• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN

B. Latar Belakang Tradisi Bersih Desa Dukutan di Desa

Tradisi bersih desa Dukutan adalah sebuah tradisi unik yang telah dilakukan secara turun-temurun dari nenek moyang sampai sekarang, yang dilakukan oleh seluruh masyarakat desa Nglurah. Tradisi ini dilakukan rutin setiap

commit to user

6 lapan atau tujuh bulan sekali. Tepatnya pada hari Selasa Kliwon wuku Dukut. Disebut dengan Dukutan karena dilaksanakan setiap wuku Dukut.

Tradisi bersih desa Dukutan dilakukan dengan tujuan selamatan sebagai ungkapan syukur terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa agar masyarakat Nglurah terhindar dari marabahaya, sehat dan rejeki lancar (wawancara dengan Bapak Ridin, 8 Mei 2012).

2. Latar Belakang Diadakannya Tradisi Bersih Desa Dukutan

Tradisi Dukutan yang rutin dilakukan oleh masyarakat Nglurah mempunyai cerita dibalik tradisi tersebut. Ada beberapa versi cerita yang menjadi latar belakang diadakannya tradisi bersih desa Dukutan. Dua versi cerita tersebut antara lain adalah versi Airlangga dan versi Watugunung. Kedua versi cerita tersebut mempunyai perbedaan cerita dan tokoh pelaku dalam cerita tersebut. Berikut ini penjabaran cerita kedua versi tersebut, yaitu:

a. Versi Airlangga

Cerita versi ini dimulai pada saat perjalanan Airlangga dari Kediri beserta pengikutnya. Airlangga diserang oleh Kerajaan Sriwijaya dan melarikan diri ke Wonogiri. Punden berundak Menggung (situs Menggung) merupakan tempat persembunyian Airlangga dan pengikutnya yaitu Narotama. Kemudian Airlangga kembali ke Kediri bersama dengan pengikutnya kecuali Narotama yang tetap ingin tinggal di desa Nglurah. Narotama yang menempati Menggung mendapat gelar Kyai Menggung. Selama tinggal di tempat tersebut Kyai Menggung mempunyai seorang musuh bebuyutan yaitu seorang wanita yang beranama Nyi Rasa Putih. Nyi Rasa putih mempunyai perwatakan yang usil, nakal dan suka berulah. Berbeda sekali dengan pewatakan dari Kyai Menggung yang mempunyai sifat baik, santun, bijaksana dan berwibawa.

Akhir cerita Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih ini menikah. Pernikahan keduanya berlangsung pada hari Selasa Kliwon Wuku Dukut, sehingga untuk memeperingatinya warga melaksanakan tradisi Dukutan (Sumber : Dokumen Desa Nglurah).

commit to user b. Versi Watugunung

Versi kedua ini terdapat dua tokoh yaitu Dewi Sinta dan Watugunung. Awal cerita bermula ketika Raja Ayorda memperistri seorang wanita cantik yang bernama Dewi Sinta. Ketika Dewi Sinta hamil tiga bulan, raja Ayorda meninggal dunia. Oleh karena itu Dewi Sinta harus meninggalkan istana dan tinggal di hutan. Setelah anak yang dikandung Dewi Sinta lahir kemudian diberi nama Prabangkat. Saat usia 5 tahun Prabangkat mulai menunjukkan perilaku yang nakal dan suka mengganggu ibunya.

Pada suatu hari Dewi Sinta yang sedang sibuk menanak nasi, Prabangkat mengganggu ibunya. Kemudian Dewi Sinta marah besar sampai memukul kepala Prabangkat dengan centhong (sendok kayu) hingga berdarah. Karena kesal Prabangkat lari meninggalkan Dewi Sinta.

Prabangkat mengembara, setelah beberapa lama sampailah di sebuah kerajaan yaitu kerajaan Giriwesi. Kemudian Prabangkat diangkat sebagai putera raja Giriwesi, dan diberi gelar Watugunung. Setelah dewasa Watugunung menjadi raja di Kerajaan Giriwesi. Suatu hari Watugunung mendengar sebuah kabar ada seorang janda cantik yang tidak mau dinikahi oleh seorang raja yang kejam dari Blambangan. Wanita tersebut sebenarnya adalah Dewi Sinta yang tidak lain merupakan ibu dari Watugunung sendiri. Setelah itu wanita tersebut membuat sayembara bahwa siapa saja yang dapat mengalahkan raja Blambangan, apabila seorang perempuan akan diangkat sebagi saudara dan apabila seorang laki-laki bersedia untuk diperistri. Ternyata Watugunung berhasil mengalahkan raja Blambangan, dan berhak memperoleh istri wanita cantik tersebut. Watugunung dan Dewi Sinta belum mengetahui bahwa mereka adalah ibu dan anak

Keduanya menikah dan kemudian dikaruniai 28 anak. Nama anak-anak Watugunung dan Dewi Sinta adalah sebagai berikut: 1. Landep; 2. Wakir; 3. Kanthil; 4. Tolu; 5. Gumbret; 6. Rigo; 7. Ringan; 8. Julung; 9. Sungsang; 10. Galungan; 11. Kuningan; 12. Langkir; 13. Mandasia; 14. Julung pugut; 15. Pahang; 16. Guru Welut; 17. Marakeh; 18. Tambir; 19. Mamdangkungan; 20.

commit to user

Matal; 21. Wuye; 22. Manahil; 23. Prabangkat; 24. Bala; 25. Wugu; 26. Wayang; 27. Kalawu; 28. Dukut.

Keduapuluh delapan nama anak dari Watugunung dan Dewi Sinta ini apabila dicermati merupakan nama-nama wuku dalam kalender Jawa. Setelah mempunyai anak yang ke-8, Watugunung sering menyuruh istrinya untuk mencarikan uban di kepalanya. Dewi Sinta sangat terkejut setelah melihat bekas luka dikepala suaminya. Dewi Sinta teringat dengan anaknya yang pernah dipukul dengan centhong(sendok kayu) dikepalanya. Karena panasaran Dewi Sinta bertanya tentang luka yang terdapat dikepala Watugunung. dan Watugunung menceritakan perihal luka dikepalanya tersebut. Setelah mengetahui bahwa Watugunung adalah anaknya kemudian Dewi Sinta menyuruh Watugunung untuk mencari maru atau selir bidadari. Watugunung menyetujui permintaan itu, kemudian pergi ke khayangan untuk meminta maru bidadari kepada Dewa Wisnu. Akan tetapi Dewa Wisnu tidak memperbolehkan dan terjadi pertempuran antara Watugunung dan Dewa Wisnu. Dalam pertempuran tersebut tidak ada yang kalah dan menang. Kemudian Watugunung pulang dan menceritakan hal tersebut kepada istrinya bahwa Watugunung harus bertarung dengan Dewa Wisnu, tetapi keduanya tidak dapat saling mengalahkan. Dewi Sinta bertanya kepada Watugunung mengenai kesaktian yang dimilikinya dan apa yang bisa mengalahkannya. Watugunung menceritakan bahwa Watugunung dapat mati hanya pada hari Selasa Kliwon wuku Dukut. Ternyata Dewa Wisnu mendengar percakapan antara Watugunung dan Dewi Sinta dan akan berusaha membunuh Watugunung pada waktu tersebut.

Pada hari Selasa Kliwon wuku Dukut, Dewa Wisnu yang menajelama menajdi ular menyerang watugunung secara tiba-tiba. Watugunung akhirnya kalah dan dapat terbunuh oleh Dewa Wisnu. Anak-anaknya juga dibunuh Dewa Wisnu. Hanya Dewi Sinta yang masih hidup, kemudian Dewi Sinta mengajukan sebuah permintaan kepada Dewa Wisnu, bahwa dirinya ingin mati tetapi juga ingin anak-anaknya masuk surga. Dewa Wisnu mengabulkan permintaan Dewi Sinta tersebut dan kemudian Dewi Sinta meninggal.

commit to user

Masyarakat Nglurah mempercayai bahawa anak Watugunung yang bernama Dukut, dikuburkan di desa Nglurah. Kematiannya diperingati setiap hari Selasa Kliwon wuku Dukut, sehingga disebut dengan Dukutan (Sumber : Dokumen Desa Nglurah).

Berdasarkan dari kedua cerita di atas, masyarakat Nglurah banyak yang mempercayai cerita versi Airlangga. Masyarakat meyakini bahwa punden atau situs Menggung yang berada di desa Nglurah tersebut merupakan tempat persembunyian Airlangga. Apabila ditilik dari segi kondisi geografisnya daerah ini memang dikelilingi oleh lereng-lereng yang menyerupai benteng, sehingga seakan-akan daerah ini memisahkan diri dari daerah lain. selain itu jika melihat situs Menggung terdapat arca yang diyakini bahwa arca-arca tersebut adalah perwujudan dari Kyai Menggung yang merupakan pengikut Airlangga dan Nyi Rasa Putih. Dalam upacara Dukutan warga membuat segala piranti untuk persembahan nenek moyang yang semuanya terbuat dari jagung. Karena sifat Kyai Menggung yang sederhana memerintahkan agar menanam Palawija dan jagung. Untuk itu warga tidak berani menanam tanaman selain jagung dan palawija, karena dianggap melanggar perintah dari Kyai Menggung dan apabila melanggar ditakutkan akan terjadi musibah yang akan menimpa Desa Nglurah. Sedangkan tawuran yang menjadi acara inti dari Dukutan merupakan lambang perseteruan antara Kyai Menggung dan Nyi Rasa Putih. Berdasarkan alasan rasional tersebutlah masyarakat setempat banyak yang percaya terhadap versi Airlangga.

C. Prosesi Tradisi Bersih Desa Dukutan

Dokumen terkait