• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V KESIMPULAN, KETERBATASAN DAN SARAN

5 Dana Bagi Hasil …

Dana Bagi Hasil merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip Based on Actual Revenue. Maksudnya adalah penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan (Pasal 23, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Jenis-jenis DBH meliputi DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. DBH Pajak meliputi Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Cukai Hasil Tembakau, sedangkan DBH SDA meliputi Kehutanan, Mineral dan Batu Bara, Minyak Bumi dan Gas Bumi, Pengusahaan Panas Bumi dan Perikanan. Penyaluran DBH biasanya disalurkan untuk mendanai kegiatan baik itu bagian kesehatan, pendidikan maupun penanganan kemiskinan. Daerah sebagai pelaksana otonomi sering dianggap belum mampu mengelola dana transfer dari pemerintah pusat seperti DBH,

transparansi dalam penerimaan dan pengelolaannya selalu menjadi masalah utama.

2.6. Belanja Modal

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran dalam laman situs www.anggaran.depkeu.go.id mendefinisikan Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.

Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lainnya, atau juga dengan membeli.

Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Perbendaharaan PER-33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal sesuai Bagan Akun Standar (BAS) disebutkan bahwa suatu belanja dikategorikan sebagai Belanja Modal apabila :

a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas.

b. Pengeluaran tersebut melebihi batas minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.

Berikut ini adalah tabel yang menyajikan dan memuat komponen biaya Belanja Modal yaitu :

Tabel 2.1

Komponen Biaya Belanja Modal Jenis Belanja

Modal Komponen Biaya Belanja Modal

Belanja Modal Tanah

1. Belanja Modal Pembebasan Tanah.

2. Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah.

3. Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah.

4. Belanja Modal Pengurungan dan Pematangan Tanah.

5. Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah.

6. Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah.

Belanja Modal Gedung dan

Bangunan

1. Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan Bangunan.

2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor

5. Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan.

6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Gedung dan Bangunan.

7. Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan Bangunan

Belanja Modal Peralatan dan

Mesin

1. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin.

2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin.

3. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan Mesin.

4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Peralatan dan Mesin.

5. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin.

6. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin.

7. Belanja Modal Honor Perjalanan Peralatan dan Mesin.

Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan

1. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan.

2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan.

3. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan Jembatan.

4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan.

5. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan.

6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Jalan dan Jembatan.

7. Belanja Modal Honor Perjalanan Jalan dan Jembatan.

8. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan .

9. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan.

10. Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan Jaringan . 11. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Irigasi dan

Jaringan.

12. Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan.

13. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Irigasi dan Jaringan.

14. Belanja Modal Honor Perjalanan Irigasi dan Jaringan.

Belanja Modal Fisik Lainnya

1. Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya.

2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Fisik Lainnya.

3. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik Lainnya.

4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Fisik Lainnya.

5. Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya.

6. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik Lainnya.

Sumber : (Syaiful, 2006)

2.7. Penelitian Terdahulu

Terdapat beberapa peneltian terdahulu yang berkaitan dengan variabel pada penelitian ini antara lain :

Tabel 2.2

Romario

4. Pertumbuhan

2.8. Hipotesis Penelitian

Hipotesis pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :

2.8.1. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah.

Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, tetapi kemampuan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dalam mengelola potensi lokalnya dan ketersediaan

sarana prasarana serta sumber daya sangat berbeda. Perbedaan ini dapat menyebabkan Pertumbuhan Ekonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya.

Pertumbuhan Ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, Pertumbuhan Ekonomi adalah bukti nyata hasil usaha/kerja pemerintahan daerah dalam memajukan daerahnya.

Pertumbuhan Ekonomi dapat diciptakan apabila didukung oleh infrastruktur atau sarana prasarana daerah yang baik, infrastruktur atau sarana prasarana tersebut menunjang potensi lokalnya seperti masyarakat untuk semakin berkembang sehingga tercipta Pertumbuhan Ekonomi pada daerah tersebut.

Dengan berkembang serta terciptanya Pertumbuhan Ekonomi di suatu daerah, maka berdampak langsung pada peningkatan pendapatan daerah sehingga pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut pada Belanja Modal yang dianggarkan pemerintah daerah setiap tahunnya.

Penelitian empiris yang dilakukan Purwanto (2013) menunjukkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal. Biasanya bila Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah baik, maka pemerintah daerah setempat akan terus meningkatkan alokasi Belanja Modalnya dari tahun ke tahun guna melengkapi dan memperbaiki sarana dan prasarana, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat tahun anggaran. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :

Ha1: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

2.8.2. Hubungan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintahan daerah dalam menciptakan infrastruktur daerah. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PADnya masing-masing dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi Belanja Modal pada APBD.

Bila disesuaikan dengan Agency Theory (Jensen dan Meckling, 1976), hubungan kontraktual antara agen (masyarakat) dan prinsipal (pemerintah) dalam konteks PAD dapat dilihat dari kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi Belanja Modal, yaitu dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai yang dibiayai dari Belanja Modal yang dianggarkan setiap tahunnya, sedangkan Belanja Modal itu sendiri sumber pembiayaannya dari PAD. Pemerintah daerah (agen) bertanggung jawab kepada masyarakat (principle) karena masyarakat telah memberikan sebagian uangnya kepada pemerintah daerah melalui pajak, retribusi, dan lain-lain. Dengan demikian, ada hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pengalokasian

Belanja Modal. Tetapi tidak semua daerah yang berpendapatan tinggi diikuti dengan tumbuhnya perekonomian yang baik pula. Daerah yang ditunjang dengan sarana dan prasarana memadai akan berpengaruh pada tingkat produktivitas masyarakatnya dan akan menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut yang pada akhirnya akan meningkatkan PAD. Peningkatan PAD diharapkan mampu memberikan efek yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal oleh pemerintah.

Peningkatan investasi modal (Belanja Modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas sektor publik akan berujung pada peningkatan pendapatan daerah.

Penelitian empiris yang dilakukan Syafitri (2009) menunjukkan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

Hasil penelitian Romario (2012) semakin memperkuat bukti empiris tersebut bahwa PAD berpengaruh terhadap Belanja Modal. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur atau sarana prasarana daerah yang bersumber dari PAD serta dialokasikan anggarannya oleh pemerintah daerah melalui Belanja Modal akan berujung pada peningkatan pendapatan daerahnya. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :

Ha2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

2.8.3. Hubungan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah didalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Adapun sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, hal tersebut merupakan konsekuensi adanya penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Dengan demikian, terjadi transfer yang cukup signifikan didalam APBN dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dan pemerintah daerah secara leluasa dapat menggunakan dana ini apakah untuk memberi pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat atau untuk keperluan lain yang tidak penting.

Pemerintahan pusat mengharapkan dengan adanya desentralisasi fiskal pemerintahan daerah lebih mengoptimalkan kemampuannya dalam

mengelola sumber daya yang dimiliki sehingga tidak hanya mengandalkan DAU.

Dengan adanya transfer DAU dari pemerintahan pusat, maka daerah bisa lebih fokus untuk menggunakan PAD yang dimilikinya untuk membiayai Belanja Modal yang menunjang tujuan pemerintahan yaitu meningkatkan pelayanan publik. Transfer DAU dari pemerintah pusat dapat menunjuang pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan publik melalui pembangunan infrastruktur serta sarana melalui alokasi anggaran Belanja Modal, dengan meningkatnya pelayanan publik diharapkan pula menunjang peningkatan pendapatan masyarakat.

Penelitian empiris yang dilakukan Laura (2015) menunjukkan bahwa DAU berpengaruh terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian Novalia (2016) semakin memperkuat bukti empiris tersebut bahwa DAU berpengaruh terhadap Belanja Modal. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya Belanja Modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAU. Berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan semakin tinggi DAU maka alokasi Belanja Modal juga meningkat. Hal ini disebabkan karena daerah yang memiliki pendapatan (DAU) yang besar maka alokasi untuk anggaran Belanja Modal akan meningkat. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut:

Ha3 : Dana Alokasi Umum berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.

2.8.4. Hubungan Dana Alokasi Khusus Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Dana Alokasi Khusus merupakan dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan prioritas nasional.

Tujuan DAK untuk mengurangi beban biaya kegiatan khusus yang harus ditanggung oleh pemerintah daerah. Pemanfaatan DAK diarahkan kepada kegiatan investasi pembangunan, pengadaan, peningkatan perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan publik dengan umur ekonomis panjang. Dengan diarahkannya pemanfaatan DAK untuk kegiatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan pelayanan publik yang direalisasikan dalam alokasi Belanja Modal. Selain itu, ada yang berpendapat bahwa DAK merupakan salah satu sumber pendanaan untuk sebuah Belanja Modal. Hal ini mengindikasikan bahwa terdapat hubungan antara pemberian dana transfer dari pemerintah pusat (DAK) dengan alokasi anggaran pengeluaran daerah melalui Belanja Modal.

Penelitian empiris yang dilakukan Kasyati (2015) menunjukkan bahwa DAK berpengaruh terhadap belanja modal. Hal ini memberikan adanya indikasi kuat bahwa perilaku belanja daerah khususnya pengalokasian Belanja Modal akan sangat dipengaruhi sumber penerimaan DAK. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :

Ha4: Dana Alokasi Khusus berpengaruh terhadap pengalokasian

2.8.5. Hubungan Dana Bagi Hasil Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal

Dana Bagi Hasil merupakan dana yang bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana yang bersumber dari pajak terdiri atas pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan atas tanah dan bangunan (BPHTB) dan pajak penghasilan (PPh), sedangkan dana yang bersumber dari sumber daya alam meliputi kehutanan, mineral dan batu bara, minyak bumi dan gas bumi, pengusahaan panas bumi dan perikanan. Tujuan Dana Bagi Hasil adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.

Secara teoritis dengan melihat tujuan Dana Bagi Hasil, pemerintah daerah akan mampu menetapkan pengalokasian Belanja Modal yang semakin besar jika anggaran Dana Bagi Hasil semakin besar dan begitupun sebaliknya. Semakin besar Dana Bagi Hasil menjadikan pemerintah daerah mengalokasikan lebih banyak untuk Belanja Modal sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Penelitian empiris yang dilakukan Kasyanti (2015) menunjukkan bahwa Dana Bagi Hasil berpegaruh terhadap Belanja Modal. Hasil penelitian Widiasih dan Gayatri (2017) semakin memperkuat bukti empiris tersebut bahwa Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap pengalokasian Belanja Modal. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut : Ha5 : Dana Bagi Hasil berpengaruh terhadap pengalokasian

anggaran Belanja Modal.

2.9. Kerangka Konseptual

Sebagai dasar untuk merumuskan hipotesis, maka kerangka konseptual yang menunjukkan pengaruh variabel-variabel Pertumbuhan Ekonomi , Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil terhadap Belanja Modal yang digambarkan sebagai berikut :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1 Kerangka Konseptual Pertumbuhan Ekonomi

(X1)

PAD (X2)

DAU (X3)

DAK (X4)

DBH (X5)

Belanja Modal (Y)

Ha1

Ha2

Ha3

Ha4

Ha5

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipakai peneliti di dalam penelitian ini adalah jenis asosiatif kausal. Desain penelitian asosiatif kausal adalah desain penelitian untuk melihat adanya korelasi sebab-akibat antar variabel (Cooper dan Emory, 1996:37).

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh antara variabel independen terhadap variabel dependen. Variabel Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus dan Dana Bagi Hasil merupakan variabel independen (X) dan akan dilihat korelasi sebab-akibatnya dengan Belanja Modal yang merupakan variabel dependen (Y).

3.2. Populasi dan Sampel Penelitian

Populasi adalah sekumpulan dari individu atau obyek penelitian yang memiliki kualitas serta ciri-ciri yang telah ditetapkan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemerintahan kabupaten/kota yang berada pada Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pada tahun 2013 – 2016, yaitu sebanyak 18 Kabupaten dan 5 Kota.

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut. Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini menggunakan metode sampel jenuh atau sensus. Sampel jenuh atau sensus adalah teknik atau metode sampel yang memanfaatkan seluruh jumlah populasi sebagai sampel penelitian, sampel ini biasanya digunakan dikarenakan keterbatasan populasi yang

belum mencapai 30 populasi. Jika dikaitkan antara populasi dengan metode sampel yang dipilih, maka sampel dalam penelitian ini adalah 23 sampel kabupaten/kota di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan periode tahun yang diteliti dimulai dari tahun 2013 sampai tahun 2016 sehingga menghasilkan sampel sebanyak 92 sampel penelitian.

Tabel 3.1

Daftar Populasi dan Sampel

No Nama Daerah Sampel

1 Kab. Aceh Barat Sampel 1

2 Kab. Aceh Besar Sampel 2

3 Kab. Aceh Selatan Sampel 3

4 Kab. Aceh Singkil Sampel 4

5 Kab. Aceh Tengah Sampel 5

6 Kab. Aceh Tenggara Sampel 6

7 Kab. Aceh Timur Sampel 7

8 Kab. Aceh Utara Sampel 8

9 Kab. Bireuen Sampel 9

10 Kab. Pidie Sampel 10

11 Kab. Simeulue Sampel 11

12 Kota Banda Aceh Sampel 12

13 Kota Sabang Sampel 13

14 Kota Langsa Sampel 14

15 Kota Lhokseumawe Sampel 15

16 Kab. Gayo Lues Sampel 16

17 Kab. Aceh Barat Daya Sampel 17

18 Kab. Aceh Jaya Sampel 18

19 Kab. Nagan Raya Sampel 19

20 Kab. Aceh Tamiang Sampel 20

21 Kab. Bener Meriah Sampel 21

22 Kab. Pidie Jaya Sampel 22

23 Kota Subulussalam Sampel 23

Sumber : www.aceh.bps.go.id (diolah oleh peneliti)

3.3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan metode dokumentasi yaitu dengan mempelajari, mengklasifikasikan, dan menganalisis data sekunder bersumber dari dokumen laporan realisasi APBD Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam periode 2013 - 2016 yang diperoleh dari Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Pemerintah Daerah melalui situs www.depkeu.djpk.go.id dan BPS Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam www.aceh.bps.go.id periode 2013 – 2016.

3.4. Definisi Operasional Variabel

Untuk mengukur variabel-variabel yang sudah diidentifikasi digunakan instrumen dan alat ukur sebagai berikut :

Tabel 3.2

Definisi Operasional Variabel Nama

Variabel Definisi Operasional Ukuran Skala

Pengukuran

Belanja Modal (Y)

Belanja Modal merupakan belanja pemerintah daerah yang manfaatnya melebihi 1 tahun anggaran dan akan menambah aset atau kekayaan daerah dan selanjutnya akan menambah belanja yang bersifat rutin seperti biaya pemeliharaan pada kelompok belanja administrasi umum.

Pertumbuhan Ekonomi

(X1)

Pertumbuhan Ekonomi adalah proses perubahan pertumbuhan perekonomian suatu Negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang

Lain-lain PAD yang Sah Rasio

Dana Alokasi Umum (DAU)

(X3)

Dana Alokasi Umum (DAU) merupakan salah satu transfer dana Pemerintah kepada pemerintah daerah yang bersumber dari pendapatan APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan

Kemampuan Keuangan

daerah atas dasar prioritas nasional dan kegiatan khusus yang diusulkan daerah tertentu.

Besaran DAK ditentukan setiap tahun dalam APBN pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Pemerintah Daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.

55% dan 40% dari hasil pendapatan minyak bumi dan gas bumi

Rasio

Sumber : (Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004)

3.5. Teknik Analisis Data

3.5.1. Statistik Deskriptif

Statistik deskriptif merupakan teknik deskriptif yang memberikan gambaran atau informasi data yang sedang diteliti melalui populasi dan sampel. Teknik statistik deskriptif ini digunakan untuk mendapatkan informasi deskriptif tentang data yang dimiliki dan tidak bermaksud untuk menguji hipotesis. Analisis ini hanya digunakan untuk menyajikan dan menganalisis data dengan perhitungan untuk mengklarifikasi keadaan atau karakteristik data yang dimaksud. Penjelasan kelompok dalam statistik deskriptif dapat dilihat dari nilai minimum, nilai tengah (median), nilai maksimum, nilai terpopuler (modus), nilai rata-rata (mean) dan standar deviasi. Hal ini dilakukan untuk melihat gambaran keseluruhan dari sampel yang berhasil dikumpulkan dan memenuhi syarat untuk dijadikan sampel penelitian.

3.5.2. Uji Asumsi Klasik

Uji asumsi klasik adalah persyaratan statistik yang harus dipenuhi pada analisis regresi linear berganda. Pengujian asumsi klasik diperlukan untuk mengetahui apakah hasil estimasi regresi yang dilakukan benar bebas dari gejala heteroskedastisitas, gejala multikolinearitas, dan gejala autokorelasi. Model regresi akan dapat dijadikan alat estimasi yang tidak bias jika telah memenuhi persyaratan BLUE (best linear unbiased estimator) yakni tidak terdapat heteroskedastistas, tidak terdapat multikolinearitas, dan tidak terdapat autokorelasi. Jika terdapat heteroskedastisitas, maka varian tidak konstan sehingga dapat menyebabkan biasnya standar error. Jika terdapat multikolinearitas, maka akan sulit untuk mengisolasi pengaruh-pengaruh individual dari variabel, sehingga tingkat signifikansi koefisien regresi menjadi rendah. Dengan adanya autokorelasi mengakibatkan penaksir masih tetap bias dan masih tetap konsisten hanya saja menjadi tidak efisien. Oleh karena itu, uji asumsi klasik perlu dilakukan. Pengertian dari berbagai uji yang terdapat dalam uji asumsi klasik adalah sebagai berikut :

3.5.2.1. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual dapat terdistribusi secara normal. Jika asumsi ini dilanggar maka uji statistik menjadi tidak valid dalam sampel kecil. Uji normalitas dapat dilakukan dengan uji histogram, uji normal P Plot, uji Chi Square, Skewness

dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik. Jika residual tidak normal tetapi

dan Kurtosis atau uji Kolmogorov Smirnov. Tidak ada metode yang paling baik atau paling tepat. Tipsnya adalah bahwa pengujian dengan metode grafik sering menimbulkan perbedaan persepsi di antara beberapa pengamat, sehingga penggunaan uji normalitas dengan uji statistik bebas dari keragu-raguan, meskipun tidak ada jaminan bahwa pengujian dengan uji statistik lebih baik dari pada pengujian dengan metode grafik. Jika residual tidak normal tetapi

Dokumen terkait