• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II : KAJIAN PUSTAKA

3. Pola Naratif Eksperiensial

a. Latar Belakang Pola Naratif Eksperiensial

Munculnya pola naratif eksperiensial disebabkan adanya keprihatinan mulai tergesernya ceritera seiring dengan tumbuh dan berkembangnya budaya tulis. Padahal pada saat zaman tradisi lisan orang sangat akrab dengan ceritera. Di mana banyak hal penting yang disampaikan kepada orang banyak, kepada keturunannya (peraturan-peraturan, upacara- upacara, pengalaman praksis dsb) umumnya disampaikan dalam bentuk ceritera (Komkat, 1994: 2) Dengan melalui ceritera si pendengar mudah untuk mengingat, asal memperhatikan baik-baik siapa tokohnya, apa yang diucapkannya dan bagaimana alur ceriteranya dari awal sampai akhir.

Pada awal karya pewartaan-Nya, Yesus menerapkan pola naratif (ceritera) di dalam menyampaikan ajaran-ajarannya kepada para pendengarnya, hal ini ditegaskan dalam Injil Matius “...semuanya itu disampaikan Yesus kepada orang banyak dalam perumpamaan, dan tanpa perumpamaan suatu pun tidak

disampaikanNya kepada mereka (Mat 13: 34). Melalui ceritera (perumpamaan) Yesus berharap, agar para pendengar mengingat keseluruhan dari ceritera tersebut, dan membiarkan para pendengarnya untuk menarik kesimpulannya sendiri. Dengan demikian para pendengar diajak untuk selalu aktif dan kreatif di dalam mencari dan menemukan makna serta nilai- nilai di balik ceritera tersebut.

Pola naratif eksperiensial juga dipengaruhi oleh dimunculkannya “Teologi Naratif” yang diperkenalkan oleh teolog Metz Baptist dalam sebuah artikel yang berjudul “Membela peranan ceritera di dalam teologi”. Sebelumnya para teolog kurang berminat terhadap ceritera, karena ceritera dianggapnya kurang ilmiah dan tidak penting bagi orang terpelajar (Komkat KWI, 1994: 8). Sedangkan dalam teologi rasional segala sesuatu harus dapat dirumuskan secara rasional dan itulah yang di yakini sebagai yang benar. Sedangkan ceritera tidak terikat oleh rumusan-rumusan, gaya bahasa yang ilmiah, tetapi ceritera lebih mengutamakan keseluruhan ceritera, tokoh-tokohnya, dialog, peristiwa, dan perbuatan konkrit, bukan tema yang abstrak.

Demikian pula pada saat pemberlakuan kurikulum PAK 1994, pola naratif eksperiensial diperkenalkan sebagai pola pengajaran PAK di sekolah. Pola naratif eksperiensial dilihatnya lebih sesuai dengan apa yang menjadi rumusan tujuan pengajaran PAK di sekolah. PAK merupakan salah satu bentuk komunikasi atau interaksi iman, bukan pola indoktrinasi atau bimb ingan pribadi. Maka bahan merupakan sebagai sarana untuk membantu penghayatan hidup beriman, dan agar bahan menjadi patner dialog yang hidup, dibutuhkan pola yang sesuai yaitu pola naratif eksperiensial (Komkat KWI, 1994: 10-11).

Di dalam pola naratif eksperiensial, pertama-tama unsur yang paling penting adalah ceritera (naratif). Ceritera (narasi) menjadi patner dialog atau komunikasi

antara penceritera dengan pendengar, pendengar dengan pendengar yang bersaksi mengenai pengalaman serta penghayatan iman mereka (eksperiensial). Komunikasi iman tersebut berangkat dari atau menuju ke pengalaman dan penghaya tan iman hidup sehari- hari.

Penggunaan pola naratif eksperiensial, tidak secara langsung diarahkan kepada “hidup baik” melainkan peserta didik diharapkan memiliki ceritera secara utuh, dan ceritera itu akan menjadi bekal bagi mereka. Demikian pula mereka sendirilah yang akan membuat kesimpulan dari sebuah ceritera tersebut, sehingga mereka dapat mengatur hidupnya sendiri.

b. Pengertian Naratif Eksperiens ial

Istilah naratif eksperiensial berasal dari dua buah kata asing (Bhs. Inggris). Naratif berasal dari kata “narration” yang artinya ceritera, kisah dan kata eksperiensial berasal dari kata “experience” yang berarti pengalaman. Dengan demikian naratif eksperiensial berarti bahwa di dalam ceritera (narasi) sudah terkandung sebuah pengalaman tertentu. Selanjutnya narasi dikomunikasikan kepada pendengarnya yang sebelumnya juga sudah memiliki pengalamannya sendiri. Dengan dialog pendengar/peserta didik memiliki pengalaman baru yang dapat memperbaharui hidupnya.

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia kata “pengalaman” menunjuk pada sesuatu yang pernah terjadi, yang telah dirasai (diketahui, dikerjakan, dsb) (Poerwadarminta, 1986: 28). Pengalaman itu ada bila terjadi interaksi yang bersifat kontak langsung antara seseorang dengan orang lain atau seseorang dengan alam. Dengan adanya interaksi tersebut baik verbal maupun non verbal akan diperoleh

kesan. Kesan adalah sesuatu yang membekas, yang bermakna dalam dirinya dan itulah yang disebut pengalaman.

Pengalaman dalam naratif eksperiensial mengandung arti yang luas. Pengalaman di sini bisa mengacu pada peristiwa yang pernah dialami oleh si pendengar, secara kebetulan alur ceritera (sama/mirip) dengan peristiwa yang pernah mereka alami, namun pengalaman juga bisa mempunyai arti sebuah pergumulan, pergulatan karena adanya pengitegrasian nilai- nilai yang ditawarkan di dalam sebuah ceritera ke dalam dirinya setelah melalui refleksi.

Ceritera adalah “suatu tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal” (Poerwadarminta, 1986: 97). Dalam sebuah tuturan itu mengandung makna dan nilai- nilai yang berguna baik bagi si penceritera maupun bagi pendengarnya. Nilai- nilai yang terkandung dalam sebuah ceritera antara la in nilai relegius, nilai kebijaksanaan, nilai sosial, nilai politik, nilai pengembangan diri dan sebagainya.

Sedangkan menurut Ruedi Hofman ceritera adalah sebuah laporan mengenai suatu peristiwa di mana terjadi ketegangan dan kelegaan dengan tokoh-tokoh tertentu yang saling berhubungan di dalamnya, dan ceritera itu suatu bentuk pembebasan (Komkat KWI, 1994: 2). Dengan melalui ceritera pendengar dirangsang untuk menemukan makna dan kebenarannya sendiri, dan di dalam ceritera tidak ada kesimpulan, pernyataan dan petunjuk, akan tetapi pendengar diberi kebebasan untuk memutuskannya sendiri. Dalam hal ini tujuan dari sebuah ceritera, sesuai apa yang dikatakan Yesus “Aku tidak menyebut kamu lagi hamba, sebab hamba tidak tahu apa yang diperbuat oleh tuannya, tetapi Aku menyebut kamu sahabat, karena Aku telah memberitahukan kepada kamu segala sesuatu yang telah Kudengar dari Bapa-Ku (Yoh 15: 15). Di sini nampak jelas bahwa seorang hamba diberi kesimpulan,

pernyataan dan petunjuk sehingga mereka menjadi pasif dan kurang berani untuk melakukan sesuatu di luar petunjuk yang diberikan oleh tuannya. Sedangkan sahabat diberi ceritera yang lengkap supaya ia dengan kreatif dapat memutuskannya sendiri.

Jacub Santojo dalam bukunya Metode Exsegese Narasi mengatakan “pola naratif eksperiensial dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang mengutamakan ceritera sebagai bahan untuk mengajak peserta/pendengar untuk memahami kenyataan hidup (Santojo, 1991: 4). Dalam pola naratif eksperiensial ceritera bukanlah alat untuk menyampaikan wejangan, informasi maupun kotbah, melainkan sebagai “cermin” yang dapat memantulkan pengalaman hidup manusia secara otentik. Dengan melalui ceritera orang diajak untuk melihat kenyataan hidup yang lebih jelas.

c. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial

Pendekatan melalui ceritera sudah tidak asing lagi bagi para peserta didik, bahkan ceritera pada umumnya disukai oleh banyak kalangan, termasuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Dengan melalui ceritera pendengar merasa tidak digurui, didikte, dicekoin dengan ajaran-ajaran yang baku (doktrin). Akan tetapi mereka dipandang sebagai subyek yang diberi kebebasan untuk menarik kesimpulannya sendiri dengan melihat nilai- nilai yang terkandung di dalam ceritera tersebut secara utuh. Pada saat peserta didik menarik suatu makna yang terkandung di dalamnya, sebenarnya mereka sudah mulai berproses untuk menginternalisasikan nilai- nilai yang terdapat dalam ceritera tersebut ke dalam diri mereka. Bisa jadi mereka tertarik terhadap tokoh-tokohnya, dialognya, alur ceritera, peristiwanya dsb. Di sinilah ceritera memberi kebebasan kepada pendegarnya untuk mengungkapkan dan menerjemahkan makna yang mereka tangkap.

Ceritera merupakan salah satu cara yang baik sekali untuk mengajari anak berpikir realistis, karena ceritera dapat menunjukkan bagaimana orang secara realistis memecahkan masalah-masalahnya (Lawrence, 2003: 93). Melalui ceritera orang diajak untuk selalu berpik ir dan merenungkan pesan yang disampaikan dalam ceritera tersebut, sehingga bila ada sesuatu ya ng mengesan dalam dirinya, mereka akan melakukannya dalam kehidupan nyata. Dengan demikian ceritera dapat mempengaruhi perilaku, bahkan sampai membentuk budaya. Ceritera juga efektif mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak, sebab mereka senang mendengarkan atau membaca ceritera secara berulang- ulang. Dengan cara mengulang sebuah ceritera serta dipadukan dengan imajinasi yang berkembang, menjadikan ceritera sebagai salah satu cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku mereka.

Kegiatan berceritera merupakan salah satu upaya dalam membina hubungan emosional antara peserta didik dengan orang tua, antara peserta didik dengan pendidik, antara peserta didik dengan peserta didik. Kegiatan berceritera merupakan salah satu wujud dari aktivitas berkomunikasi dalam lingkungan pendidikan sekolah. Aktivitas komunikasi dalam lingkungan pendidikan sekolah dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu bercerita, mendengarkan, dan berempati. Melalui aktivitas ini hubungan emosional yang penuh kasih antara pendidik dengan peserta didik atau peserta didik dengan peserta didik dapat terbina.

Adapun manfaat dari ceritera sesuai dengan fungsi dari ceritera tersebut. Fungsi ceritera itu antara lain; fungsi edukasi, fungsi afeksi, fungsi rekreasi, dan fungsi sosialisasi (Anwar Efendi, 2006: 334). Fungsi edukasi dalam ceritera adalah menekankan pentingnya penyampaian nilai- nilai yang terkandung dalam ceritera. Fungsi afeksi dengan melalui ceritera diharapkan peserta didik dapat memiliki

kemampuan afektif-emosional yang lebih stabil, di samping itu dengan melalui ceritera peserta didik sekaligus memperoleh hiburan sebagai bagian dari kegiatan rekreasi. Sementara itu fungsi sosialisasi, pola naratif eksperiensial dalam PAK berperan sebagai penghubung antara peserta didik dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial. Semuanya itu dapat ditempuh melalui bercerita (naratif eksperiensial).

d. Proses Belajar Mengajar Dengan Pola Naratif Eksperiensial

Pengajaran PAK dengan pola naratif eksperiensial berbeda dengan kebiasaan pengajaran PAK yang berla tar belakang teologi rasional, di mana setiap pelajaran direncanakan berdasarkan tema tujuan instruksional yang sudah ditentukan sebelumnya. Pengajaran PAK dengan pola naratif eksperiensial yang menjadi fokus utamanya adalah menentukan tema, bukan pertama-tama merumuskan satuan tujuan instruksional (Komkat KWI, 1994: 23). Tema tersebut tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang berupa uraian, dan juga tidak dapat dibagi-bagi, diwartakan melalui berbagai macam ceritera. Ceritera menjadi satu kesatuan yang utuh dalam setiap pelajarannya. Dengan demikian yang membedakan pelajaran satu dengan pelajaran yang lain bukan tujuan, melainkan ceriteranya itu sendiri dan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

Pengajaran PAK dengan pola naratif eksperiensial merupakan pola komunikasi atau interaksi iman yang di dalamnya mengandung segi obyektif dan subyaktif terhadap semua pihak (pendidik, peserta didik). Segi obyektif di mana bahan yang diceriterakan berdasarkan kenyataan (realita), sebagaimana peristiwa di dala m ceritera tersebut terjadi. Obyektifitas suatu ceritera bisa berupa sejarah, pengalaman hidup, kisah, tradisi dsb. Sedangkan segi subyektifitas adalah bagaimana

cara pandang dari masing- masing orang dalam menanggapi peristiwa di dalam ceritera tersebut dalam terang iman. Menurut Tom Jacob, dkk dalam bukunya

Silabus Pendidikan Iman Katolik pola komunikasi naratif eksperiensial dapat

digambarkan sebagi berikut (Komkat KWI, 1992: 12).

Obyektif subyektif

Dari skema tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

• Ceritera sebagi bahan untuk didalami dan diolah bersama, ceritera tersebut bisa berasal dari ceritera Kitab Suci, Ceritera rakyat maupun ceritera kehidupan.

• Ceritera dihubungkan dengan pengalaman situasi konkrit kehidupan peserta didik sehari- hari.

• Guru sebagai fasilitator membangun suasana yang akrab untuk menggali, mengolah, mencari, dan menemukan makna dalam ceritera tersebut dengan melibatkan seluruh peserta didik. Dalam proses penemuan makna ceritera guru tidak me mberikan kesimpulan, namun masing- masing peserta didik membuat

BAHAN CERITERA SITUASI HIDUP

DIALAMI BERSAMA KOMUNIKASI NARATIF-EKSPERIENSIAL Guru Murid Murid

kesimpulannya sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan menangkap dan mencernak ceritera tersebut dengan bantuan dan bimbingan guru.

• Dalam hal komunikasi hendaknya selalu diingat juga segi obyektif dan subyektifnya, sehingga membuat kerangka berpiki menjadi utuh. Misalnya ada sebuah bahan (ceritera) dilihat dari segi obyektif: berbicara mengenai tradisi dan situasi dalam sejarah Italia pada abad 12, dan segi subyektifnya: mengenai tanggapan iman Fransiskus dari Asisi.

Dalam pengajaran pola naratif eksperiensial terdapat tiga jenis ceritera yang dapat digunakan yaitu: ceritera kanonik (Kitab suci), ceritera rakya t, dan ceritera kehidupan. Masing- masing ceritera tersebut mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri, dan ketiganya sangat berharga dalam pelajaran Pendidikan Agama Katolik.

1) Ceritera kanonik

Ceritera kanonika adalah semua ceritera yang terdapat di dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ceritera dalam kitab suci pada umumnya berawal dari sebuah tradisi lisan. Oleh karena manusia sudah mulai mengenal budaya tulis, dan dipandang perlu untuk menjaga keberlangsungan ceritera -ceritera yang mereka dengar secara turun temurun akhirnya mereka tulis. Kala itu sudah banyak beredar tulisan-tulisan mengenai ceritera. Untuk menertibkan, akhirnya tulisan-tulisan tersebut di seleksi dan didaftar yang disebut kanon.

Ceritera kanonik sangat berharga bagi kehidupan Gereja karena di dalamnya memuat ajaran-ajaran, pedoman hidup serta Firman Tuhan sebagai dasar hidup beriman. Ceritera kanonik sebenarnya suatu rangkaian sejarah keselamatan umat manusia dari awal penciptaan dunia sampai kedatangan Yesus Kristus dan perkembangan jemaat.

2) Ceritera rakyat

Ceritera rakyat adalah ceritera yang hidup di kalangan masyarakat sebagai warisan dari nenek moyangnya. Ceritera ini biasanya berupa dongeng yang sangat menarik. Di dalam dongeng tersebut tidak jarang terkandung nilai- nilai luhur, ajaran-ajaran tentang kehidupan, kebijaksanaan dan falsafah hidup. Filsafat yang terdapat dalam tradisi lisan tersebut terkadang tidak kalah bagusnya dengan filsafat modern (Komkat KWI, 1994: 17).

3) Ceritera kehidupan

Ceritera kehidupan adalah ceritera yang berasal dari pengalaman hidup konkrit, yaitu sesuatu yang sungguh-sungguh dialami (Komkat KWI, 1994: 20). Pengalaman hidup yang otentik dan sungguh-sungguh terjadi dalam praksis kehidupan menjadi bahan yang sangat menarik untuk diolah dan digumuli dalam terang iman. Di dalam kitab suci pun kita sering menjumpai adanya ceritera kehidupan yang diangkat menjadi ceritera kanonik, misalnya “Yesus melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu” (Luk 21: 1-2).

e. Ciri-Ciri Pola Naratif Eksperiensial

PAK yang berpolakan naratif eksperiensial mengandaikan adanya ciri-ciri yang hendaknya dipenuhi sebagai kerangka pengajaran PAK di sekolah. Pada loka karya kurikulum PAK 1994 di Muntilan, dibahas ciri-ciri PAK yang berpolakan naratif eksperiensial yaitu antara lain;

1) PAK bukanlah suatu bentuk indoktrinasi, ceramah, uraian, hafalan ataupun bimbingan. Akan tetapi PAK merupakan suatu bentuk komunikasi yang melibatkan gur u dan peserta didik secara aktif.

2) PAK bukan hanya sekedar memberikan aturan ataupun larangan, soal “boleh” atau “tidak boleh”, soal “harus” atau “tidak harus”

3) Hendaknya bahan ceritera (naratif) memenuhi kriteria antara lain (mengungkap kan pengalaman iman, menyentuh pengalaman hidup murid, menarik, mengandung nilai kristiani/relegiusitas, sesuai dengan tema dan tujuan dan mempunyai nilai lebih untuk membantu pemahaman terhadap ceritera kanonik). 4) Ceritera tidak hanya disampaikan dalam bentuk verbal atau kata-kata saja,

melainkan dapat disajikan lewat gambar, patung, foto, alam, dsb. Dalam hal ini ceritera akan lebih menarik jika disajikan dengan sarana audio visual.

5) Ceritera tidak hanya sekedar disampaikan saja, akan tetapi diolah dan didalami bersama-sama.

6) Peserta didik diberi kesempatan untuk menanggapi ceritera tersebut.

7) Kesimpulan yang diambil pada akhir proses, merupakan hasil dari proses komunikasi iman yang didasarkan atas penggalian ceritera, sehingga peserta didik dapat terbantu dala m mengembangkan nilai-nilai kristianinya. Kesimpulan bukannya datang dari pendidik melainkan memperhatikan/melibatkan pendapat dari peserta didik.

8) Pendidik berperan sebagai fasilitator untuk memudahkan terjadinya komunikasi iman. Di sini pendidik hendaknya tidak melakukan pemaksaan terhadap apa yang harus dilakukan oleh peserta didik tanpa memperhatikan inisiatif dari peserta didik.

f. Langkah-Langkah Pengajaran Pola Naratif Eksperiensial

Secara garis besar langkah- langkah pola naratif eksperiensial menurut buku pegangan Guru 1, 2, dan 3 PAK SLTP adalah sebagai berikut (Komkat KWI, 1994):

• Langkah pertama: penampilan ceritera rakyat/ceritera kehidupan.

Ceritera ini berfungsi sebagai sarana untuk membuka wawasan peserta didik terhadap situasi yang ada di sekitar kehidupannya (baik melalui ceritera rakyat maupun peristiwa kehidupan yang ada di sekitar lingkungannya).

• Langkah kedua : Pendalaman ceritera

Berangkat dari ceritera yang ditampilkan, peserta didik diajak untuk mengenal, mengerti, memahami dan mendalami isi ceritera serta nilai- nilai yang terkandung di dalam ceritera tersebut.

• Langkah ketiga: ceritera Kitab Suci.

Setelah peserta didik sudah memiliki pemahaman terhadap peristiwa kehidupan yang ada di sekitarnya, peserta didik perlu diberi arah pemahan yang benar sebagai seorang kristiani dengan penampilan ceritera Kitab Suci (tradisi Gereja).

• Langkah keempat: proses pergumulan.

Dalam proses ini peserta didik yang sudah memiliki kosep/pengalaman dari pendalaman ceritera rakyar/kehidupan perlu memperoleh pigura yang sesuai dengan iman kristiani, maka pengalaman itu perlu dikonfrontasikan dengan peristiwa yang terjadi di dalam Kitab Suci. Dengan demikian pengalaman/nilai yang terdapat dalam ceritera rakyat/kehidupan memperoleh makna baru setelah direfleksikan dalam terang iman. Penginternalisasian makna yang baru inilah menjadi kekuatan dalam penghayatan imannya sehari- hari.

Rangkuman dibuat dengan melibatkan peserta didik, dalam hal ini pendidik berperan sebagai fasilitator dala m merumuskan kalimat, dan rangkuman ini hanya berupa pokok-pokok atau garis besarnya saja.

Dokumen terkait