BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN
D. Usulan Program Pendampingan
1. Latar Belakang
Bahwa dalam kehidupan nyata cerdas secara akademik tidak serta merta menjadikan seseorang santun dalam berperilaku, cakap mengolah emosi, terampil mengelola temperamen, maupun memotivasi diri. Bahkan terkadang perilaku mereka sangat paradoks dengan kecerdasan intelektual yang mereka miliki. Hal ini dikisahkan oleh Daniel Goleman “Bagaimana Jason H siswa kelas dua SMU Coral Springs Florida, AS yang selalu memperoleh nilai A, tega bahkan merasa tidak bersalah telah menusuk David Pologruto guru fisikanya, gara- gara sang guru memberi nilai Jason 80 pada sebuah tes, dan ia yakin bahwa nilai itu hanya B” (Goleman, 2005: 44). Dalam hal ini kecerdasan akademik (IQ) hanya sedikit saja ada kaitannya dengan kehidupan emosional. Kecerdasan akademik (IQ) hanya berkisar pada kecakapan linguistik dan matematik yang sempit, sehingga praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak-gejolak emosi yang melanda pada saat itu, dan IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi atau kebahagiaan hidup. Keberhasilan dalam meraih angka tinggi pada tes IQ paling hanya menjadi
ramalan sukses di kelas atau sebagai profesor, akan teapi ramalan ini semakin melenceng seiring dengan jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademik.
Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegece mengatakan bahwa setingi-tingginya IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor- faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain (Goleman, 2005: 44). Dengan demikian pernyataan ini mau mematahkan paradigma banyak orang bahwa keberha silan seseorang ditentukan oleh intelektual saja. Padahal keberhasilan hidup seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor.
Sebelumnya Howard Gardner dalam bukunya “Frames of Mind” menyatakan penolakan terhadap pandangan mengenai penentuan kriteria seseorang itu cerdas atau tidak setelah dilakukan tes IQ. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan saja yang bisa menentukan dalam meraih kesuksesan hidup seseorang, melainkan masih ada spektrum kecerdasan lain yang lebih lebar dengan tujuh varietas utama (Goleman 2005: 50). Ketujuh varietas utama itu lebih lanjut disebut multiple intelligences, diantaranya linguistic intelligence (kecerdasan bahasa/verbal), logical-mathematical intelligence (kecerdasan matematis-logis), spatial intelligence (kecerdasan ruang), bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-badani), musical intelligence (kecerdasan musikal), interpersonal
intelligence (kecerdasan interpersonal), dan intrapersonal intelligence (kecerdasan
intrapersonal) (Paul Suparno, 2004: 19).
Lebih lanjut Gadner memberi ringkasan pendek terhadap teorinya itu yaitu tentang kecerdasan pribadi.
Kecerdasan antarpribadi adalah kemampuan untuk memahami orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bahu-membahu dengan mereka. Tenaga-tenaga penjualan yang sukses, politisi,
guru, dokter, dan pemimpin keagamaan semua cenderung orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antarpribadi yang tinggi. Kecerdasan
intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.
Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk mengunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2005: 52).
Bahkan teorikus yang berpegang teguh pada IQ pun mencoba memasukkan emosi ke wilayah kecerdasan. E.L. Thorndike seorang teorikus IQ dalam artkel di
Haper’s Magazine menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosional, yaitu
kecerdasan “sosial” yaitu kemampuan untuk memahami orang lain dan “bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia” – merupakan suatu aspek IQ seseorang (Goleman, 2005: 56). Dalam hal ini sebenarnya kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik namun menjadi bagian penting dari apa yang membuat orang sukses dalam kehidupan praksis sehari- hari. Kecerdasan sosial ini sebagaimana yang diperkenalkan Gadner dalam kecerdasan pribadi.
Konsep kecerdasan pribadi Gadner oleh Peter Salovey sebagai dasar definisi tentang kecerdasan emosional, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama yaitu mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina hubungan. Selanjutnya oleh Daniel Goleman lebih dipertajam lagi yaitu, bahwa kecerdasan emosional menentukan potensi kita untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praktis yang didasarkan pada lima unsur yaitu: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain (Goleman, 2003: 39).
2. Pengertian Kecerdasan Emosional
Menurut Pater Salovey dan John Mayer kecerdasan emosional adalah suatu kualitas emosional yang sangat penting dan mempengaruhi terhadap keberhasilan hidup seseorang. Kualitas-kualitas emosional itu antara lain; empati, kecakapan mengungkapkan dan memahami perasaan, kecakapan mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Lawrence, 2003: 5). Lebih lanjut mereka mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk menunda pikiran dan bertindak.
Sedangkan Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosi untuk
Mancapai Puncak Prestasi mengemukakan bahwa kecerdasan emosional atau
emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan
perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2003: 512).
Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda-beda tetapi saling me lengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah suatu potensi dalam diri individu untuk mengenali perasaan diri pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan mampu menjalani hubungan baik dengan orang lain.
3. Peranan Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional mempunyai peranan yang tak kalah pentingnya dengan kecerdasan akademik dalam hidup seseorang. Kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh cerdas secara akademik, namun jauh lebih besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap keberhasilan hidup seseorang. Dalam hal ini kecerdasan emosional mempunyai peranan yang begitu besar dalam kehidupan seseorang karena:
• Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional mampu menghadapi permasalahan-permasalahan hidup, dan mampu melihat peluang ketika menghadapi kesulitan-kesulitan hidup (Goleman, 2005: 47).
• Mampu memberikan “harapan” motivasi diri untuk selalu berkembang (mengembangkan diri dalam kehidupan), sehingga selalu bersikap optimisme dalam hidupnya. Dengan harapan dan bersikap optimis seseorang tidak mudah terjatuh di dalam kecemasan, bersikap pasrah, masa bodoh atau depresi bila menghadapi kesulitan.
• Mampu mengetahui dan menangani perasaannya sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif (Goleman, 2005: 48) dalam hal ini berarti memiliki kematangan manajemen diri dan empati, dengan demikian mereka memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan.
• Mampu “melampaui” diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan yang amat disukainya, yang disebut “flow”. Ciri-ciri “flow” adalah kebahagiaan yang spontan, bahkan keterpesonaan, lupa keadaan sekitar dan ini berlawanan dengan lamunan atau kekhawatiran. Mampu mencapai “flow” merupakan puncak kecerdasan emosional (Goleman, 2005: 127).
4. Pengertian Kecakapan Emosi
Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosi untuk Mancapai Puncak
Prestasi mengatakan bahwa kecakapan emosi adalah suatu kecakapan yang diperoleh
dari hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional (Goleman, 2003: 39). Inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan yaitu; empati yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan ketrampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.
Dengan demikian kecakapan emosional merupakan suatu perwujudan dari potensi-potensi kecerdasan emosi yang terdapat dalam diri seseorang sehingga dapat menghasilkan suatu prestasi yang istimewa. Potensi kecerdasan emosi didasarkan pada lima uns ur yaitu; kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Kelima unsur kecerdasan emosi tersebut merupakan dasar dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman, 2003:513).
a. Kesadaran diri
mengetahui apa yang dirasakan pada saatitu, dan menggunakannya untuk memadu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.
b. Pengaturan diri
menangani emosi diri sendiri sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.
c. Motivasi
kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak dengan efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan.
d. Empati
merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling prcaya dan menyelaraskan diri dengan
bermacam- macam orang. e. Ketrampilan sosial
mampu menangani emosi dengan baik ketika hubungan dengan orang lain, dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan-ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.
5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecakapan Emosional
Kecakapan emosional tidak seperti kecerdasan akademik (IQ), di mana kecakapan emosional dapat berkembang sepanjang kita masih hidup, sesuai dengan usia dan pengalaman dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Oleh sebab itu perkembangan kecakapan emosional dapat dipengaruhi oleh:
a. Faktor ekstern/ faktor lingkungan (sosial).
Faktor lingkungan cukup berperanan dalam pembent ukan dan perkembangan terhadap kecakapan emosional seseorang, lingkungan itu adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Lingkungan keluarga yang memiliki suatu kebiasaan-kebiasaan yang baik (sopan santun, peka, disiplin, bersahabat, ulet, dsb) dapat memberi pengaruh yang kuat terhadap kecakapan emosional anak. Demikian pula dengan lingkungan sekolah dan masyarakat di mana
anak itu tinggal, juga berpengaruh terhadap perkembangan emosional anak. Bila lingkungan sekolah dan masyarakatnya mendukung kecakapan emosional anak dapat berkembang dengan baik.
b. Faktor intern/faktor potensi diri.
Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan kecakapan emosional yang berasal dari dalam diri seseorang. Setiap individu di dalam dirinya sudah memiliki potensi-potensi kecakapan emosional yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini bila diperkembangkan dengan melalui belajar dan latihan terus menerus, maka kecerdasan emosional akan menjadi kecakapan emosional. Faktor intern itu antara lain:
• Memotivasi diri adalah sebuah potensi di mana seseorang tidak mudah menyerah, mampu menghadapi dan mengatasi sebuah kegagalan.
• Kesadaran diri adalah sebuah potensi yang mampu untuk mengenali kondisi diri sendiri, kesuksesan dan intuisi.
• Pengaturan diri adalah potensi untuk mengelola kondisi, impuls dan sumber daya diri sendiri.
• Empati adalah suatu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.
• Kecakapan dan membina hubungan dengan orang lain adalah sebuah potensi dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.
6. Hubungan Kecakapan Emosional dengan Kecerdasan Emosional
Kecakapan emosional merupakan hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional, maka seseorang yang memiliki kecakapan emosional
menghasilkan kinerja yang menonjol dalam pekerjaannya. Sedangkan kecerdasan emosional adalah sesuatu yang menentukan potensi-potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praksis yang didasarkan pada kelima unsur yaitu: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.
Dengan demikian kecerdasan emosional merupakan embrio untuk menjadikan seseorang memiliki kecakapan emosional sehingga mempunyai keunggulan-keunggulan di dalam pekerjaannya. Seseorang menjadi cakap dalam emosionalnya, jika di dalam dirinya sudah ada potensi-potensi yang termasuk ke dalam lima unsur kecerdasan emosional tersebut di atas, dan memperoleh kesempatan untuk berkembang dengan melalui belajar dan latihan- latihan secara terus menerus. Dengan kata lain kecakapan emosional sebagai perwujudan dari potensi-potensi kecerdasan emosional yang telah diterjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja.
Seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi tidak menjamin bahwa orang tersebut menjadi cakap secara emosional, karena potensi yang dimilikinya tidak diperkembangkan dan dilatih (dipraktikkan) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga potensi yang ada dalam diri seseorang hanya tinggal potensi saja.
C. Kerangka Pikir
Pola naratif eksperiensial adalah salah satu pola dalam Pendidikan Agama Katolik dengan mengutamakan ceritera sebagai sarana pendekatan dalam proses kegiatan belajar mengajar untuk mengajak peserta didik memahami kenyataan hidup. Ceritera (naratif) sebagai bahan/materi menjadi cermin yang dapat memantulkan pengalaman hidup seseorang secara otentik, dengan demikian pendengar dihantar
untuk melihat kenyataan hidup yang lebih jelas. Suatu pengalaman baru akan muncul, setelah si pendengar mendengarkan, mengikuti, dan menyimak sebuah ceritera dari awal hingga akhir serta melalui pendalaman (pengendapan). Ceritera (naratif) dapat memberikan rangsangan terhadap kecakapan emosional anak, karena ceritera dapat memperkaya imajinasi peserta didik sebagai pribadi yang selalu ingin berinteraksi denga n dunia sesamanya, ceritera dapat juga menjadi sumber nilai/makna tentang kebajikan (virtue), dan sebagai kebijaksanaan (wisdom) bagi peserta didik. Dengan demikian ceritera (naratif) dapat mempengaruhi kecakapan emosional seseorang.
Kecakapan emosional merupakan salah satu faktor dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, bila dibandingan dengan kecerdasan akademik (IQ). Menurut Daniel Goleman, bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% saja dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% diisi oleh kekuatan lain (Goleman, 2005: 44). Kekuatan-kekuatan itu antara lain bagaimana seseorang mampu mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat berkembang jika di dalam diri seseorang terdapat potensi dari kemampuan-kemampuan tersebut. Potensi itu antara lain kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain, potensi-potensi itu yang sering disebut dengan kecerdasan emosional.
Hasil penelitian sekolah-sekolah di Amerika menunjukkan bahwa jika kecakapan emosional berkembang dengan baik, kecakapan emosional akan menentukan keberhasilan seseorang dikemudian hari. Pelatihan-pelatihan emosional
diri, mengolah emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan akan membentuk keseimbangan mental antara nalar dan perasaan atau emosi. Menurut Daniel Goleman, pada dasarnya kecakapan emosional itu dapat dipelajari dan dikembangkan pada diri anak-anak apabila kita berusaha untuk mengajarkan dan melatihnya sehingga menjadi kecakapan emosional. Kecakapan emosional dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat, dan faktor potensi diri. Dari lingkungan sekolah melalui PAK pola naratif eksperiensial dapat mempengaruhi perkembangan kecakapan emosional anak, karena dengan melalui ceritera (naratif) imajinasi anak dapat berkembang, ceritera bisa memotivasi diri anak, ceritera bisa menjadikan pribadi yang selalu ingin berinteraksi dengan dunia sesamanya, demikian juga ceritera bisa menjadi sumber nilai kebajikan dan kebijaksanaan bagi peserta didik
Dengan demikian pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik memberi pengaruh terhadap perkembangan kecakapan emosional. Karena di dalam pola naratif eksperiensial terkandung nilai edukatif yang menyampaikan nilai-nilai kebajikan (virtue) dan nilai-nilai- nilai-nilai kebijaksanaan (wisdom). Naratif eksperiensial juga dapat merangsang perkembangan kemampuan afektif-emosio nal yang lebih stabil, berperan sebagai penghubung dengan kehidupan sosial, dan norma-norma sosial, serta dengan melalui naratif eksperiensial peserta didik memperoleh hiburan sebagai bagian dari kegiatan rekreasi dan kesemuanya itu menjadi faktor dalam mempengaruhi kecakapan emosional anak.
Kerangka pikir tersebut di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:
D. Hipotesis
Bertitik tolak dari kerangka pikir di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesis sebagai berikut:
H1 : ada pengaruh pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik terhadap kecakapan emosional.
H0 : tidak ada pengaruh pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik terhadap kecakapan emosional
Hipotesis ini diuji dalam taraf signifikansi 5%. X Naratif Eksperiensial Y Kecakapan Emosional
Dalam Bab III ini penulis bermaksud memaparkan metodologi penelitian sehubungan dengan tujuan penelitian khususnya butir ke-tiga, yaitu untuk mengetahui ada tidaknya pengaruh pola naratif eksperiensial dalam PAK terhadap kecakapan emosional siswa, serta seberapa besar pengaruh tersebut.
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk jenis penelitian kuantitatif berbentuk regresi. Penelitian berbentuk regresi adalah suatu bentuk hubungan antara variabel respon (terikat) dan variabel predictor (peubah/bebas) dan hubungan ini dinyatakan dalam persamaan matematis yang bentuknya bisa linier atau non linier (Sudjana, 2003: 5). Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan dari suatu hasil analisis sebuah data, ada tidaknya pengaruh antara dua variabel, dan seberapa besar pengaruhnya variabel bebas terhadap variabel terikat.
Dengan memakai jenis penelitian ini peneliti hanya ingin mengetahui data yang sudah ada (dalam arti tidak ditimbulkan). Dalam hal ini peneliti tidak membuat perlakuan-perlakuan khusus seperti yang diterapkan dalam penelitian eksperimen. Kelebihan jenis penelitian ini adalah penelitian dapat dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, dan data yang diperoleh cukup layak untuk dianalisis lebih lanjut sebagai karya ilmiah. Sedangkan kelemahannya adalah keakurasian (ketepatan) hasil analisis masih kurang dapat dipertanggung
jawabkan, karena tidak adanya perlakuan khusus maka faktor- faktor lain di luar variabel bisa saja ikut berpengaruh.
B. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat penelitian
Penelitian dilaksanakan di SMP Budi Mulia Padon, Sendang Mulyo, Minggir, Sleman -Yongyakarta.
2. Waktu penelitian
Penelitian dilakukan pada bulan Februari - Maret 2008.
C. Populasi
Populasi adalah jumlah dari keseluruhan subjek penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian populasi, karena seluruh populasi menjadi subjek penelitian (Suharsimi, 2002: 108). Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh siswa-siswi kelas I, kelas II, dan kelas III SMP Budi Mulia Padon, Slema n - Yogyakarta sebanyak 118 siswa, berdasarkan buku induk siswa. Keterangan lebih rinci dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3.1
Jumlah Siswa -Siswi SMP Budi Mulia
No Kelas Jumlah Populasi
1 Kelas I 48
2 Kelas II 32
3 Kelas III 38
D. Metode Pengumpulan Data 1. Identifikasi variabel
Variabel bebas: Pola naratif eksperiensial dalam PAK. Variabel terikat: Kecakapan emosional siswa.
2. Definisi operasional variabel
a. Pola naratif eksperiensial dalam PAK mencakup langkah langkah yang ada dalam proses kegiatan belajar mengajar PAK yaitu penampilan dan pendalaman ceritera rakyat atau ceritera kehidupan, penampilan dan pendalaman ceritera kitab suci, dialog/refleksi, rangkuman/kesimpulan. b. Kecakapan emosio nal adalah suatu kemampuan yang ada dalam diri manusia
yang terdiri dari kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain (ketrampilan sosial).
3. Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data a. Jenis data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data interval (data naratif eksperiensial dan kecakapan emosional).
b. Instrumen pengumpulan data
Instrumen dalam penelitian ini adalah kuesioner. Kuesioner adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya, atau hal- hal yang mereka
ketahui (Suharsimi, 2002: 128). Jenis kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner langsung dan tertutup di mana koesioner ini langsung diisi oleh responden sesuai dengan keadaannya, dan responden tinggal memilih jawaban yang sudah disediakan. Kuesioner ini digunakan untuk mengumpulkan data naratif eksperiensial dan kecakapan emosional
4. Kisi-kisi penelitian
Tabel 3.2
Kisi-kisi Variabel Pola Naratif Eksperiensial
No Dimensi Indikator No. Item 1 Penampilan ceritera rakyat/ceritera kehidupan
a. Ceritera rakyat/ceritera kehidupan menjadi bahan apersepsi dalam KBM.
b. Penyajian ceritera secara menarik c. Pengunaan sarana dalam menyampaikan
ceritera.
d. Variasi dalam menyampaikan ceritera rakyat. e. Penjiwaan dalam berceritera.
f. Ceritera sebagai sarana untuk memudahkan dalam mengingat sesuatu.
1 2 3 4 5 6 2 Pendalaman ceritera
a. Mendalami ceritera dengan tanya jawab. b. Suasana dalam berdialog.
c. Menemukan makna ceritera melalui dialog d. Keterlibatan peserta didik dalam berdialog. e. Masukan dari peserta didik.
f. Alokasi waktu dalam berdialog.
g. Keterbukaan pendidik dalam berdialog.
7 8 9 10 11 12 13
3
Ceritera Kitab Suci
a. Ceritera Kitab Suci mutlak ada dalam PAK. b. Metode/cara-cara dalam bercerita.
c. Ceritera rakyat/ceritera kehidupan membantu untuk memahami ceritera kitab suci.
d. Sumber ceritera jelas.
e. Peserta didik sudah pernah mendengarkan ceritera sebelumnya.
f. Peranan sebagai penceritera. g. penceritera membuat penasaran
pendengarnya untuk ingin selalu tahu.
14 15 16 17 18 19 20 4
Refleksi a. Menggali makna ceritera kitab suci.
b. Waktu hening sebagai proses pengendapan. c. Refleksi menjadikan sesuatu sebagai
pengalaman iman.
d. Refleksi sebagai sarana pencerahan. e. Mengidentifikasi pengalaman.
f. Menjadikan kitab suci sebagai sumber inspirasi hidup. 21 22 23 24 25 26 5 Rangkuman/ kesimpulan
a. Setiap akhir pokok bahasan membuat rangkuman/ kesimpulan.
b. Peranan pendidik dalam membuat rangkuman/ kesimpulan.
c. Unsur yang harus ada dalam rangkuman/ kesimpulan.
d. Keterlibatan peserta didik dalam membuat rangkuman/ kesimpulan.
27
28
29
30
Pengukuran naratif eksperiensial didasarkan pada indikator- indikatornya. Masing- masing indikator dijabarkan dalam bentuk pertanyaan.
Tabel 3.3
Skor Pola Naratif Eksperiensial
Pertanyaan Skor Selalu 4 Sering 3 Kadang-kadang 2 Tidak pernah 1 Tabel 3.4
Kisi-kisi vari abel Kecakapan Emosional
No. Item
No Dimensi Indikator Positif Negatif
1
Kesadaran diri
a. Mengidentifikasi emosi sendiri b. Peka terhadap kekuatan diri sendiri c. Mengetahui keterbatasan diri d. Memiliki keyakinan harga diri
1 3 4 5 2 6 2 Pengaturan diri
a. Mengelola emosi dan dorongan negatif b. Mengutamakan/menghargai norma
kejujuran dan integritas
c. Bertanggung jawab atas kinerja pribadi d. Fleksibilitas terhadap perubahan. e. Keterbukaan terhadap ide- ide serta
informasi baru 7 8 9 11 12 10 3
Motivasi a. Dorongan menjadi yang lebih baik b. Penyesuaian diri terhadap sasaran
kelompok/organisasi
c. Kesiapan dalam memanfaatkan kesempatan
13 14
d. Kegigihan dalam mengatasi kegagalan dan hambatan
16
4
Empati a. Pemahaman terhadap diri orang lain. b. Tanggap terhadap kebutuhan orang
lain
c. Pengertian perasaan orang lain d. Kesiap sediaan melayani
e. Pemberian kesempatan untuk tumbuh melalui pergaulan 17 18 19 20 21 5 Ketrampilan Sosial
a. Ketrampilan melakukan persuasi (bujukan)
b. Ketrampilan dalam komunikasi c. Ketrampilan membangkitkan inspirasi
memandu kelompok dan orang lain d. Ketrampilan memulai dan mengelola
perubahan
e. Negoisasi dan pemecahan silang pendapat
f. Ketrampilan menciptakan suasana terhadap sinergi kelompok dalam memperjuangkan tujuan bersama. g. Kerja sama dengan orang lain demi
tujuan bersama
h. Relasi dengan orang lain sebagai alat membangun kerja sama.
22 23 24 25 26 27 28 30 29
Pengukuran kecakapan emosional dalam penelitian ini didasarkan pada