• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pada tahun 2001 – 2006 penulis melanjutkan pendidikan sarjana pada Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota, Sekolah Arsitektur Perencanaan dan

1.1 Latar Belakang

Otonomi daerah yang merupakan salah satu jawaban dari reformasi 1998 telah menghasilkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah) sebenarnya telah menggeser orientasi pengembangan wilayah yang berbasis sektoral menjadi berbasis kewilayahan. Pengembangan wilayah berbasis sektoral ditandai dengan penyamarataan program pembangunan daerah oleh Pemerintah Pusat untuk daerah-daerah di Indonesia. Instansi-instansi sektoral di daerah hanya menjadi perpanjangan dari instansi-instansi sektoral di tingkat pusat dengan pendekatan dan sasaran pembangunan yang tidak sesuai/dibutuhkan. Akibat dari hal ini adalah instansi-instansi sektoral di daerah kurang bisa menangkap kompleksitas pembangunan yang ada di daerahnya masing-masing.

Salah satu tantangan saat ini yang paling nyata pada era otonomi daerah adalah bagaimana setiap daerah mampu menangkap pergeseran orientasi pengembangan wilayah ini secara baik. Tertangkapnya pergeseran orientasi pengembangan wilayah ini menjadi lebih penting daripada sekedar “kebebasan” yang diperoleh oleh daerah. Dalam kacamata yang sangat ekstrim, Smith (1985) dalam Bappenas (2004)1 mengungkapkan bahwa otonomi daerah merupakan embrio disintegrasi/separatisme. Desentralisasi sering menampakkan diri sebagai gerakan parokial dan separatis. Ia mengancam “the unity of general will”, memaksakan kepentingan sempit dan parsial.

Pengembangan wilayah berbasis kewilayahan memandang pentingnya keterpaduan antara sektor, spasial, dan kelembagaan di dalam dan antardaerah.

1

Bappenas. Peran Propinsi dalam Pembentukan Daerah Otonom Baru dan Fasilitasi

Penyelenggaraan Pemerintah Daerah Otonom Baru. Laporan Kajian Direktorat Pengembangan Otonomi Daerah. 2004

Keterpaduan antarsektor menuntut adanya keterkaitan fungsional antarsektor pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan dalam kerangka pengembangan wilayah berbasis kewilayahan.

Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, perlu ada skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa:

1. Setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain);

2. Setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan karakteristik yang berbeda-beda;

3. Aktivitas sektoral menyebar secara tidak merata dan spesifik; beberapa sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), dan sumberdaya sosial yang ada.

Oleh karena itu menurut Anwar dan Rustiadi (2000), setiap daerah mempunyai sektor-sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap pengembangan ekonomi wilayah. Dampak yang diberikan oleh sektor-sektor tersebut bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitannya dampak langsung maupun tidak langsung maka pengembangan terhadap sektor-sektor unggulan ini akan menyebabkan pengembangan sektor-sektor lainnya yang berkaitan dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian pengembangan wilayah perlu memperhatikan sektor-sektor unggulan yang ada dalam rangka penentuan prioritas sehingga menjadi lebih terfokus. Adanya kebijakan pengembangan wilayah berdasarkan pada prioritas dapat menghasilkan suatu kebijakan yang lebih terarah sehingga mengurangi resiko kesia-siaan pemanfaatan sumberdaya.

Dalam konteks era otonomi daerah saat ini, khususnya menyangkut otonomi kabupaten dan kota, pengembangan wilayah seharusnya menjadi isu yang sangat penting dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena itu, daerah kabupaten dan kota yang ada baik daerah otonom lama maupun baru, seharusnya mempunyai spirit pengembangan wilayah yang lebih kental daripada

sekedar euforia “kemerdekaan” yang tentunya tidak akan membawa pada perubahan yang lebih baik bagi wilayah dan masyarakatnya apalagi dalam rangka pencapaian kemandirian wilayah seperti filosofi awal dari otonomi daerah. Dengan demikian, salah satu tantangan yang dihadapi oleh kabupaten dan kota saat ini dan di masa mendatang adalah kemampuan untuk mewujudkan pengembangan wilayah yang tepat sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat terwujud.

Salah satu daerah otonom baru yang belum lama ini memekarkan diri adalah Kabupaten Bandung Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten Bandung pada tahun 2007. Kabupaten Bandung Barat mempunyai 42,56 % luas wilayah2; 32,95 % jumlah penduduk3; dan sekitar 11,26 % Pendapatan Asli Daerah (PAD)4 dari Kabupaten Bandung sebelum pemekaran. Beberapa alasan yang digunakan untuk pemekaran ini adalah5:

1. Wilayah Kabupaten Bandung memiliki wilayah yang terlampau luas, sehingga masih ada wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan aparatur pemerintah secara efektif serta belum sepenuhnya terjangkau oleh kegiatan pembangunan;

2. Cakupan wilayah kerja yang memadai akan memberikan peluang peningkatan pelayanan masyarakat dengan berbagai kegiatan pembangunan serta memberi peluang untuk tumbuhnya kehidupan demokrasi, dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dapat lebih efektif;

3. Dari aspek teknis seperti pendapatan, jumlah penduduk, dan luas wilayah serta pertahanan dan keamanan cukup memiliki potensi dan berkemampuan untuk mengelola hak, wewenang, dan tanggung jawab menyelenggarakan urusan pemerintah di daerah secara mandiri.

2

Kabupaten Bandung Dalam Angka 2007 3

Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007

4 Pemerintah Kabupaten Bandung. KBB Hanya Memiliki PAD Rp 17 Milyar. Selasa, 5 Juni 2007.

http://bandungkab.go.id 5

Dede Mariana. Selamat Datang KBB. Sabtu, 6 Oktober 2007. http://dedemariana.blogspot.com. Ketua Tim Konsorsium Perguruan Tinggi Pemekaran Kabupaten Bandung Barat

Jika merujuk pada UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 5 bahwa pembentukan daerah harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu administratif, teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini telah dipenuhi oleh Kabupaten Bandung Barat namun secara teknis masih mengacu pada PP 129 Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan dan Penggabungan Daerah karena pada saat itu belum ada PP turunan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dengan demikian, sebagai daerah otonom baru, tentunya Kabupaten Bandung Barat harus mampu menangkap pergeseran orientasi pengembangan wilayah saat ini sehingga dapat mencapai tujuan sejati dari otonomi daerah, yaitu lebih mampu mensejahterakan masyarakatnya.

Dokumen terkait