• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

D. Usulan Program Pendampingan

7. Salah Satu Contoh Bentuk Persiapan Kegiatan Pendampingan

1) Tema : Mengembangkan kecakapan emosional melalui pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik.

2) Tujuan : Agar para pendidik mengerti, memahami, dan menyadari bahwa dengan melalui pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik berpengaruh positif terhadap perkembangan kecakapan emosional siswa.

3) Peserta : Guru-guru PAK SMP di lingkunga n Yayasan Budi Mulia.

4) Tempat : Aula SMP Budi Mulia Padon, Sleman-Yogyakarta. 5) Waktu : Sabtu; 20 Desember 2008

6) Metode : Tanya jawab, sharing, permainan, dan informasi

7) Sarana : Hand out, saond sistem, White board, spidol, LCD, Lap top.

8) Sumber bahan - Kecerdasan emosional untuk mencapai prestasi

(Goleman, 2005: 47-127, 512-514)

- Emotional Intelligence (Goleman, 2003: 11-15)

- Mengajarkan Emotional Intellegence Pada Anak

(Lawrence, 2003: 5-8)

- Silabus Pendidikan Iman Katolik, Melalui Pelajaran

Agama Pada tingkat Pendidikan Dasar 9 Tahun

(Kanisius, 1992: 5-10)

- GBPP PAK 1994 dan GBPP PAK 2006

b. Pemikiran dasar

Pemaha man para guru PAK SMP di lingkungan Yayasan Budi Mulia terhadap kecakapan emosional belum merata, oleh karena kecakapan emosional sendiri baru berkembang pada tahun 1990-an, sehingga bagi kalangan pendidik relatif masih baru dan kurang populer apabila dibandingkan dengan istilah kecerdasan intelegensi (IQ) atau kecerdasan akademik.

Kecakapan emosional merupakan salah satu unsur penting dalam meraih kesuksesan hidup seseorang. Bahkan menurut hasil penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat, kecerdasan akademik hanya menyumbang kurang lebih 20% bagi faktor- faktor yang menentukan kesuksesan dalam hidup seseorang, sedangkan yang 80% lainnya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain. Demikian juga kecakapan emosional bukanlah sesuatu yang tetap atau permanen, namun kecakapan emosional itu bisa berubah dan diperkembangan secara maksimal dengan melalui pendidikan dan latihan- latihan.

Menurut penelitian ceritera (naratif) berpengaruh positif terhadap perkembangan kecakapan emosional. Sedangkan dalam PAK terdapat pola pengajaran yang berpangkal dari ceritera (naratif) sebagai bahan ajar. Dengan demikian PAK memiliki peluang yang besar dalam memperkembangkan kecakapan emosional siswa. PAK sendiri merupakan pendidikan iman yang menanamkan nilai- nilai cinta kasih, dalam perwujudannya bersikap tenggang rasa, saling menghargai dan menghormati, penguasaan diri, dan mampu mengambil keputusan yang tepat.

Oleh sebab itu sudah saatnya para guru PAK SMP memahami kecakapan emosional dengan baik. Dengan melalui pemahaman yang benar, diharapkan pendidik dapat membantu para peserta didiknya untuk memperkembangkan potensi-potensi kecakapan emosional secara semaksimal. Sehingga pada gilirannya nanti peserta didik lebih siap untuk menghadapai kehidupannya ditengah-tengah masyarakat. Pengembangan kecakapan emosional ini mutlak perlu, sebab semakin kompleks pemasalahan hidup yang dihadapai oleh setiap individu, dan permasalan-permasalan hidup bisa diatasi jika seseorang itu mampu mengenali diri sendiri dan orang lain, memiliki kemampuan memotivasi diri sendiri, mempunyai kemampuan mengelola emosi dengan baik serta mampu menjalin hubungan dengan orang lain.

c. Pengembangan Langkah 1) Pengantar singkat

Bapak/Ibu guru yang terkasih, menjadi seorang pendidik merupakan suatu rahmat panggilan. Panggilan untuk mendampingi para peserta didik agar menjadi manusia seutuhnya; sebagaimana yang dimaksud di dalam UU Sisdiknas pasal 4, bahwa pendidikan nasional adalah usaha untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekeri luhur dan seterusnya.

Mengembangkan manusia seutuhnya berarti mengembangkan seluruh potensi-potensi yang ada dalam diri peserta didik. Dalam hal ini peserta didik

tidak cukup hanya dibekali ilmu pengetahuan saja, yang berarti hanya mengembangkan segi intelektual. Demikian juga peserta didik tidak cukup hanya dibekali ketrampilan saja, sehingga peserta didik hanya dipersiapkan sebagai robot (pekerja). Namun pendidikan yang seutuhnya juga menyentuh dan memperkembangkan seluruh kepribadian peserta didik yang bertanggung jawab, peka dan tangguh menghadapi setiap tantangan. Kepribadian tidak kalah penting dengan ilmu pengetahuan dalam mempengaruhi keberhasilan hidup seseorang. Bahkan bila seseorang memiliki kepribadian yang kuat, ia akan lebih berhasil dalam hidupnya.

Kepribadian atau orang yang berbudi pekerti luhur tak lain adalah orang yang memiliki kecakapan emosional. Pada kesempatan hari ini, mari kita bersama-sama menggali dan menggumuli apa yang dimaksud dengan kecakapan emosional, bagaimana latar belakang timbulnya kecakapan emosional, apa pengaruhnya kecakapan emosional dalam kehidupan, dan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kecakapan emosional itu.

2) Materi pokok (berupa hand out) (a) Kecakapan emosional

(1) Pengertian kecakapan emosinal:

Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosi untuk Mancapai

Puncak Prestasi mengatakan bahwa kecakapan emosional adalah suatu

kecakapan yang diperoleh dari hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional (Goleman, 2003: 39). Inti kecakapan emosional adalah dua

kemampuan yaitu; empati, yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan ketrampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Dengan demikian kecakapan emosional merupakan suatu perwujudan dari potensi-potensi kecerdasan emosional yang terdapat dalam diri seseorang sehingga dapat menghasilkan suatu prestasi yang istimewa. Potensi kecerdasan emosi didasarkan pada lima unsur yaitu: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain

(selengkanya lihat hal 40-42)

(2) Latar belakang munculnya kecerdasan emosional

Di dalam kehidupan sehari- hari memiliki keunggulan kecerdasan akademik tidak menjamin bahwa seseorang menjadi lebih santun dalam berperilaku, cakap mengolah emosi, terampil mengelola temperamen, maupun memotivasi diri sendiri. Bahkan terkadang perilaku mereka sangat paradoks dengan kecerdasan intelektual yang mereka miliki. Seperti kisah yang diungkapkan oleh Daniel Goleman yaitu, “Bagaimana Jason H seorang siswa kelas dua SMU Coral Springs Florida, AS yang selalu memperoleh nilai A di sekolahnya, dengan tega nya bahkan ia merasa tidak bersalah telah menusuk David Pologruto guru fisikanya, gara- gara sang guru memberi nilai Jason H 80 pada sebuah tes, dan ia yakin bahwa nilai itu hanya B. Dalam hal ini dapat diketahui bahwa kecerdasan akademis (IQ) hanya sedikit saja berkaitan dengan kehidupan emosional. Kecerdasan akademik (IQ) hanya berkisar pada kecakapan

linguistik dan matematik yang sempit, sehingga praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi gejolak-gejolak emosi yang melanda pada saat itu. Demikian juga IQ yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan, gengsi atau kebahagian hidup seseorang. Keberhasilan dalam meraih angka yang tinggi pada tes IQ paling hanya menjadi ramalan sukses di kelas ataupun ramalan sebagai professor, namun ramalan ini akan semakin melenceng seiring dengan jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademik.

Daniel Goleman dalam bukunya “Emotional Intelligence” mengatakan bahwa setingi-tingginya IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi factor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Dengan demikian pernyataan ini mau membalikkan paradigma banyak orang bahwa keberhasilan seseorang ditentukan oleh kecerdasan intelektual saja. Padahal keberhasilan hidup seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor. Sebelumnya Howard Gardner dalam bukunya Frames of Mind menyatakan penolakannya terhadap pandangan bahwa seseorang dipandang cerdas atau bukan bila setelah di tes IQ-nya, dalam hal ini ia berpendapat bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan monolitik yang penting dalam meraih sukses hidup seseorang, melainkan ada spektrum kecerdasan yang lebih lebar dengan tujuh varietas utama. Ketujuh varietas utama itu selanjut nya sering disebut

multiple intelligences, di antaranya linguistic intelligence (kecerdasan

bahasa/verbal), logical-mathematical intelligence (kecerdasan matematis-logis),

spatial intelligence (kecerdasan ruang), bodily-kinesthetic intelligence

interpersonal intelligence (kecerdasan interpersonal), dan intrapersonal

intelligence (kecerdasan intrapersonal) (selengkapnya lihat hal 36-38).

(3) Peranan kecerdasan emosional dalam kehidupan

Peranan kecerdasan emosional terhadap kehidupan seseorang, antara lain: * Dengan kecerdasan emosional yang baik, seseorang mampu

menghadapi permasalahan-permasalan hidup, dan mampu melihat peluang ketika menghadapai kesulitan-kesulitan hidup.

* Mampu memberikan “harapan” motivasi diri untuk selalu berkembang (mengembangkan diri dalam kehidupan), sehingga selalu bersikap optimisme dalam hidupnya. Dengan harapan dan sikap optimis seseorang tidak mudah terjatuh ke dalam kecemasan, bersikap pasrah, masa bodoh atau depresi bila sedang menghadapi kesulitan.

* Mampu mengetahui dan menangani perasaannya sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif.

* Mampu “melampaui” diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan yang amat disukai, yang disebut “flow”. Adapun sebagai ciri-ciri “flow” adalah kebahagiaan yang sepontan, bahkan keterpesonaan, lupa keadaan sekitar dan ini berlawanan dengan lamunan. Flow merupakan puncak dari kecerdasan emosional.

(4) Faktor- faktor yang mempengaruhi kecakapan emosional

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan kecakapan emosional antara lain:

* Faktor ekstern/ faktor lingkungan (sosia l)

Faktor lingkungan cukup berperanan dalam pembent ukan dan perkembangan kecakapan emosional seseorang, lingkungan itu adalah lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat. Di lingkungan keluarga memiliki kebiasaan-kebiasaan yang baik, (sopan santun, peka, disiplin, bersahabat, ulet, dsb) dapat memberi pengaruh terhadap perkembangan kecakapan emosional anak. Demikian pula lingkungan sekolah dan masyarakat di mana, juga berpengaruh terhadap perkembangan kecakapan emosional anak. Bila lingkungan sekolah dan masyarakatnya mend ukung maka kecakapan emosional anak berkembang dengan baik.

* Faktor intern/faktor potensi diri.

Bahwa setiap orang memiliki potensi kecerdasan emosional yang dapat dikembangkan menjadi kecakapan emosional. Potensi-potensi kecakapan emosional itu antara lain (selengkapnya lihat hal 42-43).

(b) Pola naratif eksperiensial dan pengaruhnya terhadap kecakapan emosional (1) Pengertian pola naratif eksperiensial

Istilah naratif eksperiensial berasal dari dua buah kata asing (Bhs. Inggris). Naratif berasal dari kata “narration” yang artinya ceritera, kisah dan

kata eksperiensial berasal dari kata “experience” yang berarti pengalaman. Dengan demikian naratif eksperiensial berarti bahwa di dalam ceritera (narasi) sudah terkandung sebuah pengalaman tertentu. Selanj utnya narasi dikomunikasikan kepada pendengarnya yang sebelumnya juga sudah memiliki pengalamannya sendiri. Dengan dialog pendengar/peserta didik memiliki pengalaman baru yang dapat memperbaharui hidupnya (Selengkapnya lihat hal 26-28).

(2) Manfaat pola naratif ekspereinsial

Pendekatan melalui ceritera sudah tidak asing lagi bagi para peserta didik, bahkan ceritera pada umumnya disukai oleh banyak kalangan, termasuk anak-anak, remaja maupun orang dewasa. Dengan melalui ceritera pendengar merasa tidak digurui, didikte, dicekoin dengan ajaran-ajaran yang baku (doktrin). Akan tetapi mereka dipandang sebagai subyek yang diberi kebebasan untuk menarik kesimpulannya sendiri dengan melihat nilai- nilai yang terkandung di dalam ceritera tersebut secara utuh. Pada saat peserta didik menarik suatu makna yang terkandung di dalamnya, sebenarnya mereka sudah mulai berproses untuk menginternalisasikan nilai- nilai yang terdapat dalam ceritera tersebut ke dalam diri mereka. Bisa jadi mereka tertarik terhadap tokoh-tokohnya, dialognya, alur ceritera, peristiwanya dsb. Di sinilah ceritera memberi kebebasan kepada pendegarnya untuk mengungkapkan dan menerjemahkan makna yang mereka tangkap (Selengkapnya lihat hal 28-30).

(3) Ciri-ciri pola naratif eksperiensial

PAK yang berpolakan naratif eksperiensial mengandaikan adanya ciri-ciri yang hendaknya dipenuhi sebagai kerangka pengajaran PAK di sekolah. Pada loka karya kurikulum PAK 1994 di Muntilan, dibahas ciri-ciri PAK yang berpolakan naratif eksperiensial yaitu antara lain;

* PAK bukanlah suatu bentuk indoktrinasi, ceramah, uraian, hafalan ataupun bimbingan. Akan tetapi PAK merupakan suatu bentuk komunikasi yang melibatkan guru dan peserta didik secara aktif.

* PAK bukan hanya sekedar memberikan aturan ataupun larangan, soal “boleh” atau “tidak boleh”, soal “harus” atau “tidak harus”

* Hendaknya bahan ceritera (naratif) memenuhi kriteria antara lain (mengungkap kan pengalaman iman, menyentuh pengalaman hidup murid, menarik, mengandung nilai kristiani/relegiusitas, sesuai dengan tema dan tujuan dan mempunyai nilai lebih untuk membantu pemahaman terhadap ceritera kanonik).

* Ceritera tidak hanya disampaikan dalam bentuk verbal atau kata-kata saja, melainkan dapat disajikan lewat gambar, patung, foto, alam, dsb. Dalam hal ini ceritera akan lebih menarik jika disajikan dengan sarana audio visual. * Ceritera tidak hanya sekedar disampaikan saja, akan tetapi diolah dan

didalami bersama-sama.

* Peserta didik diberi kesempatan untuk menanggapi ceritera tersebut.

* Kesimpulan yang diambil pada akhir proses, merupakan hasil dari proses komunikasi iman yang didasarkan atas penggalian ceritera, sehingga peserta

didik dapat terbantu dalam mengembangkan nilai- nilai kristianinya. Kesimpulan bukannya datang dari pendidik melainkan memperhatikan/ melibatkan pendapat dari peserta didik.

* Pendidik berperan sebagai fasilitator untuk memudahkan terjadinya komunikasi iman. Di sini pendidik hendaknya tidak melakukan pemaksaan terhadap apa yang harus dilakukan oleh peserta didik tanpa memperhatikan inisiatif dari peserta didik.

(4) Pengaruh pola naratif eksperiensial terhadap kecakapan emosional

Pola naratif eksperiensial adalah salah satu pola dalam Pendidikan Agama Katolik dengan mengutamakan ceritera sebagai sarana pendekatan dalam proses kegiatan belajar mengajar untuk mengajak peserta didik memahami kenyataan hidup. Ceritera (naratif) sebagai bahan/materi menjadi cermin yang dapat memantulkan pengalaman hidup seseorang secara otentik, dengan demikian pendengar dihantar untuk melihat kenyataan hidup yang lebih jelas. Suatu pengalaman baru akan muncul, setelah si pendengar mendengarkan, mengikuti, dan menyimak sebuah ceritera dari awal hingga akhir serta melalui pendalaman (pengendapan). Ceritera (naratif) dapat memberikan rangsangan terhadap kecerdasan emosional anak, karena ceritera dapat memperkaya imajinasi peserta didik sebagai pribadi yang selalu ingin berinteraksi dengan dunia sesamanya, ceritera dapat juga menjadi sumber nilai/makna tentang kebajikan (virtue), dan sebagai kebijaksanaan (wisdom) bagi peserta didik.

Dengan demikian ceritera (naratif) dapat mempengaruhi kecakapan emosional seseorang (selengkapnya lihat hal 44-46).

d. Pendalaman Materi

Pendamping mempersilahkan seluruh peserta untuk memperdalam materi dengan cara bertanya, menyanggah, mempertegas ataupun mensharingkan pengalamannya. Untuk menjaga agar proses berjalan dengan baik, maka setiap trip terdiri tiga penanya, kemudian dijawab oleh pendamping.

Dokumen terkait