• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Rumah Sakit

Sebagai bahan informasi bagi petugas kesehatan khususnya di RSUP Haji Adam Malik mengenai prevalensi peritonitis pada pasien apendisitis.

2. Masyarakat

Sebagai bahan untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan pembaca tentang peritonitis dan apendisitis.

3. Peneliti lain

Sebagai bahan acuan dan pedoman bagi peneliti lain untuk meneruskan penelitian sejenis.

4. Penulis

Sebagai pengalaman dan penambah pengetahuan bagi penulis.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 APENDISITIS

2.1.1 Definisi Apendisitis

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis (Dorland, 2002).

Apendisitis adalah inflamasi akut dari apendiks vermiformis yang sering dikaitkan dengan obstruksi dan dapat merupakan komplikasi dari infeksi poli mikrobial (Sifri

& Madoff, 2015).

2.1.2 Anatomi Apendiks

Apendiks adalah organ midgut dan pertama kali terbentuk pada minggu ke-8 kehamilan sebagai sebuah kantong yang menonjol keluar dari caecum. Seiring bertambahnya usia kehamilan, apendiks bertambah panjang dan menyerupai tabung bersamaan dengan caecum berotasi kearah medial dan menetap di kuadran kanan bawah dari abdomen. Mukosa apendiks memiliki struktur yang sama dengan mukosa kolon seperti, mukosa apendiks dilapisi oleh epitel kolumnar, terdapat sel-sel neuroendokrin dan sel-sel goblet yang menghasilkan mucin yang melapisi struktur tubularis dari apendiks. Pada submukosa apendiks dapat dijumpai jaringan limfoid, yang mengakibatkan timbulnya beberapa hipotesis mengenai apendiks mungkin memegang peranan dalam sistem imunitas. Sebagai tambahan, hasil penelitian menunjukkan bahwa apendiks kemungkinan berfungsi sebagai lokasi penyimpanan bakteri “baik” saluran pencernaan dan membantu proses rekolonisasi serta memelihara flora normal kolon. Namun, belum ada konsensus yang menetapkan hal ini. Belum diketahui efek samping berat yang disebabkan karena pembuangan apendiks (Richmond, 2017).

Sebagai organ midgut, suplai darah apendiks berasal dari arteri mesenterika superior. Arteri ileocolica, yaitu salah satu cabang utama dari arteri mesenterika superior, bercabang menjadi arteri apendikal yang berjalan melewati

mesoapendiks. Mesoapendiks juga mengandung jaringan limfoid apendiks, yang bermuara menuju nodus limfatikus ileocecal, bersamaan dengan arteri mesenterika superior (Richmond, 2017).

Apendiks memiliki ukuran yang bervariasi (panjang 5-35cm) dengan panjang rata-rata 9cm pada orang dewasa. Dasar dari apendiks dapat ditentukan secara pasti dengan menentukan area titik temu dari taenia pada ujung caecum, selanjutnya peningkatan dasar apendiks untuk menentukan arah dan posisi ujung apendiks, yang bervariasi di berbagai tempat. Apendiks memiliki letak yang bervariasi pada setiap orang. Letak yang paling sering adalah retrocecal (tetapi masih di intraperitoneal) sekitar 60% dari populasi, pelvis sekitar 30% dan retroperitoneal sekitar 7% - 10% dari populasi. Agenesis apendiks, sama halnya seperti duplikasi dan triplikasi apendiks sudah pernah dilaporkan sebelumnya (Richmond, 2017).

Sumber: Gray’s Anatomy 40 th edition, Netter Interactive Atlas of Human Anatomy.

2.1.3 Fisiologi Apendiks

Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml per hari. Lendir tersebut kemudian dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke dalam sekum.

Adanya hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan pada patogenesis apendisitis. Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue) yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks,adalah IgA. Immunoglobulin tersebut sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun, pengangkatan apendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jumlah jaringan limfatik disini kecil sekali jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan diseluruh tubuh (Pieter, Riwanto, Hamami., 2004).

2.1.4 Patofisiologi Apendisitis

Apendisitis terjadi karena obstruksi pada lumen apendiks akibat adanya feses yang terperangkap atau adanya fekalit. Pernyataan ini sesuai dengan kejadian apendiks yang sering terjadi pada orang dengan diet rendah serat. Pada tahap awal apendisitis, mukosa dari apendiks mengalami inflamasi. Inflamasi kemudian meluas ke lapisan submukosa, muskularis dan serosa hingga peritoneum. Eksudat fibrinopurulen menyebar mengenai bagian dari peritoneum yang berdekatan seperti usus, atau dinding abdomen, menyebabkan terjadinya peritonitis lokalisata. Pada tahap ini, kelenjar mukosa apendiks yang mengalami nekrotik masuk kedalam lumen yang menyebabkan lumen semakin meregang dan dipenuhi nanah. Akhirnya ujung dari arteri yang menyuplai darah ke apendiks mengalami trombosis, akibatnya terjadi nekrosis atau gangrene pada apendiks. Hal ini menyebabkan terjadinya perforasi apendiks, yang kemudian isi dari apendiks akan mengkontaminasi peritoneum. Apabila isi dari apendiks diselubungi oleh omentum atau usus halus, maka akan terbentuk abses lokal, jika tidak terselubung maka akan menghasilkan peritonitis generalisata (Quick et al., 2014).

2.1.5 Etiologi Apendisitis

Apendisitis akut dapat terjadi akibat infeksi bakteria,. Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfatik, fekalit, tumor apendiks, cacing askaris yang dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis ialah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E.histolytica. Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis.

Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa.

Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Pieter, Riwanto, Hamami., 2004).

2.16 Epidemiologi Apendisitis

Apendisitis adalah keadaan emergensi abdominal akut yang paling sering terjadi pada negara berkembang. Angka kejadian kasar apendisitis di Inggris pada semua kelompok usia adalah 11/10000 orang per tahun, dan angka kejadian ini tidak jauh berbeda di negara berkembang. Angka kejadian apendisitis 10 kali lebih rendah di negara-negara yang kurang berkembang di benua Afrika, namun belum dapat diketahui penyebabnya. Angka kejadian apendisitis terbanyak terjadi pada rentang usia antara 15-19 tahun dengan angka kejadian 48,1/10000 populasi per tahun dan angka ini menurun sekitar 5/10000 populasi per tahun hingga mencapai usia 45 tahun, kemudian angka ini akan menetap pada tahun-tahun kehidupan berikutnya. Laki-laki lebih berisko terkena apendisitis dibanding wanita dengan rasio 1,4 : 1. Risiko terjadi angka kekambuhan pada laki-laki 8,6% dan perempuan 6,7%.(Sarosi, 2016).

Apendisitis akut adalah penyebab paling umum untuk dilakukannya operasi akut abdomen. Di negara berkembang, sekitar 1 dari 1000 orang menderita apendisitis akut setiap tahunnya. Di Amerika, kurang lebih 300.000 apendektomi

dilakukan setiap tahunnya. Kebanyakan tindakan operasi ini dilakukan karena kondisi gawat darurat dan mencegah kematian akibat komplikasi dari apendisitis seperti perforasi dan peritonitis. Penelitian telah menunjukkan bahwa angka kematian dari apendisitis akan meningkat sebesar 3,5-10 kali lipat jika apendiks telah mengalami perforasi. Dipercaya bahwa apendiks dapat mengalami perforasi jika tindakan operasi pada apendisitis akut sederhana terlambat dilakukan (Nouri et al., 2017).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Nouri dkk di Shahid Behesti Medical Center di Iran pada tahun 2011-2015 terhadap 526 pasien yang di diagnosis apendisitis akut, ditemukan bahwa 60,2% merupakan apendisitis septik. Dari keseluruhan kasus, sekitar 24,3% adalah apendisitis perforasi dan 75,7% adalah apendisitis tanpa perforasi. Kemungkinan terjadinya apendisitis perforasi sebesar 28,9% dan 12,3% pada pasien tanpa dan dengan apendektomi yang tertunda.

Mayoritas pasien berjenis kelamin laki-laki (61,9%) sementara 31,8% adalah perempuan. Apendisitis perforata paling banyak terjadi pada rentang usia 15 sampai 34 tahun yaitu sebesar 33,8% sedangkan hanya 8% perforasi yang terjadi pada umur diatas 65 tahun dari seluruh kasus apendisitis perforata (Nouri et al., 2017).

2.1.7 Klasifikasi Apendisitis

Klasifikasi apendisitis menurut International Classification of disease (ICD) 10 adalah sebagai berikut:

1. Apendisitis Akut

a. Apendisitis akut dengan abses peritoneal b. Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata

Apendisitis akut dengan peritonitis generalisata (diffusa) setelah ruptur atau perforasi.

c. Apendisitis akut dengan peritonitis lokalisata

Apendisitis akut dengan peritonitis lokal dengan atau tanpa ruptur atau perforasi.

d. Apendisitis akut lainnya dan tidak dapat ditentukan.

Apendisitis akut tanpa disebutkan adanya peritonitis generalisata atau lokalisata.

2. Apendisitis lainnya

Apendisitis lainnya yaitu apendisitis kronik dan rekuren.

Apendisitis juga dapat diklasifikasikan menjadi apendisitis komplikata dan apendisitis non-komplikata. Pembagian ini berdasarkan ada atau tidaknya komplikasi seperti gangrene, perforasi atau abses disekitar apendiks (Petroianu &

Barroso, 2016).

2.1.8 Diagnosis Apendisitis

Anamnesis yang lengkap dan pemeriksaan fisik yang cermat tetap menjadi landasan diagnosis apendisitis akut. Nyeri akut abdomen yang menjalar ke kuadran kanan bawah abdomen yang terjadi lebih dari beberapa jam, disertai adanya nyeri tekan pada titik Mc Burney, menjadi tanda yang paling kuat untuk memprediksi apendisitis akut (Sifri & Madoff, 2015). Dalam tampilan klasik apendisitis akut, pasien mengalami gejala yang samar-samar, adanya rasa tidak nyaman pada daerah epigastrium atau periumbilikal yang sulit untuk dilokalisasi, yang biasanya tidak parah dan sering dikaitkan dengan gangguan lambung. Diare dapat terjadi pada awal apendisitis, tetapi hal ini jarang terjadi. Dalam waktu 4 hingga 12 jam sejak timbulnya rasa sakit, kebanyakan pasien merasakan mual, anoreksia, muntah, atau beberapa kombinasi dari 3 gejala ini. Mual yang terjadi biasanya ringan sampai sedang, dan kebanyakan pasien hanya memiliki berberapa episode muntah. Apabila muntah adalah gejala utama, maka diagnosis apendisitis harus dipertimbangkan ulang. Demikian juga, jika muntah terjadi sebelum timbulnya nyeri maka diagnosis lain perlu dipikirkan. Banyak pasien mengalami demam ringan atau menggigil;

demam tinggi atau kekakuan yang signifikan jarang terjadi. Nyeri abdominal pasien biasanya meningkat dan pergeseran letak nyeri kearah kuadran kanan bawah terjadi dalam kurun waktu 12 sampai 24 jam, dan nyeri menjadi lebih mudah terlokalisasi.

Lokalisasi nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen adalah temuan yang penting dan terjadi pada lebih dari 80% pasien apendisitis (Sarosi, 2016).

Pada pemeriksaan fisik, sebagian besar pasien tampak merasa sakit. Takikardia jarang terjadi pada pasien apendisitis sederhana, tetapi dapat terjadi pada apendisitis kompleks. Sebagian besar pasien dengan apendisitis sederhana memiliki suhu dibawah 100,5°F ; sedangkan pasien dengan apendisitis perforata atau gangrenosa kebanyakan memiliki suhu diatas 100,5°F. Pasien dengan apendisitis , seperti pasien lain dengan peritonitis, cenderung berbaring diam daripada bergerak. Nyeri tekan dan kekakuan pada kuadran kanan bawah abdomen adalah tanda yang sering terjadi. Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah yang terlokalisasi merupakan temuan yang penting saat ini, tetapi ketiadaannya tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis. Terdapat berbagai cara untuk menentukan adanya peritonitis kuadran kanan bawah yang terlokalisasi, termasuk adanya tanda batuk (nyeri tekan yang terjadi saat pasien batuk), nyeri tekan saat dilakukan perkusi, dan adanya nyeri lepas (rebound tenderness). Meskipun semua tanda ini cukup sensitif, namun terdapat satu penelitian kecil yang menunjukan nyeri tekan lepas merupakan tanda yang paling akurat untuk memprediksi adanya peritonitis lokalisata pada pasien apendisitis (Sarosi, 2016).

Beberapa temuan tambahan yang dapat membantu menentukan diagnosis apendisitis yaitu:

1. Tanda Psoas atau tanda Obraztsova

Tanda psoas dapat dicari dengan dua cara. Cara pertama pasien dalam posisi terlentang (supine), pemeriksa memberikan tahanan pada paha kanan pasien dengan menggunakan tangan kiri pemeriksa kemudian pemeriksa mengangkat kaki kanan pasien dengan tangan kanan melawan tahanan yang diberikan pemeriksa. Cara kedua pasien dibaringkan pada sisi kiri (left lateral decubitus position), kemudian dilakukan ekstensi dari panggul kanan. Hasil positif jika pasien merasakan nyeri akibat maneuver ini. Nyeri dapat timbul akibat apendiks retroperitoneal yang mengalami inflamasi terletak dekat dengan otot iliopsoas , dan maneuver ini cenderung meregangkan otot iliopsoas sehingga meningkatkan intensitas nyeri pada kuadran kanan bawah abdomen (Sarosi, 2016).

2. Tanda Obturator

Tanda obturator diperoleh dengan membaringkan pasien kemudian dilakukan fleksi panggul dan dilakukan rotasi internal pada panggul Nyeri timbul akibat apendiks yang mengalami inflamasi terletak berdekatan dengan otot obturator internus yang meregang pada saat dilakukan maneuver ini (Sarosi, 2016).

3. Tanda Rovsing

Tanda rovsing positif jika dilakukan palpasi dengan tekanan pada kuadrann kiri bawah dan timbul nyeri pada sisi kanan (Sarosi, 2016).

4. Tanda Dunphy

Tanda dunphy positif jika timbul nyeri abdominal pada saat pasien batuk (Rentea & Peter, 2017).

5. Tanda Blumberg

Disebut juga dengan nyeri lepas. Dilakukan palpasi pada kuadran kanan bawah kemudian dilepas (Petroianu, 2012).

6. Nyeri Tekan Rektum

Nyeri tekan rektal dapat timbul ketika jari pemeriksa mencapai dinding rectum yang berdekatan dengan apendiks yang mengalami inflamasi (Sarosi, 2016).

Semua tanda ini penting saat ditemukan, namun ketiadaan tanda-tanda ini tidak menyingkirkan diagnosis apendisitis (Sarosi, 2016).

Skor Alvarado juga digunakan sebagai alat untuk mediagnosis apendisitis yang dapat dilihat pada tabel 2.1

Tabel 2.1 Sistem skoring Alvarado

Sumber :Kaewlai, Lertlumsakulsub, Srichaeron, 2015.

Interpretasi tabel menurut Kaewlai dkk , 2015:

Skor 5-6 : possible appendicitis Skor 7-8 : probable appendicitis Skor 9-10 : very probable appendicitis

Total skor Alvarado >7 mengindikasikan adanya apendisitis akut dan skor <7 menandakan apendiks yang normal. Alvarado merekomendasikan tindakan operasi untuk semua pasien yang memilik skor ≥7 dan dilakukan observasi bagi pasien dengan skor 5 atau 6 (Inci et al., 2011).

Karakteristik Skor

Gejala Klinis

Nyeri perut yang berpindah ke kanan bawah 1

Anoreksia 1

Mual dan atau muntah 1

Tanda Klinis

Nyeri tekan pada kuadran kanan bawah abdomen 2

Nyeri lepas 1

Demam (suhu >37,3°C) 1

Pemeriksaan Laboratoris

Leukositosis (hitung jumlah leukosit > 10.000) 2 Shift to the left (neutrofil>75%) 1

Total 10

2.1.9 Pemeriksaan Penunjang Apendisitis 1. Pemeriksaan laboratorium

a. Urinalisis

Pada pasien wanita premenopause harus dijelaskan mengenai pentingnya tes kehamilan dengan menggunakan urin (kadar hormon β-human chorionic gonadotropin) untuk menyingkirkan kehamilan sebagai penyebab gejala yang dialami. Pemeriksaan urin juga dapat mengarahkan pada diagnosis alternatif lain seperti kolik renal atau infeksi saluran kemih.

Namun, karena apendiks sering terletak di dekat saluran kemih, sekitar 40% pasien dengan apendisitis akut akan didapatkan leukosit didalam urinnya (Baird et al., 2017).

b. Pemeriksaan darah

Tidak ada pemeriksaan darah khusus untuk apendisitis. Namun, jika didapati adanya peningkatan pada jumlah leukosit, kadar c-reactive protein, hitung jumlah granulosit,dan proporsi dari sel polimorfonuklear, maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih besar. Jika parameter ini normal, maka kemungkinan diagnosis apendisitis lebih kecil (Baird et al., 2017).

2. Pemeriksaan Radiologi a. Foto polos abdomen

Sekitar 95% pasien apendisitis menunjukkan hasil foto polos abdomen yang abnormal. Gambaran foto polos abdomen yang mengarah pada kasus apendisitis akut meliputi faecal loading pada caecum; fekalit pada apendiks; gas didalam apendiks; air-fluid level atau distensi ileum terminalis, caecum, atau colon ascendens (merupakan tanda parialisis ileum lokal); hilangnya bayangan caecum; mengaburnya bayangan otot psoas kanan; scoliosis vertebra lumbalis ke kanan; tampak densitas atau kekaburan di atas sendi sacroiliaca kanan; dan adanya udara atau cairan bebas di intraperitoneal (Petroianu, 2012). Pada apendisitis perforasi dapat

ditemukan tanda-tanda diatas dan tanda tambahan yang penting yaitu adanya gambaran small bowel obstruction (Sarosi, 2016).

b. Ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG mampu menampilkan tanda atau karakteristik dari apendisitis dengan baik. Pada pemeriksaan USG, diagnosis pasti apendisitis dapat ditegakkan jika terlihat penebalan dinding lebih dari 7 mm pada apendiks. Terdapat beberapa tanda lain yang dapat mendukung diagnosis apendisitis yaitu terlihat adanya shadowing appendicolith, inflamasi pada pericecal, atau adanya kumpulan cairan pericecal yang terlokalisasi (Sarosi, 2016).

c. Computed tomography (CT-Scan)

Pemeriksaan CT-Scan bersaman dengan USG merupakan dua jenis pemeriksaan yang paling sering dilakukan dalam upaya menegakkan diagnosis apendisitis. Pada pemeriksaan CT-Scan terdapat tanda primer dan tanda sekunder yang khas pada apendisitis. Tanda primer menunjukkan perubahan pada apendiks, sedangkan tanda sekunder menunjukan perubahan dari struktur organ disekitar apendiks akibat proses inflamasi. Tanda primer antara lain, terlihat adanya peningkatan diameter apendiks >6 mm, penebalan dinding apendiks >1 mm, peninggian dinding yang abnormal dan tidak menyeluruh, edema submukosa, dan adanya appendicoliths 20%-40% dari seluruh total kasus. Tanda sekunder antara lain, penebalan dinding caecum yang fokal, adanya perubahan pada densitas lemak periappendicular. Pada apendisitis perforasi dapat dilihat beberapa tanda meliputi, adanya extra-luminal gas, tampak adanya abses, phlegmon (peradangan yang meluas disertai terbentuknya eksudat purulent atau suppurative atau nanah), adanya extra-luminal appendicolith, atau adanya defek fokal pada dinding apendiks (Espejo et al., 2014).

d. Magnetic resonance imaging (MRI)

MRI biasanya digunakan pada pasien yang sedang hamil, karena tidak diperlukan agen kontras. MRI memberikan hasil dengan resolusi yang tinggi dan akurat dalam mendiagnosis apendisitis.Kriteria untuk diagnosis apendisitis dengan menggunakan MRI meliputi pembesaran apendiks (> 7 mm), penebalan apendiks (> 2 mm), dan adanya peradangan pada apendiks (Richmond, 2017).

2.1.10 Penatalaksanaan Apendisitis

Terapi utama apendisitis adalah operasi. Tindakan preoperatif meliputi resusitasi cairan dan pemberian antibiotik parenteral. Pada kasus apendisitis akut non komplikata, dengan pemberian antibiotik preoperatif biasanya dapat teratasi tanpa harus dilakukan operasi. Pada kasus apendisitis dengan rupture, gangrene, abses, atau peritonitis sekunder, harus digunakan antibiotik yang memiliki spektrum yang luas untuk flora kolon yang fakultatif dan anaerobik. Antibiotik yang digunakan adalah ticarcilin-clavulanic acid, piperacillin-tazobactam, ceftriaxone ditambah metronidazole, imipenem-cilastatin. Apendisitis akut, baik tanpa ruptur atau dengan perforasi dan peritonitis sekunder, memerlukan intervensi bedah dengan segera. Tidak ada konsensus yang jelas yang menyatakan pendekatan operatif mana yang lebih optimal baik itu open emergency appendectomy atau laparoscopic appendectomy. Namun laparoscopic appendectomy memiliki kelebihan yaitu apabila saat di lakukan laparoscopic appendectomy ditemukan apendiks normal, maka dapat dilakukan evaluasi diagnostik lebih lanjut (Sifri &

Madoff, 2015).

2.1.11 Prognosis Apendisitis

Selama dua dekade terakhir, hasil yang didapat setelah perawatan yang tepat untuk apendisitis akut telah meningkat secara signifikan dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang rendah. Namun komplikasi dan kematian meningkat secara signifikan pada orang tua dan wanita hamil. Angka kematian janin berkisar

0%-1,5% pada kasus apendisitis sederhana dan 20%-35% pada kasus apendisitis perforasi, maka dibutuhkan terapi dini dan agresif untuk pasien hamil (Vasser &

Anaya, 2012). Angka kematian pada pasien apendisitis akut non-komplikata sebesar 0,09% dan angka terjadinya komplikasi yaitu sebesar 5,5%. Pada orang tua angka kematian akibat apendisitis akut non-komplikata adalah 0,2% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 6%. Morbiditas dan mortalitas meningkat pada pasien dengan apendisitis komplikata terutama yang dengan perforasi. Angka kematian pasien dengan apendisitis perforasi sebesar 1% sampai 4% dengan angka terjadinya komplikasi sebesar 12% sampai 25%. Pada pasien yang berusia lebih tua dari 70 tahun, yang memiliki apendisitis perforasi dan penyakit komorbid lainnya, memiliki angka kematian yang tinggi sebesar 32% (Sarosi, 2016).

2.1.12 Komplikasi Apendisitis

Komplikasi utama pada kasus apendisitis yang tidak diobati adalah perforasi, yang mengakibatkan terjadinya peritonitis, abses, dan pieleoflebitis. Pasien dengan apendisitis perforasi, isi dari apendiks yang mengalami perforasi akan terbebas masuk kedalam rongga peritoneal yang menyebabkan timbulnya peritonitis difusa.

Abses akan terbentuk setelah perforasi jika apendiks yang mengalami perforasi dikelilingi oleh sisa rongga peritoneum karena lokasinya yang retroperitoneal atau dikelilingi oleh lilitan usus halus atau omentum. Komplikasi yang paling parah yang dapat terjadi pada pasien dengan apendisitis perforasi adalah tromboflebitis sepsis dari vena porta yang juga dikenal sebagai pieloflebitis (Sarosi, 2016).

2.2 PERITONITIS

2.2.1 Definisi Peritonitis

Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi atau kondisi aseptic pada selaput organ perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut bagian dalam. Peritonitis juga menjadi salah satu penyebab tersering dari akut abdomen (Japanesa et al., 2016).

2.2.2 Anatomi Peritoneum

2.2.2.1 Anatomi Besar Peritoneum

Peritoneum adalah sebuah membran yang dilapisi oleh selapis sel mesotelial, diperkirakan luas arenya sekitar 1,7 m2, hampir sama dengan luas total permukaan tubuh. Umumnya rongga peritoneal mengandung beberapa milliliter cairan peritoneal yang steril yang berperan sebagai pertahanan lokal terhadap bakteri, dan sebagai lubrikan.

Peritoneum dapat terbagi menjadi dua komponen yaitu peritoneum parietal dan peritoneum visceral. Peritoneum parietal melapisi bagian anterior, lateral, dan posterior dinding abdominal; permukaan inferior diafragma; dan juga pelvis.

Sebagian besar permukaan dari organ intraperitoneal (lambung, jejunum, ileum, kolon transversum, hati, dan limpa) dilapisi oleh peritoneum visceral, dimana hanya bagian anterior dari organ retroperitoneal (duodenum, kolon asendens, kolon desendens, pankreas, ginjal, dan kelenjar adrenal) yang dilapisi oleh peritoneum visceral.

Organ-organ intraperitoneal digantung oleh bagian peritoneum yang menebal atau ligamen abdominal. Menurut Meyer terdapat 9 ligamen dan 2 mesenterika yang memfiksasi organ-organ intraperitoneal. Sembilan ligamen tersebut antara lain ligamentum koronaria, gastrohepatika, hepatoduodenal, falciforme, gastrocolica,duodenocolica, gastrosplenica, splenorenalis, dan ligamentum phrenicocolica. Dua mesenterika tersebut yaitu mesenterica mesocolon transversus dan mesenterika bowel kecil. Struktur-struktur ligamen ini, yang terlihat pada saat laparotomi, begitu pula dengan CT-scan, membagi abdomen menjadi beberapa kompartmen yang saling berhubungan (Wyers & Matthews, 2016).

2.2.2.2 Anatomi Mikroskopik Peritoneum

Peritoneum berasal dari bahasa Yunani “peri” yang berarti sekitar dan “tonos”

yang berarti peregangan yang apabila digabungkan keduanya memiliki arti membentang di sekitar. Mesothelium berasal dari mesoderm. Sel-sel mesothelial berbentuk pipih, seperti sel skuamus dan memiliki diameter kira-kira 25 µm. Sel-sel mesothelial terletak diatas membran basal yang tipis dan stroma jaringan ikat.

Sel-sel mesothelial dilapisi oleh mikrovili dan kadang-kdang terdapat beberapa silia tambahan di permukaan luminal dan mereka tergabung dengan baik oleh intercellular junctional comp lexes yang terdiri atas tight junctions, adherens junctions, gap junctions, dan desmosome yang membentuk dan mempertahankan barrier yang semipermeable untuk cairan, zat-zat terlarut, dan partikel (Wyers &

Matthews, 2016).

2.2.2.3. Perdarahan dan Inervasi Peritoneum

Peritoneum visceral diperdarahi oleh pembuluh darah spalnknik, dan peritoneum parietal diperdarahi oleh pembuluh darah interkostal, subkostal, lumbar, dan iliaka. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom, sedangkan peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf somatik. Oleh karena itu, nyeri visceral

Peritoneum visceral diperdarahi oleh pembuluh darah spalnknik, dan peritoneum parietal diperdarahi oleh pembuluh darah interkostal, subkostal, lumbar, dan iliaka. Peritoneum visceral dipersarafi oleh saraf otonom, sedangkan peritoneum parietal dipersarafi oleh saraf somatik. Oleh karena itu, nyeri visceral

Dokumen terkait