• Tidak ada hasil yang ditemukan

Untuk lebih memudahkan pemahaman para pembaca dan terarahnya pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan pada 4 (empat) BAB.

BAB I : Merupakan Pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang masalah yang memotivasi penulis dalam meneliti judul ini, di samping itu juga ada rumusan masalah serta tujuan dan kegunaan penulisan, penjelasan judul, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sitematika penulisan.

BAB II : Merupakan Landasan Teori Tinjauan umum tentang anak yang terdiri dari empat sub bab yaitu mendeskripsikan tentang kedudukan anak dalam hukum, pengertian anak temuan, dasar hukum memungut anak temuan, tinjauan tentang maslahah mursalah.

BAB III : Merupakan Hasil Penelitian yang terdiri dari sub bagian yaitu prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

BAB IV : Merupakan BAB Penutup yang mengemukakan kesimpulan dari penelitian ini, berikut dengan beberapa saran dari penulis.

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK

A. Kedudukan Anak Dalam Hukum

Kedudukan seorang anak dalam Hukum Positif Indonesia harus memiliki kekuatan hukum yang jelas. Apabila kedudukan seorang anak itu sudah jelas, maka ia akan mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan serta mendapatkan perlindungan terhadap dirinya, baik itu perlindungandari berbagai macam tindak kejahatan maupun perlindungan hukum lainnya. Namun ketika kedudukan anak tidak jelas, maka sulit untuk memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak penting diprioritaskan.28

Kedudukan seorang anak dapat dilihat dari statusnya dalam keluarganya.

Kelahiran seorang anak tidak selalu terjadi dalam ikatan perkawinan yang sah.

Adakalanya seorang anak itu lahir dari akibat hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita di luar ikatan perkawinan (belum kawin). Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan biasanya disebut dengan anak luar kawin atau anak hasil zina. Menurut hukum Perkawinan Indonesia, status seorang anak dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Anak sah

28 PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010, Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42 menyatakan bahwa, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan setelah terjadinya suatu perkawinan yang sah (perkawinan yang tercatat oleh negara) antara ibu dan bapaknya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 99 dinyatakan bahwa, anak sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.29 Maksud dari butir (a) pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan sebagai anak sah apabila anak tersebut lahir setelah adanya perkawinan yang sah menurut hukum dan agama antara sepasang suami isteri. Selanjutnya maksud dari butir (b) pasal ini adalah seorang anak lahir dari hasil perbuatan yang dilakukan oleh suami isteri dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama, yang dibuahi dengan cara menggabungkan sel telur dan sperma di luar tubuh (di luar rahim). Kemudian sel telur yang sudah dibuahi, dipindahkan ke dalam rahim isteri. Hasil dari buah cinta antara suami isteri tersebut dilahirkan oleh isteri.

2. Anak luar nikah

Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah

29 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bekasi: CV Akademika Pressindo, 2015), 137

membenihkan anak di rahimnya, sehingga anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.30 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Maksud dari pasal ini adalah seorang anak yang lahir ketika tidak ada terjadi perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya dapat disebut dengan anak luar nikah. Anak tersebut tidak bisa mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini dikarenakan anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada bapaknya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100, anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak luar nikah itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena antara ibu dan bapaknya tidak ada hubungan perkawinan sah yang menyebabkan perpindahan nasab dari bapak ke anak tersebut. Anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya, oleh karena itu anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.

30 J. Andi Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta:Laksbang Presindo, 2008), 53

Di dalam sumber hukum tertulis di Indonesia terdapat berbagai macam kriteria penggolongan anak. Kriteria penggolongan anak tersebut ada 2 macam yaitu penggolongan menurut batasan usia anak dan menurut perkembangan biologis anak. Menurut batasan usia anak, hukum tertulis memiliki pendapat yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari perundang-undangannya, seperti:

1. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang usianya di bawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. 31

2. Menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989, yang termasuk dalam kriteria anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.32

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

4. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang

31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2

32 Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989 Bagian I Pasal 1

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.33

Sedangkan menurut perkembangan biologis anak untuk hukum tidak tertulis, seperti yang diatur dalam hukum Islam dan hukum Adat. Contohnya dalam hukum Islam, dilihat dari tanda-tanda biologis seperti seorang anak laki-laki dikatakan dewasa apabila anak laki-laki-laki-laki tersebut telah mengalami mimpi basah. Dalam hukum Adat dilihat dari tanda-tanda kemandirian anak tersebut seperti dalam suku Jawa, seorang anak dikatakan dewasa apabila anak tersebut sudah bekerja dan menghasilkan uang.34

Kedudukan dan identitas seorang anak dapat dibuktikan dengan sebuah akta kelahiran untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap dirinya. Akta Kelahiran adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan adanya kelahiran sebagai alat bukti sah dan otentik mengenai status anak yang diterbitkan oleh Dinas Catatan Sipil Kabupaten maupun Kota. Akta kelahiran anak sah harus bersifat akta otentik, karena akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh seseorang pejabat umum yang berwenang untuk membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikannya sebagai bukti.35

33 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

34 Anwar Rachman,dkk, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2020), 254-255

35 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), 58

Perihal Akta Kelahiran ini terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 55 ayat (1), asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.36 Hal yang sama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 103 ayat (1), asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran atau alat bukti lainnya.37 Bahkan pada Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 juga mengatur hal ini, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam Akta Kelahiran. Pembuatan Akta Kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan Akta Kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian. 38

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas dapat dipahami bahwa anak harus memiliki identitas yang jelas untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Identitas tersebut dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang otentik. Pembuatan Akta Kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan proses kelahiran. Apabila proses kelahiran anak tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, maka dalam pembuatan Akta Kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan

36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 55

37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia., 138

38 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 ayat 1-4

orang yang menemukannya dan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian. Itulah cara untuk membuat Akta Kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui, namun ia tetap harus mempunyai Akta Kelahiran agar identitasnya menjadi jelas dan mempunyai kekuatan hukum.

Mengenai proses pembuatan Akta Kelahiran seorang anak dilakukan oleh Instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Administrasi Kependudukan. Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling rendah pada tingkat Kelurahan/Desa. Selanjutnya Akta Kelahiran diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. Bahkan dalam pembuatan Akta Kelahiran ini tidak dikenai biaya. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat pembuatan Akta Kelahiran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.39

Apabila kedudukan dan identitas anak telah jelas, maka anak akan mendapatkan berbagai macam hak-haknya. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.40 Hak anak ini dijelaskan secara rinci pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 4 sampai dengan pasal 18.

39 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 28 ayat 1-5

40 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 12

Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 tersebut terdapat hak-hak anak seperti, anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, mendapatkan perlindungan dari berbagai tindak kejahatan dan kekerasan, diskriminasi, menyatakan pendapat, mendapatkan identitas diri serta status kewarganegaraan yang jelas sehingga anak berhak untuk mengetahui orang tua kandung dan diasuh oleh orang tuanya itu. Anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan, bermain danberibadah menurut agama yang diyakininya. Bahkan pada Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan pendidikan luar biasa.41

Dengan demikian, dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa kedudukan seorang anak dalam Hukum Positif Indonesia harus memiliki kekuatan hukum yang jelas. Apabila kedudukan seorang anak itu sudah jelas, maka ia akan mendapatkan hak-haknya seperti yang telah disebutkan di atas. Namun apabila kedudukan dan identitas anak tidak jelas, maka sulit untuk memberikan hak anak tersebut. Identitas seorang anak dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

B. Pengertian Anak Temuan

41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 4-18

Anak temuan berasal dari kata anak dan temuan. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.42 Sedangkan temuan merupakan sesuatu yang dijumpai di suatu tempat yang tidak diketahui asal-usul dan siapa pemiliknya. Berdasarkan pengertian anak dan pengertian temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak temuan adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat yang dibuang oleh orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak diketahui asal-usulnya.

Anak temuan dalam Bahasa Arab “Al-Laqith” (طيقل) ialah anak kecil yang belum baligh ditemukan di jalan yang tidak diketahui keluarganya.43 Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Hukum Islam menyebutkan bahwa Al-Laqith adalah anak yang tidak diketahui dan tidak dapat ditelusuri orang tuanya. Anak kecil yang hilang atau dibuang oleh orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab dari kehidupan anaknya.44

Menurut Ulama Madzhab Syafi’iyah, Al-Laqith adalah seorang anak dalam keadaan hidup yang dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau untuk menghindari tuduhan.45 Sedangkan menurut Imam Nawawi, Al-Laqith adalah semua anak-anak kecil (yang belum baligh atau berakal) yang disia-siakan oleh orang tuanya tanpa ada yang mengasuhnya (bapak, ibu, kakek

42 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

43 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 94

44 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 1023

45 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 190

atau kerabat). Selanjutnya Madzhab Hanabilah juga mengemukakan pendapatnya, menurutnya Al-Laqith merupakan seorang anak yang tidak diketahui nasabnya atau anak yang tersesat di jalan, diantara kelahirannya sampai masa mumayyiz. Bahkan Madzhab Malikiyah pun juga berpendapat mengenai Al-Laqith, menurutnya Al-Laqith merupakan seorang anak kecil yang tidak diketahui orang tuanya atau kerabatnya.46

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Al-Laqith adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat yang tidak diketahui asal-usulnya, dibuang oleh orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab merawat anak tersebut sehingga tidak diketahui siapa orang tua kandungnya dan asal-usulnya.

Dalam Hukum Islam rukun Al-Laqith ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. طيقل, Anak yang dibuang.

Dalam rukun Al-Laqith harus ada anak yang dibuang. Orang tua yang tidak mau bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya, ia akan membuang anaknya untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap anak tersebut.

2. طقلتم, Orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut.

Dalam rukun Al-Laqith selanjutnya, harus ada orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut. Orang yang menemukan anak temuan tersebut merupakan orang yang paling berhak untuk mengambil dan merawatnya.

3. طاقتلا, Mengambil anak yang dibuang.

46 Ibid., 191

Dalam rukun Al-Laqith yang terakhir, mengambil anak yang dibuang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang menemukan anak temuan tersebut. 47

Apabila orang yang menemukan anak temuan (Multaqith) itu bersedia untuk mengasuhnya, maka menurut Imam Al-Nawawi orang tersebut harus memenuhi beberapa persyaratannya, yaitu:

1) Orang tersebut harus sudah cakap hukum (taklif).

Orang yang akan mengasuh anak temuan tersebut sudah berakal atau dewasa dan sudah dapat menjalani serta memahami secara baik pembebanan hukum (taklif) yang ditujukan kepadanya.

2) Merdeka, budak tidak diperbolehkan kecuali dapat izin dari tuannya.

Status orang yang akan mengasuh anak temuan itu harus merdeka. Apabila seorang budak ingin mengasuh anak tersebut, maka ia harus mendapatkan izin dari tuannya.

3) Islam (seagama) antara anak tersebut dengan pengasuhnya.

Antara anak temuan dan orang yang akan mengasuhnya harus meyakini agama yang sama. Jika anak temuan beragama Islam, maka orang yang akan mengasuhnya juga harus beragama Islam.

4) Adil.

Adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukurannya sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat

47 Ibid., 192

sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.48

Berdasarkan penjelasan yang tertera di atas, dapat disimpulkan bahwa rukun Al-Laqith yaitu harus adanya anak yang dibuang oleh orang tuanya, harus ada orang yang menemukan anak tersebut dan harus ada tindakan untuk mengambil anak temuan tersebut. Apabila orang yang menemukan anak temuan itu bersedia mengasuh anak tersebut, maka ia harus memenuhi persyaratan yang telah dikemukakan oleh Imam Al-Nawawi di atas. Seperti sudah cakap hukum (taklif), merdeka (jika ia budak, harus mendapatkan izin dari tuannya), seagama dengan anak temuan dan memiliki sifat adil. Persyaratan ini diberlakukan dengan tujuan agar anak temuan itu berada di bawah pengasuhan dan perlindungan orang yang tepat, sehingga kehidupan anak tersebut menjadi terjamin.

C. Dasar Hukum Memungut Anak Temuan

Dasar hukum memungut atau memelihara anak temuan dalam Islam tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dalam ajaran Islam sesama manusia diperintahkan untuk saling tolong menolong. Jika ada orang lain yang sedang kesusahan, hendaklah kita menolongnya. Apalagi yang ditemukan itu adalah seorang anak kecil yang belum baligh atau yang belum berakal, terlantar (dibuang) di suatu tempat. Ia belum bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, ia butuh bantuan orang lain untuk bertahan hidup. Orang yang

48 H. Ahmad Kamil dan H. M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan

Pengangkatan Anak di Indonesia, Edisi I. Cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 169

menemukannya itu, berkewajiban untuk menyelamatkan jiwanya dari kesengsaraan dan kebinasaan. Tujuan umum disyari’atkan hukum Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan dan keadilan dalam aspek kehidupan manusia.49

Memungut anak temuan yang belum baligh ditemukan di jalanan atau tersesat hukumnya adalah fardu qifayah, sama seperti barang hilang tanpa ada yang menjamin. Jika anak tersebut diselamatkan oleh satu orang saja, maka yang lain tidak berkewajiban lagi atau gugur kewajibannya. Apabila tidak ada satupun yang mengambilnya atau menyelamatkannya, maka berdosalah semua orang Islam di sekitar daerah tersebut yang mengetahui adanya anak itu, karena mereka membiarkannya begitu saja, padahal mereka bisa menolongnya.50

Allah SWT memerintahkan kita sesama manusia untuk saling tolong-menolong dalam hal kebajikan terdapat dalam Q.S Al-Maidah ayat 2 :

اَعَت َو ...

“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dari permusuhan.

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya ”.51

49 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam fiqh Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), 310-311

50 Ibnu Qudamah, Al-Mughni 8, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011), 93

51 Al-Qur’an dan Terjemahan, Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010.

QS.Al-Maidah:2

Dengan demikian, dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa jika motif pengangkatan anak tersebut adalah atas dasar tolong menolong demi kebaikan si anak, maka mengangkat anak temuan itu sangat dianjurkan dalam Islam bahkan diwajibkan. Jangan pernah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, manusia diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.

Hendaklah semua manusia bertakwa dan beriman kepada Allah SWT karena

“Apabila anak kecil ditemukan di tengah jalan, maka hukum mengambilnya, memeliharanya, dan merawatnya adalah wajib kifayah. Anak tersebut tidak boleh ditetapkan perawatnya kecuali di tangan orang yang terpercaya”52

Berdasarkan pernyataan Syekh Abu Syuja’ di atas, dapat dipahami bahwa mengambil atau memelihara anak temuan yang ditemukan di jalan hukum mengambilnya adalah wajib kifayah. Orang yang mengambil atau memelihara anak temuan tersebut harus orang yang terpercaya dan memenuhi semua persyaratan untuk memelihara anak tersebut.

Anak yang ditemukan terlantar merupakan keturunan Adam yang harus dimuliakan, maka wajib dirawat, diasuh dan didik sebagaimana orang yang

52 Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar, Jilid 2 (Surabaya: PT Bina Offset, 1997), 253-254

sangat memerlukan pertolongan. Menolong atau merawat anak temuan yang belum baligh lebih utama dari pada menolong anak temuan yang sudah baligh meskipun ia memerlukan pertolongan, karena anak yang sudah baligh itu ada kemungkinan bisa mengurus dirinya sendiri. Sedangkan anak yang belum baligh, tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Islam menganjurkan mengangkat anak temuan yang terlantar di jalan dengan tujuan menyelamatkan jiwanya dari kesengsaraan. Apalagi jika anak temuan tersebut berstatus anak yatim, maka orang yang mengasuh anak tersebut akan mendapatkan keutamaan yaitu bisa dekat dengan Rasulullah SAW bagaikan dekatnya jari telunjuk dan jari tengah. Seperti sabda Rasulullah SAW dibawah

“Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia merenggangkan antara keduanya.” (H.R Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi)53

Berdasarkan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa, mengadopsi seorang anak kecil yatim yang ditemukan terlantar di jalan untuk diasuh, dididik dan dirawat tanpa menasabkan pada dirinya, maka ia akan dekat dengan Rasulullah SAW bagaikan dekatnya jari telunjuk dan jari tengah. Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya yang mengasuh dan merawat anak yatim, apalagi anak yatim

53 M. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Singapura:PT. Bina Ilmu, 1993), 311

yang diasuh ini merupakan anak temuan yang sangat membutuhkan pertolongan.

yang diasuh ini merupakan anak temuan yang sangat membutuhkan pertolongan.

Dokumen terkait