• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI ANALISIS TENTANG ANAK TEMUAN MENURUT HUKUM POSITIF DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "STUDI ANALISIS TENTANG ANAK TEMUAN MENURUT HUKUM POSITIF DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

1 SKRIPSI

Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH) Pada Program Studi Hukum Keluarga Islam

(Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah)

Oleh:

STEVANNY DWI LESTARI NIM. 1117.041

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM (AL-AHWAL AL-SYAKHSIYYAH)

FAKULTAS SYARIAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI

2021 M / 1442 H

(2)

i

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi yang berjudul “Studi Analisis Tentang Anak Temuan Menurut Hukum Positif Dalam Perspektif Maslahah” yang disusun oleh Stevanny Dwi Lestari, NIM 1117.041 Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi telah dilakukan bimbingan secara maksimal dan untuk selanjutnya disetujui untuk diajukan ke sidang munaqasyah skripsi.

Bukittinggi, 28 Juni 2021 Dosen Pembimbing

Elfiani, SH, M.Hum NIP. 196411191998032001

Mengetahui,

Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah) Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi

Dahyul Daipon, M.Ag NIP. 197704202006041002

(3)

ii

SURAT PERNYATAAN ORISINALITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Stevanny Dwi Lestari

NIM : 1117.041

Tempat/Tanggal Lahir : Batusangkar/27 Oktober 1997

Program Studi : Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah)

Fakultas : Syariah

Judul Skripsi : Studi Analisis Tentang Anak Temuan Menurut Hukum Positif Dalam Perspektif Maslahah

Menyatakan dengan ini sesungguhnya bahwa karya ilmiah (skripsi) penulis dengan judul di atas adalah benar asli karya penulis. Apabila di kemudian hari terbukti bahwa skripsi ini bukan karya sendiri, maka penulis bersedia diproses sesuai hukum yang berlaku dan gelar kesarjanaan penulis dicopot hingga batas waktu yang tidak ditentukan. Demikian pernyataan ini penulis buat dengan sesungguhnya untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

Bukittinggi, 28 Juni 2021 Yang menyatakan

Stevanny Dwi Lestari NIM. 1117.041

(4)

iii ABSTRAK

Skripsi ini berjudul “Studi Analisis Tentang Anak Temuan Menurut Hukum Positif Dalam Perspektif Maslahah”, yang ditulis oleh Stevanny Dwi Lestari, NIM 1117.041, Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah) Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

Skripsi ini ditulis karena adanya tindakan pembuangan bayi yang dilakukan oleh orang tua dengan tujuan untuk melepaskan tanggung jawab terhadap anak tersebut. Akibatnya, anak yang dibuang hidup terlantar, tidak terpenuhi segala kebutuhannya dan tidak mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan. Berdasarkan hal ini maka penulis ingin untuk mengetahui secara utuh tentang prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif, kemudian tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian pustaka atau library research. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah peraturan perundang- undangan tentang anak, sedangkan untuk sumber sekunder adalah buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan lain sebagainya yang relevan dengan permasalahan anak temuan. Adapun dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif dan induktif.

Berdasarkan hasil penelitian dapat ditemukan bahwa dalam prosedur penetapan anak temuan menurut hukum Positif, seseorang yang menemukan seorang anak yang tidak diketahui identitasnya atau tidak diketahui asal-usulnya di suatu tempat, harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Penetapan terhadap anak temuan ini, bisa ditetapkan sebagai anak terlantar atau sebagai anak angkat. Hal ini tergantung tindakan hukum mana yang akan diberikan kepada anak tersebut. Anak tersebut akan mendapatkan hak-haknya sesuai dengan status yang ditetapkan oleh Pengadilan terhadapnya. Penetapan anak temuan yang ditetapkan oleh Pengadilan ini mengandung banyak maslahah (kemanfaatan) di dalamnya. Kemanfaatan ini dapat dirasakan oleh anak yang bersangkutan karena penetapan ini memiliki kekuatan hukum yang kuat dan jelas.

Dengan adanya penetapan ini, anak akan memperoleh kejelasan identitas dan

(5)

iv

status yang diragukan selama ini. Apabila ditinjau dari segi maslahah mursalah, penetapan status hukum terhadap anak temuan ini, termasuk ke dalam aspek memelihara jiwa dan memelihara keturunan. Anak temuan ini dipelihara jiwanya oleh orang atau badan hukum yang ditunjuk oleh Pengadilan untuk memeliharanya. Jika ia ingin menikah, maka dengan adanya penetapan Pengadilan ini, statusnya sudah sah dan jelas di mata hukum. Ia bisa melangsungkan pernikahan yang sah secara hukum dan agama. Keturunan yang dihasilkan dari pernikahan tersebut memiliki status hukum yang sah dan memiliki hubungan kekerabatan yang jelas. Sehingga keturunan dari anak temuan ini, dari satu generasi ke generasi selanjutnya akan terpelihara.

(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Shalawat beserta salam disampaikan agar tercurah buat Nabi Muhammad SAW.

Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Program Studi Hukum Keluarga Islam Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi. Penulis menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada orang tua penulis Bapak Medy Chairul (alm) dan Ibu Desyanti Adams A.Md. Kes yang telah dengan ikhlas dan sabar mendidik, membesarkan, dan merawat penulis sampai pada tahap ini. Selanjutnya ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum beserta Bapak-bapak Wakil Rektor, Bapak Dr. Asyari, M.Si, Bapak Dr. Novi Hendri, M.Ag, dan Bapak Dr. Miswardi, M.Hum, yang telah memberikan fasilitas kepada penulis selama menjalani pendidikan di IAIN Bukittinggi.

2. Dekan Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, Bapak Dr. H. Ismail, M.Ag, beserta Bapak-bapak Wakil Dekan, Bapak Dr.

Nofiardi, M.Ag, Bapak Dr. Busyro, M.Ag, dan Bapak Fajrul Wadi, S.Ag,

(7)

vi

M.Hum, serta Ketua Program Studi Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah), Bapak Dr. Dahyul Daipon, M.Ag, yang telah menfasilitasi penulis dalam menjalani pendidikan dan bimbingan skripsi ini.

3. Pembimbing Skripsi penulis, Ibu Elfiani, SH, M.Hum, yang telah menyediakan waktu, tenaga, dan pikiran untuk mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini.

4. Pimpinan beserta staf perpustakaan yang telah memfasilitasi penulis untuk mengakses buku-buku dan referensi dalam mengumpulkan data-data dan informasi yang dibutuhkan dalam menyelesaikan penulisan Skripsi ini.

5. Seluruh pihak yang telah membantu, baik moril maupun materil, terutama teman-teman kuliah yang seperjuangan, semua pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata, penulis berharap kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Pengasih, berkenan membalas segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya dalam bidang Hukum Keluarga Islam (Al-Ahwal Al- Syakhsiyyah).

Bukittinggi, 28 Juni 2021 Penulis

Stevanny Dwi Lestari NIM. 1117.041

(8)

vii DAFTAR ISI

Hal HALAMAN JUDUL

PERSETUJUAN PEMBIMBING i

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI i

PERNYATAAN ORISINALITAS ii

ABSTRAK iii

KATA PENGANTAR v

DAFTAR ISI vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 10

C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian... 10

D. Penjelasan Judul ... 11

E. Tinjauan Kepustakaan ... 14

F. Metode Penelitian ... 18

G. Sistematika Pembahasan... 22

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK TEMUAN A. Kedudukan Anak Dalam Hukum ... 24

B. Pengertian Anak Temuan ... 32

C. Dasar Hukum memungut Anak Temuan ... 35

D. Tinjauan Tentang Maslahah Mursalah ... 43

BAB III HASIL PENELITIAN A. Prosedur Penetapan Anak Temuan Menurut Hukum Positif...52

B. Tinjauan Maslahah Mursalah Terhadap Penetapan Anak Temuan...63

BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan ... 72

B. Saran ... 74 DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan karunia termahal yang diberikan oleh Allah SWT bahkan anak sering dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan harta benda lainnya. Anak sebagai karunia dari Allah SWT harus senantiasa dijaga, dididik dan dilindungi oleh orang tuanya. Sehingga anak tersebut tumbuh menjadi anak yang berakhlak mulia.

Anak adalah potensi serta penerus cita-cita bangsa yang telah diletakkan oleh generasi sebelumnya.1 Masa depan bangsa dan negara di masa yang akan datang berada di tangan anak sekarang. Semakin baik kepribadiannya, maka semakin baik pula kehidupan masa depan bangsa. Oleh sebab itu orang tua harus merawat dan mendidik anak dengan sebaik-baiknya.

Merujuk dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, anak secara etimologis diartikan dengan manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum dewasa.2 Dalam perspektif Islam, anak adalah anugerah Allah yang diamanahkan kepada orang tua dan wajib disyukuri. Salah satu wujud rasa syukur orang tua atas amanah dari Allah ini adalah dengan berusaha mendidik mereka sebaik-baiknya melalui pola asuh yang tepat, karena tanpa pendidikan dan pola asuh yang tepat,

1 Endang Sumiarni, Dan Chandera Halim, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dibidang Kesejahteraan, cet. ke-1 (Yogyakarta : Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2000), 14

2 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 87

(10)

rasanya mustahil mereka akan menjadi generasi berkualitas yang shalih dan shalihah.

Menurut hukum Positif yang berlaku di Indonesia Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat (5), anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya.3 Selanjutnya menurut Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.4

Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi dan menafkahi anak. Hal ini diatur dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 yang berbunyi, (1) kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya. (2) kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin atau mandiri, kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus.5

Tidak hanya dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan saja yang mengatur mengenai ini. Hal yang sama juga diatur dalam

3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia Pasal 1 ayat 5

4 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 45 ayat 1 dan 2

(11)

Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (1), orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:

1. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak.

2. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya.

3. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak.

4. Memberikan pendidikan karakter dan penanaman nilai budi pekerti pada anak.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa orang tua bertanggung jawab mengasuh, memelihara, mendidik, melindungi dan menafkahi anak sampai anak itu dewasa atau cakap hukum. Kewajiban orang tua tersebut tetap harus dilakukan, meskipun orang tua itu berpisah atau bercerai. Jangan sampai karena perpisahan orang tua, hak-hak anak menjadi tidak terpenuhi. Anak tetap menjadi tanggung jawab mereka sehingga orang tua harus melakukan tanggung jawab tersebut dengan sebaik-baiknya.

Anak harus berada di bawah pengasuhan dan perlindungan orang tua.

Setiap anak mempunyai hak untuk diasuh oleh kedua orang tuanya. Orang tua berkewajiban untuk memenuhi hak anak tersebut. Hal ini diatur dalam Undang- undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 14 ayat (1), setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi

(12)

kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.6 Oleh karena itu, orang tua harus melakukan kewajiban tersebut dengan sebaik- baiknya. Terutama dalam hal pengasuhan ini, karena mengasuh seorang anak merupakan kewajiban utama bagi orang tua.

Apabila orang tua tidak dapat melaksanakan kewajibannya karena suatu sebab yang dibenarkan oleh hukum atau karena tidak diketahui keberadaannya, maka tanggung jawab tersebut beralih kepada keluarga. Sebagaimana yang terdapat dalam Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat (2), dalam hal orang tua tidak ada, atau tidak diketahui keberadaannya, atau karena suatu sebab tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya, kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat beralih kepada keluarga, yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.7 Bahkan pada Pasal 33 Undang- undang ini juga disebutkan bahwa, dalam hal orang tua dan keluarga anak tidak dapat melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, seseorang atau badan hukum yang memenuhi persyaratan dapat ditunjuk sebagai wali dari anak yang bersangkutan.8

Hak-hak yang dimiliki anak harus dipenuhi dan menjadi tanggung jawab dari orang tua atau walinya. Namun kenyataannya ada anak yang tidak berada di

6 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 14 ayat 1

7 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 26 ayat 2

88 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 33

(13)

bawah pengasuhan dan perlindungan orang tua atau walinya. Bahkan anak itu dibuang atau diterlantarkan oleh orang tua atau walinya. Hal ini bisa ditemukan atau dibaca pada berbagai pemberitaan media massa yang memberitakan tentang penemuan seorang anak yang dibuang oleh orang tuanya. Seperti:

1. Kasus penemuan bayi di Kelurahan Pulai Anak Air, Mandiangin Koto Selayan, Kota Bukittinggi, Sumatera Barat.9

2. Kasus penemuan bayi di Desa Gayaman, Kecamatan Mojoanyar, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

3. Kasus penemuan bayi di Jalan Raya Cianjur-Sukabumi Kampung Pajgan Desa Gekbrong Kecamatan Gekbrong, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.

4. Kasus penemuan bayi di Kelurahan Cigondewah Kidul, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung.10

Anak dibuang atau diterlantarkan oleh orang tua dengan berbagai alasan, misalnya karena orang tua miskin sehingga tidak mampu memberikan nafkah dan memenuhi segala kebutuhannya. Alasan lain karena malu hamil di luar nikah, takut dikucilkan oleh masyarakat atau anak yang dilahirkan tersebut mengalami cacat badan. Sehingga orang tua itu tidak mau mengasuh anaknya dan lebih memilih membuang anak tersebut. Tindakan yang dilakukan oleh orang tua ini sangat merusak nilai-nilai dan norma yang berlaku.

9 Berita Bukittinggi, Walikota Bezuk Bayi yang Dibuang Ibunya, dalam http://www.bukittinggikota.go.id/berita/walikota-bezuk-bayi-yang-dibuang-ibunya diunduh 25 Juni 2021 pukul 09.27

10 DetikNews, Bayi Baru Lahir Ditemukan Dalam Kardus Depan Rumah Warga di Bandung, dalam https://news.detik.com/berita-jawa-barat/d-5163907/bayi- baru-lahir-ditemukan-dalam-kardus-depan-rumah-warga-di-

bandung?_ga=2.208712977.2019538487.1602203469-520107926.1590021302 diunduh 9 Oktober 2020 pukul 08.12

(14)

Menurut Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, anak yang dibuang oleh orang tuanya dan ditemukan oleh orang lain disebut dengan anak terlantar yang tidak diketahui asal-usulnya. Pengertian anak terlantar dicantumkan pada Pasal 1 ayat (6), anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.11 Sedangkan kata anak tidak diketahui asal-usulnya terdapat pada Pasal 39 ayat (4a), dalam hal anak tidak diketahui asal-usulnya, orang yang akan mengangkat anak tersebut harus menyertakan identitas anak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (4).12 Maksud ketentuan Pasal 27 ayat (4) ini adalah dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan akta kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi berita acara pemeriksaan Kepolisian.13

Menurut penulis, antara anak temuan, anak tidak diketahui asal-usulnya dan anak terlantar memiliki esensi yang sama. Anak-anak tersebut sama-sama tidak mendapatkan hak-haknya sebagaimana mestinya, tidak terpenuhi kebutuhannya secara patut dari orang tua atau walinya. Mereka diterlantarkan oleh orang tua atau wali yang mempunyai peran sangat penting dalam kelangsungan hidup mereka. Akibat dari kelalaian tanggung jawab orang tua atau wali tersebut, keberlangsungan hidup anak temuan, anak tidak diketahui asal-

11 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 6

12 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 39 ayat 4a

13 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 ayat 4

(15)

usulnya dan anak terlantar menjadi sangat terancam. Oleh karena itu, diperlukan perhatian lebih untuk mereka dari berbagai pihak.

Di dalam Hukum Islam, anak yang dibuang oleh orang tuanya atau anak temuan disebut dengan Al-Laqith. Anak temuan dalam Bahasa Arab “ طيقل” ialah anak kecil yang belum baligh ditemukan di jalan yang tidak diketahui keluarganya.14 Biasanya al-laqith adalah anak yang dibuang oleh orang tuanya.

Menurut Sayyid Sabiq dalam fiqh sunnahnya menerangkan bahwa al-laqith adalah anak kecil yang belum baligh, diketemukan di jalan atau sesat di jalan dan tidak diketahui orang tuanya.15 Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa Al-Laqith adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat dibuang oleh orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab atau untuk menutupi suatu perbuatan zina, sehingga anak tersebut tidak diketahui orang tuanya.

Para fuqaha sepakat bahwa anak yang tidak diketahui keberadaan orang tuanya termasuk dalam kategori Al-Laqith. Para Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum memungut anak temuan. Ulama Mazhab Hanafi mengatakan bahwa hukumnya sunnah dan termasuk amalan yang utama, karena sikap ini bersifat mempertahankan nyawa seseorang. Namun Imam Syafi’i berbeda

14 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 94

15 Sayyid Sabiq, Kamaludin A. Marzuki, Fiqh Sunnah, (Bandung: Al-Ma’arif, 1987), 82

(16)

pendapat bahwa segala sesuatu atau anak yang hilang tanpa ada penanggungnya, maka mengambilnya termasuk fardhu kifayah.16

Menurut Jumhur Ulama hukum memungut anak temuan adalah fardhu kifayah (kewajiban kolektif, yang apabila dikerjakan sebagian orang maka kewajibannya gugur bagi yang tidak mengerjakannya) apabila dikhawatirkan anak itu akan binasa jika tidak dipungut dan diselamatkan.17 Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Q.S Al-Maidah ayat 32 :

َك َكِلَذ ِلْجَا ْنِم , ُهَّنَأ َلْي ِءآ َرْسِإ ىِنَب ىَلَع اَنْبَت

َتَق ْنَم َل َن ْف ِب اَس َأ ٍسْفَن ِرْيَغ اَسَف ْو

ىِف ٍد

َيْحَأ ْنَم َو اًعْيِمَج َس اَّنلُا َلَتَق اَمَّن َأَكَف ِض ْرَلآُا َه ا

َكَف ا َأ اَمَّن َأ ًعْيِمَج َساَّنلُا اَيْح َل َو ا

ْدَق

ْنِ م ا ًرْيِثَك َّنِإ َّمُث ِتَنِ يَبْلُاِب اَنُلُس ُر ْمُهْتَءآَج ْمُه

ْعَب ِف َكِلَذ َد ْوُف ِرْسُمَل ِض ْرَلآُا ى

َن

۝۳۲

Artinya:

“ Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah- olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-Rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak di

16 Ibnu Rusyd, Bidayatu‟l Mujtahid, cet. ke-1 (Semarang:Asy-Syifa’, 1990), 390

17 Ibid., 391

(17)

antara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi”.18(Q.S. Al-Maidah (5): 32)

Islam telah menyeru kepada umatnya agar saling tolong-menolong di antara sesama dalam sebuah kebaikan dan ketakwaan. Salah satu bentuknya adalah dengan memungut, memelihara dan melindungi anak temuan. Hal ini merupakan salah satu kebaikan yang disyari’atkan oleh Islam. Tujuan memelihara dan melindungi anak temuan adalah untuk menyelamatkan jiwanya dari kebinasaan dan kesengsaraan.

Seseorang yang menemukan anak yang tidak diketahui identitasnya, harus tunduk kepada ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Perlunya kejelasan kedudukan atau status hukum anak tersebut agar anak yang ditemukan ini terlindungi hak-haknya dan tidak diperlakukan sewenang-wenangnya. Hal inilah yang mendorong penulis untuk meneliti permasalahan tersebut. Berdasarkan permasalahan tersebut, muncul pertanyaan bagaimana prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan bagaimana tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

Menurut penulis, penelitian tersebut menjadi menarik karena perlindungan anak dalam suatu masyarakat berbangsa dan bernegara merupakan tolok ukur kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat, bangsa, dan Negara yang bersangkutan. Oleh karena itu, menjadi kewajiban bersama bagi pemerintah dan setiap anggota masyarakatnya baik secara pribadi maupun bersama mengusahakan

18 Al-Qur’an dan Terjemahan, Kementrian Agama RepublikIndonesia, 2010.

QS. Al-Maidah (5): 32

(18)

perlindungan anak sesuai kemampuan demi kepentingan bersama, kepentingan nasional, dan kepentingan kemanusiaan.

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis tertarik untuk mendalami lebih jauh dan membahasnya dalam sebuah karya ilmiah yang berbentuk skripsi dengan judul : “STUDI ANALISIS TENTANG ANAK TEMUAN MENURUT HUKUM POSITIF DALAM PERSPEKTIF MASLAHAH”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis akan merumuskan masalah yang akan dibahas, yaitu:

1. Bagaimanakah prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif?

2. Bagaimanakah tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan?

C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penulisan

Sesuai dengan pokok masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah:

a. Untuk menjelaskan tentang prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif.

b. Untuk menjelaskan tentang tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

2. Kegunaan Penulisan

Sesuai dengan pokok masalah di atas, kegunaan dari penelitian ini adalah:

(19)

a. Untuk memenuhi salah satu syarat supaya bisa meraih gelar Sarjana (S1) pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi Fakultas Syari’ah pada program studi Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyyah).

b. Memberikan sumbangan pemikiran penulis secara ilmiah yang telah diperoleh dalam bidang Hukum Keluarga (Ahwal Al Syakhsiyyah).

c. Menambah pengetahuan dan wawasan bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya.

d. Sebagai partisipasi penulis dalam menambah koleksi pada perpustakaan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi.

D. Penjelasan Judul

Penjelasan judul sangat penting artinya untuk mempertegas tujuan penelitian serta memudahkan penjangkauan makna secara luas. Untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk memudahkan pembaca dalam memahami, maka berikut dijelaskan istilah-istilah yang terdapat pada judul penelitian ini:

Studi : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) studi berasal dari kata penelitian ilmiah, kajian, telaah.19

Adapun yang penulis maksud studi di sini adalah mengkaji atau mentelaah.

19 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 956

(20)

Analisis : Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dan sebagainya) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab- musabab, duduk perkaranya, dan sebagainya).20

Adapun yang penulis maksud analisis di sini adalah penyelidikan terhadap suatu perbuatan yang bertujuan untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya dengan berpedoman kepada ketentuan yang berlaku.

Studi Analisis : Studi analisis adalah suatu kegiatan berfikir untuk menguraikan suatu keseluruhan menjadi komponen sehingga dapat mengenal tanda-tanda komponen, hubungan satu sama lain dan fungsi masing-masing dalam satu keseluruhan yang terpadu. 21

Adapun yang penulis maksud studi analisis di sini adalah mengkaji atau mentelaah suatu hal secara sistematis dengan metode berfikir yang tersusun untuk mendapatkan kesimpulan yang menyeluruh.

Anak Temuan : Anak kecil yang terlantar di jalan raya, masjid atau tempat-tempat selain itu, tidak mempunyai penanggung jawab yang pasti,

20 Ibid., 46

21 Kamaruddin Ahmad, Dasar-dasar Manajemen Investasi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1996), 23

(21)

meskipun sudah tamyiz karena anak semacam ini perlu mendapat pembinaan.22

Adapun yang penulis maksud anak temuan di sini adalah anak yang tidak diketahui asal-usulnya.

Hukum Positif : Hukum Positif berarti kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui Pemerintah atau Pengadian dalam Negara Indonesia.23

Maslahah : Mashlahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Maslahah dapat diartikan mengambil manfaat dan menolak madharat (bahaya) dalam rangka memelihara tujuan syara’ (Hukum Islam).24

Adapun yang penulis maksud maslahah di sini adalah kemanfaatan bagi pihak yang bersangkutan.

22 Wahbah al-Zuhayli, Fiqh Imam Syafii 2, cet. ke-1 (Jakarta:Almahira, 2010), 416

23I. Gede Pantja Astawa, Dinamika Hukum dan ilmu Perundang-Undangan di Indonesia, (Bandung: PT. Alumni, 2008), 56

24 Harun, “Pemikiran Najmudin at-Thufi Tentang Konsep Maslahah Sebagai Teori Istinbath Hukum Islam, Jurnal Digital Ishraqi, vol.5, no. 1 (2009), pp. 24

(22)

Adapun penjelasan judul secara keseluruhan adalah mengkaji atau mentelaah tentang anak temuan menurut Hukum Positif yang berlaku di Indonesia ditinjau dari perspektif kemanfaatannya.

E. Tinjauan Kepustakaan

Kajian dan pembahasan mengenai anak temuan ini bukanlah penelitian yang pertama kali dilakukan. Berdasarkan penelusuran penulis, setidaknya penulis menemukan beberapa karya ilmiah yang mempunyai kemiripan dengan judul yang penulis bahas. Untuk itu penulis akan mengemukakan karya-karya ilmiah tersebut untuk membuktikan bahwa apa yang penulis bahas berbeda dengan tulisan-tulisan atau penelitian-penelitian sebelumnya.

Penelitian pertama ditulis oleh Lila Hanifa, Nim: 132111112. Program studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang 2018. Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Terhadap Hak Nasab Anak Temuan Di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al- Rifda Semarang”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda Semarang dalam pemerolehan hak nasab bagi anak temuan di Yayasan tersebut?. Selanjutnya, bagaimana analisis hukum terhadap hak nasab anak temuan di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda Semarang?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, dalam proses pemerolehan hak nasab anak temuan di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al- Rifda mengalami banyak hambatan seperti halnya proses permohonan Akta Kelahiran yang lama tidak kunjung jadi akta tersebut dan tidak adanya kepastian

(23)

yang jelas. Pada akhirnya tidak adanya keberhasilan dalam pemerolehan hak identitas sah untuk anak temuan di Al-Rifda tersebut, tidak adanya pengecualian untuk kemudahan pemerolehan hak identitas bagi anak-anak temuan tersebut.

Sehingga mayoritas anak-anak di Yayasan Panti Asuhan Cacat Ganda Al-Rifda tidak mempunyai Akta Kelahiran sebagai identitas yang sah dihadapan Hukum Indonesia.

Adapun penelitian kedua ditulis oleh Muhammad Yusuf, Nim:

10821004760. Program studi Hukum Keluarga Fakultas Syari’ah dan Ilmu Hukum, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim 2013. Dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Terhadap Pendapat Ibnu Qudamah Tentang Wali Nikah Anak Temuan”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pendapat Ibnu Qudamah tentang wali nikah bagi anak temuan?. Selanjutnya bagaimana metode Istinbath hukum yang digunakan oleh Ibnu Qudamah tentang wali nikah bagi anak temuan?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, Ibnu Qudamah membolehkan orang yang menemukan anak temuan itu sebagai wali nikah bagi anak temuan berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah, Qoul Sahabat. Menurut beliau menjadi wali nikah bagi anak temuan tidak harus mempunyai jabatan kekuasaan.

Istinbath Hukum yang digunakan Imam Ibnu Qudamah dalam pendapatnya tentang diperbolehkannya multaqith menjadi wali nikah bagi anak temuan adalah dengan menggunakan qiyas, dikarenakan multaqith disamakan dengan penguasa karena keduanya sama-sama mempunyai sifat adil.

Selanjutnya penelitian yang ditulis oleh Siti Khotijah, Nim: 083111044.

Program studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas syari’ah, Institut Agama Islam

(24)

Negeri Jember 2015. Dalam penelitiannya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Mengenai Pengangkatan Anak Temuan (Analisis Perkara Nomor 0431/Pdt.P/2014/PA.Jr)”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pertimbangan hakim Pengadilan Agama Jember dalam memutuskan prosedur dan syarat-syarat pengangkatan anak temuan?. Selanjutnya bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap prosedur dan syarat pengangkatan anak temuan?. Dan bagaimana status nasab anak angkat anak temuan dalam perkara ini?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, dalam asasnya prosedur pengangkatan anak temuan yang pengangkatan anak temuan dalam Islam. Asas dari pengangkatannya adalah untuk melindungi, memelihara, dan mengasuh anak temuan agar masa depannya terjamin dengan baik dan tumbuh menjadi orang yang berguna bagi agama dan negaranya. Dari aspek syarat-syarat orang yang mengasuhnya (pemohon) di Pengadilan Agama Jember juga telah sesuai dengan syarat-syarat yang ada dalam hukum Islam. Dalam perkara ini orang yang mengangkat atau mengasuh anak temuan ini tidak mengakui sebagai anaknya, melainkan anak orang lain yang keberadaan orang tuanya tidak diketahui. Ia asuh karena rasa prikemanusiaan, dan ia mengakuinya sebagai anak selama ini hanya sebatas untuk menjaga kehormatan dan perasaan anak temuan tersebut bukan untuk mengakuinya sebagai anaknya sendiri.

Kajian keempat penelitian yang ditulis oleh Muhammad Furqon Faturrahman, Nim:15210196. Program studi Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Fakultas Syari’ah, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 2019. Dalam penelitiannya yang berjudul “Putusan Pengadilan Negeri Kuningan

(25)

Nomor:37/Pdt.P/2017/Pn. Kng Tentang Permohonan Pengangkatan Anak Temuan Ditinjau Dari Teori Kemaslahatan”. Rumusan masalahnya adalah bagaimana pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor: 37/Pdt.

P/2017/PN. KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan?. Selanjutnya bagaimana Putusan Pengadilan Negeri Kuningan Nomor: 37/Pdt. P/2017/PN.

KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan ditinjau dari teori kemaslahatan?. Di akhir pembahasan ia menyimpulkan bahwa, Perkara Nomor:

37/Pdt. P/2017/PN. KNG tentang permohonan pengangkatan anak temuan sudah sesuai dengan teori kemaslahatan yang merujuk pada maqashid syariah yang memiliki 5 prinsip yakni memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta karena pengangkatan anak temuan yang dilakukan merupakan upaya untuk menjaga kehidupan sang anak dari kelima hal tersebut. Hal ini berarti pengangkatan yang dilakukan bertujuan untuk menolak bahaya dari terlantarnya anak tersebut sehingga tidak bertentangan dengan tuntunan syariat Islam.

Kemudian kajian kelima adalah jurnal yang berjudul “Pendapat Ibnu Qudamah Dan Imam Mawardi Tentang Wali Nikah Bagi Anak Temuan (Laqith)”.

Jurnal hukum Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Di akhir jurnal ini disimpulkan, bahwa wali nikah bagi laqith menurut Ibnu Qudamah yaitu multaqith, ia berhak menjadi wali nikah bagi laqith karena ia termasuk orang yang adil. Sedangkan Imam Mawardi berpendapat bahwa laqith lebih berhak atas dirinya sendiri dalam pernikahan. Perwalian nikah bagi laqith tidak diberikan kepada siapa-pun termasuk multaqith, karena menurutnya hak perwalian nikah itu

(26)

hanya diberikan kepada orang yang memerdekakan atas hamba sahaya yang dimerdekakannya saja, sedangkan laqith secara hukum asal adalah merdeka.

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian yang telah diuraikan di atas adalah penulis lebih fokus meneliti tentang prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara yang tepat untuk melakukan sesuatu dengan pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan. Adapun Metode penelitian ini meliputi :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang dilaksanakan dengan cara membaca, menelaah, dan mencatat berbagai literatur atau bahan bacaan yang sesuai dengan pokok bahasan, kemudian disaring dan dituangkan dalam kerangka pemikiran secara teoritis.25 Penelitian ini termasuk penelitian normatif. Metode penelitian hukum normatif juga biasa disebut penelitian hukum doktriner atau penelitian perpustakaan.26 Dinamakan penelitian hukum doktriner dikarenakan penelitian ini hanya ditujukan

25 Kartini Kartono. Pengantar Metodologi Research Sosial, cet. ke-7 (Bandung:

Mandar Maju, 1996), 78

26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta:Universitas Indonesia,2014), 1-2

(27)

pada peraturan-peraturan tertulis sehingga penelitian ini sangat erat hubungannya pada perpustakaan.

Penelitian ini menekankan sumber informasinya dari literatur-literatur, kitab-kitab dan Undang-undang yang berkaitan dan relevan dengan objek kajian yaitu tentang maslahah.

2. Sumber Data

Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan sumber data sekunder yakni:

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang utama. Sebagai bahan hukum yang bersifat autoritatif, yakni bahan hukum yang mempunyai otoritas.27 Bahan hukum primer meliputi:

1) Peraturan perundang-undangan.

2) Segala dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum.

3) Undang-undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

4) Undang-undang No.23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang No.35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenda Media Grup,2007), 141

(28)

5) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- undang No.16 Tahun 2019 Tentang Perkawinan.

6) Peraturan Menteri Sosial nomor 110 tahun 2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak.

7) Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

8) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan.

9) Kementerian Sosial Republik Indonesia, Pengangkatan Anak, Direktorat Rehabilitasi Sosial Anak Tahun 2016.

10) Peraturan Menteri Sosial Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Bimbingan, Pengawasan dan Pelaporan Pelaksanaan Pengangkatan Anak.

11) Konvensi Hak Anak tahun 1989.

12) Kompilasi Hukum Islam.

13) Al-Qur’an.

14) Hadist.

b. Bahan Hukum Sekunder

(29)

Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti buku-buku, artikel, jurnal, hasil penelitian, makalah dan lain sebagainya yang relevan dengan permasalahan yang akan dibahas. Bahan hukum sekunder pada dasarnya digunakan untuk memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer. Dengan adanya bahan hukum sekunder, maka penulis akan terbantu untuk memahami/menganalisis bahan hukum primer.

c. Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier sebagai bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus dan media internet. Bahan hukum tersier yang diperoleh, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum.

3. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan (library reseach) dengan cara mencari, mengumpulkan, membaca dan menganalisa buku-buku yang berkaitan dengan masalah penelitian. Oleh karena itu, pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka antara lain dengan pengkajian literatur-literatur primer. Kemudian dilengkapi pula dengan bahan sekunder yang berkaitan dan relevan untuk menunjang penyelesaian pokok permasalahan.

4. Teknik Analisis Data

(30)

Data yang telah terkumpul, kemudian diuraikan secara sistematis. Analisis data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah analisis kualitatif yaitu pemaparan kembali dengan kalimat sistematis untuk memberi gambaran jelas jawaban atas permasalahan yang ada. Selanjutnya dilakukan pengolahan data dengan menggunakan metode induktif, yaitu metode yang digunakan ketika data masih bersifat khusus yang kemudian dianalisis menjadi kesimpulan bersifat umum.

G. Sistematika Pembahasan

Untuk lebih memudahkan pemahaman para pembaca dan terarahnya pembahasan dalam penelitian ini, maka penulis akan menjelaskan pada 4 (empat) BAB.

BAB I : Merupakan Pendahuluan yang akan menjelaskan tentang latar belakang masalah yang memotivasi penulis dalam meneliti judul ini, di samping itu juga ada rumusan masalah serta tujuan dan kegunaan penulisan, penjelasan judul, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, serta sitematika penulisan.

BAB II : Merupakan Landasan Teori Tinjauan umum tentang anak yang terdiri dari empat sub bab yaitu mendeskripsikan tentang kedudukan anak dalam hukum, pengertian anak temuan, dasar hukum memungut anak temuan, tinjauan tentang maslahah mursalah.

(31)

BAB III : Merupakan Hasil Penelitian yang terdiri dari sub bagian yaitu prosedur penetapan anak temuan menurut Hukum Positif dan tinjauan maslahah mursalah terhadap penetapan anak temuan.

BAB IV : Merupakan BAB Penutup yang mengemukakan kesimpulan dari penelitian ini, berikut dengan beberapa saran dari penulis.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK

A. Kedudukan Anak Dalam Hukum

Kedudukan seorang anak dalam Hukum Positif Indonesia harus memiliki kekuatan hukum yang jelas. Apabila kedudukan seorang anak itu sudah jelas, maka ia akan mendapatkan hak-hak yang seharusnya ia dapatkan serta mendapatkan perlindungan terhadap dirinya, baik itu perlindungandari berbagai macam tindak kejahatan maupun perlindungan hukum lainnya. Namun ketika kedudukan anak tidak jelas, maka sulit untuk memberikan perlindungan terhadap anak tersebut. Anak memiliki karakteristik khusus (spesifik) dibandingkan dengan orang dewasa dan merupakan salah satu kelompok rentan yang haknya masih terabaikan, oleh karena itu hak-hak anak penting diprioritaskan.28

Kedudukan seorang anak dapat dilihat dari statusnya dalam keluarganya.

Kelahiran seorang anak tidak selalu terjadi dalam ikatan perkawinan yang sah.

Adakalanya seorang anak itu lahir dari akibat hubungan seksual antara seorang pria dan seorang wanita di luar ikatan perkawinan (belum kawin). Anak yang lahir di luar ikatan perkawinan biasanya disebut dengan anak luar kawin atau anak hasil zina. Menurut hukum Perkawinan Indonesia, status seorang anak dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Anak sah

28 PERMEN Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I. Nomor 15 Tahun 2010, Pedoman Umum Penanganan Anak Yang Berhadapan Dengan Hukum, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak R.I

(33)

Menurut Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 42 menyatakan bahwa, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, apabila ia dilahirkan setelah terjadinya suatu perkawinan yang sah (perkawinan yang tercatat oleh negara) antara ibu dan bapaknya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 99 dinyatakan bahwa, anak sah adalah (a) anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. (b) hasil perbuatan suami isteri yang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.29 Maksud dari butir (a) pasal ini adalah seorang anak dapat mempunyai kedudukan sebagai anak sah apabila anak tersebut lahir setelah adanya perkawinan yang sah menurut hukum dan agama antara sepasang suami isteri. Selanjutnya maksud dari butir (b) pasal ini adalah seorang anak lahir dari hasil perbuatan yang dilakukan oleh suami isteri dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama, yang dibuahi dengan cara menggabungkan sel telur dan sperma di luar tubuh (di luar rahim). Kemudian sel telur yang sudah dibuahi, dipindahkan ke dalam rahim isteri. Hasil dari buah cinta antara suami isteri tersebut dilahirkan oleh isteri.

2. Anak luar nikah

Anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan yang tidak memiliki ikatan perkawinan yang sah dengan laki-laki yang telah

29 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bekasi: CV Akademika Pressindo, 2015), 137

(34)

membenihkan anak di rahimnya, sehingga anak tersebut tidak mempunyai kedudukan yang sempurna di mata hukum seperti anak sah pada umumnya.30 Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 43 ayat (1) menyebutkan bahwa, anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

Maksud dari pasal ini adalah seorang anak yang lahir ketika tidak ada terjadi perkawinan yang sah antara ibu dan bapaknya dapat disebut dengan anak luar nikah. Anak tersebut tidak bisa mempunyai kedudukan atau status sebagai anak sah, ia hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja. Hal ini dikarenakan anak tersebut dinasabkan kepada ibunya, bukan kepada bapaknya.

Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 100, anak yang lahir di luar perkawinan hanya memiliki hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Maksud dari pasal ini adalah seorang anak luar nikah itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya, karena antara ibu dan bapaknya tidak ada hubungan perkawinan sah yang menyebabkan perpindahan nasab dari bapak ke anak tersebut. Anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada bapaknya, oleh karena itu anak luar nikah hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya saja.

30 J. Andi Hartanto, Kedudukan Hukum dan Hak Waris Anak Luar Kawin Menurut KitabUndang-Undang Hukum Perdata, (Yogyakarta:Laksbang Presindo, 2008), 53

(35)

Di dalam sumber hukum tertulis di Indonesia terdapat berbagai macam kriteria penggolongan anak. Kriteria penggolongan anak tersebut ada 2 macam yaitu penggolongan menurut batasan usia anak dan menurut perkembangan biologis anak. Menurut batasan usia anak, hukum tertulis memiliki pendapat yang berbeda-beda. Hal tersebut tergantung dari perundang-undangannya, seperti:

1. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang usianya di bawah 21 (dua puluh satu) tahun dan belum menikah. 31

2. Menurut Konvensi Hak Anak Tahun 1989, yang termasuk dalam kriteria anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun kecuali berdasarkan Undang-undang yang berlaku untuk anak-anak, kedewasaan telah dicapai lebih cepat.32

3. Menurut Kompilasi Hukum Islam, batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah 21 (dua puluh satu) tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

4. Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak, yang termasuk dalam kriteria anak adalah mereka yang

31 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat 2

32 Konvensi Hak-hak Anak Tahun 1989 Bagian I Pasal 1

(36)

belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.33

Sedangkan menurut perkembangan biologis anak untuk hukum tidak tertulis, seperti yang diatur dalam hukum Islam dan hukum Adat. Contohnya dalam hukum Islam, dilihat dari tanda-tanda biologis seperti seorang anak laki- laki dikatakan dewasa apabila anak laki-laki tersebut telah mengalami mimpi basah. Dalam hukum Adat dilihat dari tanda-tanda kemandirian anak tersebut seperti dalam suku Jawa, seorang anak dikatakan dewasa apabila anak tersebut sudah bekerja dan menghasilkan uang.34

Kedudukan dan identitas seorang anak dapat dibuktikan dengan sebuah akta kelahiran untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap dirinya. Akta Kelahiran adalah suatu akta yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang yang berkaitan dengan adanya kelahiran sebagai alat bukti sah dan otentik mengenai status anak yang diterbitkan oleh Dinas Catatan Sipil Kabupaten maupun Kota. Akta kelahiran anak sah harus bersifat akta otentik, karena akta otentik merupakan akta yang dibuat oleh seseorang pejabat umum yang berwenang untuk membuat surat itu, dengan maksud untuk menjadikannya sebagai bukti.35

33 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

34 Anwar Rachman,dkk, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta:Kencana, 2020), 254-255

35 Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Pembuktian, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1997), 58

(37)

Perihal Akta Kelahiran ini terdapat dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 55 ayat (1), asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang otentik, yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.36 Hal yang sama juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 103 ayat (1), asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran atau alat bukti lainnya.37 Bahkan pada Undang-undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 juga mengatur hal ini, identitas diri setiap anak harus diberikan sejak kelahirannya yang dituangkan dalam Akta Kelahiran. Pembuatan Akta Kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan dan/atau membantu proses kelahiran. Dalam hal anak yang proses kelahirannya tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, pembuatan Akta Kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan orang yang menemukannya dan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian. 38

Berdasarkan peraturan-peraturan di atas dapat dipahami bahwa anak harus memiliki identitas yang jelas untuk mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum. Identitas tersebut dibuktikan dengan Akta Kelahiran yang otentik. Pembuatan Akta Kelahiran didasarkan pada surat keterangan dari orang yang menyaksikan proses kelahiran. Apabila proses kelahiran anak tidak diketahui dan orang tuanya tidak diketahui keberadaannya, maka dalam pembuatan Akta Kelahiran untuk anak tersebut didasarkan pada keterangan

36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 55

37 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia., 138

38 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 27 ayat 1-4

(38)

orang yang menemukannya dan dilengkapi Berita Acara Pemeriksaan Kepolisian. Itulah cara untuk membuat Akta Kelahiran anak yang tidak diketahui asal-usulnya. Meskipun asal-usulnya tidak diketahui, namun ia tetap harus mempunyai Akta Kelahiran agar identitasnya menjadi jelas dan mempunyai kekuatan hukum.

Mengenai proses pembuatan Akta Kelahiran seorang anak dilakukan oleh Instansi yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang Administrasi Kependudukan. Pencatatan kelahiran diselenggarakan paling rendah pada tingkat Kelurahan/Desa. Selanjutnya Akta Kelahiran diterbitkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dipenuhinya semua persyaratan. Bahkan dalam pembuatan Akta Kelahiran ini tidak dikenai biaya. Ketentuan mengenai tata cara dan syarat pembuatan Akta Kelahiran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.39

Apabila kedudukan dan identitas anak telah jelas, maka anak akan mendapatkan berbagai macam hak-haknya. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, Negara, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.40 Hak anak ini dijelaskan secara rinci pada Undang-undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang- undang No. 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 4 sampai dengan pasal 18.

39 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 28 ayat 1-5

40 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1 ayat 12

(39)

Dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 18 tersebut terdapat hak-hak anak seperti, anak mempunyai hak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, mendapatkan perlindungan dari berbagai tindak kejahatan dan kekerasan, diskriminasi, menyatakan pendapat, mendapatkan identitas diri serta status kewarganegaraan yang jelas sehingga anak berhak untuk mengetahui orang tua kandung dan diasuh oleh orang tuanya itu. Anak juga berhak memperoleh pelayanan kesehatan, jaminan sosial, pendidikan, bermain danberibadah menurut agama yang diyakininya. Bahkan pada Anak Penyandang Disabilitas berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial dan pendidikan luar biasa.41

Dengan demikian, dari penjelasan yang telah dipaparkan di atas dapat dipahami bahwa kedudukan seorang anak dalam Hukum Positif Indonesia harus memiliki kekuatan hukum yang jelas. Apabila kedudukan seorang anak itu sudah jelas, maka ia akan mendapatkan hak-haknya seperti yang telah disebutkan di atas. Namun apabila kedudukan dan identitas anak tidak jelas, maka sulit untuk memberikan hak anak tersebut. Identitas seorang anak dapat dibuktikan dengan Akta Kelahiran otentik yang dibuat oleh pejabat yang berwenang.

B. Pengertian Anak Temuan

41 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 4-18

(40)

Anak temuan berasal dari kata anak dan temuan. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.42 Sedangkan temuan merupakan sesuatu yang dijumpai di suatu tempat yang tidak diketahui asal-usul dan siapa pemiliknya. Berdasarkan pengertian anak dan pengertian temuan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa anak temuan adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat yang dibuang oleh orang tuanya, sehingga anak tersebut tidak diketahui asal-usulnya.

Anak temuan dalam Bahasa Arab “Al-Laqith” (طيقل) ialah anak kecil yang belum baligh ditemukan di jalan yang tidak diketahui keluarganya.43 Menurut Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya yang berjudul Ensiklopedia Hukum Islam menyebutkan bahwa Al-Laqith adalah anak yang tidak diketahui dan tidak dapat ditelusuri orang tuanya. Anak kecil yang hilang atau dibuang oleh orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab dari kehidupan anaknya.44

Menurut Ulama Madzhab Syafi’iyah, Al-Laqith adalah seorang anak dalam keadaan hidup yang dibuang oleh keluarganya karena takut kemiskinan atau untuk menghindari tuduhan.45 Sedangkan menurut Imam Nawawi, Al- Laqith adalah semua anak-anak kecil (yang belum baligh atau berakal) yang disia-siakan oleh orang tuanya tanpa ada yang mengasuhnya (bapak, ibu, kakek

42 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 ayat 1

43 Abdul Mannan, Aneka Masalah Hukum Perdata Islam Di Indonesia, (Jakarta: Kencana Prenadamedia Group, 2014), 94

44 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ictiar Baru Van Hoeve, 1996), 1023

45 Andi Syamsu Alam dan M. Fauzan, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), 190

(41)

atau kerabat). Selanjutnya Madzhab Hanabilah juga mengemukakan pendapatnya, menurutnya Al-Laqith merupakan seorang anak yang tidak diketahui nasabnya atau anak yang tersesat di jalan, diantara kelahirannya sampai masa mumayyiz. Bahkan Madzhab Malikiyah pun juga berpendapat mengenai Al-Laqith, menurutnya Al-Laqith merupakan seorang anak kecil yang tidak diketahui orang tuanya atau kerabatnya.46

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa Al- Laqith adalah seorang anak kecil yang belum baligh ditemukan terlantar di suatu tempat yang tidak diketahui asal-usulnya, dibuang oleh orang tuanya untuk menghindari tanggung jawab merawat anak tersebut sehingga tidak diketahui siapa orang tua kandungnya dan asal-usulnya.

Dalam Hukum Islam rukun Al-Laqith ada tiga macam, yaitu sebagai berikut:

1. طيقل, Anak yang dibuang.

Dalam rukun Al-Laqith harus ada anak yang dibuang. Orang tua yang tidak mau bertanggung jawab terhadap kehidupan anaknya, ia akan membuang anaknya untuk melepaskan tanggung jawabnya terhadap anak tersebut.

2. طقلتم, Orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut.

Dalam rukun Al-Laqith selanjutnya, harus ada orang yang menemukan dan mengambil anak tersebut. Orang yang menemukan anak temuan tersebut merupakan orang yang paling berhak untuk mengambil dan merawatnya.

3. طاقتلا, Mengambil anak yang dibuang.

46 Ibid., 191

(42)

Dalam rukun Al-Laqith yang terakhir, mengambil anak yang dibuang merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang yang menemukan anak temuan tersebut. 47

Apabila orang yang menemukan anak temuan (Multaqith) itu bersedia untuk mengasuhnya, maka menurut Imam Al-Nawawi orang tersebut harus memenuhi beberapa persyaratannya, yaitu:

1) Orang tersebut harus sudah cakap hukum (taklif).

Orang yang akan mengasuh anak temuan tersebut sudah berakal atau dewasa dan sudah dapat menjalani serta memahami secara baik pembebanan hukum (taklif) yang ditujukan kepadanya.

2) Merdeka, budak tidak diperbolehkan kecuali dapat izin dari tuannya.

Status orang yang akan mengasuh anak temuan itu harus merdeka. Apabila seorang budak ingin mengasuh anak tersebut, maka ia harus mendapatkan izin dari tuannya.

3) Islam (seagama) antara anak tersebut dengan pengasuhnya.

Antara anak temuan dan orang yang akan mengasuhnya harus meyakini agama yang sama. Jika anak temuan beragama Islam, maka orang yang akan mengasuhnya juga harus beragama Islam.

4) Adil.

Adil berarti mempersamakan sesuatu dengan yang lain, baik dari segi nilai maupun dari segi ukurannya sehingga sesuatu itu menjadi tidak berat

47 Ibid., 192

(43)

sebelah dan tidak berbeda satu sama lain. Adil juga berarti berpihak atau berpegang kepada kebenaran.48

Berdasarkan penjelasan yang tertera di atas, dapat disimpulkan bahwa rukun Al-Laqith yaitu harus adanya anak yang dibuang oleh orang tuanya, harus ada orang yang menemukan anak tersebut dan harus ada tindakan untuk mengambil anak temuan tersebut. Apabila orang yang menemukan anak temuan itu bersedia mengasuh anak tersebut, maka ia harus memenuhi persyaratan yang telah dikemukakan oleh Imam Al-Nawawi di atas. Seperti sudah cakap hukum (taklif), merdeka (jika ia budak, harus mendapatkan izin dari tuannya), seagama dengan anak temuan dan memiliki sifat adil. Persyaratan ini diberlakukan dengan tujuan agar anak temuan itu berada di bawah pengasuhan dan perlindungan orang yang tepat, sehingga kehidupan anak tersebut menjadi terjamin.

C. Dasar Hukum Memungut Anak Temuan

Dasar hukum memungut atau memelihara anak temuan dalam Islam tertuang dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah SAW. Dalam ajaran Islam sesama manusia diperintahkan untuk saling tolong menolong. Jika ada orang lain yang sedang kesusahan, hendaklah kita menolongnya. Apalagi yang ditemukan itu adalah seorang anak kecil yang belum baligh atau yang belum berakal, terlantar (dibuang) di suatu tempat. Ia belum bisa bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, ia butuh bantuan orang lain untuk bertahan hidup. Orang yang

48 H. Ahmad Kamil dan H. M. Fauzan, Hukum Perlindungan dan

Pengangkatan Anak di Indonesia, Edisi I. Cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), 169

(44)

menemukannya itu, berkewajiban untuk menyelamatkan jiwanya dari kesengsaraan dan kebinasaan. Tujuan umum disyari’atkan hukum Islam adalah untuk merealisasikan kemaslahatan dan keadilan dalam aspek kehidupan manusia.49

Memungut anak temuan yang belum baligh ditemukan di jalanan atau tersesat hukumnya adalah fardu qifayah, sama seperti barang hilang tanpa ada yang menjamin. Jika anak tersebut diselamatkan oleh satu orang saja, maka yang lain tidak berkewajiban lagi atau gugur kewajibannya. Apabila tidak ada satupun yang mengambilnya atau menyelamatkannya, maka berdosalah semua orang Islam di sekitar daerah tersebut yang mengetahui adanya anak itu, karena mereka membiarkannya begitu saja, padahal mereka bisa menolongnya.50

Allah SWT memerintahkan kita sesama manusia untuk saling tolong- menolong dalam hal kebajikan terdapat dalam Q.S Al-Maidah ayat 2 :

اَعَت َو ...

ُن َو اَعَتَلا َو ى َوْقَّتلُا َو ِ رِبْلُا ىَلَعأ ْوُن َو َعأ ْو

ُا َل ُا َو ِمْثِلإ ََّ ُاُلل أوُقَّتا َو ِن َوْدُعْل

َ َّللَّآ َّنِإ

ِباَقِعْلآ ُدْيِدَش

۝۲

Artinya:

“...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan janganlah tolong-menolong dalam berbuat dosa dari permusuhan.

Bertakwalah kepada Allah, sungguh, Allah sangat berat siksa-Nya ”.51

49 Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat: Sistem Transaksi dalam fiqh Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), 310-311

50 Ibnu Qudamah, Al-Mughni 8, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2011), 93

51 Al-Qur’an dan Terjemahan, Kementrian Agama Republik Indonesia, 2010.

QS.Al-Maidah:2

(45)

Dengan demikian, dari ayat di atas dapat disimpulkan bahwa jika motif pengangkatan anak tersebut adalah atas dasar tolong menolong demi kebaikan si anak, maka mengangkat anak temuan itu sangat dianjurkan dalam Islam bahkan diwajibkan. Jangan pernah tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan, manusia diperintahkan untuk berlomba-lomba dalam hal kebaikan.

Hendaklah semua manusia bertakwa dan beriman kepada Allah SWT karena siksaan Allah SWT sangatlah berat.

Syekh Abu Syuja’ berkata:

َو َه ُذْخ َأَف ِقْي ِرَّطلا ِةَع ِر اَقِب ُطْيِقَل َد ِج ُو ْنِا َو ْرَت

ْيَب اَفَك َو ُهُت ىَلَع ُةَب ِج ا َو ُهُتَل

اَفِكلا ِةَي

ٍنْيِم َأ ِدَي ىِف َلاِإ ُّرَقُي َلا َو ,

Artinya:

“Apabila anak kecil ditemukan di tengah jalan, maka hukum mengambilnya, memeliharanya, dan merawatnya adalah wajib kifayah. Anak tersebut tidak boleh ditetapkan perawatnya kecuali di tangan orang yang terpercaya”52

Berdasarkan pernyataan Syekh Abu Syuja’ di atas, dapat dipahami bahwa mengambil atau memelihara anak temuan yang ditemukan di jalan hukum mengambilnya adalah wajib kifayah. Orang yang mengambil atau memelihara anak temuan tersebut harus orang yang terpercaya dan memenuhi semua persyaratan untuk memelihara anak tersebut.

Anak yang ditemukan terlantar merupakan keturunan Adam yang harus dimuliakan, maka wajib dirawat, diasuh dan didik sebagaimana orang yang

52 Imam Taqiyyudin Abu Bakar Al-Husaini, Terjemahan Kifayatul Akhyar, Jilid 2 (Surabaya: PT Bina Offset, 1997), 253-254

(46)

sangat memerlukan pertolongan. Menolong atau merawat anak temuan yang belum baligh lebih utama dari pada menolong anak temuan yang sudah baligh meskipun ia memerlukan pertolongan, karena anak yang sudah baligh itu ada kemungkinan bisa mengurus dirinya sendiri. Sedangkan anak yang belum baligh, tidak bisa mengurus dirinya sendiri.

Islam menganjurkan mengangkat anak temuan yang terlantar di jalan dengan tujuan menyelamatkan jiwanya dari kesengsaraan. Apalagi jika anak temuan tersebut berstatus anak yatim, maka orang yang mengasuh anak tersebut akan mendapatkan keutamaan yaitu bisa dekat dengan Rasulullah SAW bagaikan dekatnya jari telunjuk dan jari tengah. Seperti sabda Rasulullah SAW dibawah ini:

َنَا ِاب َر اَشَا َو اَذَكه ِةَّنَجْلا ِيف ِمْيِتَيْلا ُلِف َاك َو َّبَس ل

َب َاب ُوْلا َو ِة َمُهَنْيَب َج َّرَف َو ىط ْس

ا

)ى ذم رتلاو دواد وب أو ى رخبلا هاور(

Artinya:

“Saya akan bersama orang yang menanggung anak yatim, seperti ini sambil ia menunjuk jari telunjuk dan jari tengah dan ia merenggangkan antara keduanya.” (H.R Bukhari, Abu Daud dan At-Tirmidzi)53

Berdasarkan hadits di atas dapat disimpulkan bahwa, mengadopsi seorang anak kecil yatim yang ditemukan terlantar di jalan untuk diasuh, dididik dan dirawat tanpa menasabkan pada dirinya, maka ia akan dekat dengan Rasulullah SAW bagaikan dekatnya jari telunjuk dan jari tengah. Rasulullah SAW sangat mencintai umatnya yang mengasuh dan merawat anak yatim, apalagi anak yatim

53 M. Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Singapura:PT. Bina Ilmu, 1993), 311

Referensi

Dokumen terkait

Tindak pidana pembunuan anak oleh orang tuanya menurut hukum pidana positif adalah seseorang yang dengan sengaja merampas nyawa orang lain, menghilangkan nyawa orang lain

- Wahbah al-Zuhayli memberikan pngertian yang lebih jelas bahwa laqit adalah anak kecil yang hilang atau pada kebiasaannya dibuang disuatu tempat karena takut pada tanggung

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan tentang perlindungan terhadap gelandangan, pengemis, fakir, miskin dan anak terlantar dalam

(Tim penyusun buku UU RI No. Sebagai lingkungan sosial pertama yang di kenal anak, orang tua bertanggung jawab memberikan asuhan dan bimbingan kepada si anak. Sebagaimana yang

Hilman Hadikusuma dalam Muhammad Syarifuddin dkk menjelaskan bahwa setiap anak yang belum dewasa atau sudah dewasa (baligh) tetapi keadaan hidupnya miskin dan tidak

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, Perlindungan terhadap anak yang bekerja membantu orang tuanya sebagai nelayan menurut Hukum Internasional diatur dalam Pasal

Pasca perceraian orang tua, anak tetap memiliki hak untuk bertemu dan diasuh oleh kedua orang tuanya sam- pai dirinya dewasa.Tindakan orang tua yang tidak mendapat hak asuh yang

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Tempat Penitipan Anak TPA merupakan pengasuhan alternatif bagi anak-anak balita yang ditinggal kedua orang tuanya bekerja sehingga anak