BAB I PENDAHULUAN
1.5. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai pihak. Manfaat yang dimaksud antara lain :
1. Bagi Pemerintah Daerah
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah daerah mengenai peran Pertumbuhan Ekonomi pada masyarakat serta peningkatan maupun penurunan sumber-sumber pendapatan daerah baik Pendapatan Asli Daerah itu sendiri maupun pendapatan daerah yang diterima dari pemerintah pusat dalam pengalokasian Belanja Modal daerah yang diteliti.
2. Bagi Akademisi
Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan pandangan dan menambah wawasan kepada para akademisi mengenai pengalokasian Belanja Modal yang erat kaitannya dengan pembangunan daerah otonom sebagai tujuan utama konsep desentralisasi.
3. Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti lainnya sebagai informasi, bahan rujukan dan referensi bagi pengembangan serta pengkajian konsep pada topik-topik penelitian yang berkaitan. Pengkajian konsep pada topik penelitian yang dimaksud baik yang bersifat lanjutan, melengkapi, maupun menyempurnakan penelitian terdahulu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Ekonomi menggambarkan peningkatan kegiatan ekonomi yang ditandai dengan kenaikan riil dari produksi barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam suatu tahun tertentu (Sukirno, 2006:12). Pertumbuhan Ekonomi adalah proses perubahan pertumbuhan perekonomian suatu negara secara berkesinambungan menuju keadaan yang lebih baik selama periode tertentu. Pertumbuhan Ekonomi dapat diartikan juga sebagai proses kenaikan kapasitas pendapatan nasional. Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi.
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah dapat dilihat dari perolehan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Terjadinya peningkatan Pertumbuhan Ekonomi di suatu daerah ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita masyarakatnya, sehingga mendorong terjadinya kenaikan terhadap pendapatan daerah dari hasil pajak. Meningkatnya suatu pendapatan daerah, membuat pemerintah daerah dapat membiayai pembangunan dan perbaikan infrastruktur perekonomian secara mandiri tanpa bergantung pada dana-dana lain.
Syarat penting yang akan mewujudkan Pertumbuhan Ekonomi adalah tingkat pengadaan modal yang sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Melalui pembangunan dan perbaikan infrastruktur diharapkan dapat memicu Pertumbuhan Ekonomi daerah sehingga mampu mewujudkan pembangunan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
2.2. Pendapatan Asli Daerah
Berdasarkan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah pasal 1 angka 18, yang dimaksud dengan Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber yang dimiliki daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berdasarkan Pasal 157 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 menjelaskan kelompok Pendapatan Asli Daerah dipisahkan menjadi empat jenis pendapatan, yaitu:
1. Pajak daerah
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang dimaksud dengan pajak daerah adalah iuran yang dilakukan oleh pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang dan dapat dipaksakan berdasarkan peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Pajak tersebut digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Jenis-jenis pajak daerah adalah:
a) Pajak Hotel
b) Pajak Restoran dan Rumah Makan c) Pajak Hiburan
d) Pajak Reklame
e) Pajak Penerangan Jalan
f) Pajak Badan Galian Golongan C
g) Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Pemukiman
2. Retribusi daerah
Sumber pendapatan lain yang dapat dikategorikan dalam pendapatan asli daerah adalah retribusi daerah. Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009). Retribusi daerah dapat dibagi dalam beberapa kelompok yakni retribusi jasa umum, retribusi jasa usaha, retribusi perizinan. Yang mana dapat diuraikan sebagai berikut:
a) Retribusi jasa umum
adalah retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh pemerintahan daerah untuk tujuan kepentingan dan kemamfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
b) Retribusi jasa usaha
adalah retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemerintah daerah dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor swasta.
c) Retribusi perizinan tertentu
adalah retribusi atas kegiatan tertentu pemerintah daerah dalam rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pembinaan, pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
3. Pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
Salah satu penyebab diberlakukannya otonomi daerah adalah tingginya campur tangan pemerintah pusat dalam pengelolaan roda pemerintahan daerah.
Campur tangan tersebut termasuk didalamnya adalah pengelolaan kekayaan daerah berupa sumber daya alam, sumber daya manusia dan sektor industri.
Diberlakukannya otonomi daerah menjadi saat bagi daerah untuk mengelola kekayaan daerahnya seoptimal mungkin guna meningkatkan pendapatan asli daerah. Undang-Undang mengizinkan pemerintah daerah untuk mendirikan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) ini bersama sektor swasta atau Asosiasi Pengusaha Daerah sehingga diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi daerah serta dapat menunjang kemandirian daerah dalam pembangunan perekonomian daerah.
4. Lain-lain pendapatan yang sah
Lain-lain pendapatan yang sah yang dapat digunakan untuk membiayai belanja daerah dapat diupayakan oleh daerah dengan cara-cara yang wajar dan tidak menyalahi peraturan yang berlaku. Alternatif untuk memperoleh pendapatan ini bisa dilakukan dengan melakukan pinjaman kepada pemerintahan pusat, pinjaman kepada pemerintah daerah lain, pinjaman kepada lembaga keuangan dan non keuangan, pinjaman kepada masyarakat, dan juga bisa dengan menerbitkan obligasi daerah.
Pendapatan Asli Daerah seharusnya menjadi penopang dalam pengalokasian sebuah Belanja Modal agar transfer dana dari pusat dapat dikelola sebaik-baiknya.
Kenyataannya saat ini Pendapatan Asli Daerah belum mampu menjadi penopang.
2.3. Dana Alokasi Umum
Sesuai dengan penyerahan kewenangan dari pusat ke daerah, maka provinsi dan kabupaten serta kota masing-masing memperoleh Dana Alokasi Umum yang jumlahnya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas fiskal tiap-tiap daerah. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah alokasi dana dari pemerintah pusat kepada daerah yang bersumber dari APBN dan bersifat umum (block grants) serta berfungsi sebagai instrumen penyeimbang fiskal antar daerah. Hal ini disebabkan tidak semua daerah memiliki struktur dan kemampuan fiskal yang sama (horizontal fiscal imbalance). Masing-masing daerah memiliki perbedaan seperti jumlah penduduknya, luas wilayahnya, potensi sumber daya manusia yang dimiliki, kondisi kekayaan alamnya, dan lainnya sehingga kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah berbeda-beda.
Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, ditetapkan bahwa DAU daerah minimal 25% dari penerimaan dalam negeri APBN setiap tahun. 90% dari 25% DAU tersebut dialokasikan kepada seluruh kabupaten dan kota, sedangkan sisanya 10% dari 25% DAU dialokasikan untuk pemerintah tingkat provinsi.
Kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum diukur secara berturut-turut berdasarkan beberapa instrumen yaitu :
1. Jumlah penduduk
Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap daerah.
2. Luas wilayah
Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah.
3. Indeks kemahalan kontruksi
Indeks kemahalan kontruksi merupakan cerminan tingkat kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan harga prasarana fisik secara relatif antar daerah.
4. Produk Domestik Regional Bruto per kapita
Produk domestik regional bruto per kapita merupakan cerminan potensi dan aktivitas perekonomian suatu daerah yang dihitung berdasarkan total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah.
5. Indeks Pembangunan Manusia
Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan.
Proporsi DAU terhadap penerimaan daerah saat ini masih yang tertinggi dibandingkan dengan penerimaan daerah seperti PAD. Untuk beberapa daerah penerima DAU, biasanya DAU akan berimbas pada pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi regional di daerah tersebut dan pada akhirnya akan mengganggu Pertumbuhan Ekonomi nasional. Jika pengelolaan DAU tidak baik bahkan jika dihapuskan dari pemerintah pusat maka akan berimbas negatif terhadap stabilitas keuangan daerah, stabilitas keuangan daerah yang terganggu ini akan berimbas pada pelaksanaan program-program pemerintah daerah dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat yang akan terganggu pula. Imbas
lain adalah terganggunya program-program pemerintah daerah yang bertujuan utnuk meningkatkan pelayanan publik atau insfrastruktur yang dapat menjadi pemacu Pertumbuhan Ekonomi regional maupun ekonomi nasional. Oleh karena itu, DAU memegang peranan yang sangat dominan dibandingkan sumber dana lainnya, seperti DAK maupun dana perimbangan. Untuk itu diharapkan DAU dapat digunakan secara efektif dan efisien untuk meningkatkan pelayanan pada masyarakat sebagai tujuan dari desentralisasi yaitu mempercepat pembangunan dan pemerataan hasil pembangunan, disamping tetap memaksimalkan potensi daerah untuk pembiayaan kebutuhan daerah.
2.4. Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi khusus merupakan dana dari Pemerintah Pusat yang di transfer kedaerah dalam bentuk pendapatan di APBD, selain Dana Alokasi Umum dan Dana Perimbangan lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Daerah tertentu yang dimaksud adalah daerah yang memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua daerah memperoleh alokasi DAK. DAK dialokasikan untuk membantu daerah mendanai kebutuhan fisik sarana dan prasarana dasar yang merupakan prioritas nasional di bidang pendidikan, kesehatan, infrastruktur (jalan, irigasi, dan
air bersih), kelautan dan perikanan, pertanian, prasarana pemerintah daerah, serta lingkungan hidup.
Kriteria umum pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang memiliki kemampuan fiskal rendah atau di bawah rata-rata nasional.
Sedangkan kriteria khusus pengalokasian DAK memperhatikan daerah-daerah tertentu yang memiliki karakteristik dan/atau berada di wilayah :
1. Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta, Papua Barat, dan Papua yang merupakan daerah otonomi khusus.
2. Daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan Negara lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk kategori ketahanan pangan, dan daerah pariwisata.
3. Daerah rawan banjir/longsor, daerah penampung transmigrasi, daerah yang memiliki pulau-pulau kecil terdepan, daerah yang alokasi DAU-nya dalam tahun 2007 tidak mengalami kenaikan, daerah rawan pangan dan/atau kekeringan, daerah pascakonflik, daerah penerima pengungsi.
Pelaksanaan DAK di daerah saat ini masih memiliki banyak kendala, sehingga serapan dana DAK maupun kinerja fisik kegiatan belum dapat dikatakan maksimal. Kendala yang banyak dialami daerah dalam pelaksanaan dana DAK ini seperti proses penganggaran APBD, program kegiatan dari DAK belum sinkron dengan bantuan pusat dan DAK belum maksimal pengukurannya dengan pengeluarannya. Pemerintah daerah penerima DAK diharapkan untuk mengalokasikan sumber dana ini sebaik-baiknya dan tidak hanya terpaku saja pada DAU ataupun PAD.
2.5. Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil merupakan bagian dari dana perimbangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dana Bagi Hasil, yang selanjutnya disebut DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka presentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Tujuan DBH adalah untuk memperbaiki keseimbangan vertikal antara pusat dan daerah dengan memperhatikan potensi daerah penghasil.
DBH bersumber dari pajak dan sumber daya alam. DBH merupakan sumber pendapatan daerah yang cukup potensial dan merupakan salah satu modal dasar pemerintah daerah dalam mendapatkan dana pembangunan dan memenuhi belanja daerah sehingga berdampak pada kesejahteraan masyarakat. Penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip Based on Actual Revenue. Maksudnya adalah penyaluran DBH berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran berjalan (Pasal 23, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004). Jenis-jenis DBH meliputi DBH Pajak dan DBH Sumber Daya Alam. DBH Pajak meliputi Pajak Bumi dan Bangunan, Pajak Penghasilan dan Cukai Hasil Tembakau, sedangkan DBH SDA meliputi Kehutanan, Mineral dan Batu Bara, Minyak Bumi dan Gas Bumi, Pengusahaan Panas Bumi dan Perikanan. Penyaluran DBH biasanya disalurkan untuk mendanai kegiatan baik itu bagian kesehatan, pendidikan maupun penanganan kemiskinan. Daerah sebagai pelaksana otonomi sering dianggap belum mampu mengelola dana transfer dari pemerintah pusat seperti DBH,
transparansi dalam penerimaan dan pengelolaannya selalu menjadi masalah utama.
2.6. Belanja Modal
Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Anggaran dalam laman situs www.anggaran.depkeu.go.id mendefinisikan Belanja Modal adalah pengeluaran anggaran yang digunakan dalam rangka memperoleh atau menambah aset tetap dan aset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi serta melebihi batasan minimal kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang ditetapkan pemerintah.
Belanja modal dimaksudkan untuk mendapatkan aset tetap pemerintah daerah, yakni peralatan, bangunan, infrastruktur dan harta tetap lainnya. Secara teoritis ada tiga cara untuk memperoleh aset tetap tersebut, yakni dengan membangun sendiri, menukarkan dengan aset tetap lainnya, atau juga dengan membeli.
Berdasarkan Peraturan Direktorat Jenderal (Perdirjen) Perbendaharaan PER-33/PB/2008 tentang Pedoman Penggunaan Akun Pendapatan, Belanja Pegawai, Belanja Barang, dan Belanja Modal sesuai Bagan Akun Standar (BAS) disebutkan bahwa suatu belanja dikategorikan sebagai Belanja Modal apabila :
a. Pengeluaran tersebut mengakibatkan adanya perolehan aset tetap atau aset lainnya yang menambah masa umur, manfaat dan kapasitas.
b. Pengeluaran tersebut melebihi batas minimum kapitalisasi aset tetap atau aset lainnya yang telah ditetapkan pemerintah.
Berikut ini adalah tabel yang menyajikan dan memuat komponen biaya Belanja Modal yaitu :
Tabel 2.1
Komponen Biaya Belanja Modal Jenis Belanja
Modal Komponen Biaya Belanja Modal
Belanja Modal Tanah
1. Belanja Modal Pembebasan Tanah.
2. Belanja Modal Pembayaran Honor Tim Tanah.
3. Belanja Modal Pembuatan Sertifikat Tanah.
4. Belanja Modal Pengurungan dan Pematangan Tanah.
5. Belanja Modal Biaya Pengukuran Tanah.
6. Belanja Modal Perjalanan Pengadaan Tanah.
Belanja Modal Gedung dan
Bangunan
1. Belanja Modal Bahan Baku Gedung dan Bangunan.
2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor
5. Belanja Modal Perizinan Gedung dan Bangunan.
6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Gedung dan Bangunan.
7. Belanja Modal Honor Perjalanan Gedung dan Bangunan
Belanja Modal Peralatan dan
Mesin
1. Belanja Modal Bahan Baku Peralatan dan Mesin.
2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Peralatan dan Mesin.
3. Belanja Modal Sewa Peralatan, Peralatan dan Mesin.
4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Peralatan dan Mesin.
5. Belanja Modal Perizinan Peralatan dan Mesin.
6. Belanja Modal Pemasangan Peralatan dan Mesin.
7. Belanja Modal Honor Perjalanan Peralatan dan Mesin.
Belanja Modal Jalan, Irigasi dan Jaringan
1. Belanja Modal Bahan Baku Jalan dan Jembatan.
2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Jalan dan Jembatan.
3. Belanja Modal Sewa Peralatan Jalan dan Jembatan.
4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Jalan dan Jembatan.
5. Belanja Modal Perizinan Jalan dan Jembatan.
6. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Jalan dan Jembatan.
7. Belanja Modal Honor Perjalanan Jalan dan Jembatan.
8. Belanja Modal Bahan Baku Irigasi dan Jaringan .
9. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Irigasi dan Jaringan.
10. Belanja Modal Sewa Peralatan Irigasi dan Jaringan . 11. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Irigasi dan
Jaringan.
12. Belanja Modal Perizinan Irigasi dan Jaringan.
13. Belanja Modal Pengosongan dan Pembongkaran Bangunan Lama Irigasi dan Jaringan.
14. Belanja Modal Honor Perjalanan Irigasi dan Jaringan.
Belanja Modal Fisik Lainnya
1. Belanja Modal Bahan Baku Fisik Lainnya.
2. Belanja Modal Upah Tenaga Kerja dan Honor Pengelola Teknis Fisik Lainnya.
3. Belanja Modal Sewa Peralatan Fisik Lainnya.
4. Belanja Modal Perencanaan dan Pengawasan Fisik Lainnya.
5. Belanja Modal Perizinan Fisik Lainnya.
6. Belanja Modal Jasa Konsultan Fisik Lainnya.
Sumber : (Syaiful, 2006)
2.7. Penelitian Terdahulu
Terdapat beberapa peneltian terdahulu yang berkaitan dengan variabel pada penelitian ini antara lain :
Tabel 2.2
Romario
4. Pertumbuhan
2.8. Hipotesis Penelitian
Hipotesis pada penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut :
2.8.1. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Kebijakan otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus tiap-tiap daerah.
Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, tetapi kemampuan daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dalam mengelola potensi lokalnya dan ketersediaan
sarana prasarana serta sumber daya sangat berbeda. Perbedaan ini dapat menyebabkan Pertumbuhan Ekonomi yang beragam antara satu daerah dengan daerah lainnya.
Pertumbuhan Ekonomi bertujuan untuk peningkatan ekonomi yang berkelanjutan. Dengan kata lain, Pertumbuhan Ekonomi adalah bukti nyata hasil usaha/kerja pemerintahan daerah dalam memajukan daerahnya.
Pertumbuhan Ekonomi dapat diciptakan apabila didukung oleh infrastruktur atau sarana prasarana daerah yang baik, infrastruktur atau sarana prasarana tersebut menunjang potensi lokalnya seperti masyarakat untuk semakin berkembang sehingga tercipta Pertumbuhan Ekonomi pada daerah tersebut.
Dengan berkembang serta terciptanya Pertumbuhan Ekonomi di suatu daerah, maka berdampak langsung pada peningkatan pendapatan daerah sehingga pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut pada Belanja Modal yang dianggarkan pemerintah daerah setiap tahunnya.
Penelitian empiris yang dilakukan Purwanto (2013) menunjukkan bahwa Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal. Biasanya bila Pertumbuhan Ekonomi suatu daerah baik, maka pemerintah daerah setempat akan terus meningkatkan alokasi Belanja Modalnya dari tahun ke tahun guna melengkapi dan memperbaiki sarana dan prasarana, tetapi disesuaikan dengan kondisi dan situasi pada saat tahun anggaran. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
Ha1: Pertumbuhan Ekonomi berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
2.8.2. Hubungan Pendapatan Asli Daerah Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pembiayaan bagi pemerintahan daerah dalam menciptakan infrastruktur daerah. PAD didapatkan dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Untuk itu dalam masa desentralisasi seperti ini, pemerintah daerah dituntut untuk bisa mengembangkan dan meningkatkan PADnya masing-masing dengan memaksimalkan sumberdaya yang dimiliki supaya bisa membiayai segala kegiatan penciptaan infrastruktur atau sarana prasarana daerah melalui alokasi Belanja Modal pada APBD.
Bila disesuaikan dengan Agency Theory (Jensen dan Meckling, 1976), hubungan kontraktual antara agen (masyarakat) dan prinsipal (pemerintah) dalam konteks PAD dapat dilihat dari kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah untuk memberikan pelayanan publik yang baik serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui alokasi Belanja Modal, yaitu dengan menyediakan sarana dan prasarana yang memadai yang dibiayai dari Belanja Modal yang dianggarkan setiap tahunnya, sedangkan Belanja Modal itu sendiri sumber pembiayaannya dari PAD. Pemerintah daerah (agen) bertanggung jawab kepada masyarakat (principle) karena masyarakat telah memberikan sebagian uangnya kepada pemerintah daerah melalui pajak, retribusi, dan lain-lain. Dengan demikian, ada hubungan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan pengalokasian
Belanja Modal. Tetapi tidak semua daerah yang berpendapatan tinggi diikuti dengan tumbuhnya perekonomian yang baik pula. Daerah yang ditunjang dengan sarana dan prasarana memadai akan berpengaruh pada tingkat produktivitas masyarakatnya dan akan menarik investor untuk menanamkan modalnya pada daerah tersebut yang pada akhirnya akan meningkatkan PAD. Peningkatan PAD diharapkan mampu memberikan efek yang signifikan terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal oleh pemerintah.
Peningkatan investasi modal (Belanja Modal) diharapkan mampu meningkatkan kualitas layanan publik dan pada gilirannya mampu meningkatkan tingkat partisipasi (kontribusi) publik terhadap pembangunan yang tercermin dari adanya peningkatan PAD. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas sektor publik akan berujung pada peningkatan pendapatan daerah.
Penelitian empiris yang dilakukan Syafitri (2009) menunjukkan bahwa PAD berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
Hasil penelitian Romario (2012) semakin memperkuat bukti empiris tersebut bahwa PAD berpengaruh terhadap Belanja Modal. Dengan kata lain, pembangunan berbagai fasilitas infrastruktur atau sarana prasarana daerah yang bersumber dari PAD serta dialokasikan anggarannya oleh pemerintah daerah melalui Belanja Modal akan berujung pada peningkatan pendapatan daerahnya. Berdasarkan temuan-temuan empiris pada penelitian sebelumnya, maka menghasilkan hipotesis sebagai berikut :
Ha2 : Pendapatan Asli Daerah berpengaruh terhadap pengalokasian anggaran Belanja Modal.
2.8.3. Hubungan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal
Untuk memberi dukungan terhadap pelaksanaan otonomi daerah telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sumber pembiayaan pemerintah daerah didalam rangka perimbangan keuangan pemerintah pusat dan daerah dilaksanakan atas dasar desentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Adapun sumber-sumber pembiayaan pelaksanaan desentralisasi terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan Pinjaman Daerah, dan lain-lain penerimaan yang sah. Dana Alokasi Umum (DAU) adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya didalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat
Berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat