Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu:
1. Bagaimanakah prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif?
2. Bagaimanakah tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menjelaskan tentang prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif.
b. Untuk menjelaskan tentang tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.
2. Kegunaan Penulisan
Sesuai dengan pokok masalah di atas, kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk memenuhi salah satu syarat supaya bisa meraih gelar Sarjana (S1) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Fakultas Syari’ah pada program studi Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyyah).
b. Memberikan sumbangan pemikiran penulis secara ilmiah yang telah diperoleh dalam bidang Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyyah).
c. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.
d. Sebagai partisipasi penulis dalam menambah koleksi pada perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.
D. Penjelasan Judul
Penjelasan judul sangat penting artinya untuk mempertegas tujuan penelitian serta memudahkan penjangkauan makna secara luas. Untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk memudahkan pembaca dalam memahami, maka berikut dijelaskan istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian ini:
Studi : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) studi berasal dari kata penelitian ilmiah, kajian, telaah.19
Adapun yang penulis maksud studi di sini adalah mengkaji atau mentelaah.
19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 956
Analisis : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya).20
Adapun yang penulis maksud analisis di sini adalah penyelidikan terhadap suatu perbuatan yang bertujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dengan berpedoman kepada ketentuan yang berlaku.
Studi Analisis : Studi analisis adalah suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang terpadu. 21
Adapun yang penulis maksud studi analisis di sini adalah mengkaji atau mentelaah suatu hal secara sistematis dengan metode berfikir yang tersusun untuk mendapatkan kesimpulan yang menyeluruh.
Anak Temuan : Anak kecil yang terlantar di jalan raya, masjid atau tempat-tempat selain itu, tidak mempunyai penanggung jawab yang pasti,
20 Ibid., 46
21 Kamaruddin Ahmad, Dasar-dasar Manajemen Investasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 23
meskipun sudah tamyiz karena anak semacam ini perlu mendapat pembinaan.22
Adapun yang penulis maksud anak temuan di sini adalah anak yang tidak diketahui asal-usulnya.
Hukum Positif : Hukum Positif berarti kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui Pemerintah atau Pengadian dalam Negara Indonesia.23
Maslahah : Mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Maslahah dapat diartikan mengambil manfaat dan menolak madharat (bahaya) dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Hukum Islam).24
Adapun yang penulis maksud maslahah di sini adalah kemanfaatan bagi pihak yang bersangkutan.
22 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Imam Syafii 2, cet. ke-1 (Jakarta:Almahira, 2010), 416
23I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008), 56
24 Harun, “Pemikiran Najmudin at-Thufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam, Jurnal Digital Ishraqi, vol.5, no. 1 (2009), pp. 24
Adapun penjelasan judul secara keseluruhan adalah mengkaji atau mentelaah tentang anak temuan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia ditinjau dari perspektif kemanfaatannya.
E. Tinjauan Kepustakaan
Kajian dan pembahasan mengenai anak temuan ini bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang mempunyai kemiripan dengan judul yang penulis bahas. Untuk itu penulis akan mengemukakan karya-karya ilmiah tersebut untuk membuktikan bahwa apa yang penulis bahas berbeda dengan tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya.
Penelitian pertama ditulis oleh Lila Hanifa, Nim: 132111112. Program studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 2018. Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Terhadap Hak Nasab Anak Temuan Di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda Semarang”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda Semarang dalam pemerolehan hak nasab bagi anak temuan di Yayasan tersebut?. Selanjutnya, bagaimana analisis hukum terhadap hak nasab anak temuan di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda Semarang?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, dalam proses pemerolehan hak nasab anak temuan di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda mengalami banyak hambatan seperti halnya proses permohonan Akta Kelahiran yang lama tidak kunjung jadi akta tersebut dan tidak adanya kepastian
yang jelas. Pada akhirnya tidak adanya keberhasilan dalam pemerolehan hak identitas sah untuk anak temuan di Al-Rifda tersebut, tidak adanya pengecualian untuk kemudahan pemerolehan hak identitas bagi anak-anak temuan tersebut.
Sehingga mayoritas anak-anak di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda tidak mempunyai Akta Kelahiran sebagai identitas yang sah dihadapan Hukum Indonesia.
Adapun penelitian kedua ditulis oleh Muhammad Yusuf, Nim:
10821004760. Program studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim 2013. Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Wali Nikah Anak Temuan”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang wali nikah bagi anak temuan?. Selanjutnya bagaimana metode Istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah tentang wali nikah bagi anak temuan?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, Ibnu Qudamah membolehkan orang yang menemukan anak temuan itu sebagai wali nikah bagi anak temuan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Qoul Sahabat. Menurut beliau menjadi wali nikah bagi anak temuan tidak harus mempunyai jabatan kekuasaan.
Istinbath Hukum yang digunakan Imam Ibnu Qudamah dalam pendapatnya tentang diperbolehkannya multaqith menjadi wali nikah bagi anak temuan adalah dengan menggunakan qiyas, dikarenakan multaqith disamakan dengan penguasa karena keduanya sama-sama mempunyai sifat adil.
Selanjutnya penelitian yang ditulis oleh Siti Khotijah, Nim: 083111044.
Program studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas syari’ah, Institut Agama Islam
Negeri Jember 2015. Dalam penelitiannya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Mengenai Pengangkatan Anak Temuan (Analisis Perkara Nomor 0431/Pdt.P/2014/PA.Jr)”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jember dalam memutuskan prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak temuan?. Selanjutnya bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap prosedur dan syarat pengangkatan anak temuan?. Dan bagaimana status nasab anak angkat anak temuan dalam perkara ini?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, dalam asasnya prosedur pengangkatan anak temuan yang pengangkatan anak temuan dalam Islam. Asas dari pengangkatannya adalah untuk melindungi, memelihara, dan mengasuh anak temuan agar masa depannya terjamin dengan baik dan tumbuh menjadi orang yang berguna bagi agama dan negaranya. Dari aspek syarat-syarat orang yang mengasuhnya (pemohon) di Pengadilan Agama Jember juga telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada dalam hukum Islam. Dalam perkara ini orang yang mengangkat atau mengasuh anak temuan ini tidak mengakui sebagai anaknya, melainkan anak orang lain yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui. Ia asuh karena rasa prikemanusiaan, dan ia mengakuinya sebagai anak selama ini hanya sebatas untuk menjaga kehormatan dan perasaan anak temuan tersebut bukan untuk mengakuinya sebagai anaknya sendiri.
Kajian keempat penelitian yang ditulis oleh Muhammad Furqon Faturrahman, Nim:15210196. Program studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2019. Dalam penelitiannya yang berjudul “Putusan Pengadilan Negeri Kuningan
Nomor:37/Pdt.P/2017/Pn. Kng Tentang Permohonan Pengangkatan Anak Temuan Ditinjau Dari Teori Kemaslahatan”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor: 37/Pdt.
P/2017/PN. KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan?. Selanjutnya bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor: 37/Pdt. P/2017/PN.
KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan ditinjau dari teori kemaslahatan?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, Perkara Nomor:
37/Pdt. P/2017/PN. KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan sudah sesuai dengan teori kemaslahatan yang merujuk pada maqashid syariah yang memiliki 5 prinsip yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta karena pengangkatan anak temuan yang dilakukan merupakan upaya untuk menjaga kehidupan sang anak dari kelima hal tersebut. Hal ini berarti pengangkatan yang dilakukan bertujuan untuk menolak bahaya dari terlantarnya anak tersebut sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan syariat Islam.
Kemudian kajian kelima adalah jurnal yang berjudul “Pendapat Ibnu Qudamah Dan Imam Mawardi Tentang Wali Nikah Bagi Anak Temuan (Laqith)”.
Jurnal hukum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di akhir jurnal ini disimpulkan, bahwa wali nikah bagi laqith menurut Ibnu Qudamah yaitu multaqith, ia berhak menjadi wali nikah bagi laqith karena ia termasuk orang yang adil. Sedangkan Imam Mawardi berpendapat bahwa laqith lebih berhak atas dirinya sendiri dalam pernikahan. Perwalian nikah bagi laqith tidak diberikan kepada siapa-pun termasuk multaqith, karena menurutnya hak perwalian nikah itu
hanya diberikan kepada orang yang memerdekakan atas hamba sahaya yang dimerdekakannya saja, sedangkan laqith secara hukum asal adalah merdeka.
Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang telah diuraikan di atas adalah penulis lebih fokus meneliti tentang prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.
F. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dengan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan. Adapun Metode penelitian ini meliputi :
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan cara membaca, menelaah, dan mencatat berbagai literatur atau bahan bacaan yang sesuai dengan pokok bahasan, kemudian disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran secara teoritis.25 Penelitian ini termasuk penelitian normatif. Metode penelitian hukum normatif juga biasa disebut penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan.26 Dinamakan penelitian hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan
25 Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Research Sosial, cet. ke-7 (Bandung:
Mandar Maju, 1996), 78
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia,2014), 1-2
pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan.
Penelitian ini menekankan sumber informasinya dari literatur-literatur, kitab-kitab dan Undang-undang yang berkaitan dan relevan dengan objek kajian yaitu tentang maslahah.
2. Sumber Data
Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan sumber data sekunder yakni:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama. Sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai otoritas.27 Bahan hukum primer meliputi:
1) Peraturan perundang-undangan.
2) Segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum.
3) Undang-undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
4) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.
27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenda Media Grup,2007), 141
5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.
6) Peraturan Menteri Sosial nomor 110 tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.
7) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.
9) Kementerian Sosial Republik Indonesia, Pengangkatan Anak, Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Tahun 2016.
10) Peraturan Menteri Sosial Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
11) Konvensi Hak Anak tahun 1989.
12) Kompilasi Hukum Islam.
13) Al-Qur’an.
14) Hadist.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan lain sebagainya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder, maka penulis akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier sebagai bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan media internet. Bahan hukum tersier yang diperoleh, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.
3. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library reseach) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka antara lain dengan pengkajian literatur-literatur primer. Kemudian dilengkapi pula dengan bahan sekunder yang berkaitan dan relevan untuk menunjang penyelesaian pokok permasalahan.
4. Teknik Analisis Data
Data yang telah terkumpul, kemudian diuraikan secara sistematis. Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat sistematis untuk memberi gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang digunakan ketika data masih bersifat khusus yang kemudian dianalisis menjadi kesimpulan bersifat umum.
G. Sistematika Pembahasan
Untuk lebih memudahkan pemahaman para pembaca dan terarahnya pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan pada 4 (empat) BAB.
BAB I : Merupakan Pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang masalah yang memotivasi penulis dalam meneliti judul ini, di samping itu juga ada rumusan masalah serta tujuan dan kegunaan penulisan, penjelasan judul, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sitematika penulisan.
BAB II : Merupakan Landasan Teori Tinjauan umum tentang anak yang terdiri dari empat sub bab yaitu mendeskripsikan tentang kedudukan anak dalam hukum, pengertian anak temuan, dasar hukum memungut anak temuan, tinjauan tentang maslahah mursalah.
BAB III : Merupakan Hasil Penelitian yang terdiri dari sub bagian yaitu prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.
BAB IV : Merupakan BAB Penutup yang mengemukakan kesimpulan dari penelitian ini, berikut dengan beberapa saran dari penulis.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK
A. Kedudukan Anak Dalam Hukum
Kedudukan seorang anak dalam Hukum Positif Indonesia harus memiliki kekuatan hukum yang jelas. Apabila kedudukan seorang anak itu sudah jelas, maka ia akan mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan serta mendapatkan perlindungan terhadap dirinya, baik itu perlindungandari berbagai macam tindak kejahatan maupun perlindungan hukum lainnya. Namun ketika kedudukan anak tidak jelas, maka sulit untuk memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak penting diprioritaskan.28
Kedudukan seorang anak dapat dilihat dari statusnya dalam keluarganya.
Kelahiran seorang anak tidak selalu terjadi dalam ikatan perkawinan yang sah.
Adakalanya seorang anak itu lahir dari akibat hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita di luar ikatan perkawinan (belum kawin). Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan biasanya disebut dengan anak luar kawin atau anak hasil zina. Menurut hukum Perkawinan Indonesia, status seorang anak dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. Anak sah
28 PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010, Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I
Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42 menyatakan bahwa, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan setelah terjadinya suatu perkawinan yang sah (perkawinan yang tercatat oleh negara) antara ibu dan bapaknya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 99 dinyatakan bahwa, anak sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.29 Maksud dari butir (a) pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan sebagai anak sah apabila anak tersebut lahir setelah adanya perkawinan yang sah menurut hukum dan agama antara sepasang suami isteri. Selanjutnya maksud dari butir (b) pasal ini adalah seorang anak lahir dari hasil perbuatan yang dilakukan oleh suami isteri dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama, yang dibuahi dengan cara menggabungkan sel telur dan sperma di luar tubuh (di luar rahim). Kemudian sel telur yang sudah dibuahi, dipindahkan ke dalam rahim isteri. Hasil dari buah cinta antara suami isteri tersebut dilahirkan oleh isteri.
2. Anak luar nikah
Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah
29 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bekasi: CV Akademika Pressindo, 2015), 137
membenihkan anak di rahimnya, sehingga anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.30 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Maksud dari pasal ini adalah seorang anak yang lahir ketika tidak ada terjadi perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya dapat disebut dengan anak luar nikah. Anak tersebut tidak bisa mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini dikarenakan anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada bapaknya.
Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100, anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak luar nikah itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena antara ibu dan bapaknya tidak ada hubungan perkawinan sah yang menyebabkan perpindahan nasab dari bapak ke anak tersebut. Anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya, oleh karena itu anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.
30 J. Andi Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta:Laksbang Presindo, 2008), 53
Di dalam sumber hukum tertulis di Indonesia terdapat berbagai macam kriteria penggolongan anak. Kriteria penggolongan anak tersebut ada 2 macam yaitu penggolongan menurut batasan usia anak dan menurut perkembangan biologis anak. Menurut batasan usia anak, hukum tertulis memiliki pendapat yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari perundang-undangannya, seperti:
1. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang usianya di bawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. 31
2. Menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989, yang termasuk dalam kriteria anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.32
3. Menurut Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.
4. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang
31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2
32 Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989 Bagian I Pasal 1
belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.33
Sedangkan menurut perkembangan biologis anak untuk hukum tidak tertulis, seperti yang diatur dalam hukum Islam dan hukum Adat. Contohnya dalam hukum Islam, dilihat dari tanda-tanda biologis seperti seorang anak laki-laki dikatakan dewasa apabila anak laki-laki-laki-laki tersebut telah mengalami mimpi basah. Dalam hukum Adat dilihat dari tanda-tanda kemandirian anak tersebut seperti dalam suku Jawa, seorang anak dikatakan dewasa apabila anak tersebut sudah bekerja dan menghasilkan uang.34
Kedudukan dan identitas seorang anak dapat dibuktikan dengan sebuah akta kelahiran untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap dirinya. Akta Kelahiran adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan adanya kelahiran sebagai alat bukti sah dan otentik mengenai status anak yang diterbitkan oleh Dinas Catatan Sipil Kabupaten maupun Kota. Akta kelahiran anak sah harus bersifat akta otentik, karena akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh seseorang pejabat umum yang berwenang untuk membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikannya sebagai bukti.35
33 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1
34 Anwar Rachman,dkk, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2020), 254-255
35 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,
35 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita,