(STUDI KASUS: KABUPATEN BANDUNG BARAT)
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Wilayah di Era Otonomi
Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung Barat) adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA.
A Regional Planning Strategy
Approach in Indonesia’s Decentralization Era (A Case Study on The Regency of
Bandung Barat)
. Under direction of SETIA HADI and BABA BARUS.
Regional autonomy which has become one of the most emerging Indonesia’s
1998-reformation answers has pushed a new national regional development
orientation mainly in cities and regencies planning. This new orientation tries to shift
the old centralized and sector-based planning into regional-based planning. Based on
the perspective above, this study try to offer an approach for regional development in
decentralization era. The objectives of this study are: (1) identifying leading sectors in
local perspective, (2) identifying leading sectors in provincial perspective, (3)
identifying leading places, (4) identifying institutional support, and (4) arranging
regional development strategy. This study uses some methods, are: input-output (I-O)
model, location quotient, shift-share analysis, Williamson index, principal component
analysis, Theil index, focus group discussion (FGD), correspondence analysis, and
Strengths Weaknesses Opportunities and Threats (SWOT) analysis.
Entertainment and recreation sector together with industrial sector are
identified as leading sector considered by the multiplier input-output analysis result,
while agricultural sector remains economically not significant but still strategic.
Based on Theil index analysis, 90 % of regional disparity in The Regency of
Bandung Barat is caused by economics sector disparities within districts; the sector
causing the most regional disparities is the industrial sector. Thus, the development of
industrial sector un-spatially will cause regional disparities in spite of its huge
economic contribution. Besides that, there is an indication of regional capital outflow
and unsustainable development. The government of The Regency of Bandung Barat
itself apparently does not adapt the new regional development orientation properly.
So that, it must be a clear approach of regional development in the decentralization
era integrating sector and spatial development and supported by good government
capacity.
Keywords: regional development, decentralization, disparity, capital outflow,
sustainable development
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA.
Strategi Pengembangan Wilayah di
Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung Barat)
. Dibawah
bimbingan SETIA HADI dan BABA BARUS.
Otonomi daerah yang menjadi salah satu jawaban terpenting dari reformasi
1998 telah menggeser perencanaan pengembangan kota dan kabupaten di Indonesia
dari terpusat-sektoral menjadi berbasis kewilayahan. Penelitian ini menawarkan
sebuah pendekatan pengembangan wilayah dalam era otonomi daerah dan bertujuan
untuk: (1) mengidentifikasi sektor unggulan skala kabupaten, (2) mengidentifikasi
sektor unggulan kabupaten dalam perspektif provinsi, (3) mengidentifikasi lokasi
unggulan, (4) mengidentifikasi kelembagaan yang mendukung, dan (5) menyusun
strategi pengembangan wilayah. Konsep dasar pengembangan wilayah dalam
penelitian ini merupakan keterpaduan dari 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) sektor, (2) spasial,
dan (3) kelembagaan. Penelitian ini menggunakan beberapa metode, yaitu: model
input-output
(I-O),
location quotient
(LQ)
, shift-share analysis
(SSA)
,
indeks
Williamson, principal component analysis
(PCA)
,
indeks
Theil, focus group
discussion
(FGD)
, correspondence analysis,
dan
analisis
Strengths Weaknesses
Opportunities and Threats
(SWOT).
Sektor unggulan khususnya dalam perspektif Kabupaten Bandung Barat
(
inward looking
) merupakan penjabaran dari analisis input-output yang dilihat dari
akumulasi penggandanya. Dari analisis input-output didapatkan bahwa sektor industri
tanpa migas serta hiburan dan rekreasi (pariwisata) merupakan sektor unggulan
karena mempunyai pengganda tertinggi terbanyak. Mempertimbangkan penyerapan
tenaga kerja (34,03 % tenaga kerja merupakan tenaga kerja pertanian) serta dukungan
luas lahan yang besar (52,14% luas wilayah merupakan lahan budidaya perdesaan),
sektor pertanian dianggap sebagai sektor strategis. Terkait dengan analisis
input-output, sektor pertanian yang mempunyai satu pengganda input-ouput tertinggi
adalah peternakan.
Untuk melihat posisi sektor unggulan (industri tanpa migas serta hiburan dan
rekreasi) dan sektor pertanian sebagai sektor strategis dalam perspektif Provinsi Jawa
Barat (
outward looking
), digunakan analisis LQ dengan SSA. Dari hasil analisis ini
didapat bahwa sektor industri tanpa migas unggul secara komparatif, adapun sektor
hiburan dan rekreasi (pariwisata) relatif memiliki tingkat keunggulan pertumbuhan
yang sama dengan Provinsi Jawa Barat. Sub-sektor peternakan merupakan sektor
pertanian yang mempunyai 2 keunggulan sekaligus pada level Provinsi Jawa Barat.
Tahap lanjutan penelitian ini setelah identifikasi sektor unggulan dalam
perspektif Provinsi Jawa Barat (
outward looking
)
adalah identifikasi awal komoditas
unggulan untuk sektor unggulan (industri tanpa migas serta hiburan dan rekreasi) dan
sektor strategis (pertanian).
migas di Kabupaten Bandung Barat adalah industri non pertanian. Komposisi industri
kecil di Kabupaten Bandung Barat berbeda dengan komposisi industri
menengah-besar. Industri kecil yang paling dominan adalah makanan (38,74 %) dan anyaman
(34,42 %). Adapun industri tekstil/pakaian yang mendominasi industri
menengah-besar tidak menjadi dominan (kain) pada industri kecil.
Sektor hiburan dan rekreasi (pariwisata) secara lebih rinci dapat dilihat dari
obyek wisata unggulan; adapun obyek wisata unggulan dilihat dari jumlah kunjungan
wisatawan. Sebanyak 44,83 % wisatawan berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu.
Obyek wisata ini menyedot 83,95 % wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung.
Adapun obyek wisata kedua adalah Taman Wisata Maribaya yang menyedot 18,56 %
wisatawan; ketiga adalah Curug Omas dengan proporsi 17,38 %. Taman Wisata
Maribaya dan Curug Omas sebagian besar adalah wisatawan mancanegara (wisman)
yang berkunjung ke Kabupaten Bandung Barat dengan proporsi masing-masing 32,91
% dan 31,5 %.
Komoditas unggulan sektor pertanian dihasilkan dari
focus group discussion
(FGD) serta analisis proporsi. Dari metode ini diidentifikasi bahwa komoditas
tanaman hias, sapi perah, dan keramba jaring apung (KJA) menjadi komoditas
unggulan di level Provinsi Jawa Barat.
Tujuan ketiga penelitian ini adalah mengidentifikasi lokasi unggulan yang
didapatkan dari analisis LQ
dan proporsi. Kecamatan Lembang, Parongpong, dan
Cisarua mempunyai komoditas unggulan terbanyak, yaitu untuk hiburan dan rekreasi
khususnya wisata alam, sapi perah, sayuran, dan tanaman hias. Lokasi unggulan
industri menengah-besar adalah Kecamatan Ngamprah, Padalarang, dan Batujajar.
Lokasi unggulan industri kecil adalah Kecamatan Cililin dan Sindangkerta.
Sedangkan lokasi unggulan perikanan KJA adalah Kecamatan Cipeundeuy dan
Cililin.
Isu pengembangan wilayah yang menjadi strategis dan dijawab penelitian ini
adalah ketimpangan wilayah, kebocoran wilayah, dan keberlanjutan wilayah. Dari
hasil analisis indeks
Theil
didapat nilai indeks
Theil Between
sebesar 0,0297 (positif)
yang berarti terjadi ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Dari
hasil analisis indeks
Theil
menunjukkan bahwa nilai
Theil Within
0,263 yang artinya
ada ketimpangan intern kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Secara kesuruhan
dari analisis
Theil Within
, dapat disimpulkan bahwa sektor industri pengolahan
menjadi penyebab ketimpangan intern kecamatan di 11 kecamatan; sektor
perdagangan, hotel, restoran di 6 kecamatan; sektor listrik, gas, dan air bersih di 1
kecamatan Kabupaten Bandung Barat. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa proporsi
Theil Within
sebesar 89,86 %;
Theil Between
sebesar 10,14 %. Hal ini menunjukkan
bahwa ketimpangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat 89,86 % disebabkan oleh
ketimpangan yang terjadi pada intern kecamatan.
sumber daya lokal.
Untuk mengidentifikasi pembangunan keberlanjutan dapat dilihat dengan
mengidentifikasi korelasi antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui
metode PCA. Dari analisis ini dapat diketahui bahwa antar aspek pembangunan
berkelanjutan (sosial, ekonomi, dan lingkungan) tidak saling terkait. Artinya bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak menyebabkan peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan perhatian kualitas lingkungan.
Kelembagaan adalah unsur ketiga (selain sektor dan spasial) dari konsep dasar
pengembangan wilayah penelitian ini. Kelembagaan dibagi dalam 2 bagian utama,
yaitu pelaku pembangunan dan kebijakan pembangunan. Pelaku pembangunan terdiri
dari pemerintah, masyarakat, dan pengusaha. Setiap pelaku pembangunan
mempunyai persepsi berbeda terhadap pembangunan. Pemerintah sendiri mempunyai
kecenderungan terhadap pembangunan ekonomi yang pada penelitian ini
menunjukkan korelasi terhadap ketimpangan wilayah. Isu lingkungan cenderung
untuk menjadi prioritas terakhir bagi setiap pelaku pembangunan.
Dari analisis kebijakan pengembangan wilayah didapat kesimpulan bahwa
kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat (khususnya RPJPD
2005-2025, RTRW 2009-2029, dan RPJMD 2008-2013) sesuai dengan penelitian ini.
Namun tidak demikian dengan kebijakan sektoral (SKPD). Padahal SKPD berperan
penting dalam implementasi kebijakan pengembangan wilayah yang ada.
Strategi pengembangan wilayah terbagi menjadi strategi sektor-kewilayahan
dan kelembagaan. Strategi sektor-kewilayahan secara umum membagi Kabupaten
Bandung Barat menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu kawasan pertanian unggulan (sapi
perah, sayuran, tanaman hias) dan wisata alam di utara-timur (Lembang, Cisarua,
Parongpong), kawasan industri unggulan di tengah (Ngamprah, Batujajar,
Padalarang), kawasan pertanian potensial (padi sawah, perkebunan, kehutanan) di
selatan (Sindangkerta, Rongga, Gununghalu, Cipongkor, dan Cilin), dan kawasan
pertanian potensial (perkebunan) di utara-barat (Cikalongwetan, Cipatat, dan
Cipeundeuy). Strategi kelembagaan secara umum adalah menguatkan pemerintahan
Kabupaten Bandung Barat yang berorientasi pada pengembangan sumber daya
manusia, kesejahteraan masyarakat, dan kemitraan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
(STUDI KASUS: KABUPATEN BANDUNG BARAT)
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP :
H051060111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si.
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu
Dekan Sekolah Pascasarjana
Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS.
(STUDI KASUS: KABUPATEN BANDUNG BARAT)
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa tesis Strategi Pengembangan Wilayah di Era Otonomi
Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung Barat) adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA.
A Regional Planning Strategy
Approach in Indonesia’s Decentralization Era (A Case Study on The Regency of
Bandung Barat)
. Under direction of SETIA HADI and BABA BARUS.
Regional autonomy which has become one of the most emerging Indonesia’s
1998-reformation answers has pushed a new national regional development
orientation mainly in cities and regencies planning. This new orientation tries to shift
the old centralized and sector-based planning into regional-based planning. Based on
the perspective above, this study try to offer an approach for regional development in
decentralization era. The objectives of this study are: (1) identifying leading sectors in
local perspective, (2) identifying leading sectors in provincial perspective, (3)
identifying leading places, (4) identifying institutional support, and (4) arranging
regional development strategy. This study uses some methods, are: input-output (I-O)
model, location quotient, shift-share analysis, Williamson index, principal component
analysis, Theil index, focus group discussion (FGD), correspondence analysis, and
Strengths Weaknesses Opportunities and Threats (SWOT) analysis.
Entertainment and recreation sector together with industrial sector are
identified as leading sector considered by the multiplier input-output analysis result,
while agricultural sector remains economically not significant but still strategic.
Based on Theil index analysis, 90 % of regional disparity in The Regency of
Bandung Barat is caused by economics sector disparities within districts; the sector
causing the most regional disparities is the industrial sector. Thus, the development of
industrial sector un-spatially will cause regional disparities in spite of its huge
economic contribution. Besides that, there is an indication of regional capital outflow
and unsustainable development. The government of The Regency of Bandung Barat
itself apparently does not adapt the new regional development orientation properly.
So that, it must be a clear approach of regional development in the decentralization
era integrating sector and spatial development and supported by good government
capacity.
Keywords: regional development, decentralization, disparity, capital outflow,
sustainable development
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA.
Strategi Pengembangan Wilayah di
Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung Barat)
. Dibawah
bimbingan SETIA HADI dan BABA BARUS.
Otonomi daerah yang menjadi salah satu jawaban terpenting dari reformasi
1998 telah menggeser perencanaan pengembangan kota dan kabupaten di Indonesia
dari terpusat-sektoral menjadi berbasis kewilayahan. Penelitian ini menawarkan
sebuah pendekatan pengembangan wilayah dalam era otonomi daerah dan bertujuan
untuk: (1) mengidentifikasi sektor unggulan skala kabupaten, (2) mengidentifikasi
sektor unggulan kabupaten dalam perspektif provinsi, (3) mengidentifikasi lokasi
unggulan, (4) mengidentifikasi kelembagaan yang mendukung, dan (5) menyusun
strategi pengembangan wilayah. Konsep dasar pengembangan wilayah dalam
penelitian ini merupakan keterpaduan dari 3 (tiga) unsur, yaitu: (1) sektor, (2) spasial,
dan (3) kelembagaan. Penelitian ini menggunakan beberapa metode, yaitu: model
input-output
(I-O),
location quotient
(LQ)
, shift-share analysis
(SSA)
,
indeks
Williamson, principal component analysis
(PCA)
,
indeks
Theil, focus group
discussion
(FGD)
, correspondence analysis,
dan
analisis
Strengths Weaknesses
Opportunities and Threats
(SWOT).
Sektor unggulan khususnya dalam perspektif Kabupaten Bandung Barat
(
inward looking
) merupakan penjabaran dari analisis input-output yang dilihat dari
akumulasi penggandanya. Dari analisis input-output didapatkan bahwa sektor industri
tanpa migas serta hiburan dan rekreasi (pariwisata) merupakan sektor unggulan
karena mempunyai pengganda tertinggi terbanyak. Mempertimbangkan penyerapan
tenaga kerja (34,03 % tenaga kerja merupakan tenaga kerja pertanian) serta dukungan
luas lahan yang besar (52,14% luas wilayah merupakan lahan budidaya perdesaan),
sektor pertanian dianggap sebagai sektor strategis. Terkait dengan analisis
input-output, sektor pertanian yang mempunyai satu pengganda input-ouput tertinggi
adalah peternakan.
Untuk melihat posisi sektor unggulan (industri tanpa migas serta hiburan dan
rekreasi) dan sektor pertanian sebagai sektor strategis dalam perspektif Provinsi Jawa
Barat (
outward looking
), digunakan analisis LQ dengan SSA. Dari hasil analisis ini
didapat bahwa sektor industri tanpa migas unggul secara komparatif, adapun sektor
hiburan dan rekreasi (pariwisata) relatif memiliki tingkat keunggulan pertumbuhan
yang sama dengan Provinsi Jawa Barat. Sub-sektor peternakan merupakan sektor
pertanian yang mempunyai 2 keunggulan sekaligus pada level Provinsi Jawa Barat.
Tahap lanjutan penelitian ini setelah identifikasi sektor unggulan dalam
perspektif Provinsi Jawa Barat (
outward looking
)
adalah identifikasi awal komoditas
unggulan untuk sektor unggulan (industri tanpa migas serta hiburan dan rekreasi) dan
sektor strategis (pertanian).
migas di Kabupaten Bandung Barat adalah industri non pertanian. Komposisi industri
kecil di Kabupaten Bandung Barat berbeda dengan komposisi industri
menengah-besar. Industri kecil yang paling dominan adalah makanan (38,74 %) dan anyaman
(34,42 %). Adapun industri tekstil/pakaian yang mendominasi industri
menengah-besar tidak menjadi dominan (kain) pada industri kecil.
Sektor hiburan dan rekreasi (pariwisata) secara lebih rinci dapat dilihat dari
obyek wisata unggulan; adapun obyek wisata unggulan dilihat dari jumlah kunjungan
wisatawan. Sebanyak 44,83 % wisatawan berkunjung ke Gunung Tangkuban Perahu.
Obyek wisata ini menyedot 83,95 % wisatawan nusantara (wisnus) yang berkunjung.
Adapun obyek wisata kedua adalah Taman Wisata Maribaya yang menyedot 18,56 %
wisatawan; ketiga adalah Curug Omas dengan proporsi 17,38 %. Taman Wisata
Maribaya dan Curug Omas sebagian besar adalah wisatawan mancanegara (wisman)
yang berkunjung ke Kabupaten Bandung Barat dengan proporsi masing-masing 32,91
% dan 31,5 %.
Komoditas unggulan sektor pertanian dihasilkan dari
focus group discussion
(FGD) serta analisis proporsi. Dari metode ini diidentifikasi bahwa komoditas
tanaman hias, sapi perah, dan keramba jaring apung (KJA) menjadi komoditas
unggulan di level Provinsi Jawa Barat.
Tujuan ketiga penelitian ini adalah mengidentifikasi lokasi unggulan yang
didapatkan dari analisis LQ
dan proporsi. Kecamatan Lembang, Parongpong, dan
Cisarua mempunyai komoditas unggulan terbanyak, yaitu untuk hiburan dan rekreasi
khususnya wisata alam, sapi perah, sayuran, dan tanaman hias. Lokasi unggulan
industri menengah-besar adalah Kecamatan Ngamprah, Padalarang, dan Batujajar.
Lokasi unggulan industri kecil adalah Kecamatan Cililin dan Sindangkerta.
Sedangkan lokasi unggulan perikanan KJA adalah Kecamatan Cipeundeuy dan
Cililin.
Isu pengembangan wilayah yang menjadi strategis dan dijawab penelitian ini
adalah ketimpangan wilayah, kebocoran wilayah, dan keberlanjutan wilayah. Dari
hasil analisis indeks
Theil
didapat nilai indeks
Theil Between
sebesar 0,0297 (positif)
yang berarti terjadi ketimpangan antar kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Dari
hasil analisis indeks
Theil
menunjukkan bahwa nilai
Theil Within
0,263 yang artinya
ada ketimpangan intern kecamatan di Kabupaten Bandung Barat. Secara kesuruhan
dari analisis
Theil Within
, dapat disimpulkan bahwa sektor industri pengolahan
menjadi penyebab ketimpangan intern kecamatan di 11 kecamatan; sektor
perdagangan, hotel, restoran di 6 kecamatan; sektor listrik, gas, dan air bersih di 1
kecamatan Kabupaten Bandung Barat. Dari hasil analisis, didapatkan bahwa proporsi
Theil Within
sebesar 89,86 %;
Theil Between
sebesar 10,14 %. Hal ini menunjukkan
bahwa ketimpangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat 89,86 % disebabkan oleh
ketimpangan yang terjadi pada intern kecamatan.
sumber daya lokal.
Untuk mengidentifikasi pembangunan keberlanjutan dapat dilihat dengan
mengidentifikasi korelasi antara aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan melalui
metode PCA. Dari analisis ini dapat diketahui bahwa antar aspek pembangunan
berkelanjutan (sosial, ekonomi, dan lingkungan) tidak saling terkait. Artinya bahwa
pertumbuhan ekonomi tidak menyebabkan peningkatan kualitas sumber daya
manusia dan peningkatan perhatian kualitas lingkungan.
Kelembagaan adalah unsur ketiga (selain sektor dan spasial) dari konsep dasar
pengembangan wilayah penelitian ini. Kelembagaan dibagi dalam 2 bagian utama,
yaitu pelaku pembangunan dan kebijakan pembangunan. Pelaku pembangunan terdiri
dari pemerintah, masyarakat, dan pengusaha. Setiap pelaku pembangunan
mempunyai persepsi berbeda terhadap pembangunan. Pemerintah sendiri mempunyai
kecenderungan terhadap pembangunan ekonomi yang pada penelitian ini
menunjukkan korelasi terhadap ketimpangan wilayah. Isu lingkungan cenderung
untuk menjadi prioritas terakhir bagi setiap pelaku pembangunan.
Dari analisis kebijakan pengembangan wilayah didapat kesimpulan bahwa
kebijakan pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat (khususnya RPJPD
2005-2025, RTRW 2009-2029, dan RPJMD 2008-2013) sesuai dengan penelitian ini.
Namun tidak demikian dengan kebijakan sektoral (SKPD). Padahal SKPD berperan
penting dalam implementasi kebijakan pengembangan wilayah yang ada.
Strategi pengembangan wilayah terbagi menjadi strategi sektor-kewilayahan
dan kelembagaan. Strategi sektor-kewilayahan secara umum membagi Kabupaten
Bandung Barat menjadi 4 (empat) tipologi, yaitu kawasan pertanian unggulan (sapi
perah, sayuran, tanaman hias) dan wisata alam di utara-timur (Lembang, Cisarua,
Parongpong), kawasan industri unggulan di tengah (Ngamprah, Batujajar,
Padalarang), kawasan pertanian potensial (padi sawah, perkebunan, kehutanan) di
selatan (Sindangkerta, Rongga, Gununghalu, Cipongkor, dan Cilin), dan kawasan
pertanian potensial (perkebunan) di utara-barat (Cikalongwetan, Cipatat, dan
Cipeundeuy). Strategi kelembagaan secara umum adalah menguatkan pemerintahan
Kabupaten Bandung Barat yang berorientasi pada pengembangan sumber daya
manusia, kesejahteraan masyarakat, dan kemitraan.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2009
Hak cipta dilindungi undang-undang
1.
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tesis tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumber
a.
Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah
b.
Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor
2.
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis
(STUDI KASUS: KABUPATEN BANDUNG BARAT)
GALUH SYAHBANA INDRAPRAHASTA
Tesis
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
NRP :
H051060111
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si.
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc.
Ketua
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Ilmu-Ilmu
Dekan Sekolah Pascasarjana
Perencanaan Pembangunan
Wilayah dan Perdesaan
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS.
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS.
Sebuah karya yang kuperuntukkan
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmah,
karunia, dan taufik-Nya sehingga penelitian dengan judul Strategi Pengembangan
Wilayah di Era Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Bandung Barat) dapat
diselesaikan dengan baik. Penelitian ini tidak terlepas dari peran dan dukungan
berbagai pihak. Ucapan terima kasih penulis ucapkan sebesar-besarnya kepada:
1.
Dr. Ir. Setia Hadi, M.Si. sebagai dosen pembimbing I yang telah banyak
memberikan motivasi, kemudahan dalam studi, menyumbang pikiran, dan
menambah pengalaman penulis
2.
Dr. Ir. Baba Barus, M.Sc. sebagai dosen pembimbing II yang telah
memberikan masukan kritis, penajaman, pengkayaan, dan membuka
cakrawala penulis
3.
Dr. Ir. Bambang Juanda, MS. sebagai dosen penguji yang telah membuat
penelitian ini menjadi lebih sempurna
4.
Ir. Didit Okta Pribadi, M.Si. yang telah meluangkan waktunya untuk
berdiskusi dalam substansi dan pembahasan penelitian ini
5.
Ir. Ahmad Baehaqie, MS. yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikirannya dalam kegiatan di Kabupaten Bandung Barat
6.
Dr. Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr. yang telah memberikan ruang aktivitas dan
pengalaman penulis di P4W LPPM IPB
7.
Segenap staf pengajar dan manajemen Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan
Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB
8.
Ir. Dadang Harisuddin, MM. dan segenap staf pegawai Pemerintah Kabupaten
Bandung Barat yang telah memberikan dukungan data dan gambaran umum
wilayah
9.
Ayahanda Dr. Ir. Endhay Kusnendar, MS. dan Ibunda Dr. Ir. Iin Siti
Djunaidah, M.Sc. tercinta serta adikku Nilam A. Pusparani, S.Kom. yang
selalu mendukung dan mendoakanku
10.
Istriku Herwita Andriamasari, SP., anakku Raihana Janna Az Zahra tersayang,
dan ibunda Saswiherti, SH. yang telah sabar menunggu kelulusanku
11.
Rekan-rekan PWD 2006 IPB yang senantiasa bersama dan kompak
12.
Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu
Penulis sadari bahwa penelitian ini tidak lepas dari kekurangan dan
keterbatasan. Namun demikian, semoga dari sedikit kelebihan penelitian ini dapat
memberikan masukan bagi pengembangan wilayah pada era otonomi daerah ini.
Bogor, Juli 2009
Penulis dilahirkan di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 23 Mei 1983 sebagai
anak pertama dari dua bersaudara dari pasangan Dr. Ir. Endhay Kusnendar, MS. dan
Dr. Ir. Iin Siti Djunaidah, M.Sc. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SDN
Panggang 1 Jepara dan GBS Oefenshool Ghent, Belgia pada tahun 1995. Kemudian
melanjutkan ke jenjang sekolah menengah pertama di MSGO Oefenschool 2 van het
Gemeenschapsonderwijs Koninklijk Lyceum Gent, Belgia dan SLTPN 1 Jepara serta
menyelesaikannya pada tahun 1998. Penulis menyelesaikan sekolah menengah atas di
SMUN 1 Jepara pada tahun 2001.
xii Halaman
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR GAMBAR ... xviii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 4 1.3 Tujuan Penelitian ... 8 1.4 Manfaat Penelitian ... 8 1.5 Kerangka Pemikiran ... 9
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 11 2.1 Pergeseran Paradigma Pembangunan ... 11 2.2 Pembangunan dan Pengembangan Wilayah ... 13 2.3 Perencanaan Pengembangan Wilayah ... 13 2.4 Pendekatan Sektoral dalam Pengembangan Wilayah ... 15 2.5 Keterkaitan dan Interaksi Wilayah serta Pembangunan yang
Berimbang ... 19 2.6 Pengembangan Wilayah di Era Desentralisasi ... 20 2.7 Kelembagaan ... 22 2.7.1 Lembaga ... 23 2.7.2 Perencanaan, Kelembagaan, dan Kebijakan Publik ... 25 2.7 Tinjauan Penelitian Terkait Sebelumnya ... 26
BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN ... 31 3.1 Lokasi Penelitian ... 31 3.2 Kerangka Analisis Penelitian ... 31 3.3 Metode Analisis ... 36 3.3.1 Model Input-Output (I-O) ... 36 3.3.2 Location Quotient ... 40 3.3.3 Shift-Share Analysis ... 41 3.3.4 Indeks Williamson ... 43 3.3.5 Principal Component Analysis ... 44 3.3.6 Indeks Theil ... 47 3.3.7 Focus Group Discussion ... 47 3.3.8 Correspondence Analysis ... 49 3.3.9 Analisis Strengths Weaknesses Opportunities and Threats . 50
xiii 4.3.1 Ekonomi Makro ... 61 4.3.2 Ekonomi Sektoral ... 65 4.4 Sosial Kependudukan ... 75 4.4.1 Jumlah Penduduk ... 75 4.4.2 Kepadatan Penduduk ... 76 4.4.3 Penduduk Menurut Angkatan Kerja ... 77 4.4.4 Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha ... 78 4.5 Lembaga dan Keuangan Daerah ... 79 4.5.1 Lembaga Daerah ... 79 4.5.2 Keuangan Daerah ... 80 4.6 Kebijakan ... 82 4.6.1 Rencana Tata Ruang (RTR) Jawa Bali ... 82 4.6.2 RTRW Provinsi Jawa Barat 2000-2010 ………... 85 4.6.3 RPJMD Provinsi Jawa Barat 2008-2013 ... 86 4.6.4 RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029 ... 89 4.6.5 RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 ... 95 4.6.6 RPJMD Kabupaten Bandung Barat 2008-2013 ... 97
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 100 5.1 Struktur Perekonomian ... 100 5.1.1 Kontribusi Sektor PDRB ... 100 5.1.2 Laju Pertumbuhan Ekonomi ... 104 5.1.3 Produk Domestik Regional Bruto per Kapita ... 109 5.2 Sektor Unggulan ... 110 5.2.1 Struktur Input-Output ... 110 5.2.2 Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan ... 114 5.2.3 Pengganda ... 122 5.2.4 Kesimpulan Umum Analisis Input-Output ... 125 5.3 Sektor Unggulan dalam Perspektif Wilayah yang Lebih Luas ... 129 5.3.1 Pengaruh Eksternal terhadap Kabupaten Bandung Barat ... 129 5.3.2 Posisi Sektor Ekonomi dalam Provinsi Jawa Barat dan
Identifikasi Awal Komoditas Unggulan ... 131 5.4 Lokasi Unggulan ... 142 5.4.1 Industri tanpa Migas ... 142 5.4.2 Pertanian ... 146 5.4.3 Hiburan dan Rekreasi ... 155 5.4.4 Kompilasi Lokasi Unggulan ... 160 5.5 Ketimpangan Wilayah, Kebocoran Wilayah, dan Pembangunan
xiv 5.7.3 Analisis SWOT Pengembangan Wilayah ... 189 5.7.4 Strategi Pengembangan Wilayah ... 190
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 194 6.1 Kesimpulan ... 194 6.2 Saran ... 196
DAFTAR PUSTAKA ... 198
xv Halaman
1 Matriks Pembagian Aspek Formal Dalam Perencanaan ... 26
2 Matriks Analisis Penelitian ……….. 35
3 Struktur Dasar Tabel Input-Output ……….. 36
4 Kuadran dalam Tabel Input-Output ... 37
5 Struktur Data Asal ……… 44
6 Tabel Dasar Correspondence Analysis ……… 50
7 Matriks SWOT ………. 52
8 Matriks Strategi SWOT ……… 52
9 Administrasi Kabupaten Bandung Barat ... 54
10 Data Perbandingan Penggunaan Lahan Tahun 2004-2007 ... 57
11 Muka Air Tanah di Daerah Padat Industri ... 60
12 Muka Air Tanah Akuifer Tengah ... 60
13 Kecamatan yang Mengalami Eksploitasi Sumber Daya Air Tanah . 61
14 Kontribusi PDRB Kabupaten Bandung Barat terhadap PDRB Jawa
Barat Tahun 2006 Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 62
15 Kontribusi PDRB Kabupaten Bandung Barat Terhadap PDRB Metropolitan Bandung Tahun 2006 Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 ... 63
16 Struktur PDRB Kabupaten Bandung Barat Tahun 2006 Atas Dasar
Harga Konstan Tahun 2000 ... 63
17 Kontribusi PDRB Tiap Kecamatan Tahun 2006 Atas Dasar Harga
Konstan Tahun 2000 ... 64
18 PDRB Per Kapita Kabupaten Bandung Barat Tahun-2006 Atas
Dasar Harga Konstan Tahun 2000 ... 65
19 Pemusatan dan Jumlah Industri ... 66
20 Jumlah Sarana Perdagangan ... 67
21 Jumlah Sarana Jasa ... 67
22 Produksi Komoditas Padi dan Palawija ... 68
23 Produksi Komoditas Hortikultura ... 69
24 Produksi Komoditas Buah-Buahan ... 69
xvi 26 Produksi Komoditas Tanaman Obat-Obatan ... 70
27 Produksi Komoditas Perkebunan ... 71
28 Produksi Komoditas Peternakan ... 71
29 Produksi Komoditas Perikanan ... 72
30 Produksi Hasil Hutan ... 72
31 Objek Wisata Berdasarkan Zona ... 73
32 Nama dan Lokasi Objek Wisata ... 74
33 Kunjungan Wisatawan Ke Objek Wisata ... 74
34 Pertambangan Umum ... 75
35 Jumlah Penduduk ... 76
36 Kepadatan Penduduk 77
37 Jumlah Penduduk Berdasarkan Angkatan Kerja ... 78
38 Jumlah Tenaga Kerja Menurut Lapangan Usaha ... 79
39 Struktur Organisasi Perangkat Daerah ... 79
40 Realisasi Anggaran Pendapatan Belanja Daerah ... 80
41 Rincian Belanja Daerah ... 81
42 Prioritas dan Upaya RPJPD Kabupaten Bandung Barat 2005-2025 96
43 Strategi dan Kebijakan RPJMD Kabupaten Bandung Barat 2008-2013 ...
98
44 Kontribusi Sektor PDRB 2000-2006 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ...
101
45 Laju Pertumbuhan Sektor PDRB 2001-2006 Atas Dasar Harga Konstan 2000 ...
105
46 Komponen Penyusunan Tabel Input-Output (Rp juta) ... 111
47 Komponen Penyusunan Tabel Input-Output (%)... 111
48 Nilai Output Total Tiap Sektor ... 112
49 Komponen Input ... 113
50 Komponen Nilai Tambah ... 114
51 Indeks Keterkaitan Langsung Ke Belakang ... 115
52 Persentase Nilai Input Sektor Pengguna Tebesar (Keterkaitan Langsung Ke Belakang) ... 116
53 Indeks Keterkaitan Langsung Ke Depan ... 117
xvii Langsung Ke Depan) ...
55 Indeks Keterkaitan Total Ke Belakang dan Ke Depan ... 120
56 Pengganda Output Sektor Ekonomi ... 122
57 Pengganda Pendapatan Sektor Ekonomi ... 123
58 Pengganda Surplus Usaha Sektor Ekonomi ... 123
59 Pengganda Pajak Sektor Ekonomi ... 124
60 Pengganda Nilai Tambah Sektor Ekonomi ... 125
61 Sektor dengan Nilai Pengganda Tertinggi ... 126
62 Keterkaitan Ke Belakang dan Ke Depan ... 128
63 Persentase Peredaran Upah dan Gaji ... 128
64 Laju Pertumbuhan Penduduk di Jawa dan Bali ... 130
65 Indeks LQ dan SSA ... 131
66 Kompilasi Komoditas Unggulan Pertanian ... 141
67 Lokasi Unggulan Industri ... 143
68 Lokasi Industri Menengah-Besar Unggulan ... 144
69 Lokasi Industri Kecil Unggulan ... 145
70 Lokasi Unggulan Sayuran ... 145
71 Lokasi Tanaman Hias Unggulan ... 149
72 Lokasi Unggulan Sapi Perah ... 151
73 Lokasi Unggulan Budidaya Keramba Jaring Apung ... 153
74 Lokasi Unggulan Pariwisata ... 158 75 Kompilasi Lokasi Unggulan ... 160
76 Indeks Theil Between ... 162
77 Indeks Theil Within ... 164
78 Keterkaitan Antar Variabel Ekonomi ... 168
79 Keterkaitan Antar Variabel Pembangunan ... 168
80 Keterkaitan Industri-Pertanian ... 180
81 Pengendalian Lingkungan Industri ... 180
82 Program Ketenagakerjaan ... 181
83 Sektor Utama Kebijakan Pengembangan Wilayah ... 182
xix Halaman
1 Kerangka Pemikiran ... 10
2 Kerangka Analisis Penelitian ... 34
3 Konsep Dasar PCA ... 45
4 Peta Administrasi Kabupaten Bandung Barat ... 56
5 Kontribusi 3 Sektor Terbesar terhadap PDRB ... 104
6 Laju Pertumbuhan Ekonomi 3 Sektor Pembentuk PDRB Terbesar . 108
7 Distribusi Tenaga Kerja ... 108
8 Distribusi Penggunaan Lahan ... 109
9 PDRB per Kapita ... 110
10 PDRB per Tenaga Kerja Sektor ... 110
11 Diagram Kartesius Indeks Keterkaitan Langsung Ke Belakang dan
Depan ... 118
12 Diagram Kartesius Keunggulan Wilayah ... 132
13 Komposisi Industri Menengah Besar ... 135
14 Komposisi Sektor Industri Pertanian ... 135
15 Komposisi Industri Kecil ... 136
16 Proporsi Kunjungan Wisatawan ke ODTW ... 137
17 Komposisi Komoditas Palawija ... 139
18 Komposisi Komoditas Tanaman Hias ... 139
19 Komposisi Jenis Budidaya Perikanan ... 140
20 Peta Lokasi Unggulan Industri ... 147
21 Peta Lokasi Unggulan Pertanian ... 156
22 Lokasi Unggulan Objek Wisata ... 157 23 Peta Lokasi Unggulan Hiburan dan Rekreasi ... 159 24 Indeks Williamson ... 161
25 Peta Ketimpangan Antar Kecamatan ... 163
26 Peta Ketimpangan Intern Kecamatan ... 165
27 Persepsi Bidang Pembangunan ... 171
xx 29 Persepsi Pembangunan Ekonomi ... 174
30 Persepsi Pembangunan Sarana Prasarana ... 175
31 Persepsi Pengembangan Pertanian ... 176
1.1 Latar Belakang
Otonomi daerah yang merupakan salah satu jawaban dari reformasi 1998
telah menghasilkan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan
UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Daerah (yang kemudian diperbarui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah) sebenarnya telah
menggeser orientasi pengembangan wilayah yang berbasis sektoral menjadi
berbasis kewilayahan. Pengembangan wilayah berbasis sektoral ditandai dengan
penyamarataan program pembangunan daerah oleh Pemerintah Pusat untuk
daerah-daerah di Indonesia. Instansi-instansi sektoral di daerah hanya menjadi
perpanjangan dari instansi-instansi sektoral di tingkat pusat dengan pendekatan
dan sasaran pembangunan yang tidak sesuai/dibutuhkan. Akibat dari hal ini
adalah instansi-instansi sektoral di daerah kurang bisa menangkap kompleksitas
pembangunan yang ada di daerahnya masing-masing.
Salah satu tantangan saat ini yang paling nyata pada era otonomi daerah
adalah bagaimana setiap daerah mampu menangkap pergeseran orientasi
pengembangan wilayah ini secara baik. Tertangkapnya pergeseran orientasi
pengembangan wilayah ini menjadi lebih penting daripada sekedar “kebebasan”
yang diperoleh oleh daerah. Dalam kacamata yang sangat ekstrim, Smith (1985) dalam Bappenas (2004)1 mengungkapkan bahwa otonomi daerah merupakan embrio disintegrasi/separatisme. Desentralisasi sering menampakkan diri sebagai
gerakan parokial dan separatis. Ia mengancam “the unity of general will”,
memaksakan kepentingan sempit dan parsial.
Pengembangan wilayah berbasis kewilayahan memandang pentingnya
keterpaduan antara sektor, spasial, dan kelembagaan di dalam dan antardaerah.
1
Bappenas. Peran Propinsi dalam Pembentukan Daerah Otonom Baru dan Fasilitasi
Keterpaduan antarsektor menuntut adanya keterkaitan fungsional antarsektor
pembangunan sehingga setiap program pembangunan sektoral selalu dilaksanakan
dalam kerangka pengembangan wilayah berbasis kewilayahan.
Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), akibat keterbatasan sumberdaya yang tersedia, perlu ada skala prioritas pembangunan. Dari sudut dimensi sektor
pembangunan, suatu skala prioritas didasarkan atas suatu pemahaman bahwa:
1. Setiap sektor memiliki sumbangan langsung dan tidak langsung yang
berbeda terhadap pencapaian sasaran-sasaran pembangunan (penyerapan
tenaga kerja, pendapatan regional, dan lain-lain);
2. Setiap sektor memiliki keterkaitan dengan sektor-sektor lainnya dengan
karakteristik yang berbeda-beda;
3. Aktivitas sektoral menyebar secara tidak merata dan spesifik; beberapa
sektor cenderung memiliki aktivitas yang terpusat dan terkait dengan
sebaran sumberdaya alam, sumberdaya buatan (infrastruktur), dan
sumberdaya sosial yang ada.
Oleh karena itu menurut Anwar dan Rustiadi (2000), setiap daerah mempunyai sektor-sektor unggulan yang memberikan dampak signifikan terhadap
pengembangan ekonomi wilayah. Dampak yang diberikan oleh sektor-sektor
tersebut bisa bersifat langsung maupun tidak langsung. Dalam kaitannya dampak
langsung maupun tidak langsung maka pengembangan terhadap sektor-sektor
unggulan ini akan menyebabkan pengembangan sektor-sektor lainnya yang
berkaitan dalam suatu wilayah tertentu. Dengan demikian pengembangan wilayah
perlu memperhatikan sektor-sektor unggulan yang ada dalam rangka penentuan
prioritas sehingga menjadi lebih terfokus. Adanya kebijakan pengembangan
wilayah berdasarkan pada prioritas dapat menghasilkan suatu kebijakan yang
lebih terarah sehingga mengurangi resiko kesia-siaan pemanfaatan sumberdaya.
Dalam konteks era otonomi daerah saat ini, khususnya menyangkut
otonomi kabupaten dan kota, pengembangan wilayah seharusnya menjadi isu
yang sangat penting dalam rangka mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karena
itu, daerah kabupaten dan kota yang ada baik daerah otonom lama maupun baru,
sekedar euforia “kemerdekaan” yang tentunya tidak akan membawa pada
perubahan yang lebih baik bagi wilayah dan masyarakatnya apalagi dalam rangka
pencapaian kemandirian wilayah seperti filosofi awal dari otonomi daerah.
Dengan demikian, salah satu tantangan yang dihadapi oleh kabupaten dan kota
saat ini dan di masa mendatang adalah kemampuan untuk mewujudkan
pengembangan wilayah yang tepat sehingga tujuan dari otonomi daerah dapat
terwujud.
Salah satu daerah otonom baru yang belum lama ini memekarkan diri
adalah Kabupaten Bandung Barat yang merupakan pemekaran dari Kabupaten
Bandung pada tahun 2007. Kabupaten Bandung Barat mempunyai 42,56 % luas
wilayah2; 32,95 % jumlah penduduk3; dan sekitar 11,26 % Pendapatan Asli Daerah (PAD)4 dari Kabupaten Bandung sebelum pemekaran. Beberapa alasan yang digunakan untuk pemekaran ini adalah5:
1. Wilayah Kabupaten Bandung memiliki wilayah yang terlampau luas,
sehingga masih ada wilayah yang belum terjangkau oleh pelayanan
aparatur pemerintah secara efektif serta belum sepenuhnya terjangkau oleh
kegiatan pembangunan;
2. Cakupan wilayah kerja yang memadai akan memberikan peluang
peningkatan pelayanan masyarakat dengan berbagai kegiatan
pembangunan serta memberi peluang untuk tumbuhnya kehidupan
demokrasi, dengan demikian penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan dapat lebih efektif;
3. Dari aspek teknis seperti pendapatan, jumlah penduduk, dan luas wilayah
serta pertahanan dan keamanan cukup memiliki potensi dan
berkemampuan untuk mengelola hak, wewenang, dan tanggung jawab
menyelenggarakan urusan pemerintah di daerah secara mandiri.
2
Kabupaten Bandung Dalam Angka 2007 3
Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007
4 Pemerintah Kabupaten Bandung. KBB Hanya Memiliki PAD Rp 17 Milyar. Selasa, 5 Juni 2007.
http://bandungkab.go.id 5
Jika merujuk pada UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal
5 bahwa pembentukan daerah harus memenuhi 3 persyaratan, yaitu administratif,
teknis, dan fisik kewilayahan. Ketiga persyaratan ini telah dipenuhi oleh
Kabupaten Bandung Barat namun secara teknis masih mengacu pada PP 129
Tahun 2000 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran,
Penghapusan dan Penggabungan Daerah karena pada saat itu belum ada PP
turunan UU 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, sebagai daerah otonom baru, tentunya Kabupaten
Bandung Barat harus mampu menangkap pergeseran orientasi pengembangan
wilayah saat ini sehingga dapat mencapai tujuan sejati dari otonomi daerah, yaitu
lebih mampu mensejahterakan masyarakatnya.
1.2 Perumusahan Masalah
Melihat sejarah Kabupaten Bandung Barat kebelakang, sejak tahun 1998
sebelum adanya Undang-Undang Otonomi Daerah (UU 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah), wacana pemekaran Bandung Barat sudah bergulir6. Pada waktu itu isunya adalah pembentukan Kabupaten Padalarang yang melingkupi
Kecamatan Padalarang, Ngamprah, Cipatat, Cikalongwetan, dan Cipeundeuy;
jauh sebelum Cimahi menjadi kota otonom pada tahun 20017. Isu ini sempat tenggelam seiring terbentuknya Cimahi sebagai kota otonom pada tahun 2001.
Awal tahun 2003, isu pembentukan Bandung Barat kembali mengemuka dengan
deklarasi para tokoh masyarakat di Kecamatan Ngamprah8.
Pada tahun 2004, Pemerintah Daerah dan DPRD Kabupaten Bandung
melalui Surat Keputusan Nomor 11 Tahun 2004 telah memberi Persetujuan
Terbentuknya Kabupaten Bandung Barat. Surat Keputusan DPRD berikutnya
Nomor 07 Tahun 2005 telah menunjuk Kecamatan Ngamprah sebagai calon
definitif ibu kota Bandung Barat9.
Melalui Surat Keputusan Nomor 135/Kep.DPRD-7/2005, DPRD Jawa
Barat menetapkan Persetujuan Pembentukan Kabupaten Bandung Barat.
6
“Kondisi dan Potensi Bandung Barat”. Harian Umum Kompas. Sabtu, 18 Juni 2005 7 Ikin Sodikin. Jangan Main-Main dengan Rakyat!. FISIP UNPAS. Sabtu, 4 Juni 2005.
http://www.fisip-unpas.org 8
“Kondisi dan Potensi Bandung Barat”. loc. cit.
9
Kemudian disusul dengan surat Gubernur Jawa Barat kepada Menteri Dalam
Negeri bernomor 135.1/1197/Desen perihal Usul Pembentukan Kabupaten
Bandung Barat di Provinsi Jawa Barat10.
Di lain sisi, Pemerintah Kota dan DPRD Cimahi sendiri telah memohon
Gubernur Jawa Barat untuk mengkaji ulang luas wilayah Kota Cimahi dengan
mengeluarkan SK No. 07/Kep/DPRD/IV/2005 tentang Hasil Pengkajian Wilayah
Pelayanan dan Aspirasi Masyarakat yang meminta perluasan wilayah Kota
Cimahi dengan memasukkan beberapa kecamatan di Kabupaten Bandung yang
berdekatan dengan Kota Cimahi11. Hal ini diperkuat dengan keinginan beberapa kelompok masyarakat di Kecamatan Lembang, Parongpong, Cisarua, Ngamprah,
dan Batujajar yang menolak bergabung dengan Kabupaten Bandung Barat jika
jadi terealisasi karena secara geografis lebih dekat dengan Kota Cimahi12.
Pada perjalanannya, pembentukan Kabupaten Bandung Barat
menimbulkan pro dan kontra. Beberapa masyarakat yang pro pemekaran masuk
dalam KPBB (Komite Pembentukan Bandung Barat); adapun yang kontra masuk
dalam F14 (Forum 14 Kecamatan)13. Argumentasi pihak yang menilai pemekaran belum perlu dilakukan karena pelayanan yang diberikan pemerintah kepada
masyarakat sudah semakin tepat dan optimal karena dilakukan di tingkat
kecamatan setelah adanya pelimpahan kewenangan oleh bupati kepada camat
(Mariana, 2007).
Seiring perjalanan waktu dan perkembangan, dengan diterbitkannya UU
Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pembentukan Kabupaten Bandung Barat, secara
resmi Kabupaten Bandung Barat menjadi kabupaten baru di Jawa Barat dan
dengan demikian menjadi daerah otonom baru serta menjadi daerah ke-26
Provinsi Jawa Barat. Kabupaten Bandung Barat melingkupi 15 kecamatan
termasuk beberapa kecamatan yang mempunyai kedekatan geografis dengan Kota
Cimahi. Kelima belas kecamatan di Kabupaten Bandung Barat adalah Cililin,
Cihampelas, Sindangkerta, Gununghalu, Rongga, Cipongkor, Batujajar, Lembang,
10
Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Bandung Barat Telah Lahir. Sabtu, 23 Juni 2007.
www.diskukm-jabar.go.id 11 Ikin Sodikin. op. cit., hal. 4. 12
”Kabupaten Bandung Barat Disetujui DPRD”. Harian Umum Tempo. Rabu, 23 Maret 2005 13
Parongpong, Cisarua, Ngamprah, Padalarang, Cipatat, Cipeundeuy, dan
Cikalongwetan.
Merujuk pada UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
dan UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional yang menegaskan bahwa setiap daerah mempunyai kewenangan yang
lebih besar dalam pengembangan wilayahnya, Kabupaten Bandung Barat juga
mempunyai kewajiban dengan kewenangannya yang lebih luas sehingga mampu
menerapkan strategi pengembangan wilayah yang tepat dalam rangka
mensejahterakan masyarakatnya. Pemekaran Kabupaten Bandung Barat pada
dasarnya tidak terlepas dari tren saat ini dimana beberapa daerah (dengan isu
akses terhadap pelayanan publik yang minim serta isu kesejahteraan masyarakat
yang masih rendah) lebih memilih untuk memekarkan diri daripada mereorientasi
pengembangan wilayahnya berbasis kewilayahan, meskipun secara kultural dan
historis Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Bandung hampir tidak
memiliki perbedaan. Sebagai catatan, saat ini (tahun 2009) saja terdapat 498
kabupaten dan kota yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia (Wikipedia, 2008)14. Sebagai perbandingan, pada tahun 1999 masih terdapat 339 kabupaten dan kota di
26 Provinsi di Indonesia (Bappenas, 2004)15. Namun, bukti di lapangan menunjukkan bahwa banyak daerah otonom baru yang gagal mandiri dan
cenderung memboroskan anggaran seperti diuraikan oleh Brodjonegoro dan
Laksono16 serta Purnomo17. Struktur fiskal Kabupaten Bandung Barat sendiri pada tahun 2008 masih tergantung dari pendapatan non PAD dan proporsi belanja
aparatur yang tinggi. Persentase PAD sebesar 4,30 % dari total pendapatan
daerah; adapun belanja aparatur (belanja tidak langsung) sebesar 70,96 % dari
total belanja daerah18.
Selain tantangan eksternal untuk menjadi daerah otonom baru yang tidak
gagal, Kabupaten Bandung Barat juga menghadapi tantangan internal terutama
adanya kecenderungan dualisme ekonomi antara sektor pertanian dan industri.
14
Wikipedia per 1 Mei 2009 15
Bappenas. op.cit., hal. 1 16
”Pemekaran Wilayah Boroskan Anggaran”. 2 Juli 2007. www.indonesia.go.id
17
Agus Purnomo. Mayoritas Daerah Hasil Pemekaran Berjalan Lamban. Kamis, 7 September 2006. http://fpks-dpr.or.id
18
Sektor industri menyumbangkan 42,92 % PDRB; namun hanya menyerap 16,61
% tenaga kerja. Sektor pertanian sendiri mempunyai kontrbusi PDRB sebesar
12,34 %, namun menyerap sebagian besar tenaga kerja sebesar 34,03 %19. Masih dominannya pertanian dapat dilihat juga secara fisik dimana Kabupaten Bandung
Barat masih didominasi kawasan budidaya perdesaan (52,14 %) dan kawasan
lindung yang masih cukup luas (36,94 %). Adapun luas budidaya perkotaan
sebesar 9,58 % dari luas total Kabupaten Bandung Barat20.
Banyak angkatan kerja di Kabupaten Bandung Barat yang tidak terserap
sehingga menimbulkan pengangguran terbuka yang mencapai 17,21 % pada tahun
200721. Dilihat dari sisi kualitas sumber daya manusia, indeks pembangunan manusia (IPM) Kabupaten Bandung Barat pada tahun 2007 sebesar 70,01; lebih
rendah dari IPM Provinsi Jawa Barat sebesar 70,7122.
Dari sekilas potensi yang ada, Kabupaten Bandung Barat mempunyai
beberapa daerah yang sangat terkenal jauh sebelum kabupaten ini berdiri,
antaranya adalah Kecamatan Lembang yang dikenal karena daya tarik alamnya
atau Kecamatan Padalarang yang dikenal dengan penggalian batunya atau
Kecamatan Cililin karena wajiknya. Namun secara umum, potensi wilayah dan
sumber daya manusia Kabupaten Bandung Barat masih dianggap minim sehingga
perkembangan Kabupaten Bandung Barat memerlukan waktu yang panjang untuk
bisa sejajar dengan daerah lainnya23.
Tantangan (baik internal maupun eksternal) Kabupaten Bandung Barat
sebagai daerah otonom baru perlu diimbangi dengan strategi pengembangan
wilayah yang dapat menangkap reorientasi pengembangan wilayah yang berbasis
kewilayahan sehingga pemaknaan dan pelaksanaan otonomi daerah di Kabupaten
Bandung Barat tidak kehilangan esensinya. Dengan demikian, pengembangan
wilayah tidak lagi diartikan sebagai pengembangan keseluruhan sektor secara
sama rata, namun lebih mengarah pada bagaimana sektor-sektor apa yang menjadi
unggulan dan bagaimana keterkaitannya dengan aspek spasial, kelembagaan, dan
isu-isu penting dalam pengembangan wilayah.
19
Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007 dan PDRB Kabupaten Bandung Barat Tahun 2006 20 RTRW Kabupaten Bandung Barat 2009-2029
21
Suseda Kabupaten Bandung Tahun 2007 22
RPJMD Kabupaten Bandung Barat 2008-2013 23
Memperhatikan uraian latar belakang dan perumusan masalah di atas, ada
beberapa pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:
1. Apa yang menjadi sektor-sektor unggulan Kabupaten Bandung Barat
(sector-based inward looking)?
2. Bagaimana keterkaitan sektor-sektor unggulan dengan wilayah yang lebih
luas (sector-based outward looking)?
3. Dimana lokasi pemusatan sektor-sektor unggulan (spatial-based)?
4. Apakah terjadi ketimpangan, kebocoran, dan keberlanjutan pengembangan
wilayah?
5. Apakah kelembagaan yang ada bisa mendukung pengembangan wilayah?
6. Bagaimana strategi pengembangan wilayah berbasis kewilayahan di
Kabupaten Bandung Barat?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk:
1. Mengidentifikasi sektor-sektor unggulan Kabupaten Bandung Barat
(sector-based inward looking);
2. Mengidentifikasi keterkaitan sektor-sektor unggulan dengan wilayah yang
lebih luas (sector-based outward looking);
3. Mengidentifikasi lokasi pemusatan sektor-sektor unggulan (spatial-based);
4. Mengidentifikasi ketimpangan, kebocoran, dan keberlanjutan
pengembangan wilayah;
5. Mengidentifikasi dukungan kelembagaan terhadap pengembangan
wilayah;
6. Menyusun strategi pengembangan wilayah berbasis kewilayahan di
Kabupaten Bandung Barat.
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi
pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat di era otonomi daerah untuk
semua pemangku kebijakan pada umumnya dan terutama Pemerintah Daerah
digunakan sebagai dasar penelitian lanjutan yang berkaitan dengan wilayah
Kabupaten Bandung Barat.
1.5 Kerangka Pemikiran
Anwar dan Rustiadi (2000)mengemukakan bahwa pembangunan berbasis
pengembangan wilayah dan lokal memandang penting keterpaduan antara
pembangunan secara (1) sektoral, (2) kewilayahan, dan (3) institusional
(kelembagaan). Artinya bahwa konsep pengembangan wilayah merupakan
hubungan saling kait-mengkait antara sektor (sector-based), ruang (
spatial-based), dan kelembagaan di dalam maupun antarwilayah (outward looking).
Empat komponen dasar inilah yang kemudian menjadi kerangka dasar analisis
penelitian ini.
Dalam konteks sektoral, perkembangan ekonomi wilayah terjadi melalui
pertumbuhan sektor ekonomi unggulan serta adanya diversifikasi dan keterkaitan
antarsektor ekonomi. Hubungan ini dapat berupa hubungan ke depan (forward
linkages) –merupakan hubungan dengan penjualan hasil produksi atau disebut
sebagai daya dorong atau juga derajat kepekaan- dan hubungan ke belakang
(backward linkages) –merupakan hubungan dengan bahan baku/mentah atau
disebut sebagai daya penyebaran atau daya tarik (Enirawan, 2007).
Wilayah, yang dalam penelitian ini adalah Kabupaten Bandung Barat,
adalah satu kesatuan integral antara sektor dan ruang. Identifikasi sektor-sektor
unggulan dari analisis yang dihasilkan tentunya akan menghasilkan sektor-sektor
prioritas dalam lingkup wilayah Kabupaten Bandung Barat secara integral. Oleh
karena itu, hasil dari analisis ini lebih bersifat sector-based.
Dengan perspektif yang tidak hanya bersifat inward looking, sektor-sektor
unggulan di Kabupaten Bandung Barat sendiri juga perlu unggul dalam konteks
wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Jawa Barat. Hasil dari analisis ini akan
memunculkan sektor-sektor unggulan yang outward looking karena melihat
potensinya dari perspektif Jawa Barat
Hasil yang bersifat sector-based yang outward looking perlu juga
ditunjang oleh hasil spatial-based, yaitu mampu mengidentifikasi ruang (lokasi)
Bandung Barat berbasis kewilayahan ini –yang memadukan sector-based yang
outward looking dan spatial-based - tentunya harus didukung oleh kelembagaan
yang berfungsi untuk melaksanakan pembangunan daerah. Menurut Rustiadi et al. (2008), kelembagaan sebagai aturan main dan organisasi berperan penting dalam mengatur penggunaan alokasi sumberdaya secara efisien, merata, dan
berkelanjutan.
Pengembangan wilayah saat ini sangat fokus pada isu ketimpangan
wilayah, kebocoran wilayah, dan pembangunan berkelanjutan khususnya dalam
perhatian lingkungan sehingga turut dianalisis dalam penelitian ini. Dengan
demikian, strategi pengembangan wilayah Kabupaten Bandung Barat yang
dirumuskan mampu menjawab keragaan sektor, spasial, kelembagaan, dan isu
pengembangan wilayah di Kabupaten Bandung Barat.
[image:42.612.130.504.372.670.2]Secara diagramatis, kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1 dibawah ini.
2.1 Pergeseran Paradigma Pembangunan
Pembangunan (development) adalah kata yang mulai populer pada masa
sesudah Perang Dunia II (Streeten, 1981). Pada saat itu, tingkat pendapatan domestik bruto (PDB) merupakan indikator yang sangat praktis yang dipakai
untuk mengukur tingkat perkembangan pembangunan.
Menurut Singer (1981), pada waktu itu (masa setalah Perang Dunia II) orang berpendapat bahwa dalam pembangunan, ‘kue’nya perlu diperbesar dahulu,
baru sesudahnya dapat dibagi rata. Dengan kata lain, pembangunan identik
dengan pertumbuhan ekonomi sebagai prioritas. Pembangunan diharapkan akan
otomatis menetes ke bawah setelah mencapai tingkat PDB tertentu. Menurut
Misra (1981-a), pembangunan akan tercapai dengan sendirinya setelah negara bebas dari penjajahan, mendapat bantuan ekonomi, berkembang melalui
industrialisasi. Pendapat ini juga diperkuat oleh keberadaan kurva ‘U’ terbalik
Kuznets.
Lebih lanjut lagi, Rostov (1977) menyatakan bahwa pembangunan berjalan secara linier mengikuti tahap-tahap tertentu. Negara-negara berkembang
pun harus mengikuti tahap-tahap tertentu untuk dapat menjadi lebih maju.
Tahapan tersebut secara berurutan adalah: (1) masyarakat tradisional, (2)
pra-kondisi untuk lepas landas, (3) lepas landas, (4) dorongan menuju kematangan, (5)
konsumsi massal.
Namun selanjutnya Misra (1981-b) menentang pendapat Rostov ini karena menyamakan sejarah pembangunan Eropa dengan masyarakat lainnya di Asia,
Afrika, dan Amerika Latin. Selain itu, Misra mempertanyakan apakah pertanian
memang ciri dari keterbelakang jika melihat dari tahapan Rostov.
Menurut Shalih et al. (1978) dalam Nurzaman (2002), industrialisasi yang dalam teori perkembangan Rostov merupakan salah satu kunci perkembangan
yang selain sukar untuk dilakukan juga tidak selamanya mengarah pada
perkembangan yang diharapkan. Industrialisasi memerlukan tabungan yang tinggi
penanaman modal asing (pinjaman). Industrialiasi semacam ini seringkali
menimbulkan masalah kesenjangan.
Todaro (1981) secara ekstrim menyatakan bahwa industrialisasi menyebabkan ketergantungan negara berkembang semakin besar terhadap negara
asing, disintegrasi dan pengasingan sosial serta penekanan terhadap penduduk.
Hal ini disebabkan oleh elit negara berkembang yang menjadi agen dari
kepentingan-kepentingan investasi asing.
Ada banyak pendapat yang kemudian menjadi kesepemahaman bersama
bahwa perkembangan1 tidak lagi hanya diukur dari kenaikan PDB atau PDB per kapitanya saja. Lebih jauh lagi, Misra (1981-b) dan Todaro (1981) menyatakan bahwa sebenarnya perkembangan tidak lain adalah keberhasilan seseorang
mencapai nilai budaya yang lebih tinggi.
Pembangunan yang disebut sebagai mainstream pembangunan dari atas
(development from above) ini kemudian semakin lama semakin bergeser (dalam
konteks pembangunan di negara-negara berkembang dan dunia ketiga) menjadi
mainstream pembangunan dari bawah (development from below). Pembangunan
dari bawah mengandalkan pada sumber daya alam dan keahlian setempat.
Konsep-konsep turunan dari pembangunan tipe ini mulai dikembangan oleh
beberapa ahli seperti Friedman dan Douglas (agropolitan) serta Blakely
(pengembangan ekonomi lokal / local economic development).
Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), telah terjadi evolusi strategi pembangunan dari masa ke masa, mulai dari strategi pembangunan yang
menekankan kepada pertumbuhan ekonomi, kemudian kepada pertumbuhan dan
kesempatan kerja, pertumbuhan dan pemerataan, penekanan pada pemenuhan
kebutuhan dasar, pertumbuhan dan lingkungan hidup, kemudian sampai pada
pembangunan yang berkelanjutan.
Definisi pembangunan berkelanjutan yang seringkali dipakai adalah
menurut World Comission on Environmental and Development (1987), yaitu pembangunan yang mempertemukan kebutuhan masa sekarang tanpa
mengganggu kebutuhan generasi mendatang.
1
2.2 Pembangunan dan PengembanganWilayah
Pembangunan dan pengembangan merupakan arti harifiah dari kata
Bahasa Inggris yang sama, yaitu development. Menurut Rustiadi et al. (2008), beberapa pihak lebih senang menggunakan istilah pengembangan daripada
pembangunan untuk beberapa hal spesifik. Secara umum pembedaan istilah
pembangunan dan pengembangan di Indonesia memang secara sengaja dibedakan
karena istilah pengembangan dianggap mengandung konotasi pemberdayaan,
kedaerahan, kewilayahan, dan lokalitas.
Menurut Rustiadi et al. (2008), ada juga yang berpendapat bahwa kata pengembangan lebih menekankan proses meningkatkan dan memperluas. Dalam
artian, pengembangan tidak membuat sesuatu dari nol (dari sesuatu yang
sebelumnya tidak ada), melainkan dari sesuatu yang sudah ada tapi kualitas dan
kuantitasnya ditingkatkan atau diperluas. Oleh karena itu dalam konteks
kewilayahan, istilah pengembangan wilayah lebih banyak dipakai daripada
pembangunan wilayah.
2.3 Perencanaan Pengembangan Wilayah
Riyadi (2002) mengemukakan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan
antarwilayah, dan menjaga suatu kelestarian lingkungan hidup pada suatu
wilayah. Adapun perencanaan wilayah pada dasarnya merupakan upaya intervensi
terhadap kekuatan-kekuatan pasar yang dalam konteks pengembangan wilayah
memiliki tujuan pokok, yakni meminimalkan konflik kepentingan antarsektor,
meningkatkan kemajuan sektoral, dan membawa kemajuan bagi masyarakat
secara keseluruhan.
Menurut Suwardji dan Tejowulan (2008), pengembangan wilayah adalah segala upaya perbaikan suatu atau beberapa jenis wilayah agar semua komponen
yang ada di wilayah tersebut dapat berfungsi dan menjalankan kehidupan secara
normal. Pembangunan wilayah ditopang oleh empat pilar yaitu (1) sumberdaya
alam/fisik-lingkungan (2) sumberdaya buatan/ekonomi (3) sumberdaya manusia,
Menurut Misra (1982), pengembangan wilayah merupakan suatu upaya untuk mendorong terjadinya perkembangan wilayah secara harmonis melalui
pendekatan yang bersifat komperhensif mencakup aspek fisik, ekonomi, sosial,
dan budaya.
Menurut Rustiadi et al. (2008), perencanaan pengembangan wilayah merupakan bidang kajian yang mengintegrasikan berbagai cabang ilmu untuk
memecahkan masalah-masalah pembangunan serta aspek-aspek proses politik,
manajemen, dan administrasi perencanaan pembangunan yang berdimensi ruang
dan waktu.
Menurut Rustiadi et al. (2008), perencanaan pengembangan wilayah merupakan sekumpulan ilmu yang mencakup aspek:
1. Pemahaman, yakni mencakup ilmu-ilmu pengetahuan dan teori-teori
untuk memahami fenomena fisik alamiah hingga sosial ekonomi di dalam
dan antarwilayah. Selanjutnya, pengetahuan mengenai ilmu sistem
merupakan alat penting untuk memahami keterkaitan unsur-unsur fisik dan
non-fisik wilayah guna mengenal dan mendalami permasalahan maupun
potensi pengembangan wilayah.
2. Perencanaan, yakni mencakup proses formulasi masalah, visi, misi, dan
tujuan pembangunan; teknik-teknik desain dan pemetaan; sistem
pengambilan keputusan; hingga perancangan teknis dan kelembagaan
perencanaan.
3. Kebijakan, yakni mencakup pendekatan-pendekatan evaluasi serta proses
pelaksanaannya, termasuk proses politik, administrasi, dan manajerial
pembangunan.
Menurut Nugroho dan Dahuri (2004), secara luas perencanaan pembangunan wilayah diartikan sebagai suatu upaya merumuskan dan
mengaplikasikan kerangka teori ke dalam kebijakan ekonomi dan program
pembangunan yang di dalamnya mempertimbangkan aspek wilayah dengan
mengintegrasikan aspek sosial dan lingkungan menuju tercapainya kesejahteraan
Anwar dan Rustiadi. (2000) lebih menekankan konsep pengembangan wilayah pada keterpaduan antara pembangunan secara sektoral, kewilayahan, dan
institusional. Pembangunan berbasis pengembangan wilayah dan lokal
memandang penting keterpaduan antarsektor, antarspasial (keruangan), serta
antarpelaku pembangunan di dalam maupun antardaerah. Dengan demikian, setiap
program-program pembangunan sektoral dilaksanakan dalam kerangka
pembangunan wilayah.
Menurut Anwar dan Rustiadi (2000), terlepas dari berbagai definisi pengembangan wilayah yang ada, tujuan pengembangan wilayah seharusnya
diarahkan untuk mencapai: (1) pertumbuhan ekonomi, (2) pemerataan, (3)
keberlanjutan ekosistem.
Dalam suatu negara yang sangat luas dan kondisi sosial ekonomi serta
geografis wilayah yang sangat beragam seperti Indonesia, pengembangan wilayah
(regional development) sangat penting dalam mendampingi pembangunan
nasional. Tujuan pengembangan wilayah sangat bergantung pada permasalahan
serta karakteristik spesifik wilayah yang terkait, namun pada dasarnya ditujukan
pada pendayagunaan potensi serta manajemen sumber-sumber daya melalui
pembangunan perkotaan, pedesaan dan prasarana untuk peningkatan kondisi
sosial dan ekonomi wilayah tersebut. Pada tingkat nasional pengembangan
wilayah juga ditujukan untuk memperkuat integrasi ekonomi nasional melalui
keterkaitan (linkages), serta mengurangi kesenjangan antarwilayah (Firman, 2008).
2.4 Pendekatan Sektoral dalam Pengembangan Wilayah
Jhingan (2004) mengatakan bahwa model perencanaan pembangunan ekonomi termasuk pengembangan ekonomi wilayah dikategorikan atas 3 yakni: (1)
model agregat, yang menyajikan aspek perekonomian secara keseluruhan; (2)
model antar industri, yang didasarkan pada keterkaitan seluruh sektor ekonomi
yang produktif; (3) model sektoral, yang lebih menekankan pada industri yang
memberikan kontribusi paling besar pada perekonomian.
Tarigan (2004) mengungkapkan bahwa pendekatan sektoral dilaksanakan dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan di wilayah tersebut.
seragam atau dianggap seragam. Sedangkan pendekatan wilayah dilakukan
bertujuan melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam
ruang wilayah sehingga terlihat perbedaan fungsi ruang yang satu dengan ruang
yang lainnya, Perbedaan fungsi tersebut terjadi karena perbedaan lokasi,
perbedaan potensi, dan perbedaan aktivitas utama pada masing-masing ruang
yang harus diarahkan untuk bersinergi agar saling mendukung penciptaan
pertumbuhan yang serasi dan seimbang.
Pembangunan yang berbasis kepada keunggulan komparatif (sektoral)
wilayah merupakan suatu upaya pembangunan yang tepat sebagai batu pijakan
awal untuk mendorong perkembangan perekonomian wilayah. Namun dalam
perspektif jangka panjang, kemajuan ekonomi wilayah berbasis keunggulan
komparatif bukan merupakan suatu strategi pembangunan yang efektif.
Keunggulan komparatif yang dimiliki harus ditransformasikan menjadi
keunggulan kompetitif wilayah. Sejarah membuktikan bahwa memasuki abad
informasi dan teknologi yang mendorong terjadinya integrasi ekonomi,
perkembangan perekonomian semakin diwarnai oleh kompetisi yang semakin
meningkat, sehingga kebutuhan akan keunggulan kompetitif menjadi prasayarat
untuk mencapai kemajuan. Untuk menciptakan keunggulan kompetitif, maka
harus terjadi interkoneksi diantara keunggulan-keunggulan komparatif yang
dimiliki oleh masing-masing wilayah (Pribadi, 2008).
Saefulhakim (2004) mengatakan perlu untuk mencermati secara seksama bahwa seringkali terjadi bahwa beberapa sektor yang diidentifikasikan memiliki
peranan strategis karena keterkaitannya yang luas dan potensi menumbuhkan
dampak ganda bagi beberapa indikator pembangunan, ternyata secara empirik
dampak yang ditimbulkannya (penggandaan pendapatan, tenaga kerja, keluaran,
PAD) tidak terlalu luas sebagai akibat dari fenomena-fenomena: (1) keterkaitan
yang asimetrik dan (2) karakteristik sektor yang bersifat price-taker. Beberapa
sektor cenderung memiliki posisi tawar yang rendah terhadap sektor lainnya di
dalam penetapan harga. Sektor-sektor primer, terutama pertanian dengan pelaku
e