• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TEMUAN

D. Tinjauan Tentang Maslahah Mursalah

Maslahah berasal dari kata, احلاص, حلصي, حلص artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat.56 Menurut bahasa, kata maslahah berarti mendatangkan

56 Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah dan Penafsir al-Qur’an, 1973), 219

kebaikan atau yang membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.57 Maslahah merupakan lawan dari kata mafsadat yang berarti kerusakan dan kebinasaan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan bahwa mashlahat artinya sesuatu yang mendatangkan kebaikan, faedah, guna. Sedangkan kata‚

kemashlahatan ‛berarti kegunaan, kebaikan, manfaat, kepentingan. Sementara kata manfaat, dalam kamus tersebut diartikan dengan: guna, faedah. Kata manfaat juga diartikan sebagai lawan dari kata “mudarat” yang berarti rugi atau buruk.58

Menurut Muhammad Abu Zahrah, definisi maslahah mursalah adalah segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan syari’ (dalam mensyari’atkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidak.59

Berdasarkan pendapat di atas, menurut penulis maslahah adalah sesuatu yang memiliki manfaat yang dapat mendatangkan kebaikan serta menolak kerusakan, bertujuan untuk memelihara tujuan syara’ (hukum) Islam seperti memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.

Maslahah mursalah merupakan metode hukum yang mempertimbangkan adanya kemanfaatan yang mempunyai akses secara umum dan kepentingan tidak terbatas, tidak terikat. Maslahah mursalah adalah kepentingan yang diputuskan bebas, namun tetap terikat pada konsep syari’ah yang mendasar. Syari’ah

57 Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah, (Semarang:

Bulan Bintang, 1955), 43

58 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2011), 128

59 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, cet. ke-9 (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2005), 424

ditunjuk untuk memberikan kemanfaatan kepada manusia secara umum dan berfungsi untuk memberikan kemanfaatan dan mencegah kerusakan.

Dengan demikian dari penjelasan di atas menurut penulis, maslahah mursalah adalah menetapkan hukum dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam al-Qur’an maupun al-Sunnah, dengan mempertimbangkan kemaslahatan atau kepentingan hidup manusia yang berpedoman pada asas menarik kemanfaatan dan menghindari kerusakan.

Menurut Al-Ghazali, kemaslahatan makhluk terletak pada tercapainya tujuan mereka. Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari manusia ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta mereka. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara ke lima hal tersebut disebut mashlahah dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah.60 Tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari manusia itu adalah:

a. Memelihara agama (hifzh al-din / نيدلا ظفح)

Memelihara agama di sini maksud adalah seseorang berhak memeluk agama yang diyakini secara bebas, tanpa ada gangguan dari pihak manapun.

Agama yang diyakini ini harus dijaga kesuciannya agar tidak ada pihak manapun yang menjatuhkan atau menghina agama Islam. Selanjutnya hak

60 Al-Ghazali, Al-Mustashfa Min ‘Ilm al-Ushul, Juz I (Beirut, Libanon : Muassasah al-Risalah, 1997), 250

untuk beribadah dan menjalankan ajaran-ajaran agama seperti melaksanakan shalat, zakat dan tidak menyekutukan Allah SWT (syirik).61

b. Memelihara jiwa (hifzh al-nafs / سفنلا ظفح)

Memelihara jiwa merupakan landasan atau alasan yang menyatakan bahwa seorang manusia tidak boleh disakiti, dilukai, apalagi dibunuh jiwanya.62 Setiap manusia wajib menjaga atau melindungi diri dari berbagai tindak kejahatan dan harus lebih menyayangi diri sendiri dengan cara memenuhi kebutuhan yang dibutuhkan oleh jiwa dan raga. Hak ini diarahkan untuk menciptakan kualitas kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri.

c. Memelihara akal (hifzh al-‘aql / لقعلا ظفح)

Memelihara akal dalam hal ini maksudnya adalah menjaga atau melindungi akal yang dimiliki dengan sebaik-baiknya, karena akal merupakan salah satu bagian tubuh yang sangat menentukan kehidupan manusia. Oleh karena itu, segala hal yang menyebabkan hilangnya akal tidak boleh dilakukan seperti mengonsumsi narkoba dan minuman keras. Akal digunakan untuk berpikir, sehingga akal tersebut dapat membedakan hal yang baik dengan hal yang buruk. Orientasi dalam penjagaan akal juga dalam pemenuhan hak intelektual bagi setiap individu. Setiap individu berhak mengasah akalnya untuk berpikir secara logis dan kritis. Jadi

61 Al-Ghazali, Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul I, (Beirut: Dar al-Kitab al-Ilmiyah, 1983), 286

62 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam., 1109

kewajiban bagi setiap manusia untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat mengganggu akal.63

d. Memelihara keturunan (hifzh al-nasl /لسنلا ظفح)

Memelihara keturunan agar tidak terjerumus ke dalam perbuatan yang salah seperti perbuatan zina. Di dalam Islam, cara menjaga keturunan adalah dengan melakukan pernikahan yang sah. Salah satu hal yang dapat merusak keturunan adalah melakukan pernikahan beda agama.64 Hal ini jelas saja merupakan pernikahan yang sangat tidak boleh dilakukan, sehingga pernikahannya menjadi tidak sah. Akibatnya, nasab dalam keluarga tersebut tidak terjaga atau bisa terputus. Suatu saat bisa saja anak yang dilahirkan dari keluarga tersebut memilih agama selain agama Islam, oleh karena itu hal-hal yang dapat merusak penerus keturunan harus dihindari.

e. Memelihara harta (hifzh al-mal / لاملا ظفح )

Memelihara harta di sini maksudnya adalah menjaga harta agar tidak dipergunakan untuk jalan yang salah dan menjamin bahwa setiap orang berhak memiliki kekayaan harta benda. Hak ini juga dapat diartikan sebagai hak seseorang untuk mendapatkan harta dengan cara yang halal serta menjaga harta tersebut agar tetap berkah dan diridhai oleh Allah SWT.

Setiap manusia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap harta yang telah dititipkan oleh Allah SWT untuknya. Oleh sebab itu, harta yang

63 Ibid., 1110

64 Faturrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta:Logos, 1995), 39

dimiliki harus dijaga dengan sebaik-baiknya dan dimanfaatkan untuk menegakkan ajaran Islam.65

Berdasarkan tujuan hukum Islam yang ingin dicapai dari manusia sesuai dengan yang telah dijabarkan di atas, Allah SWT memerintahkan manusia untuk memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara hartanya untuk mencapai ketertiban nyata antara Pencipta dan makhlukNya. Jadi manusia harus melaksanakan perintah tersebut dengan sebaik-baiknya, agar dapat tercapai tujuan utama dari hukum Islam.

Untuk menjaga kemurnian metode maslahah mursalah sebagai landasan hukum Islam, maka harus terdapat dua dimensi penting, yaitu sisi pertama harus tunduk dengan apa yang terkandung dalam nash (al-Qur’an dan al-Hadits), baik secara tekstual atau kontekstual. Sisi kedua harus mempertimbangkan adanya kebutuhan manusia yang selalu berkembang sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua sisi ini harus menjadi pertimbangan dalam pembentukan hukum Islam. Apabila dua sisi tersebut tidak berlaku secara seimbang, maka dalam hasil istinbath hukumnya akan menjadi sangat kaku di satu sisi dan terlalu mengikuti hawa nafsu di sisi lain. Sehingga dalam hal ini perlu adanya syarat dan standar yang benar dalam menggunakan maslahah mursalah, baik digunakan secara metodologi atau aplikasinya.

Dalam pembentukan hukum Islam seseorang tidak boleh menjadikan keinginannya sebagai ilham dan menjadikan syahwatnya sebagai syariat.66 Agar

65 Ibid., 40

66 Khairul Umam, Ushul Fiqih, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1998), 137

keinginan tersebut tidak merusak manusia dan agama, ada beberapa syarat yang harus terpenuhi agar maslahah tidak bercampur dengan hawa nafsu, yaitu:

1. Maslahat itu harus hakikat, bukan wahamiah (angan-angan). Maksudnya, menetapkan orang yang mentasyri’kan hidup pada suatu peristiwa, mendatangkan manfaat dan membuang mudharat. Tanpa adanya angan-angan, maka upaya penyusunan hukum Islam sebagai pedoman bagi umat Islam (tasyri’) akan mendatangkan sebuah manfaat.67 Misalnya, kemaslahatan yang masih diimpikan dalam hal mencabut hak suami untuk menceraikan istrinya. Hak menceraikan ini diserahkan saja kepada hakim.

Ahl al halli wa al aqdi (dewan yang mengangkat seorang pemimpin) dan mereka yang mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahat hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.

2. Maslahat harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit, namun menyeluruh untuk semua umat Islam yang bersifat umum.

3. Maslahat itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’. Seandainya tidak ada, maka maslahat tersebut tidak sejalan dengan apa yang telah dituju oleh agama Islam. Bahkan hal tersebut tidak dapat disebut dengan maslahat.

67 Syeikh Abd Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1993), 101

4. Maslahat itu bukan maslahat yang tidak benar, dimana nash yang sudah tidak membenarkannya, dan tidak menganggap salah.68

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dalam pembentukan hukum Islam sebuah maslahah mursalah harus memenuhi syarat-syarat yang telah dipaparkan di atas. Maslahat itu harus hakikat bukan angan-angan, maslahat harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak hanya membawa kebaikan untuk beberapa kelompok tertentu saja melainkan untuk kebaikan umat seluruhnya.

Maslahat itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum yang dituju oleh syari’, tidak boleh bertentangan dengan tujuan hukum Islam. Maslahat itu bukan maslahat yang tidak benar, nash yang sudah tidak membenarkannya dan tidak menganggap salah. Setelah semua persyaratan ini terpenuhi, maka kehujjahan maslahah mursalah tersebut sudah bisa yakini.

Persoalan yang dihadapi manusia selalu bertumbuh dan berkembang, demikian pula kepentingan dan keperluan hidupnya. Kenyataan menunjukkan bahwa banyak persoalan yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW, kemudian timbul dan terjadi pada masa-masa sesudahnya, bahkan ada yang terjadi tidak lama setelah Rasulullah SAW meninggal dunia. Seandainya tidak ada dalil yang dapat memecahkan persoalan tersebut, maka sempitlah kehidupan manusia. Dalil itu ialah dalil yang dapat menetapkan kemashlahatan bagi manusia.

Kemudian mengenai ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah dibagi atas tiga bagian yaitu:

68 Ibid., 102

a. Al-Maslahah al-Daruriyah, (kepentingan-kepentingan yang esensi dalam kehidupan) seperti memelihara agama, memelihara jiwa, akal, keturunan, dan harta.69

b. Al-Maslahah al-Hajjiyah, (kepentingan-kepentingan esensial di bawah derajatnya al-maslahah daruriyyah), namun diperlukan dalam kehidupan manusia agar tidak mengalami kesukaran dan kesempitan. Jika tidak terpenuhi akan mengakibatkan kerusakan dalam kehidupan. Contohnya keringanan seseorang menangguhkan puasa dan mengqasar shalat ketika dalam perjalanan. Keringanan-keringanan seperti ini termasuk dalam kategori kebutuhan al-Hajjiyah.70

c. Al-Maslahah al-Tahsiniyah, (kepentingan-kepentingan pelengkap) yang jika tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, sebab ia tidak begitu membutuhkannya, hanya sebagai pelengkap atau hiasan hidup. Contohnya melakukan hal-hal kepatutan menurut adat istiadat, berhias dengan keindahan yang sesuai dengan tuntutan norma akhlak dan menghindari hal-hal yang tidak enak dipandang mata.71

Dengan demikian, ruang lingkup maslahah mursalah mencakup kepentingan-kepentingan esensi yang bermanfaat dalam kehidupan seperti memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Selanjutnya kepentingan-kepentingan esensial, jika tidak terpenuhi kehidupan manusia akan mengalami kesukaran, kesempitan, bahkan kerusakan. Kemudian kepentingan-kepentingan

69 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, (Jakarta: Kencana, 2009), 223

70 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam., 1110

71 Satria Effendi, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana, 2009), 236

pelengkap, jika kepentingan-kepentingan pelengkap ini tidak terpenuhi maka tidak akan mengakibatkan kesempitan dalam kehidupannya, karena ia hanya sebagai pelengkap. Inilah ruang lingkup berlakunya maslahah mursalah.

Dari penjelasan yang sudah dipaparkan di atas, dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah dapat dijadikan sebagai landasan hukum serta dapat diaplikasikan dalam tindakan sehari-hari, apabila telah memenuhi syarat-syarat yang telah disebutkan di atas. Maslahah merupakan kemaslahatan yang nyata dan tidak sebatas kemaslahatan yang sifatnya masih prasangka saja. Maslahah mengandung kemanfaatan secara umum dengan mempunyai akses secara menyeluruh dan tidak melenceng dari tujuan-tujuan yang dikandung dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Maslahah dapat menarik suatu kemanfaatan dan menolak kemudaratan serta dapat memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta seseorang. Jika hal tersebut telah dipelihara dengan sebaik-baiknya, maka manusia tersebut akan merasakan tujuan dari hukum Islam yang sesungguhnya.

BAB III

HASIL PENELITIAN

A. Prosedur Penetapan Anak Temuan Menurut Hukum Positif

Prosedur berasal dari bahasa Inggris “procedure” yang bisa diartikan sebagai cara atau tata cara. Akan tetapi kata procedure biasa disebut dengan kata prosedur. Prosedur menurut Irra Crisyanti adalah tata cara kerja yakni rangkaian tindakan, langkah atau perbuatan yang harus dilakukan oleh seseorang dan merupakan cara yang tetap untuk dapat mencapai tahap tertentu dalam hubungan mencapai tujuan akhir.72 Prosedur disini berarti suatu urutan tindakan atau langkah-langkah yang saling berhubungan satu sama lain sebagai suatu cara atau metode dalam melaksanakan ataupun menjalankan suatu aktivitas sesuai dengan aturan yang berlaku untuk mencapai tujuan akhir.

Selanjutnya penetapan adalah keputusan pengadilan atas perkara permohonan (volunter). Penetapan merupakan jurisdiction valuntaria yang berarti bukan peradilan yang sesungguhnya karena pada penetapan hanya ada permohon, tidak ada lawan hukum. Di dalam penetapan, Hakim tidak menggunakan kata “mengadili”, namun cukup menggunakan kata

“menetapkan”.73 Sedangkan anak temuan adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat dibuang oleh orang tuanya untuk

72 Dewi, Irra Chrisyanti, Pengantar Ilmu Administrasi, (Jakarta: PT.

Pustakaraya, 2011), 143

73Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata, (Yogjakarta: Liberty, 1998), 169

menghindari tanggung jawab atau untuk menutupi suatu perbuatan zina, sehingga anak tersebut tidak diketahui orang tua dan asal usulnya.

Berdasarkan pernyataan di atas, dapat dipahami bahwa prosedur penetapan anak temuan adalah serangkaian tindakan yang harus dilakukan dalam pengajuan penetapan anak temuan yang tidak diketahui asal-usulnya untuk mendapatkan kepastian hukum terhadap status dan kedudukannya.

Seseorang yang menemukan seorang anak yang tidak diketahui identitasnya atau tidak diketahui asal-usulnya di suatu tempat, harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Kewajiban atau tindakan yang utama harus dilakukannya adalah sebagai berikut:

1. Orang yang menemukan anak balita terlantar/dibuang melaporkan ke RT/RW.

2. RT/RW melaporkan ke pihak Kepolisian dan pihak Kepolisian membuatkan BAP (Berita Acara Pemeriksaan).

3. Pihak Kepolisian menyerahkan ke Dinas Sosial setempat.

4. Rujukan.

5. Panti anak balita.

6. Penetapan anak terlantar oleh Pengadilan.

7. Proses pengangkatan anak74

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa apabila seseorang menemukan seorang anak balita terlantar atau dibuang di suatu tempat maka ia

74 Leaflet Kementerian Sosial Republik Indonesia, Pengangkatan Anak, Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Tahun 2016

wajib melaporkan ke pihak RT/RW setempat. Selanjutnya RT/RW melaporkan ke pihak Kepolisian dan pihak Kepolisian membuatkan BAP untuk anak balita terlantar tersebut. Lalu pihak Kepolisian menyerahkan anak balita terlantar ke Dinas Sosial setempat. Dinas Sosial memberi rujukan ke panti anak balita.

Selama berada dalam panti, anak balita terlantar tersebut diinformasikan melalui media hingga diputuskan langkah hukum selanjutnya yang akan dilakukan untuk anak tersebut. Kemudian dilakukan penetapan anak terlantar oleh Pengadilan terhadap anak tersebut. Jika seseorang ingin mengangkat anak balita terlantar menjadi anak angkatnya, maka ia harus melakukan proses pengangkatan anak sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Penetapan hukum terhadap anak yang ditemukan ini, bisa ditetapkan sebagai anak terlantar atau sebagai anak angkat. Hal ini tergantung tindakan hukum mana yang akan diberikan kepada anak temuan tersebut. Apabila anak tersebut ingin ditetapkan sebagai anak terlantar, maka harus ada penetapan dari Pengadilan. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 57, dalam hal anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, keluarga, atau pejabat yang berwenang dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan

untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar.75 Lembaga yang dimaksud dalam Pasal 55 ini adalah lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat.

Dengan demikian, jika anak temuan ingin ditetapkan sebagai anak terlantar oleh Pengadilan, maka prosedur yang dijalani sesuai dengan langkah-langkah atau prosedur dari Kementerian Sosial di atas sampai dengan penetapan anak terlantar oleh Pengadilan point 6. Permohonan penetapan ke Pengadilan diajukan oleh lembaga pemerintah, lembaga masyarakat, keluarga atau pejabat yang berwenang seperti pihak Kepolisian atau Dinas Sosial setempat. Penetapan Pengadilan ini sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan dan perawatan bagi anak tersebut. Hal ini tercantum dalamUndang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 58 ayat 1 dan 2, (1) penetapan Pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 sekaligus menetapkan tempat penampungan, pemeliharaan dan perawatan anak terlantar yang bersangkutan. (2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah atau lembaga yang diberi wewenang wajib menyediakan tempat sebagaimana dimaksud pada ayat (1).76

Setelah terbitnya penetapan Pengadilan mengenai status anak temuan tersebut, maka statusnya sudah sah menjadi anak terlantar. Penetapan tersebut mempunyai kekuatan hukum, sehingga anak tersebut mendapatkan hak-haknya sebagai anak terlantar. Hak-hak yang didapatkannya seperti tempat penampungan, pemeliharaan, perawatan dan rehabilitasi sosial anak terlantar.

75 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 57

76 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 58 Ayat 1 dan 2

Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat berkewajiban menyelenggarakan hak-hak tersebut. Dalam menjalankan kewajiban ini Pemerintah, Pemerintah Daerah dan lembaga masyarakat diawasi oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 55 ayat 1 sampai 4, yaitu:

(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menyelenggarakan pemeliharaan, perawatan dan rehabilitasi sosial anak terlantar, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga.

(2) Penyelenggaraan pemeliharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh lembaga masyarakat.

(3) Untuk menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlantar, lembaga pemerintah dan lembaga masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat mengadakan kerja sama dengan berbagai pihak yang terkait.

(4) Dalam hal penyelenggaraan pemeliharaan dan perawatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), pengawasannya dilakukan oleh Kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang sosial.77

Dengan demikian, hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh anak terlantar akan diperolehnya, karena hal ini sudah diatur secara jelas dalam hukum Positif yang berlaku di Indonesia. Semua pihak yang disebutkan di atas berkewajiban

77 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 55 ayat 1-4

untuk memenuhi hak-hak anak terlantar, mulai dari pihak Pemerintah, Pemerintah Daerah, lembaga masyarakat bahkan Kementerian di bidang sosial juga mengawasi hal ini.

Selanjutnya apabila orang yang menemukan anak temuan tersebut bersedia untuk mengasuh dan mengangkatnya menjadi anak angkat, maka ia harus melakukan semua prosedur pengangkatan anak sampai terbit penetapan pengangkatan anak dari Pengadilan. Pengangkatan anak merupakan suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orang tua, wali yang sah atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkat.78 Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.79

Bagi Calon Orang Tua Angkat yang akan melakukan pengangkatan anak, harus memenuhi persyaratan yang berlaku. Persyaratan pengangkatan anak ini tercantum dalam Peraturan Menteri Sosial No. 110 Tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak Pasal 7, yakni sebagai berikut:

a. Sehat jasmani dan rohani.

b. Berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55 (lima puluh lima) tahun.

78 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak Pasal 1 ayat 2

79 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia., 147

c. Beragama sama dengan agama Calon Anak Angkat.

d. Berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan tindak kejahatan.

e. Berstatus menikah secara sah paling singkat 5 (lima) tahun.

f. Tidak merupakan pasangan sejenis.

g. Tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang anak.

h. Dalam keadaan mampu secara ekonomi dan sosial.

i. Memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis dari wali anak.

j. Membuat pernyataan tertulis bahwa pengangkatan anak adalah demi kepentingan terbaik bagi anak, kesejahteraan dan perlindungan anak.

k. Adanya laporan sosial dari Pekerja Sosial setempat.

l. Telah mengasuh Calon Anak Angkat paling singkat 6 (enam) bulan, sejak izin pengasuhan diberikan.

m. Memperoleh izin Menteri atau Kepala Instansi Sosial Propinsi.80

Semua persyaratan yang disebutkan di atas merupakan pertimbangan bagi Hakim untuk Calon Orang Tua Angkat, apakah ia layak untuk mengangkat dan merawat anak tersebut atau tidak. Perihal pengangkatan anak ini juga diatur dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 39, yaitu pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan terbaik bagi anak dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan

80 Peraturan Menteri Sosial Nomor 110 tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak Pasal 7

darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan pengangkatan anak wajib dicatatkan dalam Akta Kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak. Agama calon orang tua angkat harus sama dengan agama calon anak angkat. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan identitas anak berdasarkan Akta Kelahiran yang dibuat dari

darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya dan pengangkatan anak wajib dicatatkan dalam Akta Kelahiran dengan tidak menghilangkan identitas awal anak. Agama calon orang tua angkat harus sama dengan agama calon anak angkat. Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Terhadap anak yang tidak diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan identitas anak berdasarkan Akta Kelahiran yang dibuat dari

Dokumen terkait