desember 2017.
b. Kriteria eksklusi
Data rekam medik yang tidak lengkap.
3.3.2 SAMPEL PENELITIAN
Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun 2017. Sampel pada penelitian ini diambil secara non random sampling dengan menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi penelitian diikutsertakan menjadi sampel penelitian. Selain itu, sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria inklusi serta tidak termasuk dalam kriteria eksklusi selama penelitian berlangsung.
3.4 METODE PENGUMPULAN DATA
Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2017. Data-data dari rekam medis tersebut dicatat dan dikelompokkan berdasarkan variabel yang telah ditentukan.
3.5 METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA
Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan variabel selanjutnya akan diolah dan dianalisis menggunakan program SPSS(Statistic Package for Social Science. Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.
Prevalensi = Jumlah peritonitis pada pasien apendisitis X 100%
Jumlah pasien apendistis
3.6 DEFINISI OPERASIONAL
Tabel 3.1 Definisi operasional.
Variabel Definisi Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur
Apendisitis Penyakit apendisitis yang diderita oleh pasien berdasarkan rekam medis dan telah dikonfirmasi
Observasional Rekam Medis
Peritonitis Peritonitis yang diderita oleh pasien apendisitis
Observasional Rekam Medis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dengan perempuan
Observasional Rekam Medis
Laki-laki, Perempuan
Nominal
Usia Lamanya pasien hidup di dunia sejak dilahirkan dan dinyatakan dalam tahun
Observasional Rekam Medis
Gejala Klinis Gejala yang diderita oleh pasien
apendisitis dengan peritonitis
Observasional Rekam Medis
Lama waktu pasien dirawat dirumah sakit.
Observasional Rekam Medis
≤ 3 hari, 4-7 hari, 8-14 hari,
>14 hari
Ordinal
Sepsis Respon inflamasi kaena infeksi yang dapat menyebabkan
>12000 atau <4000.
Observasional Rekam Medis
Kondisi pasien saat keluar dari rumah sakit
Observasional Rekam Medis
Hidup, Meninggal
Nominal
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP Haji Adam Malik) Kota Medan Provinsi Sumatera Utara yang berlokasi di Jalan Bunga Lau no. 17, Kelurahan Kemenangan Tani, Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan, Provinsi Sumatera Utara. RSUP Haji Adam Malik merupakan rumah sakit pemerintah kelas A, sesuai dengan SK Menteri Kesehatan RI No.
335/Menkes/SK/VIII/1990, dan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. RSUP Haji Adam Malik merupakan
335/Menkes/SK/VIII/1990, dan telah memiliki fasilitas kesehatan yang memenuhi standar dan tenaga kesehatan yang kompeten. RSUP Haji Adam Malik merupakan