• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREVALENSI PERITONITIS PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2017 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PREVALENSI PERITONITIS PADA PASIEN APENDISITIS DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN PERIODE 2017 SKRIPSI"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

OCTAVIA AZRINA SEMBIRING 150100130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

OCTAVIA AZRINA SEMBIRING 150100130

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Penelitian : Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Periode 2017

Nama Mahasiswa : Octavia Azrina Sembiring

Nomor Induk : 150100130

Proposal Penelitian ini telah diperiksa dan disetujui untuk diujikan pada ujian Seminar Hasil Penelitian

Medan, Desember 2018 Menyetujui,

Dosen Pembimbing

dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD NIP. 197903252009121004

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas selesainya skripsi yang berjudul “Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji Adam Malik periode 2017” yang merupakan salah satu syarat memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran.

Dalam penyusunan skripsi ini tentu tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Untuk kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. dr. Aldy S. Rambe, Sp. S (K) selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing dalam penyelesaian skripsi ini.

3. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin.Path), Sp.PK(K) selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

4. dr. Cut Aria Arina, Sp.S selaku Dosen Penguji yang telah memberikan kritik dan saran dalam penyusunan skripsi ini.

5. dr. Batara Sihotang, dr. Siti Fathiya, dr. Gina K Perangin Angin dan dr.

Jos Arno M Silitonga yang telah membantu saya dalam penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh staf pengajar dan sivitas akademika Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

7. Kedua orang tua yang penulis hormati dan sayangi Gunanta Sembiring dan Roslindawati Purba yang telah banyak memberikan dorongan moril, doa, dan materil dalam penyusunan skripsi ini.

8. Kedua adik saya, Stephani Clarissa Sembiring dan Ariel Keriahen Sembiring, yang telah memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

(5)

9. Teman-teman saya, A C Monalisa A C, Monica Gwendoline A Sirait, Aretti Sari Napitupulu, yang telah membantu dan memberikan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

10. Saudara, kerabat, dan teman-teman angkatan 2015 Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik dari pembaca sangat diharapkan sebagai masukan penulisan selanjutnya.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat.

Medan, Desember 2018 Hormat Saya

Octavia Azrina Sembiring

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan……… i

Kata Pengantar……….. ii

Daftar Isi………... iv

Daftar Tabel………... vii

Daftar Gambar………... viii

Daftar Lampiran……… ix

Daftar Singkatan……… x

Abstrak……….. xi

Abstract……….. xii

BAB I PENDAHULUAN……… 1

1.1 Latar Belakang………. 1

1.2 Rumusan Masalah……… 4

1.3 Tujuan Penelitian………. 4

1.3.1 Tujuan Umum………... 4

1.3.2 Tujuan Khusus……….. 4

1.4 Manfaat Penelitian………... 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………. 5

2.1 Apendisitis……… 5

2.1.1 Definisi Apendisitis……….. 5

2.1.2 Anatomi Apendiks……… 5

2.1.3 Fisiologi Apendiks……… 7

2.1.4 Patofisiologi Apendisitis..………. 7

2.1.5 Etiologi Apendisitis….……….. 8

2.1.6 Epidemiologi Apendisitis….………. 8

2.1.7 Klasifikasi Apendisitis....……….. 9

(7)

2.1.8 Diagnosis Apendisitis………... 10

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis.……….... 14

2.1.10 Penatalaksanaan Apendisitis……….. 16

2.1.11 Prognosis Apendisitis.………. 16

2.1.12 Komplikasi Apendistis..……….. 17

2.2 Peritonitis………. 18

2.2.1 Definisi Peritonitis..……….. 18

2.2.2 Anatomi Peritoneum………. 18

2.2.2.1 Anatomi Besar Peritoneum.………... 18

2.2.2.2 Anatomi Mikroskopik Peritoneum.………… 19

2.2.2.3 Perdarahan dan Inervasi Peritoneum.………. 19

2.2.3 Fisiologi Peritoneum………. 21

2.2.4 Patofisiologi Peritonitis....………. 22

2.2.5 Etiologi Peritonitis……… 22

2.2.6 Epidemiologi Peritonitis….……….. 23

2.2.7 Klasifikasi Peritonitis…...……… 24

2.2.8 Diagnosis Peritonitis………. 25

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang Peritonitis...……….... 26

2.2.10 Penatalaksanaan Peritonitis ……….……….. 27

2.2.11 Prognosis Peritonitis..………. 28

2.2.12 Komplikasi Peritonitis .……….. 28

2.3 Hubungan Apendisitis dengan Peritonitis………... 29

2.4 Kerangka Teori……… 30

2.5 Kerangka Konsep………. 31

BAB III METODE PENELITIAN………. 32

3.1 Jenis Penelitian………. 32

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian………... 32

(8)

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian………... 32

3.3.1 Populasi Penelitian……….... 32

3.3.2 Sampel Penelitian……….. 33

3.4 Metode Pengumpulan Data……….. 33

3.5 Metode Pengolahan dan Analisis Data………. 33

3.6 Definisi Operasional………. 34

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN………... 36

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN……….. 49

5.1 Kesimpulan……….. ……..49

5.2 Saran………... 49

DAFTAR PUSTAKA………... 50

LAMPIRAN………. 53

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 Sistem Skoring Alvarado………... 13

3.1 Definisi Operasional... 34

4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel... 36

4.2 Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis... 40

4.3 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Jenis Kelamin... 41

4.4 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Jenis Usia... 42

4.5 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Gejala Klinis... 44

4.6 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Lama Rawatan... 45

4.7 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Kejadian Sepsis... 46

4.8 Distribusi Frekuensi Peritonitis pada Apendisitis Berdasarkan Kondisi Keluar... 47

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1.2 Anatomi Apendiks……….... 6 2.2.2 Anatomi Peritoneum……… 20

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Judul Halaman

A Daftar Riwayat Hidup... 53

B Pernyataan Orisinalitas... 55

C Surat Izin Survey Awal... 56

D Surat Izin Penelitian... 57

E Ethical Clearance... 58

F Tabel Pengolahan Data SPSS... 59

G Data Induk Penelitian... 67

(12)

DAFTAR SINGKATAN

CT-Scan : Computed Tomography Scan DPL : Diagnostic Peritoneal Lavage GALT : Gut Associated Lymphoid Tissue IgA : Immunoglobuline A

MRI : Magnetic Resonance Imaging RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat USG : Ultrasonography

WHO : World Health Organization

(13)

ABSTRAK

Latar Belakang. Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis yang dapat disebabkan adanya obstruksi oleh fekalit, benda asing, tumor, hiperplasia, parasit dan lain-lain.

Dalam literatur disebutkan bahwa laki-laki lebih berisiko terkena apendisitis dibandingkan wanita dengan rasio 1,4:1.Di Indonesia, angka kejadian apendisitis dilaporkan sebesar 95 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi di ASEAN. Komplikasi utama dari apendisitis yang tidak ditangani adalah terjadinya perforasi pada apendiks. Perforasi pada apendiks menyebabkan terjadinya peritonitis. Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan angka kejadian peritonitis akibat apendisitis cukup tinggi. Padahal peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam nyawa seperti trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi-organ hingga kematian.Tujuan: Untuk mengetahui prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2017.

Metode: Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang dilakukan dengan metode cross sectional yang dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan. Pengumpulan data dilakukan pada data rekam medis pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan sejak Januari 2017- Desember 2017. Sampel diambil secara non random sampling dengan menggunakan teknik total sampling dengan sampel sebanyak 102 sampel penelitian. Hasil: Pada penelitian ini, Prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik periode 2017 adalah 62,8%.Peritonitis generalisata (61,8%) dan peritonitis lokalisata (1%). Laki-laki (65,6%) lebih banyak menderita peritonitis akibat apendisitis dibandingkan perempuan (34,4%). Kelompok usia tersering menderita peritonitis akibat apendisitis adalah kelompok usia 10-19 tahun (34,4%).

Kesimpulan: Prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2017 adalah 62,8%.

Kata kunci : Apendisitis, Peritonitis.

(14)

ABSTRACT

Background. Appendicitis is inflammation of the vermiform appendix which can be caused by obstruction by fecalite, foreign bodies, tumors, hyperplasia, parasites and others. In the literature it is stated that men are more at risk of appendicitis than women with a ratio of 1.4: 1. In Indonesia, the incidence of appendicitis is reported to be 95 per 1000 people with a number of cases reaching 10 million each year and the highest incidence in ASEAN. The main complication of appendicitis that is not treated is the occurrence of perforation in the appendix. Perforation of the appendix causes peritonitis. Based on several studies on peritonitis found the incidence of peritonitis due to appendicitis is quite high. Even though peritonitis has many life-threatening complications such as mesenteric vein thrombosis, respiratory distress syndrome, multi-organ failure to death. Objectives:

To know the prevalence of peritonitis in appendicitis patients in Medan in Haji Adam Malik Hospital in 2017. Methods: This study is a descriptive study conducted with a cross sectional method conducted at Haji Adam Malik General Hospital in Medan. Data collection was performed on medical record data on appendicitis patients at Haji Adam Malik Hospital Medan from January 2017 to December 2017. Samples were taken by non random sampling using total sampling technique with a sample of 102 study samples.Results: In this study, the prevalence of peritonitis in appendicitis patients in Haji Adam Malik General Hospital in 2017 period is 62,8%. Generalized peritonitis (61,8%) and localized peritonitis (1%). Men (65.6%) suffered more from peritonitis due to appendicitis than women (34.4%). The most common age group suffering from peritonitis due to appendicitis is the 10-19 year age group (34.4%).Conclusion: The prevalence of peritonitis in appendicitis patients in the Haji Adam Malik General Hospital Medan in the period 2017 is 62,8%.

Keywords : Appendicitis, Peritonitis

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Apendisitis adalah suatu inflamasi akut pada apendiks vermiformis yang sering dikaitkan dengan obstruksi dan dapat terjadi komplikasi akibat infeksi bakteri (Sifri & Madoff, 2015). Apendisitis disebabkan adanya obstruksi daripada lumen.

Apendiks rentan mengalami fenomena ini karena diameter lumennya yang kecil dan berkaitan dengan panjangnya. Obstruksi pada lumen proksimal dari apendiks memicu peningkatan tekanan di bagian distal yang disebabkan oleh sekresi mukus secara terus menerus dan produksi gas oleh bakteri yang ada dilumen. Dengan adanya distensi yang progresif pada apendiks, terjadi gangguan pada drainase vena, sehingga menyebabkan iskemi pada mukosa. Adanya obstruksi yang terus menerus, dan terjadinya iskemia menyeluruh, yang akhirnya menyebabkan perforasi pada apendiks. Lama waktu dari obstruksi menjadi perforasi bervariasi dan berkisar antara beberapa jam hingga beberapa hari. (Richmond, 2017).

Di Amerika Serikat kasus appendisitis meliputi 11 per 10.000 populasi per tahun, dan angka kejadian ini tidak begitu berbeda di negara berkembang. Laki- laki lebih berisiko terkena apendisitis dibanding wanita dengan rasio 1,4 : 1. Risiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7% (Sarosi, 2016). Meskipun apendisitis jarang terjadi pada bayi, namun insidensi apendisitis terus meningkat dengan pasti selama masa kanak-kanak dan mencapai puncaknya pada usia 15-25 tahun pada pria dan wanita (Sifri & Madoff, 2015). Di Indonesia, angka kejadian apendisitis dilaporkan sebesar 95 per 1000 penduduk dengan jumlah kasus mencapai 10 juta setiap tahunnya dan merupakan kejadian tertinggi di ASEAN (Padmi, Widarsa, 2017).

Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi apendiks (Sarosi, 2016). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nouri dkk di Shahid Behesti Medical Center di Iran pada tahun 2011-2015 terhadap 526 pasien

(16)

yang di diagnosis apendisitis akut, ditemukan sekitar 24,3% adalah apendisitis perforasi dan 75,7% adalah apendisitis tanpa perforasi. Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki sebanyak 61,9% sementara perempuan sebanyak 31,8%. Pada penelitian ini, mayoritas pasien yang mengalami perforasi berusia antara 15 sampai 34 tahun yaitu sebesar 33,8% sedangkan hanya 8% perforasi yang terjadi pada umur diatas 65 tahun dari keseluruhan kasus (Nouri et al., 2017). Di Indonesia, menurut penelitian yang dilakukan Padmi dan Widarsa pada tahun 2017, prevalensi perforasi pada pasien apendisitis akut berkisar antara 30-70% dari seluruh kasus apendisitis akut (Padmi, Widarsa, 2017).

Perforasi pada apendisitis mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis. Pasien dengan apendisitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi akan terbebas masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya peritonitis difusa (Sarosi, 2016).

Peritonitis adalah radang peritoneum yang disebabkan oleh iritasi kimia atau invasi bakteri (Dorland, 2002). Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata/ difusa (Skipworth &

Fearon, 2005). Peritonitis dikelompokkan menjadi peritonitis primer, sekunder, dan tersier. Peritonitis sekunder adalah peritonitis yang yang terjadi akibat infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal yang merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh berbagai penyebab yaitu infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus urinarius, benda asing seperti yang berasal dari perforasi apendiks, asam lambung dari perforasi lambung, cairan empedu dari perforasi kandung empedu serta laserasi hepar akibat trauma (Japanesa et al., 2016).

Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 jumlah kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus. Penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Hamburg-Altona Jerman, ditemukan penyebab tersering peritonitis adalah perforasi sebesar 73% dan 23% sisanya disebabkan pasca operasi. Terdapat 897 pasien peritonitis dari 11000 pasien yang ada. Di Inggris, angka kejadian

(17)

peritonitis selama tahun 2002-2003 sebesar 0,0036% yaitu sebanyak 4562 orang (Japanesa et al., 2016).

Penelitian di Kota Bengal Barat India, terhadap 545 kasus peritonitis sekunder ditemukan bahwa apendisitis dengan komplikasi perforasi merupakan penyebab kedua tersering dari peritonitis sekunder yaiitu sebesar 18,53% dari total kasus peritonitis (Ghosh et al., 2016). Pada penelitian yang dilakukan pada 305 pasien yang menderita peritonitis difusa di dua rumah sakit umum di Provinsi Barat Daya negara Kamerun, ditemukan apendisitis akut dengan komplikasi peforasi merupakan penyebab kedua tertinggi peritonitis difusa yaitu sebesar 17,4% (53 pasien) dengan kelompok usia adalah 21-30 tahun. Ditemukan jugaangka kematian akibat apendisitis akut dengan komplikasi perforasi yaitu sebesar 8,7%

dari seluruh pasien peritonitis difusa (Mefire, Fon, Ngowe, 2016).

Di Indonesia, ditemukan prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebesar 68,4% pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kejadian peritonitis pada perempuan yaitu sebesar 31,6%. Kelompok usia terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10-19 tahun sebesar 24,5% yang diikuti oleh usia 20-29 tahun sebesar 23,5 %. Didapati juga bahwa peritonitis akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi , dengan prevalensi 64,3% dari seluruh kasus peritonitis (Japanesa et al., 2016).

Pada penelitian yang dilakukan di RSUP Prof. R. D. Kandou Manado pada 605 pasien apendisitis , memperlihatkan bahwa terdapat 193 pasien (30%) apendisitis akut dengan komplikasi perforasi yang menyebabkan peritonitis (Thomas et al.,2016).

Berdasarkan literatur prevalensi peritonitis sekunder yang disebabkan oleh apendisitis perforata ditemukan cukup tinggi. Selain itu, dikarenakan belum adanya data mengenai prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “ Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2017”.

(18)

1.2. RUMUSAN MASALAH

Berapakah prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan?

1.3. TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan periode 2017.

1.3.2. Tujuan Khusus

 Mengetahui distribusi frekuensi peritonitis pada pasien apendisitis berdasarkan jenis kelamin dan usia.

1.4. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Rumah Sakit

Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan khususnya di RSUP Haji Adam Malik mengenai prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis.

2. Masyarakat

Sebagai bahan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan pembaca tentang peritonitis dan apendisitis.

3. Peneliti lain

Sebagai bahan acuan dan pedoman bagi peneliti lain untuk meneruskan penelitian sejenis.

4. Penulis

Sebagai pengalaman dan penambah pengetahuan bagi penulis.

(19)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 APENDISITIS

2.1.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Dorland, 2002).

Apendisitis adalah inflamasi akut dari apendiks vermiformis yang sering dikaitkan dengan obstruksi dan dapat merupakan komplikasi dari infeksi poli mikrobial (Sifri

& Madoff, 2015).

2.1.2 Anatomi Apendiks

Apendiks adalah organ midgut dan pertama kali terbentuk pada minggu ke-8 kehamilan sebagai sebuah kantong yang menonjol keluar dari caecum. Seiring bertambahnya usia kehamilan, apendiks bertambah panjang dan menyerupai tabung bersamaan dengan caecum berotasi kearah medial dan menetap di kuadran kanan bawah dari abdomen. Mukosa apendiks memiliki struktur yang sama dengan mukosa kolon seperti, mukosa apendiks dilapisi oleh epitel kolumnar, terdapat sel- sel neuroendokrin dan sel goblet yang menghasilkan mucin yang melapisi struktur tubularis dari apendiks. Pada submukosa apendiks dapat dijumpai jaringan limfoid, yang mengakibatkan timbulnya beberapa hipotesis mengenai apendiks mungkin memegang peranan dalam sistem imunitas. Sebagai tambahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa apendiks kemungkinan berfungsi sebagai lokasi penyimpanan bakteri “baik” saluran pencernaan dan membantu proses rekolonisasi serta memelihara flora normal kolon. Namun, belum ada konsensus yang menetapkan hal ini. Belum diketahui efek samping berat yang disebabkan karena pembuangan apendiks (Richmond, 2017).

Sebagai organ midgut, suplai darah apendiks berasal dari arteri mesenterika superior. Arteri ileocolica, yaitu salah satu cabang utama dari arteri mesenterika superior, bercabang menjadi arteri apendikal yang berjalan melewati

(20)

mesoapendiks. Mesoapendiks juga mengandung jaringan limfoid apendiks, yang bermuara menuju nodus limfatikus ileocecal, bersamaan dengan arteri mesenterika superior (Richmond, 2017).

Apendiks memiliki ukuran yang bervariasi (panjang 5-35cm) dengan panjang rata-rata 9cm pada orang dewasa. Dasar dari apendiks dapat ditentukan secara pasti dengan menentukan area titik temu dari taenia pada ujung caecum, selanjutnya peningkatan dasar apendiks untuk menentukan arah dan posisi ujung apendiks, yang bervariasi di berbagai tempat. Apendiks memiliki letak yang bervariasi pada setiap orang. Letak yang paling sering adalah retrocecal (tetapi masih di intraperitoneal) sekitar 60% dari populasi, pelvis sekitar 30% dan retroperitoneal sekitar 7% - 10% dari populasi. Agenesis apendiks, sama halnya seperti duplikasi dan triplikasi apendiks sudah pernah dilaporkan sebelumnya (Richmond, 2017).

Sumber: Gray’s Anatomy 40 th edition, Netter Interactive Atlas of Human Anatomy.

(21)

2.1.3 Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir tersebut kemudian dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum.

Adanya hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,adalah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfatik disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, Riwanto, Hamami., 2004).

2.1.4 Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis terjadi karena obstruksi pada lumen apendiks akibat adanya feses yang terperangkap atau adanya fekalit. Pernyataan ini sesuai dengan kejadian apendiks yang sering terjadi pada orang dengan diet rendah serat. Pada tahap awal apendisitis, mukosa dari apendiks mengalami inflamasi. Inflamasi kemudian meluas ke lapisan submukosa, muskularis dan serosa hingga peritoneum. Eksudat fibrinopurulen menyebar mengenai bagian dari peritoneum yang berdekatan seperti usus, atau dinding abdomen, menyebabkan terjadinya peritonitis lokalisata. Pada tahap ini, kelenjar mukosa apendiks yang mengalami nekrotik masuk kedalam lumen yang menyebabkan lumen semakin meregang dan dipenuhi nanah. Akhirnya ujung dari arteri yang menyuplai darah ke apendiks mengalami trombosis, akibatnya terjadi nekrosis atau gangrene pada apendiks. Hal ini menyebabkan terjadinya perforasi apendiks, yang kemudian isi dari apendiks akan mengkontaminasi peritoneum. Apabila isi dari apendiks diselubungi oleh omentum atau usus halus, maka akan terbentuk abses lokal, jika tidak terselubung maka akan menghasilkan peritonitis generalisata (Quick et al., 2014).

(22)

2.1.5 Etiologi Apendisitis

Apendisitis akut dapat terjadi akibat infeksi bakteria,. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfatik, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris yang dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, Riwanto, Hamami., 2004).

2.16 Epidemiologi Apendisitis

Apendisitis adalah keadaan emergensi abdominal akut yang paling sering terjadi pada negara berkembang. Angka kejadian kasar apendisitis di Inggris pada semua kelompok usia adalah 11/10000 orang per tahun, dan angka kejadian ini tidak jauh berbeda di negara berkembang. Angka kejadian apendisitis 10 kali lebih rendah di negara-negara yang kurang berkembang di benua Afrika, namun belum dapat diketahui penyebabnya. Angka kejadian apendisitis terbanyak terjadi pada rentang usia antara 15-19 tahun dengan angka kejadian 48,1/10000 populasi per tahun dan angka ini menurun sekitar 5/10000 populasi per tahun hingga mencapai usia 45 tahun, kemudian angka ini akan menetap pada tahun-tahun kehidupan berikutnya. Laki-laki lebih berisko terkena apendisitis dibanding wanita dengan rasio 1,4 : 1. Risiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7%.(Sarosi, 2016).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum untuk dilakukannya operasi akut abdomen. Di negara berkembang, sekitar 1 dari 1000 orang menderita apendisitis akut setiap tahunnya. Di Amerika, kurang lebih 300.000 apendektomi

(23)

dilakukan setiap tahunnya. Kebanyakan tindakan operasi ini dilakukan karena kondisi gawat darurat dan mencegah kematian akibat komplikasi dari apendisitis seperti perforasi dan peritonitis. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka kematian dari apendisitis akan meningkat sebesar 3,5-10 kali lipat jika apendiks telah mengalami perforasi. Dipercaya bahwa apendiks dapat mengalami perforasi jika tindakan operasi pada apendisitis akut sederhana terlambat dilakukan (Nouri et al., 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nouri dkk di Shahid Behesti Medical Center di Iran pada tahun 2011-2015 terhadap 526 pasien yang di diagnosis apendisitis akut, ditemukan bahwa 60,2% merupakan apendisitis septik. Dari keseluruhan kasus, sekitar 24,3% adalah apendisitis perforasi dan 75,7% adalah apendisitis tanpa perforasi. Kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi sebesar 28,9% dan 12,3% pada pasien tanpa dan dengan apendektomi yang tertunda.

Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki (61,9%) sementara 31,8% adalah perempuan. Apendisitis perforata paling banyak terjadi pada rentang usia 15 sampai 34 tahun yaitu sebesar 33,8% sedangkan hanya 8% perforasi yang terjadi pada umur diatas 65 tahun dari seluruh kasus apendisitis perforata (Nouri et al., 2017).

2.1.7 Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis menurut International Classification of disease (ICD) 10 adalah sebagai berikut:

1. Apendisitis Akut

a. Apendisitis akut dengan abses peritoneal b. Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata

Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata (diffusa) setelah ruptur atau perforasi.

c. Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata

Apendisitis akut dengan peritonitis lokal dengan atau tanpa ruptur atau perforasi.

d. Apendisitis akut lainnya dan tidak dapat ditentukan.

(24)

Apendisitis akut tanpa disebutkan adanya peritonitis generalisata atau lokalisata.

2. Apendisitis lainnya

Apendisitis lainnya yaitu apendisitis kronik dan rekuren.

Apendisitis juga dapat diklasifikasikan menjadi apendisitis komplikata dan apendisitis non-komplikata. Pembagian ini berdasarkan ada atau tidaknya komplikasi seperti gangrene, perforasi atau abses disekitar apendiks (Petroianu &

Barroso, 2016).

2.1.8 Diagnosis Apendisitis

Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang cermat tetap menjadi landasan diagnosis apendisitis akut. Nyeri akut abdomen yang menjalar ke kuadran kanan bawah abdomen yang terjadi lebih dari beberapa jam, disertai adanya nyeri tekan pada titik Mc Burney, menjadi tanda yang paling kuat untuk memprediksi apendisitis akut (Sifri & Madoff, 2015). Dalam tampilan klasik apendisitis akut, pasien mengalami gejala yang samar-samar, adanya rasa tidak nyaman pada daerah epigastrium atau periumbilikal yang sulit untuk dilokalisasi, yang biasanya tidak parah dan sering dikaitkan dengan gangguan lambung. Diare dapat terjadi pada awal apendisitis, tetapi hal ini jarang terjadi. Dalam waktu 4 hingga 12 jam sejak timbulnya rasa sakit, kebanyakan pasien merasakan mual, anoreksia, muntah, atau beberapa kombinasi dari 3 gejala ini. Mual yang terjadi biasanya ringan sampai sedang, dan kebanyakan pasien hanya memiliki berberapa episode muntah. Apabila muntah adalah gejala utama, maka diagnosis apendisitis harus dipertimbangkan ulang. Demikian juga, jika muntah terjadi sebelum timbulnya nyeri maka diagnosis lain perlu dipikirkan. Banyak pasien mengalami demam ringan atau menggigil;

demam tinggi atau kekakuan yang signifikan jarang terjadi. Nyeri abdominal pasien biasanya meningkat dan pergeseran letak nyeri kearah kuadran kanan bawah terjadi dalam kurun waktu 12 sampai 24 jam, dan nyeri menjadi lebih mudah terlokalisasi.

Lokalisasi nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen adalah temuan yang penting dan terjadi pada lebih dari 80% pasien apendisitis (Sarosi, 2016).

(25)

Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien tampak merasa sakit. Takikardia jarang terjadi pada pasien apendisitis sederhana, tetapi dapat terjadi pada apendisitis kompleks. Sebagian besar pasien dengan apendisitis sederhana memiliki suhu dibawah 100,5°F ; sedangkan pasien dengan apendisitis perforata atau gangrenosa kebanyakan memiliki suhu diatas 100,5°F. Pasien dengan apendisitis , seperti pasien lain dengan peritonitis, cenderung berbaring diam daripada bergerak. Nyeri tekan dan kekakuan pada kuadran kanan bawah abdomen adalah tanda yang sering terjadi. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah yang terlokalisasi merupakan temuan yang penting saat ini, tetapi ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis. Terdapat berbagai cara untuk menentukan adanya peritonitis kuadran kanan bawah yang terlokalisasi, termasuk adanya tanda batuk (nyeri tekan yang terjadi saat pasien batuk), nyeri tekan saat dilakukan perkusi, dan adanya nyeri lepas (rebound tenderness). Meskipun semua tanda ini cukup sensitif, namun terdapat satu penelitian kecil yang menunjukan nyeri tekan lepas merupakan tanda yang paling akurat untuk memprediksi adanya peritonitis lokalisata pada pasien apendisitis (Sarosi, 2016).

Beberapa temuan tambahan yang dapat membantu menentukan diagnosis apendisitis yaitu:

1. Tanda Psoas atau tanda Obraztsova

Tanda psoas dapat dicari dengan dua cara. Cara pertama pasien dalam posisi terlentang (supine), pemeriksa memberikan tahanan pada paha kanan pasien dengan menggunakan tangan kiri pemeriksa kemudian pemeriksa mengangkat kaki kanan pasien dengan tangan kanan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa. Cara kedua pasien dibaringkan pada sisi kiri (left lateral decubitus position), kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Hasil positif jika pasien merasakan nyeri akibat maneuver ini. Nyeri dapat timbul akibat apendiks retroperitoneal yang mengalami inflamasi terletak dekat dengan otot iliopsoas , dan maneuver ini cenderung meregangkan otot iliopsoas sehingga meningkatkan intensitas nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen (Sarosi, 2016).

(26)

2. Tanda Obturator

Tanda obturator diperoleh dengan membaringkan pasien kemudian dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul Nyeri timbul akibat apendiks yang mengalami inflamasi terletak berdekatan dengan otot obturator internus yang meregang pada saat dilakukan maneuver ini (Sarosi, 2016).

3. Tanda Rovsing

Tanda rovsing positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadrann kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan (Sarosi, 2016).

4. Tanda Dunphy

Tanda dunphy positif jika timbul nyeri abdominal pada saat pasien batuk (Rentea & Peter, 2017).

5. Tanda Blumberg

Disebut juga dengan nyeri lepas. Dilakukan palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepas (Petroianu, 2012).

6. Nyeri Tekan Rektum

Nyeri tekan rektal dapat timbul ketika jari pemeriksa mencapai dinding rectum yang berdekatan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Sarosi, 2016).

Semua tanda ini penting saat ditemukan, namun ketiadaan tanda-tanda ini tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis (Sarosi, 2016).

(27)

Skor Alvarado juga digunakan sebagai alat untuk mediagnosis apendisitis yang dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Sistem skoring Alvarado

Sumber :Kaewlai, Lertlumsakulsub, Srichaeron, 2015.

Interpretasi tabel menurut Kaewlai dkk , 2015:

Skor 5-6 : possible appendicitis Skor 7-8 : probable appendicitis Skor 9-10 : very probable appendicitis

Total skor Alvarado >7 mengindikasikan adanya apendisitis akut dan skor <7 menandakan apendiks yang normal. Alvarado merekomendasikan tindakan operasi untuk semua pasien yang memilik skor ≥7 dan dilakukan observasi bagi pasien dengan skor 5 atau 6 (Inci et al., 2011).

Karakteristik Skor

Gejala Klinis

Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1

Anoreksia 1

Mual dan atau muntah 1

Tanda Klinis

Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen 2

Nyeri lepas 1

Demam (suhu >37,3°C) 1

Pemeriksaan Laboratoris

Leukositosis (hitung jumlah leukosit > 10.000) 2 Shift to the left (neutrofil>75%) 1

Total 10

(28)

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis 1. Pemeriksaan laboratorium

a. Urinalisis

Pada pasien wanita premenopause harus dijelaskan mengenai pentingnya tes kehamilan dengan menggunakan urin (kadar hormon β- human chorionic gonadotropin) untuk menyingkirkan kehamilan sebagai penyebab gejala yang dialami. Pemeriksaan urin juga dapat mengarahkan pada diagnosis alternatif lain seperti kolik renal atau infeksi saluran kemih.

Namun, karena apendiks sering terletak di dekat saluran kemih, sekitar 40% pasien dengan apendisitis akut akan didapatkan leukosit didalam urinnya (Baird et al., 2017).

b. Pemeriksaan darah

Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk apendisitis. Namun, jika didapati adanya peningkatan pada jumlah leukosit, kadar c-reactive protein, hitung jumlah granulosit,dan proporsi dari sel polimorfonuklear, maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih besar. Jika parameter ini normal, maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih kecil (Baird et al., 2017).

2. Pemeriksaan Radiologi a. Foto polos abdomen

Sekitar 95% pasien apendisitis menunjukkan hasil foto polos abdomen yang abnormal. Gambaran foto polos abdomen yang mengarah pada kasus apendisitis akut meliputi faecal loading pada caecum; fekalit pada apendiks; gas didalam apendiks; air-fluid level atau distensi ileum terminalis, caecum, atau colon ascendens (merupakan tanda parialisis ileum lokal); hilangnya bayangan caecum; mengaburnya bayangan otot psoas kanan; scoliosis vertebra lumbalis ke kanan; tampak densitas atau kekaburan di atas sendi sacroiliaca kanan; dan adanya udara atau cairan bebas di intraperitoneal (Petroianu, 2012). Pada apendisitis perforasi dapat

(29)

ditemukan tanda-tanda diatas dan tanda tambahan yang penting yaitu adanya gambaran small bowel obstruction (Sarosi, 2016).

b. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG mampu menampilkan tanda atau karakteristik dari apendisitis dengan baik. Pada pemeriksaan USG, diagnosis pasti apendisitis dapat ditegakkan jika terlihat penebalan dinding lebih dari 7 mm pada apendiks. Terdapat beberapa tanda lain yang dapat mendukung diagnosis apendisitis yaitu terlihat adanya shadowing appendicolith, inflamasi pada pericecal, atau adanya kumpulan cairan pericecal yang terlokalisasi (Sarosi, 2016).

c. Computed tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan bersaman dengan USG merupakan dua jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan dalam upaya menegakkan diagnosis apendisitis. Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat tanda primer dan tanda sekunder yang khas pada apendisitis. Tanda primer menunjukkan perubahan pada apendiks, sedangkan tanda sekunder menunjukan perubahan dari struktur organ disekitar apendiks akibat proses inflamasi. Tanda primer antara lain, terlihat adanya peningkatan diameter apendiks >6 mm, penebalan dinding apendiks >1 mm, peninggian dinding yang abnormal dan tidak menyeluruh, edema submukosa, dan adanya appendicoliths 20%-40% dari seluruh total kasus. Tanda sekunder antara lain, penebalan dinding caecum yang fokal, adanya perubahan pada densitas lemak periappendicular. Pada apendisitis perforasi dapat dilihat beberapa tanda meliputi, adanya extra-luminal gas, tampak adanya abses, phlegmon (peradangan yang meluas disertai terbentuknya eksudat purulent atau suppurative atau nanah), adanya extra-luminal appendicolith, atau adanya defek fokal pada dinding apendiks (Espejo et al., 2014).

(30)

d. Magnetic resonance imaging (MRI)

MRI biasanya digunakan pada pasien yang sedang hamil, karena tidak diperlukan agen kontras. MRI memberikan hasil dengan resolusi yang tinggi dan akurat dalam mendiagnosis apendisitis.Kriteria untuk diagnosis apendisitis dengan menggunakan MRI meliputi pembesaran apendiks (> 7 mm), penebalan apendiks (> 2 mm), dan adanya peradangan pada apendiks (Richmond, 2017).

2.1.10 Penatalaksanaan Apendisitis

Terapi utama apendisitis adalah operasi. Tindakan preoperatif meliputi resusitasi cairan dan pemberian antibiotik parenteral. Pada kasus apendisitis akut non komplikata, dengan pemberian antibiotik preoperatif biasanya dapat teratasi tanpa harus dilakukan operasi. Pada kasus apendisitis dengan rupture, gangrene, abses, atau peritonitis sekunder, harus digunakan antibiotik yang memiliki spektrum yang luas untuk flora kolon yang fakultatif dan anaerobik. Antibiotik yang digunakan adalah ticarcilin-clavulanic acid, piperacillin-tazobactam, ceftriaxone ditambah metronidazole, imipenem-cilastatin. Apendisitis akut, baik tanpa ruptur atau dengan perforasi dan peritonitis sekunder, memerlukan intervensi bedah dengan segera. Tidak ada konsensus yang jelas yang menyatakan pendekatan operatif mana yang lebih optimal baik itu open emergency appendectomy atau laparoscopic appendectomy. Namun laparoscopic appendectomy memiliki kelebihan yaitu apabila saat di lakukan laparoscopic appendectomy ditemukan apendiks normal, maka dapat dilakukan evaluasi diagnostik lebih lanjut (Sifri &

Madoff, 2015).

2.1.11 Prognosis Apendisitis

Selama dua dekade terakhir, hasil yang didapat setelah perawatan yang tepat untuk apendisitis akut telah meningkat secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang rendah. Namun komplikasi dan kematian meningkat secara signifikan pada orang tua dan wanita hamil. Angka kematian janin berkisar 0%-

(31)

1,5% pada kasus apendisitis sederhana dan 20%-35% pada kasus apendisitis perforasi, maka dibutuhkan terapi dini dan agresif untuk pasien hamil (Vasser &

Anaya, 2012). Angka kematian pada pasien apendisitis akut non-komplikata sebesar 0,09% dan angka terjadinya komplikasi yaitu sebesar 5,5%. Pada orang tua angka kematian akibat apendisitis akut non-komplikata adalah 0,2% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 6%. Morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien dengan apendisitis komplikata terutama yang dengan perforasi. Angka kematian pasien dengan apendisitis perforasi sebesar 1% sampai 4% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 12% sampai 25%. Pada pasien yang berusia lebih tua dari 70 tahun, yang memiliki apendisitis perforasi dan penyakit komorbid lainnya, memiliki angka kematian yang tinggi sebesar 32% (Sarosi, 2016).

2.1.12 Komplikasi Apendisitis

Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi, yang mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis. Pasien dengan apendisitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi akan terbebas masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya peritonitis difusa.

Abses akan terbentuk setelah perforasi jika apendiks yang mengalami perforasi dikelilingi oleh sisa rongga peritoneum karena lokasinya yang retroperitoneal atau dikelilingi oleh lilitan usus halus atau omentum. Komplikasi yang paling parah yang dapat terjadi pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah tromboflebitis sepsis dari vena porta yang juga dikenal sebagai pieloflebitis (Sarosi, 2016).

2.2 PERITONITIS

2.2.1 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptic pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen (Japanesa et al., 2016).

(32)

2.2.2 Anatomi Peritoneum

2.2.2.1 Anatomi Besar Peritoneum

Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi oleh selapis sel mesotelial, diperkirakan luas arenya sekitar 1,7 m2, hampir sama dengan luas total permukaan tubuh. Umumnya rongga peritoneal mengandung beberapa milliliter cairan peritoneal yang steril yang berperan sebagai pertahanan lokal terhadap bakteri, dan sebagai lubrikan.

Peritoneum dapat terbagi menjadi dua komponen yaitu peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi bagian anterior, lateral, dan posterior dinding abdominal; permukaan inferior diafragma; dan juga pelvis.

Sebagian besar permukaan dari organ intraperitoneal (lambung, jejunum, ileum, kolon transversum, hati, dan limpa) dilapisi oleh peritoneum visceral, dimana hanya bagian anterior dari organ retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, kolon desendens, pankreas, ginjal, dan kelenjar adrenal) yang dilapisi oleh peritoneum visceral.

Organ-organ intraperitoneal digantung oleh bagian peritoneum yang menebal atau ligamen abdominal. Menurut Meyer terdapat 9 ligamen dan 2 mesenterika yang memfiksasi organ-organ intraperitoneal. Sembilan ligamen tersebut antara lain ligamentum koronaria, gastrohepatika, hepatoduodenal, falciforme, gastrocolica,duodenocolica, gastrosplenica, splenorenalis, dan ligamentum phrenicocolica. Dua mesenterika tersebut yaitu mesenterica mesocolon transversus dan mesenterika bowel kecil. Struktur-struktur ligamen ini, yang terlihat pada saat laparotomi, begitu pula dengan CT-scan, membagi abdomen menjadi beberapa kompartmen yang saling berhubungan (Wyers & Matthews, 2016).

(33)

2.2.2.2 Anatomi Mikroskopik Peritoneum

Peritoneum berasal dari bahasa Yunani “peri” yang berarti sekitar dan “tonos”

yang berarti peregangan yang apabila digabungkan keduanya memiliki arti membentang di sekitar. Mesothelium berasal dari mesoderm. Sel-sel mesothelial berbentuk pipih, seperti sel skuamus dan memiliki diameter kira-kira 25 µm. Sel- sel mesothelial terletak diatas membran basal yang tipis dan stroma jaringan ikat.

Sel-sel mesothelial dilapisi oleh mikrovili dan kadang-kdang terdapat beberapa silia tambahan di permukaan luminal dan mereka tergabung dengan baik oleh intercellular junctional comp lexes yang terdiri atas tight junctions, adherens junctions, gap junctions, dan desmosome yang membentuk dan mempertahankan barrier yang semipermeable untuk cairan, zat-zat terlarut, dan partikel (Wyers &

Matthews, 2016).

2.2.2.3. Perdarahan dan Inervasi Peritoneum

Peritoneum visceral diperdarahi oleh pembuluh darah spalnknik, dan peritoneum parietal diperdarahi oleh pembuluh darah interkostal, subkostal, lumbar, dan iliaka. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom, sedangkan peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf somatik. Oleh karena itu, nyeri visceral bersifat sulit dilokalisir, menyebar, dan samar-samar. Nyeri viseral disebabkan oleh perenggangan, distensi, torsio, dan twisting. Peritoneum vesiral tidak menimbulkan nyeri pada saat terpotong ataupun terbakar. Saat serabut nyeri viseral dari struktur midgut distimulasi, timbul rasa tidak nyaman yang samar pada periumbilikalis yang disebabkan oleh serabut nyeri viseral melewati korda spinalis pada level yang sama dengan serabut somatik dermatom T10. Oleh karena itu, sensasi ini dialami sebagai rasa tidak nyaman dalam distribusi dermatomal. Begitu juga dengan rangsangan nyeri viseral dari struktur foregut menghasilkan rasa tidak nyaman pada daerah epigastrium (distribusi T8) , dan stimulasi viseral ada struktur hindgut menghasilkan rasa tidak nyaman pada daerah suprapubik (T12). Serabut nyeri parietal diaktivasi oleh beberapa stimulus seperti terpotong, terbakar, dan inflamasi. Nyeri parietal ini mudah untuk dilokalisir. Salah contoh yang baik

(34)

adalah apendisitis. Pada awal perjalanan penyakit pasien mengalami rasa tidak nyaman pada daerah periumbilikal yang disebabkan adanya distensi pada lumen apendiks, dan apabila inflamasi ini sudah melewati dinding apendiks dan melibatkan peritoneum parietal maka akan timbul nyeri terlokalisir pada kuadran kanan bawah abdomen (Wyers & Matthews, 2016).

Sumber: Gray’s Anatomy 40 th edition

2.2.3 Fisiologi Peritoneum

Sel-sel mesothelial memelihara homeostasis dari rongga peritoneum. Pada keadaan yang normal, sel-sel mesothelial mensekresikan banyak glikosaminoglikan, proteoglikan, dan fosfolipid dari permukaan lumennya yang berfungsi untuk memproteksi dan melubrikasi glikokalis. Sel-sel mesothelial mensintesis protein matriks di permukaan basal dan mempertahankan bentuk membran peritoneum. Peritoneum dapat beregenerasi setelah mengalami cedera

(35)

ataupun operasi. Pada kondisi inflamasi, sel mesothelial menginisiasi dan meregulasi respon inflamasi dengan mensintesis cytokines, chemokines,dan growth factor. Sel mesothelial peritoneum mampu melakukan fagositosis dan dapat berperan sebagai antigen-presenting cell. Pada kondisi sehat maupun inflamasi, sel mesotelial memfasiltasi transpor cairan, zat-zat terlarut, dan partikel melewati membran peritoneum.

Pergerakan cairan dan zat-zat terlarut diatur oleh konveksi dan difusi. Partikel- partikel diserap dari rongga peritoneal oleh dua rute anatomis yang berbeda.

Partikel yang berukuran lebih kecil dari 2 kd akan diabsorbsi melalui pori-pori pembuluh vena peritoneum dan diarahkan ke sirkulasi porta. Partikel dengan ukuran lebih besar dari 3 kd diserap melalui sirkulasi limfatik peritoneum, yang memasuki duktus torako limfatikus dan dari sana menuju ke sirkulasi sistemik. Rute terakhir penyerapan ini memainkan peranan penting dalam mengontrol infeksi abdominal karena memiliki kapasitas absorbs yang besar. Struktur anatomis dari saluran-saluran besar diantara rongga peritoneal dan pembuluh-pembuluh darah diafragma dan tekanan negatif dari toraks saat inspirasi menyebabkan mekanisme ini sangat efektif untuk menyingkirkan bakteri dan sel-sel. Permukaan yang besar dan semipermeable dari membran peritoneum dapat dimanfaatkan dari segi terapi pada dialisis peritoneal (Wyers & Matthews, 2016).

2.2.4 Patofisiologi Peritonitis

Peritonitis dapat disebabkan oleh berbagai penyebab baik yang infeksius maupun non-infeksius yang menyebabkan terjadinya peradangan pada peritoneum visceral dan parietal. Respon inflamasi awal dari peritoneum terhadap infeksi bakteri ditandai adanya vasodilatasi, edema pada jaringan, transudasi cairan, dan masuknya makrofag dan leukosit sebagai tanda inflamasi. Saluran limfatik yang terletak dibawah permukaan diafragma memfasilitasi pembersihan bakteri, endotoksin, dan partikel-partikel infeksius lainnya dari rongga peritoneum. Sistem drainase ini menyediakan mekanisme pertahanan tambahan yang penting untuk

(36)

respon imun seluler lokal. Gangguan proses ini oleh fibrin dan debris inflamasi dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan peritoneum dan dilusi immunoglobulin dan opsonin. Hal ini sangat relevan dengan patofisiologis peritonitis pada anak-anak dengan asites yang sudah ada sebelumnya, dimana dijumpai konsentrasi immunoreaktif ini lebih rendah daripada yang terlihat pada anak yang sehat.

2.2.5 Etiologi Peritonitis

Peritonitis primer pada anak, kini sudah jarang ditemukan, disebabkan oleh infeksi bakteri Escherichia coli. Peritonitis primer yang terjadi pada perempuan diakibatkan oleh mikroorganisme yang dipercaya berasal dari saluran genital.

Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh monomikrobial dengan Streptococcus pneumoniae sebagai penyebab tersering dan biasanya tidak memerlukan tindakan operatif (Cavallaro et al., 2008; Rangel et al., 2012).

Peritonitis sekunder umumnya disebabkan oleh bocornya mikroorganisme yang berasal dari organ gastrointestinal atau genitourinaria ke dalam rongga peritoneal sebagai hasil dari hilangnya intergritas barier mukosa. Penyebab peritonitis sekunder antara lain apendisitis, divertikultis, kolesistitis, luka tusuk pada organ bowel, dan perforasi lambung atau ulkus duodenum (Dani et al., 2015). Peritonitis sekunder cenderung disebabkan oleh infeksi polimikrobial, dan jenis bakteri yang menginfeksi tergantung pada lokasi dari perforasi. Bakteri gram negatif aerob maupun fakultatif, seperti E.coli, Klebsiella, Pseudomonas spp., dan Candida spp., sering menginfeksi bila perforasi terjadi pada saluran gastrointestinal bagian proksimal. Bacteriodes merupakan jenis bakteri yang sering menginfeksi pada kolon yang mengalami perforasi (Rangel et al., 2012).

Peritonitis tersier terjadi akibat infeksi intaabdominal yang menetap atau berulang setelah dilakukannya pengobatan yang adekuat terhadap peritonitis primer atau sekunder (kurangnya respon terhadap operasi dan terapi antibiotik). Organisme yang paling sering menyebabkan infeksi peritonitis tersier adalah Enterococcus, Candida, Staphylococcus epidermidis, dan Enterobacter (Cavallaro et al., 2008).

(37)

2.2.6 Epidemiologi Peritonitis

Menurut survei World Health Organization (WHO) pada tahun 2005 jumlah kasus peritonitis didunia adalah 5,9 juta kasus (Japanesa et al., 2016). Peritonitis primer biasanya terjadi pada pasien sirosis dan asites. Diperkirakan sekitar 10%- 30% pasien sirosis dan asites mengalami peritonitis primer (Levison,Bush,2015).Penelitian di Kota Bengal Barat India, terhadap 545 kasus peritonitis sekunder ditemukan penyebab peritonitis sekunder terbanyak adalah perforasi gastroduodenal sebesar 48,44% yang diikuti oleh perforasi apendiks sebesar 18,53% dan perforasi traumatik sebesar 13,57% (Ghosh, et al.,2016). Di Indonesia, prevalensi peritonitis di RSUP Dr. M. Djamil Padang sebesar 68,4%

pada laki-laki dan angka tersebut lebih tinggi dibandingkan angka kejadian peritonitis pada perempuan sebesar 31,6%. Kelompok usia terbanyak yang mengalami peritonitis adalah 10-19 tahun sebesar 24,5%. Peritonitis sekunder umum akibat perforasi apendiks merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi yaitu sebesar 53,1% (Japanesa et al., 2016).

2.2.7 Klasifikasi Peritonitis

Peritonitis dapat diklasifikasikan menjadi peritonitis primer, peritonitis sekunder dan peritonitis tersier (Japanesa et al., 2016).

1. Peritonitis primer

Peritonitis primer, sering juga disebut sebagai spontaneous bacterial peritonitis, kemungkinan tidak memiliki penyebab khusus tetapi digambarkan sebagai kelompok penyakit yang memilikin penyebab berbeda-beda tetapi merupakan infeksi pada rongga peritoneal tanpa ada sumber yang jelas(Levison & Bush,2015).Peritonitis primer kebanyakan terjadi pada pasien sirosis dan asites. (Wyers & Matthews, 2016).

(38)

2. Peritonitis sekunder

Peritonitis sekunder, yang juga disebut sebagai surgical peritonitis, merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi. Peritonitis sekunder disebabkan oleh infeksi pada peritoneum yang berasal dari traktus gastrointestinal (Japanesa et al., 2016). Peritonitis sekunder terjadi akibat adanya proses inflamasi pada rongga peritoneal yang bias disebabkan oleh inflamasi, perforasi, ataupun gangrene dari struktur intraabdominal dan retroperitoneal. Perforasi akibat ulkus peptikum, apendisitis, diverticulitis, kolesistitis akut, pankreatitis dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa penyebab tersering dari peritonitis sekunder. Penyebab non-bakterial lainnya termasuk bocornya darah ke dalam rongga peritoneal akibat robekan pada kehamilan di tuba fallopi, kista ovarian, atau aneurisma (Wyers &

Matthews, 2016).

3. Peritonitis tersier

Peritonitis tersier telah dikonseptualisakan sebagai tahap lanjutan dari peritonitis, ketika gejala klinis peritonitis dan tanda-tanda sistemik sepsis menetap setelah mendapat pengobatan untuk peritonitis primer atau sekunder (Levison & Bush, 2015).Peritonitis tersier disebabkan iritan langsung yang sering terjadi pada pasien immunocompromised dan orang-orang dengan kondisi komorbid (Japanesa et al., 2016).

Berdasarkan luas infeksinya peritonitis dapat dibagi menjadi peritonitis lokalisata dan peritonitis generalisata (Skipworth & Fearon, 2005). Peritonitis sekunder generalisata adalah salah satu kegawatdaruratan bedah yang paling umum (Doklestitc et al.,2014).

2.2.8 Diagnosis Peritonitis

Diagnosis peritonitis adalah diagnosis klinis dimana diagnosisnya didasarkan pada anamnesis dan pemeriksaan fisik. Gejala utama dari seluruh kasus peritonitis adalah nyeri abdomen. Pasien sering mengeluhkan anoreksia, mual, muntah,

(39)

meriang, menggigil, rasa haus, jarang berkemih, sulit untuk buang air besar dan flatus sertanya adanya distensi abdomen (Pinto & Romano., 2013; Levison & Bush, 2015).

Pada pemeriksaan fisik, pasien dengan peritonitis biasanya memilih posisi terlentang di tempat tidur dengan lutut di fleksikan dan bernafas dengan otot intercostal secara cepat dan sempit karena gerakan apapun dapat meningkatkan intensitas nyeri abdominal. Suhu tubuh bisa mencapai 42°C. Takikardi dan melemahnya denyut nadi mengindikasikan keadaan hipovolemik yang umum terjadi pada kebanyakan pasien. Tekanan darah biasanya normal pada fase awal penyakit. Semakin parahnya peritonitis, tekanan darah semakin menurun hingga mencapai level syok (Pinto & Romano, 2013; Levison & Bush, 2015).

Nyeri tekan baik baik superfisial maupun nyeri tekan dalam adalah tanda yang paling khas pada peritonitis. Nyeri ini biasanya terasa paling sakit pada daerah organ penyebabnya.Kekakuan pada otot dinding abdomen disebabkan oleh reflex spasme otot dan proses sadar tubuh untuk mengurangi nyeri. Suara hipersonor yang disebabkan distensi usus akibat adanya udara sering terdengar pada pemeriksaan perkusi.Pneumoperitoneum akibat rupturnya organ berongga bisa menyebabkan penurunan suara beda pada hati. Bising usus melemah dan akhirnya menghilang.

Pada pemeriksaan rektal dan vaginal dapat dijumpai nyeri tekan dan adanya abses yang mengindikasikan penyebab utamanya adalah organ-organ pada pelvis wanita (Pinto & Romano, 2013; Levison & Bush, 2015).

2.2.9 Pemeriksaan Penunjang Peritonitis

1. Pemeriksaan laboratorium

Pasien mengalami peningkatan jumlah leukosit hingga lebih dari 11.000 sel/ml. Keadaan leukopenia mengindikasikan adanya sepsis generalisata dan biasanya memiliki prognosis yang buruk. Analisis darah biasanya normal tetapi pada kasus yang berat dapat ditemukan peningkatan kadar blood urea nitrogen (BUN) dan hipernatremia yang mengindikasikan keadaan dehidrasi berat. Selain itu dapat juga ditemukan asidosis metabolik. Pemeriksaan

(40)

urinalisis harus dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi saluran kemih, pielonefritis, dan nefrolitiasis (Pinto & Romano, 2013).

2. Pemeriksaan Radiologis

Wyers dan Matthews (2016) memaparkan jenis-jenis pemeriksaan radiologis untuk peritonitis, yaitu :

a. Foto polos toraks

Dapat ditemukan udara bebas pada foto toraks pada posisi tegak maupun foto abdomen pada posisi decubitus, tetapi adanya pneumoperitoneum pada pemeriksaan rediologis memiliki tingkat sensitivitas yang rendah dalam mengindikasikan adanya perforasi usus.

Tidak ditemukannya udara bebas tidak seharusnya menunda dilakukannya tindakan operasi (Wyers & Matthews, 2016).

b. Ultrasonography (USG)

Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran empedu, dan adanya penumpukan cairan (Wyers & Matthews, 2016).

c. Computed tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan digunakan untuk melihat tempat pasti terjadinya perforasi. Pemeriksaan CT-Scan dapat mendeteksi adanya lesi diluar dari tempat yang dicurigai berdasarkan gejala klinis dan berfungsi sebagai pedoman untuk tatalaksana percutaneous drainage cairan peritoneal atau abses (Levison & Bush,2015).

d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)

DPL dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam rongga peritoneal melalui kateter. Jika cairan yang keluar mengandung leukosit lebih dari 500 sel/ml, kadar enzim amylase atau bilirubin meningkat dari normal atau ditemukannya bakteri pada pewarnaan Gram, maka

(41)

kemungkinan diagnosis peritonitis sekunder sebesar 90% (Pinto &

Romano, 2013).

e. Laparoskopi

Pemeriksaan laparoskopi sangatlah akurat dalam menentukan diagnosis peritonitis sekunder dan banyak penyakit penyebabnya yang dapat ditangani dengan laparoskopi sehingga tidak perlu dilakukan laparotomi (Pinto & Romano, 2013).

2.2.10 Penatalaksanaan Peritonitis 1. Terapi antibiotik

Terapi antibiotik perlu diberikan sebelum, sesaat dan sesudah terapi pembedahan. Jenis bakteri yang menyebabkan peritonitis sekunder tergantung pada flora normal dari organ mengalami perforasi atau ruptur. Berbagai jenis antibiotik dianjurkan dapat digunakan tunggal maupun kombinasi : sefalosporin generasi kedua, sefalosporin generasi ketiga, betalaktam dengan spektrum luas, fluorokuinolon dengan metronidazol, serta aminoglikosida dengan klindamisin atau metronidazol (Wyers & Matthews, 2016).

2. Bedah

Tatalaksana bedah sebaiknya dilakukan segera setelah pasien distabilisasi, diresusitasi, dan diberikan antibiotik. Tatalaksana bedah digunakan untuk membuang organ sumber infeksi, memperbaiki lesi perforasi, bowel resection serta memperbaiki—jika memungkinkan—pecahnya anastomosis, peritoneal lavage, dan lain-lain. Laparatomi menjadi gold standard untuk diagnosis pasti dan menjadi pedoman utama dalam tatalaksana bedah (Cavallaro et al.,2008;

Wyers & Matthews, 2016)

(42)

2.2.11 Prognosis Peritonitis

Kemampuan pasien peritonitis sekunder untuk bertahan hidup tergantung pada banyak faktor meliputi, usia, status gizi, kadar albumin, kondisi komorbid atau kondisi lain yang menyertai, adanya keganasan, lama waktu terkontaminasinya peritoneum, kapan dimulainya pengobatan, keberadaan benda asing , dan kemampuan tubuh untuk mengontrol sumber infeksi, dan jenis mikroorganisme yang terlibat. Prognosis memburuk jika ditemukan banyak mikroorganisme pada eksudat peritoneum. Angka kematian akan meningkat jika sumber kontaminasinya berasal dari bagian yang lebih distal gastrointestinal (Pinto & Romano, 2013).

2.2.12 Komplikasi Peritonitis

Peritonitis memiliki banyak komplikasi yang mengancam nyawa, misalnya trombosis vena mesenterika, respiratory distress syndrome, kegagalan multi-organ hingga kematian. Komplikasi yang berat lebih sering dihubungkan pada peritonitis sekunder (Rangel et al., 2012).

(43)

2.3 HUBUNGAN APENDISITIS DENGAN PERITONITIS

Berdasarkan penjelasan mengenai apendisitis dan peritonitis diatas, didapati bahwa peritonitis sekunder merupakan komplikasi dari apendisitis yang telah mengalami perforasi sebelumnya. Apendisitis dapat menjadi perforasi jika tidak ditangani segera. Peritonitis yang terjadi akibat apendisitis dapat menyebabkan banyak komplikasi yang mengancam nyawa apabila tidak segera ditangani.

Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah trombosis vena mesenterika, tromboflebitis sepsis vena porta atau disebut juga pieloflebitis, respiratory distress syndrome, kegagalan multi organ dan dapat berakhir pada kematian.

(44)

2.4 KERANGKA TEORI

Apendisitis

Komplikasi Klasifikasi

Apendisitis lainnya

Apendisitis akut

Apendisitis akut dengan abses

peritoneal Apendisitis akut lainnya dan tidak

dapat ditentukan Apendisitis akut dengan peritonitis

lokalisata Apendisitis akut dengan peritonitis

generalisata

Pieloflebitis

Perforasi Abses

Peritonitis Sekunder

Peritonitis Klasifikasi

Peritonitis Tersier Peritonitis

Primer

: yang diteliti

: yang tidak diteliti

(45)

2.5 KERANGKA KONSEP Apendisitis

AkApendi

Peritonitis Jenis kelamin Usia

Gejala klinis Lama rawatan Sepsis

Kondisi keluar

(46)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 JENIS PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan desain cross sectional. Data yang akan digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari rekam medis.Pada penelitian ini ingin diketahui prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik periode 2015-2017.

3.2 LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian ini telah dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik.

Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan rumah sakit pusat dan rumah sakit rujukan di Provinsi Sumatra Utara. Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli 2018 sampai Desember 2018.

3.3 POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN 3.3.1 POPULASI PENELITIAN

Populasi penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan pada tahun 2017 dan memiliki karakteristik sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut :

a. Kriteria Inklusi

Seluruh pasien yang didiagnosis apendisitis di RSUP Haji Adam Malik dari bulan Januari 2017 sampai Desember 2017.

b. Kriteria eksklusi

Data rekam medik yang tidak lengkap.

(47)

3.3.2 SAMPEL PENELITIAN

Sampel yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik Medan yang ada pada tahun 2017. Sampel pada penelitian ini diambil secara non random sampling dengan menggunakan teknik total sampling, dimana seluruh populasi penelitian diikutsertakan menjadi sampel penelitian. Selain itu, sampel yang akan diambil harus memenuhi kriteria inklusi serta tidak termasuk dalam kriteria eksklusi selama penelitian berlangsung.

3.4 METODE PENGUMPULAN DATA

Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa rekam medis pasien apendisitis di RSUP Haji Adam Malik tahun 2017. Data-data dari rekam medis tersebut dicatat dan dikelompokkan berdasarkan variabel yang telah ditentukan.

3.5 METODE PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA

Data yang telah dikumpulkan dan dikelompokkan berdasarkan variabel selanjutnya akan diolah dan dianalisis menggunakan program SPSS(Statistic Package for Social Science. Selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel dan dideskripsikan.

Prevalensi = Jumlah peritonitis pada pasien apendisitis X 100%

Jumlah pasien apendistis

(48)

3.6 DEFINISI OPERASIONAL

Tabel 3.1 Definisi operasional.

Variabel Definisi Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala Ukur

Apendisitis Penyakit apendisitis yang diderita oleh pasien berdasarkan rekam medis dan telah dikonfirmasi melalui

pemeriksaaan penunjang dan diagnosis ditegakkan oleh dokter(periode Januari 2017- Desember 2017)

Observasional Rekam Medis

Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata, Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata, Apendisitis akut tidak terspesifikasi, Apendisitis lain

Nominal

Peritonitis Peritonitis yang diderita oleh pasien apendisitis

berdasarkan rekam medis dan

ditegakkan melalui hasil pemeriksaan penunjang dan diagnosis ditegakkan oleh dokter (periode Januari 2017- Desember 2017)

Observasional Rekam Medis

Peritonitis generalisata, Peritonitis lokalisata

Nominal

Jenis Kelamin

Perbedaan biologis dan fisiologis yang dapat membedakan laki-laki dengan perempuan

Observasional Rekam Medis

Laki-laki, Perempuan

Nominal

Usia Lamanya pasien hidup di dunia sejak dilahirkan dan dinyatakan dalam tahun

Observasional Rekam Medis

0-9 tahun, 10-19 tahun, 20-29 tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun

Ordinal

Referensi

Dokumen terkait

Profil Penyebab Peritonitis pada Pasien dengan Perforasi Lambung di RSUP Haji Adam Malik Medan pada Tahun 2010-2012.. Yang

Teknik pengambian sampel pada penelitian ini adalah total sampling yaitu dengan melihat rekam medis pasien anak dengan penyakit diare akut di RSUP Haji Adam Malik

pengaruh diet rendah serat dalam kejadian apendisitis pada anak sehingga. dapat menurunkan angka mortilitas

Latar Belakang: Apendisitis adalah kejadian tersering pada kasus akut abdomen yang paling banyak dijumpai pada anak-anak dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan

Apendisitis sederhana pada dewasa bisa berhasil diobati dengan antibiotik, tetapi angka kejadian peritonitis dalam 30 hari lebih tinggi daripada pasien yang dilakukan

Prevalensi Tuberkulosis pada pasien Diabetes Melitus di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2016 adalah 4,48%, dimana terdapat 149 pasien yang mengalami TB dari 3322 pasien

dengan pasien laki-laki yaitu 26 (17,8%) orang yang tidak mempunyai hipertensi.. Tabel 6.6 menunjukkan data distribusi frekuensi sampel sindroma

Dari 70 sampel ini, diperoleh prevalensi dan faktor resiko penyakit ginjal kronik adalah hipertensi sebanyak 21 orang (30%) dan ini merupakan penyebab yang