• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK TERHADAP KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA SMP BUDI MULIA PADON SLEMAN - YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK TERHADAP KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA SMP BUDI MULIA PADON SLEMAN - YOGYAKARTA"

Copied!
153
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH POLA NARATIF EKSPERIENSIAL

DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

TERHADAP KECAKAPAN EMOSIONAL

SISWA SMP BUDI MULIA PADON

SLEMAN - YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Slamet Susanto NIM: 031124004

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

PENGARUH POLA NARATIF EKSPERIENSIAL

DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

TERHADAP KECAKAPAN EMOSIONAL

SISWA SMP BUDI MULIA PADON

SLEMAN - YOGYAKARTA

S K R I P S I

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik

Oleh: Slamet Susanto NIM: 031124004

PROGRAM STUDI ILMU PENDIDIKAN KEKHUSUSAN PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

PERSEMBAHAN

(6)

v MOTTO

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

(8)
(9)

viii ABSTRAK

Judul skripsi ini adalah PENGARUH POLA NARATIF EKSPERIENSIAL DALAM PENDIDIKAN AGAMA KATOLIK TERHADAP KECAKAPAN EMOSIONAL SISWA SMP BUDI MULIA PADON, SLEMAN-YOGYAKARTA.

Skripsi ini berbentuk penelitian yang bertujuan untuk mengetahui (1) pengertian pola naratif eksperiensial dalam PAK, (2) pengertian kecakapan emosional, (3) apakah ada pengaruh positif pola naratif eksperiensial dalam PAK terhadap kecakapan emosional, jika ada seberapa besarkah pengaruh tersebut.

Pola naratif eksperiensial dalam PAK adalah suatu pendekatan yang mengutamakan ceritera (naratif) sebagai bahan untuk mengajak peserta didik/pendengar dalam memahami/menghayati hidup – iman mereka (eksperien).

Kecakapan emosional adalah suatu kemampuan individu untuk menyadari perasaan diri pada saat ini, memotivasi diri, berempati, mampu mengatur emosinya dan mampu menjalani hubungan baik dengan orang lain. Kecakapan emosional didasarkan pada kecerdasan emosional dalam perkembangannya dipengaruhi oleh faktor interen (motivasi diri, kesadaran diri, pengaturan diri, empati dsb) dan faktor eksteren yaitu faktor lingkungan (keluarga, sekolah dan masyarakat).

Jenis penelitian adalah kuantitatif berbentuk regresi. Jumlah populasi dalam penelitian ini sebanyak 118 siswa-siswi SLTP. Teknik pengumpulan data menggunakan metode kuesioner. Dari jumlah populasi yang memenuhi syarat untuk dianalisis lebih lanjut sebanyak 106 responden. Hasil uji validitas r hitung > r table = 0,193 dan uji reliabilitas r hitung > r table = 0,364. Hipotesis penelitian adalah H1: ada

pengaruh positif pola naratif eksperiensial dalam PAK terhadap kecakapan emosional. H0: tidak ada pengaruh positif pola naratif eksperiensial dalam PAK

terhadap kecakapan emosional. Teknik analisis data menggunakan regresi linier sederhana, dengan rumus y = a + b x.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh positif pola naratif eksperiensial terhadap kecakapan emosional (ρ = 0,003 < α = 0,05) dengan demikian H1 diterima sedangkan H0 ditolak dan sumbangan sebesar 7,9%. Artinya bahwa pola

naratif eksperiensial dalam PAK mempunyai korelasi yang positif terhadap perkembangkan kecakapan emosional siswa SMP, meskipun sumbangan tersebut relatife kecil.

(10)

ix ABSTRACT

The title of thesis is THE INFLUENCE OF EXPERIENTIAL NARRATIVE PATTERN IN CATHOLIC EDUCATION TOWARD STUDENT” EMOTIONAL SKILL IN BUDI MULIA JUNIOR HIGH

SCHOOL PADON, SLEMAN-YOGYAKARTA.

This thesis is a research study which has purpose to know (1) the definition of experiential narrative pattern in catho lic education, (2) the definition of emotional skill, (3) is there any positive influences of experiential narrative pattern in catholic education toward emotional skill, if any how much the influence of it.

Experiential narrative pattern in catholic education is an approach which gives priority to the narrative story as material to persuade students in understanding/experiencing their life-faith. Emotional skill is ability to be aware of personal feeling at this time, self motivated by internal factor (self motivated, self awareness, self management, empathy, etc) and the external factor is the environment (family, school, and society).

This is a quantitative research in the form of regression. Total population in this research is 118 respondents. The method in collecting data uses questionnaire method. From the total population, there are 106 respondents which fill the requirements to be analyzed further. The result of accuracy test r account > r table =

0,193, and reliability test r account > r table = 0,364. research hypothesis is H1: there is

positive influence of experiential narrative pattern in catholic education toward emotional skill. H0: there isn’t positive influence of experiential narrative pattern in

catholic education toward emotional skill. The method in collecting data uses simple linear regression, with formula y = a + b x .

The result shows that is positive influence of experiential narrative pattern in catholic education toward emotional skill (ρ = 0,003 < α = 0,05) thus we acceptable H1 at the time we refuse H0 and the contribution is 7,9%. It means that experiential

narrative pattern in catholic education has positive correlation toward the emotional skill development of Junior High School students, although the contribution is only small.

(11)

x

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Baik atas segala rahmat dan kasih-Nya yang besar serta berkat perhatian dan dukungan dari pelbagai pihak, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Meskipun tidak sedikit tantangan yang penulis hadapi dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis merasakan sungguh segala sesuatu indah pada waktunya.

Skripsi ini merupakan sebuah karya ilmiah yang disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana Pendidikan Program Studi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik, Universitas Sanata Dharma – Yogyakarta.

Atas bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama yang baik, penulis mengucapkan limpah terima kasih kepada semua pihak yang terkait dan berperan serta dalam proses penyelesaian skripsi ini. Secara khusus terima kasih kami haturkan kepada;

1. Bp. Drs. T. Sarkim, M, Ed., Ph. D., selaku dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma.

2. P. Drs. H.J. Suhardiyanto, S.J, selaku kaprodi Ilmu Pendidikan Kekhususan Pendidikan Agama Katolik.

(12)

xi

4. Bp. Drs. Y. a. C. H. Mardiraharjo., selaku dosen pembimbing skripsi II dan akademik yang setia dan sabar membantu dan membimbing selama proses penyusunan skrip si ini.

5. P. Drs. Y. I. Iswarahadi, S. J., M. A., selaku dosen pembimbing III yang telah rela sebagai penguji.

6. Bp. F. X. Drs. Indaryanto, selaku kepala sekolah SMP Budi Mulia Padon, Sleman-Yogyakarta yang telah memberikan kesempatan kepada pernulis unt uk mengadakan penelitian di sekolah yang dipimpinnya.

7. Segenap rekan yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu dengan keterbukaan hati penulis mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi perbaikan skripsi ini. Akhirnya semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta; 27 Juli 2008 Penulis

(13)

xii DAFTAR ISI

JUDUL... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERSEMBAHAN ... iv

MOTTO ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii A. Pola Naratif Eksperiensial Dalam Pendidikan Agama katolik ... 9

1. PAK di Sekolah... 9

3. Pola Naratif Eksperiensial ... 24

a. Latar Belakang Pola Naratif Eksperiensial ... 24

(14)

xiii

c. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial... 28

d. Proses Belajar Mengajar Dengan Pola Naratif Eksperiensial... 30

e. Ciri-Ciri Pola Naratif Eksperiensial... 33

f. Langkah-Langkah Pengajaran Pola Naratif Eksperiensial ... 35

B. Kecakapan Emosional... 36

1. Latar Belakang Kecerdasan Emosional ... 36

2. Pengertian Kecerdasan Emosional... 39

3. Peranan Kecerdasan Emosional... 40

4. Pengertian Kecakapan Emosional... 41

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecakapan Emosional ... 42

6. Hubunga n antara Kecakapan Emosional dengan Kecerdasan Emosional ... 43

C. Kerangka Pikir... 44

D. Hipotesis... 47

BAB III: METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian... 48

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 49

C. Populasi ... 49

D. Metode Pengumpulan Data ... 50

1. Identifikasi Variabel... 50

2. Definisi Operasional Variabel... 50

3. Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data ... 50

a. Jenis Data ... 50

b. Instrumen Pengumpulan Data ... 50

4. Kisi-Kisi Penelitian ... 51

E. Teknik Analisis Data ... 55

1. Analisis Instrumen ... 55

2. Teknik Ana lisis Data dan Uji Hipotesis... 60

BAB IV: ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. Analisis Data ... 63

1. Diskripsi Data ... 63

(15)

xiv

3. Analisis Diskriptif ... 65

a. Pola naratif eksperiensial ... 65

b. Kecerdasan emosional... 67

B. Uji Hipotesis... 68

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 68

a. Pengujian normalitas... 69

b. Uji linieritas... 70

c. Uji homogenitas ... 71

2. Pengujian Hipotesis ... 72

C. Pembahasan Hasil Penelitian ... 75

D. Usulan Program Pendampingan... 79

1. Latar Belakang ... 79

2. Tujuan Pendampingan... 81

3. Sasaran Pendampingan ... 81

4. Cara Pendampingan ... 82

5. Matrik Program... 85

6. Salah Satu Contoh Acara Pendampingan ... 88

7. Salah Satu Contoh Bentuk Persiapan Kegiatan Pendampingan ... 89

E. Keterbatasan...101

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ...103

B. Saran...104

DAFTAR PUSTAKA ...107

LAMPIRAN Lampiran 1: Kuesioner Penelitian... (1)

Lampiran 2: Validitas... (6)

Lampiran 3: Reliabilitas...(14)

Lampiran 4: Distribusi Frekuensi ...(22)

Lampiran 5: Uji Normalitas, Linieritas, dan Homogenitas...(24)

Lampiran 6: Regresi...(25)

Lampiran 7: Tabel Pola Naratife Eksperiensial...(26)

(16)

xv DAFTAR TABEL

3.1 Jumlah Siswa Siswi SMP Bud i Mulia Th. Ajaran 2007-2008 3.2 Operasional Variabel Pola Naratif Eksperiensial

3.3 Skor Pola Naratif Eksperiensial

3.4 Operasional Variabel Kecerdasan Emosional 3.5 Skor Kecerdasan Emosional

3.6 Hasil Pengujian Validitas Variabel Pola Naratif Eksperiensial 3.7 Hasil Pengujian Validitas Variabel Kecerdasan Emosional 3.8 Hasil Pengujian Reliabilitas

4.1 Jenis Kelamin Responden 4.2 Usia Responden

4.3 Interval Pola Naratif Eksperiensial 4.4 Interval Kecerdasan Emosional 4.5 Hasil Pengujian Normalitas 4.6 Hasil Pengujian Linieritas 4.7 Hasil Pengujian Homogenitas 4.8 Hasil Regresi

(17)

A. Latar Belakang

Pendidikan Nasional adalah usaha untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Dengan demikian, jelas kiranya bahwa sistem pendidikan yang dilaksanakan pada saat ini berimplikasi pada persiapan dan kesiapan peserta didik menghadapi masa depan. Keberhasilan pendidikan saat ini akan membawa pengaruh pada masa yang akan datang. Selanjutnya, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 rumusan pendidikan nasional adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri, serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Depdikbud, 1989: 5).

(18)

Budi Mulia, 2006: 5). Upaya untuk me ngembangkan seluruh aspek yang terdapat dalam diri peserta didik perlu adanya sistem pembelajaran yang kreatif dan inovatif. Pembelajaran kreatif yaitu pembelajaran yang tidak hanya terpaku pada satu pola saja, namun dapat memadukan beberapa pola pembelajaran sesuai dengan konteksnya, sehingga proses pembelajaran menjadi lebih hidup dan menggembirakan. Pembelajaran inovatif yaitu mampu menciptakan terobosan-terobosan baru dalam pengembangan proses pembelajaran tersebut, sehingga terciptanya suasana yang baru dan segar. Gagasan di atas sesuai dengan misi pendidikan Budi Mulia, “mengupayakan dan mencari pola-pola inovatif agar para insan pendidikan Budi Mulia dapat menjadi manusia utuh yang berkembang secara optimal” (Kongregasi Bruder Budi Mulia, 2006: 5).

Pendidikan Agama di sekolah dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia serta peningkatan potensi spiritual. Akhlak mulia termasuk budi pekerti, etika, dan moral sebagai perwujudan pendidikan agama. Sedangkan potensi spiritual meliputi pengenalan, pemahaman dan penanaman nilai- nilai keagamaan dalam peri kehidupannya (Depdiknas, 2005: 77).

(19)

setiap orang diundang untuk hidup dalam kedamaian, keadilan, kebenaran dan cinta kasih sehingga terwujudnya Kerajaan Allah.

Penyelenggaraan pendidikan nasional dewasa ini semakin jauh dari cita-cita luhur yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya. Manusia Indonesia lebih dipersiapkan untuk menjadi manusia-manusia yang pandai menghafal materi ilmu pengetahuan, dari pada menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Pandai secara akademis, namun tidak memiliki daya juang yang tangguh dalam mengahadapi suatu permasalahan, lebih diperlakukan sebagai obyek dari pada suyek pendidikan.

Situasi sekolah pada saat ini pun, lebih memfokuskan diri pada Ujian Akhir Nasional (UAN). Sekolah masih menjadi ajang perlombaan antara pendidik dan peserta didik dalam mencapai titik akhir yaitu UAN. Pelaksanaan proses pendidikan lebih menyiapkan peserta didik dalam upaya nya untuk menghadapi UAN. Akibatnya pelaksanaan proses kegiatan belajar mengajar hanya sebatas pada upaya bagaimana pendidik memberikan seperangkat pengetahuan (kognitif) yang ada hubungannya dengan UAN, sehingga UAN berubah menjadi sosok yang menakutkan, oleh karena itu perlu adanya persiapan yang sangat serius dan tidak boleh ada satu kesalahanpun dalam persiapan tersebut.

(20)

dalam buku pegangan tersebut itulah yang disampaikan kepada siswa, tanpa ada pengembangan apa pun, sehingga proses kegiatan belajar mengajar menjadi kering dan membosankan.

Situai pembelajaran PAK di SMP Budi Mulia Padon, sejauh pengamatan penulis, guru belum mampu membebaskan diri dari situasi sistem pendidikan yang berlaku selama ini. Dimana guru masih terbebani oleh target materi pelajaran yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu, sedangkan alokasi waktu untuk pelajaran PAK hanya dua jam dalam satu minggu. Pencapaian target ini berkaitan erat dengan materi yang akan diujikan, sehingga proses kegiatan belajar mengajar lebih terpokus pada penguasaan materi sebanyak-banyaknya (aspek kognitif) sehinggga aspek lainnya terabaikan.

Target materi menjadikan kreativitas dan pengeksplorasian diri seorang guru menjadi mandul. Guru akhirnya hanya menjadi seorang informan, yaitu hanya menyampaikan informasi yang terdapat di dalam buku ajar, tanpa ada pengolahan bahan terlebih dahulu, sehingga proses kegiatan belajar mengajar menjadi tidak menarik dan hanya menjadi kegiatan yang bersifat rutinitas belaka.

(21)

dipelajarinya. Kesiapan pendidik dalam mengajar juga masih lemah hal ini tampak dari penyampaian materi (metode) dan sarana (alat peraga) yang dipergunakannya.

Dalam suatu proses pendidikan, bila hanya menekankan penguasaan aspek pengetahuan (kognitif) saja dan mengabaikan aspek-aspek lainnya, proses kegiatan belajar mengajar akan mengalami gangguan; suasana menjadi kaku, tegang dan membosankan. Proses pendidikan semacam ini menimbulkan dampak sangat serius bagi siswa, dimana siswa kurang memiliki pertimbangan rasa (peka), menunjukkan perilaku yang agresif, cenderung pada tindak kekerasan dan kriminal, serta sebagian besar adanya rasa “hampa” pada harga diri peserta didik. Dalam hal ini, jika tanpa adanya pengintegrasian nilai-nilai dalam proses pendidikan, dunia pendidikan hanya akan menghasilkan manusia yang mungkin pandai dalam ilmu pengetahuan (kognitif), namun miskin dalam budi pekerti dan kehalusan perilaku.

Penguasaan ilmu pengetahuan (cerdas intelektual) tidak menjamin keberhasilan hidup seseorang, karena masih ada aspek-aspek lain yang jauh lebih berperanan dari pada kecerdasan intelektual (IQ). Seperti yang dikatakan oleh Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelligence bahwa setinggi-tingginya kecerdasan intelektual (IQ) menyumbang kira-kira 20% bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka 80% nya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain (Goleman, 2005: 44).

(22)

intelektual, peserta didik juga dibekali kemampuan untuk bertenggang rasa, peka terhadap situasi, saling menghormati dan dapat mengambil keputusan yang tepat. Hal inilah yang berhubungan dengan kecakapan emosional.

Upaya untuk membentuk manusia seutuhnya yang berkembang secara optimal baik secara kognitif, afektif dan psikomotorik terutama untuk meningkatkan kecakapan emosional salah satunya melalui pendekatan Pola Naratif Eksperiensial. Dengan pendekatan pola naratif eksperiensial guru dapat memberikan kegembiraan hidup dan mampu memberi keseimbangan bagi pikiran, perasaan dan imajinasi peserta didik. Dalam hal ini Daniel Goleman menjelaskan bahwa, pada dasarnya kecakapan emosional dapat dipelajari dan dikembangkan pada anak-anak apabila kita berusaha untuk mengajarkannya dan melatihnya (Goleman, 2005: 45).

(23)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan permasalahan yang ditemukan pada latar belakang, maka permasalahan-permasalahan tersebut dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Apa sumbangan PAK terhadap pendidikan nasional?

2. Bagaimanakah proses pelaksanaan pelajaran PAK di SMP Budi Mulia Padon? 3. Apa yang dimaksud dengan pola naratif eksperiensial dalam PAK?

4. Apakah pola naratif eksperiensial sudah menjadi model pembelajaran PAK di SMP Budi Mulia Padon?

5. Apakah pengertian kecakapan emosional?

6. Bagaimanakah kecakapan emosional dapat diukur?

7. Adakah pengaruh pola naratif eksperiensial terhadap kecakapan emosional? 8. Seberapa besar pengaruh pola naratif ekspeiensial dalam PAK terhadap

pembentukan kecakapan emosional siswa SMP Budi Mulia Padon?

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan atas permasalahan-permasalahan yang telah teridentifikasi tersebut di atas, dan oleh karena keterbatasan serta luasnya pembahasan, maka secara khusus penulis dalam penelitian ini bermaksud untuk membatasi masalah-masalah pada pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik dalam hubungannya dengan pembentukan kecakapan emosional.

D. Perumusan Masalah

(24)

3. Seberapa besar pengaruh pola naratif eksperiensial dalam PAK terhadap pembentukan kecakapan emosional siswa SMP Budi Mulia Padon, Sleman-Yogyakarta?

E. Tujuan Penulisan

1. Memaparkan pengertian pola naratif eksperiensial dalam PAK. 2. Memaparkan pengertian kecakapan emosional.

3. Menjelaskan seberapa jauh pengaruh pola naratif eksperiensial dalam PAK SMP terhadap kecakapan emosional.

F. Manfaat Penulisan

1. Untuk mengetahui secara mendalam pola naratif eksperiensial, sebagai pola pengajaran PAK di SMP Budi Mulia Padon, Sleman, Yogyakarta.

2. Memberikan pemahaman baru bagaimana PAK model naratif eksperiensial juga memberikan sumbangan terhadap perkembangan kecakapan emosional siswa SMP Budi Mulia Padon, Sleman - Yogyakarta.

G. Metode Penulisan

(25)

Pada bab II ini penulis bermaksud untuk memaparkan hasil- hasil kajian pustaka yang sehubungan dengan variabel-variabel dalam penelitian yaitu pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik di SMP (A), kecakapan emosional (B), Selanjutnya penulis juga memaparkan kerangka pikir (C), dan hipotesis (D).

A. Pola Naratif Eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik di SMP 1. PAK di Sekolah

a. Pengertian Pendidikan Agama Katolik di Sekolah

Pendidikan Agama Katolik di sekolah dipahami sebagai proses pendidikan iman atau proses pendidikan untuk membantu para peserta didik agar semakin beriman (Heryatno, 2003: 21). Pendidikan Agama Katolik sebagai proses pendidikan iman berlangsung secara berkesinambungan dan terus menerus, dan dengan demikian iman peserta didik diharapkan semakin dewasa.

(26)

dipahami sebagai pengetahuan pada diri sendiri, melainkan pengetahuan iman yang membuat seseorang semakin dimampukan di dalam mempertanggungjawabkan imannya. Dengan kata lain pengetahuan iman tidak hanya sekedar mengetahui ajaran-ajaran, doktrin-doktrin Gereja, akan tetapi pengetahuan yang memampukan dia untuk mempertanggungjawabkan imannya.

b. Tempat dan Peranan PAK 1) PAK dalam Pastoral Gereja

Pendidikan Agama Katolik berkaitan erat dengan karya pewartaan Gereja. PAK merupakan salah satu bentuk karya pewartaan yang dilaksanakan oleh Gereja dalam lingkup sekolah. Gereja melanjutkan dan mengambil bagian dalam tri tugas Yesus Kristus, yakni tugas sebagai nabi, tugas imami, dan tugas rajawi (KWI, 1996: 382). Dalam hal ini PAK turut ambil bagian dalam salah satu tugas gerejawi yaitu tugas pewartaan yang dilaksanakan di sekolah. Tugas pewartaan di sekolah tidak terhenti hanya pada penge nalan siapa itu Yesus Kristus?, namun membantu peserta didik sampai pada kesadaran dalam mengimani-Nya, dan dapat mengungkapkan imannya itu di dalam kehidupan sehari-hari, sehingga nilai- nilai kerajaan Allah benar-benar hadir di tenga h-tengah kehidupan mereka. Dengan kata lain tugas pewartaan itu juga terkandung tugas pendidikan iman.

(27)

Komunikasi iman yang dimaksudkan adalah komunikasi pengalaman hidup yang direfleksikan dalam terang iman kristiani. Komunikasi dan interaksi iman ini diharapkan dapat membantu perkembangan iman bagi peserta didik secara integral (menyeluruh).

2) PAK dalam Kurikulum SMP

Sebagaimana tujuan PAK di sekolah yaitu membantu memperkembangkan iman peserta didik secara integral (menyeluruh) baik menyangkut aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Dalam hal ini, PAK di sekolah mempunyai peranan sangat penting yaitu memberi sumbangan terhadap pembentukan dan pembangunan hidup beriman kristiani bagi para peserta didiknya. Dengan demikian PAK di sekolah berperan juga dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional yaitu turut mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, berkepribadian yang mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Depdiknas, 2006: 57).

PAK di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama diberi waktu 2 (dua) jam pelajaran dalam satu minggu (Depdikbud, 1994: 3). Akan tetapi PAK tetap memberikan kebebasan terhadap sekolah di dalam pengalokasian waktu dapat disesuaikan dengan kebutuhan dari masing- masing lembaga sekolah yang bersangkutan, namun pada umumnya PAK di sekolah memiliki target materi yang harus diselesaikan dalam kurun waktu tertentu, yaitu setiap catur wulan/ semester

(28)

c. Arah Dasar PAK

Arah dasar PAK adalah suatu gambaran umum mengenai pendidikan Agama Katolik dan sebagai acuan bagi perencanaan serta pelaksanaan PAK di sekolah. Arah dasar PAK seringkali dituangkan ke dalam kurikulum, sehingga menjadi pedoman arah dan akhirnya menjadi kreteria dalam pencapaian tujuan pendidikan sebagaimana telah ditentukan (Komkat KWI, 2001: 6). Dalam rangka penyusunan kurikulum PAK memperhatikan kondisi konkrit peserta didik, sehingga PAK dapat menjawab kebutuhan dan kepentingan peserta didik yang mencakup segi kognitif, afektif dan psikomotorik secara seimbang. Dengan kata lain kurikulum PAK mengacu pada pendidikan secara holistik (menyeluruh). Ke tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh dan menjadi unsur pokok dalam pembentukkan manusia yang beriman dewasa.

Menurut Setyakarjana dalam bukunya yang berjudul Bagaimana Membuat Satuan-Satuan Pelajaran Pendididkan Agama Katolik di Sekolah Dasar Dalam

Rangka pendidikan Iman, ada lima segi arah dasar, yaitu:

§ PAK di sekolah ingin mengembangkan kehidupan yang berpola Kristiani melalui bermacam- macam jalan yang saling melengkapi.

PAK di sekolah merupakan suatu proses pendidikan iman yang tentunya dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, pendekatan itu bisa yang bersifat umum maupun mempribadi, bagaimana orang menghayati kehidupan berimannya, sesuai yang dikehendaki Yesus Kristus dalam Injilnya. Dalam hal ini keterbukaan tetap dimungkinkan artinya orang perlu memilih sendiri dengan kebebasan dan keleluasaan tanpa ada suatu paksaan.

(29)

PAK terbuka terhadap perubahan dan pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan adanya perubahan gaya hidup masyarakat, mau tidak mau juga mempengaruhi pergeseran nilai- nilai yang terjadi dalam kehidupan. Atas dasar itu PAK mengungkapkan pilihannya pada arah pengembangan pribadi manusia dan arah pengembangan masyarakat.

§ PAK di sekolah perlu bersifat komunikatif dan sekaligus sebagai proses.

PAK di sekolah dipahami sebagai proses pendidikan iman, maka PAK di sekolah hendaknya berlangsung secara terbuka dan komunikatif dalam suasana dialog, sehingga proses pend idikan iman dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai dengan tradisi kristiani yaitu suatu tradisi dengan sikap keterbukaan terhadap warta tradisi yang lain dan dengan suatu sikap kesiapsediaan mengkonfrontasikan tradisinya sendiri.

§ PAK di sekolah penting, tetapi tetap memiliki keterbatasan.

PAK di sekolah itu penting karena membantu memperkemgkan iman peserta didik, sekaligus memiliki keterbatasan antara lain jatah waktu yang terbatas, jumlah murid yang besar, tuntutan nilai seperti mata pelajaran yang lainnya, adanya peserta didik katolik dan non katolik dalam satu kelas dan sebagainya. Meskipun PAK memiliki keterbatasan, PAK hendaknya mengupayakan kemungkinan-kemungkinan pembinaan iman peserta didik di luar jam pelajaran. § PAK di sekolah berkisar pada murid, masyarakat dan tradisi kristiani.

(30)

peserta didik di sekolah. Oleh karena itu PAK harus tetap berpegang pada tradisi kristiani sebagai sumber inspirasi dalam menggumuli permasalahan hidup, agar dalam proses pergumulan tetap memiliki arah yang jelas.

d. Ruang Lingkup Materi PAK

Ruang lingkup materi Pendidikan Agama Katolik terdiri dari tiga unsur pokok yaitu pengalaman hidup peserta, visi dan kisah hidup kristiani (tradisi), dan dialog kehidupan (komunikasi antara pengalaman hidup dengan visi Gereja).

Pengalaman hidup peserta didik dapat menjadi bahan yang sangat menarik. Pengalaman hidup peserta didik yaitu seluruh kenyataan hidup yang dialami oleh peserta didik, yang berupa permasalahan hidup baik itu berupa kesulitan, keprihatinan maupun peristiwa-peristiwa yang menggembirakan/menyenangkan. Pengalaman konkrit ini menjadi titik tolak dan sekaligus menjadi medan pergulatan bagi peserta didik untuk menghayati imannya, dan pengalaman hidup ini juga dapat menjadi sarana perjumpaan antara rahmat Allah dan tanggapan manusia. Dengan demikian kegiatan PAK menjadi relevan dan menyentuh kehidupan peserta, sebab setiap peserta didik memiliki pengalaman hidup sendiri yang diyakini maknanya, dan dipahami sebagai bagian hidup dirinya.

(31)

Dalam dialog kehidupan peserta didik dibantu mendialogkan pengalaman hidup konkritnya dengan kekayaan iman kristiani, agar peserta didik dapat menghayati imannya di dalam kebudayaan dan cara berpikirnya sendiri dan menuju pada kematangan atau kedewasaan iman. Dialog ini bersifat dua arah yaitu dari arah peserta, bagaimana mereka mempribadikan nilai- nilai iman kristiani ke dalam hidupnya, dan kedua dari arah nilai- nilai kristiani, bagaimana nilai tersebut meneguhkan dan mempertanyakan pengalaman konkrit hidup peserta, mengundang mereka untuk sampai kepada kesadaran baru yang akan diwujudkan dalam hidup selanjutnya.

e. Pola Pengajaran PAK

Menurut W.J.S. Poerwadarminta (1988: 692) dalam Kamus Umum Bahasa

Indonesia pola adalah suatu model, sistem, cara kerja atau bentuk (struktur) yang

tetap, suatu kerangka besar bagi suatu kegiatan. Dengan demikian pola dapat dimengerti sebagai pendekatan tertentu yang memiliki kerangka yang tertentu pula, suatu proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan dalam iman dengan langkah-langkah yang kurang lebih tetap.

Di dalam proses pembelajaran PAK terdapat beberapa pola pembelajaran antara lain:

1) Pola PAK Malino

(32)

membentuk diri peserta didik agar mampu menggumuli hidupnya dari segi pandangan kristiani dan diharapkan dapat berkembang terus menjadi manusia beriman. Secara garis besar proses pola Malino adalah sebagai berikut:

• Langkah pertama yaitu menampilkan fakta dan pengalaman manusia yang

membuka pemikiran atau dapat menjadi umpan balik bagi pembahasan selanjutnya.

• Langkah kedua merupakan kegiatan pengolahan data dari pengalaman

pengalaman yang direfleksikan dalam terang iman kristiani, sehingga mendorong terjadinya proses untuk mengetahui dan memahami dengan lebih luas dan mendalam.

• Langkah ketiga proses pergumulan dimana peserta didik dalam proses penginternalisasian nilai terjadi pergumulan dalam dirinya, sehingga dengan demikian peserta didik memiliki kemampuan untuk menerapkan dan mengintegrasikan pengetahuan dan pemahaman imannya itu dalam hidup konkrit sehari- hari.

2) Pola Dialog

Pola dialog ini mengacu pada Cara Belajar Siswa Akjtif (CBSA) pemberlakuan kurikulum 1984. CBSA merupakan suatu pola bagaimana mengoptimalkan kegiatan belajar siswa dalam proses pengajaran (Nana Sudjana, 1989: 20).

(33)

Pola tersebut adalah pola dialog atau sering juga disebut dengan pendekatan PAKEM (Pembelajaran, Aktif, Komunikatif, Eduaktif, Menyenangkan).

Dalam pola dialog ini sekelompok orang berkomunikasi satu sama lain dengan saling berbicara dan saling mendengarkan. Pendidik berperan sebagai fasilitator yang membantu peserta didik dalam mengolah materi pelajaran dengan lebih baik, mengatur jalannya pembicaraan, memberikan pengantar mengenai tema yang dibahas, menggerakkan peserta didik agar semuanya terlibat aktif, membantu mengatasi konflik yang timbul dan mengakhiri pembahasan dengan menarik sebuah kesimpulan mengenai tema yang dibahasnya. Secara garis besar proses pola diskusi adalah sebagai berikut;

• Langkah pertama adalah penggalian pengalaman peserta didik untuk menentukan tema yang akan dikembangkan/dibahas. Dalam penggalian pengalaman tersebut pendidik secara kreatif mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya dapat memperoleh gambaran kedaan awal peserta didik pada saat itu.

• Langkah kedua adalah pembahasan berangkat dari pengalaman peserta didik,

maka pendidik perlu menetapkan suatu tema permasalahan. Dalam proses pembahasan ini peran pendidik sebagai fasilitator; mengarahkan peserta didik secara bersama-sama untuk berproses dalam pencarian dan penemuan pemecahan permasalahan tersebut.

• Langkah ketiga adalah rangkuman/kesimpulan. Setelah akhir dari pembahasan

(34)

3) Pola Mempersiapkan Iman

Pola mempersiapkan iman ini bertujuan agar para peserta didik tumbuh dan berkembang dalam terang iman kristiani dengan harapan agar menjadi orang beriman yang otentik dewasa, adapun sebagai materi pada pola mempersiapkan iman adalah Peristiwa kehidupan konkrit peserta didik dan Kitab Suci serta Tradisi Gereja. Secara garis besar proses pola mempersiapkan iman adalah sebagai berikut:

• Langkah pertama menampilkan fakta.

• Langkah kedua proses penyadaran atas fakta.

• Langkah ketiga penawaran nilai- nilai kristiani.

• Langkah keempat penyadaran dan pemilihan.

4) Pola Kitab Suci

Pola Kitab Suci adalah suatu kerangka dasar kegiatan belajar mengajar di sekolah yang berdasarkan dan bertitik tolak dari Kitab Suci, yang bertujuan untuk mendarah dagingkan Sabda Allah ke dalam hidup pribadi para peserta didik dalam hidup bermasyarakat. Secara garis besar proses pola Kitab Suci adalah sebagai berikut:

• Langkah pertama yaitu dimulai dengan membaca/mendengarkan peristiwa dalam

Kitab Suci sebagai pengalaman yang otentik.

• Langkah kedua menggali hidup sehari hari dari peserta didik sebagai pengalaman manusiawi.

(35)

5) Pola Naratif Eksperiensial

Pola naratif eksperiensial dimunculkan pada saat pemberlakuan kurikulum 1994. Dalam pola ini bahan disajikan dalam bentuk ceritera sebagai patner dialog bagi peserta didik dan pendidik, yang mampu memberikan kesaksian mengenai pengalaman dan penghayatan iman, dan mendorong peserta didik untuk semakin terlibat dalam gerakan kerajaan Allah. Dengan melalui pola naratif eksperiensial PAK di sekolah ingin mewujudkan perkembangan iman peserta didik secara utuh dalam semua aspek (kognitif, afektif dan psikomotorik). Pola naratif eksperiensial selain berfungsi sebagai cermin yang memantulkan pengalaman hidup manusia secara otentik, naratif (ceritera) juga mempunyai fungsi edukatif/mendidik, fungsi afektif/emosi, fungsi rekreasi/hiburan, dan fungsi sosialisasi/sosial (Purwadi, 2006: 333). Keterangan lebih rinci diacu pada halaman 25.

2. PAK di SLTP

a. Latar Belakang PAK di SLTP

Pendidikan Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan umat manusia. Dalam hal ini agama menjadi pemandu bagi umat manusia di dalam upayanya untuk mewujudkan suatu kehidupan yang bermakna, damai dan bermartabat. Dengan demikian pendidikan agama perlu ditanamkan kepada setiap pribadi, sehingga internalisasi agama dalam kehidupan setiap pribadi menjadi sebuah keniscayaan yang ditempuh me lalui pendidikan baik pendidikan di lingkungan sekolah, maupun masyarakat.

(36)

potensi spiritual (Depdiknas, 2006: 98). Akhlak mulia termasuk budi pekerti, etika, dan moral sebagai perwujudan pendidikan agama. Sedangkan potensi spirtual meliputi pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai- nilai keagamaan dalam peri kehidupannya. Membentuk manusia beriman tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan, ajaran-ajaran, dogma-dogma tentang agama, melainkan bagaimana peserta didik mampu mengaktualisasikan dan mempertanggungjawabkan imannya dalam kehidupannya sehari- hari dengan melalui akhlak yang mulia sebagai perwujudan imannya.

Pendidikan Agama Katolik merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama katolik dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agama lain dalam hubungan kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat untuk memwujudkan persatuan nasional (Tom Jacob, 1992: 14). Pengertian PAK ini di dasari atas realitas keberadaan sekolah sekolah katolik yang notabene pesrta didiknya sebagian besar adalah non katolik, namun sekolah mempunyai tanggungjawab terhadap iman peserta didik yang beragama katolik untuk lebih memperkuat imannya dengan melaui komunikasi iman. Sehingga pada gilirannya nanti menjadi garam dan terang bagi sesamanya, namun tetap memperhatikan bagi peserta didik yang non katolik untuk tetap selalu menghormati atas pilihan dalam menjalankan agamanya.

(37)

seseorang dalam menyimak, mencerna dan mengaplikasikan apa yang diketahuinya dalam kehidupan nyata, menjadikan hidup seseorang sukses dan bermutu. Demikian juga dalam kehidupan beragama, orang tidak akan beriman dan diselamatkan oleh yang diketahui tentang imannya. Tetapi terlebih oleh pergumulannya dalam menginterpretasikan dan mengaplikasikan pengetahuan imannya dalam kehidupan nyata sehari- hari. Seorang beriman yang sejati bila senantiasa berusaha untuk melihat, menyadari dan menghayati kehadiran Allah dalam hidupnya sehari- hari dan berusaha untuk melaksanakan kehendak Allah dalam konteks kehidupan nyata. Oleh sebab itu PAK di sekolah merupakan salah satu usaha untuk memampukan peserta didik menjalani proses pemahaman, pergumulan dan penghayatan iman dalam konteks kehidupan nyata. Dengan demikian proses ini mengandung unsur pemahaman iman, pergumulan iman, dan penghayatan iman, sehingga diharapkan dapat semakin memperteguh dan mendewasakan iman peserta didik.

b. Arah dan Tujuan PAK di SLTP

Arah dasar Pendidikan Agama Katolik di SLTP adalah sebagai berikut:

1) Mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan siswa SLTP dan kesesuaiannya dengan lingkungan, dan kebutuha n pembangunan nasional berdasarkan UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pasal 37.

2) Membantu mewujudkan tugas Gereja dalam mewartakan misteri penyelamatan Allah dalam mengusahakan perkembangan kehidupan peserta didik seutuhnya. 3) Membantu me wujudkan tugas orangtua dalam pendidikan anaknya terutama

pendidikan hidup beriman.

(38)

Adapun yang menjadi tujuan PAK SLTP sesuai dengan GBPP PAK SLTP (Depdikbud, 1994: 2).

1) Peserta didik lebih mengenal dan mulai memahami serta mencintai Yesus Kristus melalui sakramen dalam kehidupan sehari- hari.

2) Peserta didik mengenal dan mulai memahami tentang firman dan mewujudkannya dalam kehidupan sehari- hari.

3) Peserta didik mulai tumbuh daya dinamika, sikap kritis dan kreatifnya demi perkembangan diri dan sesamanya untuk menjadi murid Kristus.

Sedangkan tujuan PAK SLTP menurut GBPP PAK SLTP (2006: 78) adalah agar peserta didik memiliki kemampuan untuk membangun hidup yang semakin beriman. Membangun hidup beriman Kristiani berarti membangun kesetiaan pada Injil Yesus Kristus, yang memiliki keprihatinan tunggal, yakni Kerajaan Allah.

c. Ruang Lingkup PAK di SLTP

Ruang lingkup bahan yang akan dibahas dalam PAK SLTP merupakan kelanjutan bahan yang dibahas PAK di Sekolah Dasar. Bahan-bahan itu berkisar pada kehidupan sakramental dan hidup bertanggung jawab berdasarkan iman sesuai dengan Firman Allah, yang meliputi tiga pokok antara lain; Sakramen, Firman, dan hidup beriman kristiani secara bertanggung jawab. Ketiga pokok bahan tersebut berpusat pada pokok utamanya yaitu Yesus Kristus.

Menurut GBPP PAK SLTP (1994: 4) secara garis besar ketiga pokok bahan yang akan dibahas di SLTP adalah sebagai berikut:

Kelas I: Sakramen dan Hidup Beriman Sehari hari

(39)

Kelas II: Seksualitas, Perkawinan, dan Sakramen Tobat

Bahan ini mencakup Seksualitas dan Perkawinan, Sakramen Tobat. Dalam hal ini peserta didik diperkena lkan dengan “kisah” tokoh-tokoh penting dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, yang dipandang sebagai tokoh “panutan” dalam kehidupan iman mereka.

Kelas III: Menjadi Murid Yesus

Bahan ini mencakup pokok-pokok bahan kajian menjadi murid Yesus karena dipanggil dan menjadi murid Yesus secara mandiri, menjadi murid Yesus Kristus dengan membangun paguyuban kristiani, dan menjadi murid Yesus Kristus supaya diutus.

Sedangkan menurut Depdiknas, dalam GBPP PAK SLTP (2006: 100-103). Pokok bahan yang akan dibahas di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama secara garis besarnya sebagai berikut:

Kelas satu: semester 1; Peserta didik dan Yesus Kristus.

semester 2; Pribadi Peserta didik dan Yesus Kristus. Kelas dua: semester 1; Yesus Kristus.

semester 2; Gereja

Kelas tiga: semester 1; Yesus Kristus, Gereja dan Kemasyarakatan. semester 2; Kemasyarakatan dan Gereja

(40)

d. Pola PAK di SLTP

Pendidikan Agama Katolik di SLTP merupakan suatu pendidikan iman yang bersifat ho listik (menyeluruh) dan mengandalkan kebebasan batin dari setiap peserta didik, maka pola pengajaran Pendidikan Agama Katolik yang dikembangkan adalah pola naratif eksperiensial. Dalam pola ini, bahan (kisah) diceriterakan (narasi) sebagai mitra dialog pengalaman hidup peserta didik sehari- hari (eksperiensial). Bahan (kisah) dapat diambil dari Kitab Suci, riwayat hidup orang kudus, ceritera rakyat, ceritera kehidupan, atau ceritera yang sesuai. Sedangkan mitra dialog ceritera (narasi) yaitu eksperiensial berupa pengalaman hidup sehari-hari peserta didik.

Untuk pola naratif eksperiensial akan dibahas lebih lanjut.

3. Pola Naratif Eksperiensial

a. Latar Belakang Pola Naratif Eksperiensial

Munculnya pola naratif eksperiensial disebabkan adanya keprihatinan mulai tergesernya ceritera seiring dengan tumbuh dan berkembangnya budaya tulis. Padahal pada saat zaman tradisi lisan orang sangat akrab dengan ceritera. Di mana banyak hal penting yang disampaikan kepada orang banyak, kepada keturunannya (peraturan-peraturan, upacara- upacara, pengalaman praksis dsb) umumnya disampaikan dalam bentuk ceritera (Komkat, 1994: 2) Dengan melalui ceritera si pendengar mudah untuk mengingat, asal memperhatikan baik-baik siapa tokohnya, apa yang diucapkannya dan bagaimana alur ceriteranya dari awal sampai akhir.

(41)

disampaikanNya kepada mereka (Mat 13: 34). Melalui ceritera (perumpamaan) Yesus berharap, agar para pendengar mengingat keseluruhan dari ceritera tersebut, dan membiarkan para pendengarnya untuk menarik kesimpulannya sendiri. Dengan demikian para pendengar diajak untuk selalu aktif dan kreatif di dalam mencari dan menemukan makna serta nilai- nilai di balik ceritera tersebut.

Pola naratif eksperiensial juga dipengaruhi oleh dimunculkannya “Teologi Naratif” yang diperkenalkan oleh teolog Metz Baptist dalam sebuah artikel yang berjudul “Membela peranan ceritera di dalam teologi”. Sebelumnya para teolog kurang berminat terhadap ceritera, karena ceritera dianggapnya kurang ilmiah dan tidak penting bagi orang terpelajar (Komkat KWI, 1994: 8). Sedangkan dalam teologi rasional segala sesuatu harus dapat dirumuskan secara rasional dan itulah yang di yakini sebagai yang benar. Sedangkan ceritera tidak terikat oleh rumusan-rumusan, gaya bahasa yang ilmiah, tetapi ceritera lebih mengutamakan keseluruhan ceritera, tokoh-tokohnya, dialog, peristiwa, dan perbuatan konkrit, bukan tema yang abstrak.

Demikian pula pada saat pemberlakuan kurikulum PAK 1994, pola naratif eksperiensial diperkenalkan sebagai pola pengajaran PAK di sekolah. Pola naratif eksperiensial dilihatnya lebih sesuai dengan apa yang menjadi rumusan tujuan pengajaran PAK di sekolah. PAK merupakan salah satu bentuk komunikasi atau interaksi iman, bukan pola indoktrinasi atau bimb ingan pribadi. Maka bahan merupakan sebagai sarana untuk membantu penghayatan hidup beriman, dan agar bahan menjadi patner dialog yang hidup, dibutuhkan pola yang sesuai yaitu pola naratif eksperiensial (Komkat KWI, 1994: 10-11).

(42)

antara penceritera dengan pendengar, pendengar dengan pendengar yang bersaksi mengenai pengalaman serta penghayatan iman mereka (eksperiensial). Komunikasi iman tersebut berangkat dari atau menuju ke pengalaman dan penghaya tan iman hidup sehari- hari.

Penggunaan pola naratif eksperiensial, tidak secara langsung diarahkan kepada “hidup baik” melainkan peserta didik diharapkan memiliki ceritera secara utuh, dan ceritera itu akan menjadi bekal bagi mereka. Demikian pula mereka sendirilah yang akan membuat kesimpulan dari sebuah ceritera tersebut, sehingga mereka dapat mengatur hidupnya sendiri.

b. Pengertian Naratif Eksperiens ial

Istilah naratif eksperiensial berasal dari dua buah kata asing (Bhs. Inggris). Naratif berasal dari kata “narration” yang artinya ceritera, kisah dan kata eksperiensial berasal dari kata “experience” yang berarti pengalaman. Dengan demikian naratif eksperiensial berarti bahwa di dalam ceritera (narasi) sudah terkandung sebuah pengalaman tertentu. Selanjutnya narasi dikomunikasikan kepada pendengarnya yang sebelumnya juga sudah memiliki pengalamannya sendiri. Dengan dialog pendengar/peserta didik memiliki pengalaman baru yang dapat memperbaharui hidupnya.

(43)

kesan. Kesan adalah sesuatu yang membekas, yang bermakna dalam dirinya dan itulah yang disebut pengalaman.

Pengalaman dalam naratif eksperiensial mengandung arti yang luas. Pengalaman di sini bisa mengacu pada peristiwa yang pernah dialami oleh si pendengar, secara kebetulan alur ceritera (sama/mirip) dengan peristiwa yang pernah mereka alami, namun pengalaman juga bisa mempunyai arti sebuah pergumulan, pergulatan karena adanya pengitegrasian nilai- nilai yang ditawarkan di dalam sebuah ceritera ke dalam dirinya setelah melalui refleksi.

Ceritera adalah “suatu tuturan yang membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal” (Poerwadarminta, 1986: 97). Dalam sebuah tuturan itu mengandung makna dan nilai- nilai yang berguna baik bagi si penceritera maupun bagi pendengarnya. Nilai- nilai yang terkandung dalam sebuah ceritera antara la in nilai relegius, nilai kebijaksanaan, nilai sosial, nilai politik, nilai pengembangan diri dan sebagainya.

(44)

pernyataan dan petunjuk sehingga mereka menjadi pasif dan kurang berani untuk melakukan sesuatu di luar petunjuk yang diberikan oleh tuannya. Sedangkan sahabat diberi ceritera yang lengkap supaya ia dengan kreatif dapat memutuskannya sendiri.

Jacub Santojo dalam bukunya Metode Exsegese Narasi mengatakan “pola naratif eksperiensial dapat diartikan sebagai suatu pendekatan yang mengutamakan ceritera sebagai bahan untuk mengajak peserta/pendengar untuk memahami kenyataan hidup (Santojo, 1991: 4). Dalam pola naratif eksperiensial ceritera bukanlah alat untuk menyampaikan wejangan, informasi maupun kotbah, melainkan sebagai “cermin” yang dapat memantulkan pengalaman hidup manusia secara otentik. Dengan melalui ceritera orang diajak untuk melihat kenyataan hidup yang lebih jelas.

c. Manfaat Pola Naratif Eksperiensial

(45)

Ceritera merupakan salah satu cara yang baik sekali untuk mengajari anak berpikir realistis, karena ceritera dapat menunjukkan bagaimana orang secara realistis memecahkan masalah-masalahnya (Lawrence, 2003: 93). Melalui ceritera orang diajak untuk selalu berpik ir dan merenungkan pesan yang disampaikan dalam ceritera tersebut, sehingga bila ada sesuatu ya ng mengesan dalam dirinya, mereka akan melakukannya dalam kehidupan nyata. Dengan demikian ceritera dapat mempengaruhi perilaku, bahkan sampai membentuk budaya. Ceritera juga efektif mempengaruhi cara berpikir dan berperilaku anak, sebab mereka senang mendengarkan atau membaca ceritera secara berulang- ulang. Dengan cara mengulang sebuah ceritera serta dipadukan dengan imajinasi yang berkembang, menjadikan ceritera sebagai salah satu cara terbaik untuk mempengaruhi perilaku mereka.

Kegiatan berceritera merupakan salah satu upaya dalam membina hubungan emosional antara peserta didik dengan orang tua, antara peserta didik dengan pendidik, antara peserta didik dengan peserta didik. Kegiatan berceritera merupakan salah satu wujud dari aktivitas berkomunikasi dalam lingkungan pendidikan sekolah. Aktivitas komunikasi dalam lingkungan pendidikan sekolah dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu bercerita, mendengarkan, dan berempati. Melalui aktivitas ini hubungan emosional yang penuh kasih antara pendidik dengan peserta didik atau peserta didik dengan peserta didik dapat terbina.

(46)

kemampuan afektif-emosional yang lebih stabil, di samping itu dengan melalui ceritera peserta didik sekaligus memperoleh hiburan sebagai bagian dari kegiatan rekreasi. Sementara itu fungsi sosialisasi, pola naratif eksperiensial dalam PAK berperan sebagai penghubung antara peserta didik dengan kehidupan sosial dan norma-norma sosial. Semuanya itu dapat ditempuh melalui bercerita (naratif eksperiensial).

d. Proses Belajar Mengajar Dengan Pola Naratif Eksperiensial

Pengajaran PAK dengan pola naratif eksperiensial berbeda dengan kebiasaan pengajaran PAK yang berla tar belakang teologi rasional, di mana setiap pelajaran direncanakan berdasarkan tema tujuan instruksional yang sudah ditentukan sebelumnya. Pengajaran PAK dengan pola naratif eksperiensial yang menjadi fokus utamanya adalah menentukan tema, bukan pertama-tama merumuskan satuan tujuan instruksional (Komkat KWI, 1994: 23). Tema tersebut tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata yang berupa uraian, dan juga tidak dapat dibagi-bagi, diwartakan melalui berbagai macam ceritera. Ceritera menjadi satu kesatuan yang utuh dalam setiap pelajarannya. Dengan demikian yang membedakan pelajaran satu dengan pelajaran yang lain bukan tujuan, melainkan ceriteranya itu sendiri dan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik.

(47)

cara pandang dari masing- masing orang dalam menanggapi peristiwa di dalam ceritera tersebut dalam terang iman. Menurut Tom Jacob, dkk dalam bukunya

Silabus Pendidikan Iman Katolik pola komunikasi naratif eksperiensial dapat

digambarkan sebagi berikut (Komkat KWI, 1992: 12).

Obyektif subyektif

Dari skema tersebut di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

• Ceritera sebagi bahan untuk didalami dan diolah bersama, ceritera tersebut bisa

berasal dari ceritera Kitab Suci, Ceritera rakyat maupun ceritera kehidupan.

• Ceritera dihubungkan dengan pengalaman situasi konkrit kehidupan peserta didik sehari- hari.

• Guru sebagai fasilitator membangun suasana yang akrab untuk menggali, mengolah, mencari, dan menemukan makna dalam ceritera tersebut dengan melibatkan seluruh peserta didik. Dalam proses penemuan makna ceritera guru tidak me mberikan kesimpulan, namun masing- masing peserta didik membuat

BAHAN CERITERA SITUASI HIDUP

DIALAMI BERSAMA

KOMUNIKASI

NARATIF-EKSPERIENSIAL Guru

(48)

kesimpulannya sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan menangkap dan mencernak ceritera tersebut dengan bantuan dan bimbingan guru.

• Dalam hal komunikasi hendaknya selalu diingat juga segi obyektif dan subyektifnya, sehingga membuat kerangka berpiki menjadi utuh. Misalnya ada sebuah bahan (ceritera) dilihat dari segi obyektif: berbicara mengenai tradisi dan situasi dalam sejarah Italia pada abad 12, dan segi subyektifnya: mengenai tanggapan iman Fransiskus dari Asisi.

Dalam pengajaran pola naratif eksperiensial terdapat tiga jenis ceritera yang dapat digunakan yaitu: ceritera kanonik (Kitab suci), ceritera rakya t, dan ceritera kehidupan. Masing- masing ceritera tersebut mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri, dan ketiganya sangat berharga dalam pelajaran Pendidikan Agama Katolik.

1) Ceritera kanonik

Ceritera kanonika adalah semua ceritera yang terdapat di dalam Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Ceritera dalam kitab suci pada umumnya berawal dari sebuah tradisi lisan. Oleh karena manusia sudah mulai mengenal budaya tulis, dan dipandang perlu untuk menjaga keberlangsungan ceritera -ceritera yang mereka dengar secara turun temurun akhirnya mereka tulis. Kala itu sudah banyak beredar tulisan-tulisan mengenai ceritera. Untuk menertibkan, akhirnya tulisan-tulisan tersebut di seleksi dan didaftar yang disebut kanon.

(49)

2) Ceritera rakyat

Ceritera rakyat adalah ceritera yang hidup di kalangan masyarakat sebagai warisan dari nenek moyangnya. Ceritera ini biasanya berupa dongeng yang sangat menarik. Di dalam dongeng tersebut tidak jarang terkandung nilai- nilai luhur, ajaran-ajaran tentang kehidupan, kebijaksanaan dan falsafah hidup. Filsafat yang terdapat dalam tradisi lisan tersebut terkadang tidak kalah bagusnya dengan filsafat modern (Komkat KWI, 1994: 17).

3) Ceritera kehidupan

Ceritera kehidupan adalah ceritera yang berasal dari pengalaman hidup konkrit, yaitu sesuatu yang sungguh-sungguh dialami (Komkat KWI, 1994: 20). Pengalaman hidup yang otentik dan sungguh-sungguh terjadi dalam praksis kehidupan menjadi bahan yang sangat menarik untuk diolah dan digumuli dalam terang iman. Di dalam kitab suci pun kita sering menjumpai adanya ceritera kehidupan yang diangkat menjadi ceritera kanonik, misalnya “Yesus melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu” (Luk 21: 1-2).

e. Ciri-Ciri Pola Naratif Eksperiensial

(50)

1) PAK bukanlah suatu bentuk indoktrinasi, ceramah, uraian, hafalan ataupun bimbingan. Akan tetapi PAK merupakan suatu bentuk komunikasi yang melibatkan gur u dan peserta didik secara aktif.

2) PAK bukan hanya sekedar memberikan aturan ataupun larangan, soal “boleh” atau “tidak boleh”, soal “harus” atau “tidak harus”

3) Hendaknya bahan ceritera (naratif) memenuhi kriteria antara lain (mengungkap kan pengalaman iman, menyentuh pengalaman hidup murid, menarik, mengandung nilai kristiani/relegiusitas, sesuai dengan tema dan tujuan dan mempunyai nilai lebih untuk membantu pemahaman terhadap ceritera kanonik). 4) Ceritera tidak hanya disampaikan dalam bentuk verbal atau kata-kata saja,

melainkan dapat disajikan lewat gambar, patung, foto, alam, dsb. Dalam hal ini ceritera akan lebih menarik jika disajikan dengan sarana audio visual.

5) Ceritera tidak hanya sekedar disampaikan saja, akan tetapi diolah dan didalami bersama-sama.

6) Peserta didik diberi kesempatan untuk menanggapi ceritera tersebut.

7) Kesimpulan yang diambil pada akhir proses, merupakan hasil dari proses komunikasi iman yang didasarkan atas penggalian ceritera, sehingga peserta didik dapat terbantu dala m mengembangkan nilai-nilai kristianinya. Kesimpulan bukannya datang dari pendidik melainkan memperhatikan/melibatkan pendapat dari peserta didik.

(51)

f. Langkah-Langkah Pengajaran Pola Naratif Eksperiensial

Secara garis besar langkah- langkah pola naratif eksperiensial menurut buku pegangan Guru 1, 2, dan 3 PAK SLTP adalah sebagai berikut (Komkat KWI, 1994):

• Langkah pertama: penampilan ceritera rakyat/ceritera kehidupan.

Ceritera ini berfungsi sebagai sarana untuk membuka wawasan peserta didik terhadap situasi yang ada di sekitar kehidupannya (baik melalui ceritera rakyat maupun peristiwa kehidupan yang ada di sekitar lingkungannya).

• Langkah kedua : Pendalaman ceritera

Berangkat dari ceritera yang ditampilkan, peserta didik diajak untuk mengenal, mengerti, memahami dan mendalami isi ceritera serta nilai- nilai yang terkandung di dalam ceritera tersebut.

• Langkah ketiga: ceritera Kitab Suci.

Setelah peserta didik sudah memiliki pemahaman terhadap peristiwa kehidupan yang ada di sekitarnya, peserta didik perlu diberi arah pemahan yang benar sebagai seorang kristiani dengan penampilan ceritera Kitab Suci (tradisi Gereja).

• Langkah keempat: proses pergumulan.

Dalam proses ini peserta didik yang sudah memiliki kosep/pengalaman dari pendalaman ceritera rakyar/kehidupan perlu memperoleh pigura yang sesuai dengan iman kristiani, maka pengalaman itu perlu dikonfrontasikan dengan peristiwa yang terjadi di dalam Kitab Suci. Dengan demikian pengalaman/nilai yang terdapat dalam ceritera rakyat/kehidupan memperoleh makna baru setelah direfleksikan dalam terang iman. Penginternalisasian makna yang baru inilah menjadi kekuatan dalam penghayatan imannya sehari- hari.

(52)

Rangkuman dibuat dengan melibatkan peserta didik, dalam hal ini pendidik berperan sebagai fasilitator dala m merumuskan kalimat, dan rangkuman ini hanya berupa pokok-pokok atau garis besarnya saja.

B. Kecakapan Emosional

Untuk membicarakan kecakapan emosional kita tidak bisa lepas dari kecerdasan emosional. Sebab kecakapan emosional merupakan perwujudan konkrit dari kecerdasan emosional itu sendiri. Maka dari itu sebelum membahas kecakapan emosi terlebih dahulu kita harus mengenal dan memahami dengan baik kecerdasan emosional:

1. Latar Belakang Kecerdasan Emosional

(53)

ramalan sukses di kelas atau sebagai profesor, akan teapi ramalan ini semakin melenceng seiring dengan jalur kehidupan yang semakin berbeda dari dunia akademik.

Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intellegece mengatakan bahwa setingi-tingginya IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor- faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka yang 80 persen diisi oleh kekuatan-kekuatan lain (Goleman, 2005: 44). Dengan demikian pernyataan ini mau mematahkan paradigma banyak orang bahwa keberha silan seseorang ditentukan oleh intelektual saja. Padahal keberhasilan hidup seseorang dipengaruhi oleh banyak faktor.

Sebelumnya Howard Gardner dalam bukunya “Frames of Mind” menyatakan penolakan terhadap pandangan mengenai penentuan kriteria seseorang itu cerdas atau tidak setelah dilakukan tes IQ. Dalam hal ini ia berpendapat bahwa bukan hanya satu jenis kecerdasan saja yang bisa menentukan dalam meraih kesuksesan hidup seseorang, melainkan masih ada spektrum kecerdasan lain yang lebih lebar dengan tujuh varietas utama (Goleman 2005: 50). Ketujuh varietas utama itu lebih lanjut disebut multiple intelligences, diantaranya linguistic intelligence (kecerdasan bahasa/verbal), logical-mathematical intelligence (kecerdasan matematis-logis), spatial intelligence (kecerdasan ruang), bodily-kinesthetic intelligence (kecerdasan kinestetik-badani), musical intelligence (kecerdasan musikal), interpersonal

intelligence (kecerdasan interpersonal), dan intrapersonal intelligence (kecerdasan

intrapersonal) (Paul Suparno, 2004: 19).

Lebih lanjut Gadner memberi ringkasan pendek terhadap teorinya itu yaitu tentang kecerdasan pribadi.

(54)

guru, dokter, dan pemimpin keagamaan semua cenderung orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antarpribadi yang tinggi. Kecerdasan

intrapribadi adalah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.

Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk mengunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif (Goleman, 2005: 52).

Bahkan teorikus yang berpegang teguh pada IQ pun mencoba memasukkan emosi ke wilayah kecerdasan. E.L. Thorndike seorang teorikus IQ dalam artkel di

Haper’s Magazine menyatakan bahwa salah satu aspek kecerdasan emosional, yaitu

kecerdasan “sosial” yaitu kemampuan untuk memahami orang lain dan “bertindak bijaksana dalam hubungan antar manusia” – merupakan suatu aspek IQ seseorang (Goleman, 2005: 56). Dalam hal ini sebenarnya kecerdasan sosial berbeda dengan kemampuan akademik namun menjadi bagian penting dari apa yang membuat orang sukses dalam kehidupan praksis sehari- hari. Kecerdasan sosial ini sebagaimana yang diperkenalkan Gadner dalam kecerdasan pribadi.

(55)

2. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menurut Pater Salovey dan John Mayer kecerdasan emosional adalah suatu kualitas emosional yang sangat penting dan mempengaruhi terhadap keberhasilan hidup seseorang. Kualitas-kualitas emosional itu antara lain; empati, kecakapan mengungkapkan dan memahami perasaan, kecakapan mengendalikan amarah, kemandirian, kemampuan menyesuaikan diri, disukai, kemampuan memecahkan masalah antar pribadi, ketekunan, kesetiakawanan, keramahan dan sikap hormat (Lawrence, 2003: 5). Lebih lanjut mereka mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk menunda pikiran dan bertindak.

Sedangkan Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosi untuk

Mancapai Puncak Prestasi mengemukakan bahwa kecerdasan emosional atau

emotional intelligence adalah kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan

perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain (Goleman, 2003: 512).

Kecerdasan emosional mencakup kemampuan yang berbeda-beda tetapi saling me lengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan-kemampuan kognitif murni yang diukur dengan IQ.

(56)

3. Peranan Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional mempunyai peranan yang tak kalah pentingnya dengan kecerdasan akademik dalam hidup seseorang. Kesuksesan seseorang tidak hanya ditentukan oleh cerdas secara akademik, namun jauh lebih besar pengaruh kecerdasan emosional terhadap keberhasilan hidup seseorang. Dalam hal ini kecerdasan emosional mempunyai peranan yang begitu besar dalam kehidupan seseorang karena:

• Seseorang yang mempunyai kecerdasan emosional mampu menghadapi permasalahan-permasalahan hidup, dan mampu melihat peluang ketika menghadapi kesulitan-kesulitan hidup (Goleman, 2005: 47).

• Mampu memberikan “harapan” motivasi diri untuk selalu berkembang (mengembangkan diri dalam kehidupan), sehingga selalu bersikap optimisme dalam hidupnya. Dengan harapan dan bersikap optimis seseorang tidak mudah terjatuh di dalam kecemasan, bersikap pasrah, masa bodoh atau depresi bila menghadapi kesulitan.

• Mampu mengetahui dan menangani perasaannya sendiri dengan baik dan mampu membaca dan menghadapi perasaan orang lain dengan efektif (Goleman, 2005: 48) dalam hal ini berarti memiliki kematangan manajemen diri dan empati, dengan demikian mereka memiliki keuntungan dalam setiap bidang kehidupan.

• Mampu “melampaui” diri sendiri sewaktu melakukan kegiatan yang amat

(57)

4. Pengertian Kecakapan Emosi

Daniel Goleman dalam bukunya Kecerdasan Emosi untuk Mancapai Puncak

Prestasi mengatakan bahwa kecakapan emosi adalah suatu kecakapan yang diperoleh

dari hasil belajar yang didasarkan pada kecerdasan emosional (Goleman, 2003: 39). Inti kecakapan emosi adalah dua kemampuan yaitu; empati yang melibatkan kemampuan membaca perasaan orang lain, dan ketrampilan sosial yang berarti mampu mengelola perasaan orang lain dengan baik.

Dengan demikian kecakapan emosional merupakan suatu perwujudan dari potensi-potensi kecerdasan emosi yang terdapat dalam diri seseorang sehingga dapat menghasilkan suatu prestasi yang istimewa. Potensi kecerdasan emosi didasarkan pada lima uns ur yaitu; kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Kelima unsur kecerdasan emosi tersebut merupakan dasar dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman, 2003:513).

a. Kesadaran diri

mengetahui apa yang dirasakan pada saatitu, dan menggunakannya untuk memadu pengambilan keputusan diri sendiri, memiliki tolok ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat.

b. Pengaturan diri

menangani emosi diri sendiri sehingga berdampak positif kepada pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran, mampu pulih kembali dari tekanan emosi.

c. Motivasi

(58)

kita menuju sasaran, membantu mengambil inisiatif dan bertindak dengan efektif dan untuk bertahan menghadapi kegagalan.

d. Empati

merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif mereka, menumbuhkan hubungan saling prcaya dan menyelaraskan diri dengan

bermacam- macam orang. e. Ketrampilan sosial

mampu menangani emosi dengan baik ketika hubungan dengan orang lain, dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial, berinteraksi dengan lancar, menggunakan ketrampilan-ketrampilan untuk mempengaruhi dan memimpin, bermusyawarah dan menyelesaikan perselisihan, dan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim.

5. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kecakapan Emosional

Kecakapan emosional tidak seperti kecerdasan akademik (IQ), di mana kecakapan emosional dapat berkembang sepanjang kita masih hidup, sesuai dengan usia dan pengalaman dari masa kanak-kanak hingga dewasa. Oleh sebab itu perkembangan kecakapan emosional dapat dipengaruhi oleh:

a. Faktor ekstern/ faktor lingkungan (sosial).

(59)

anak itu tinggal, juga berpengaruh terhadap perkembangan emosional anak. Bila lingkungan sekolah dan masyarakatnya mendukung kecakapan emosional anak dapat berkembang dengan baik.

b. Faktor intern/faktor potensi diri.

Faktor intern adalah faktor yang mempengaruhi perkembangan kecakapan emosional yang berasal dari dalam diri seseorang. Setiap individu di dalam dirinya sudah memiliki potensi-potensi kecakapan emosional yang disebut kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional ini bila diperkembangkan dengan melalui belajar dan latihan terus menerus, maka kecerdasan emosional akan menjadi kecakapan emosional. Faktor intern itu antara lain:

• Memotivasi diri adalah sebuah potensi di mana seseorang tidak mudah menyerah, mampu menghadapi dan mengatasi sebuah kegagalan.

• Kesadaran diri adalah sebuah potensi yang mampu untuk mengenali kondisi diri sendiri, kesuksesan dan intuisi.

• Pengaturan diri adalah potensi untuk mengelola kondisi, impuls dan sumber daya

diri sendiri.

• Empati adalah suatu kesadaran terhadap perasaan, kebutuhan dan kepentingan orang lain.

• Kecakapan dan membina hubungan dengan orang lain adalah sebuah potensi dalam menggugah tanggapan yang dikehendaki pada orang lain.

6. Hubungan Kecakapan Emosional dengan Kecerdasan Emosional

(60)

menghasilkan kinerja yang menonjol dalam pekerjaannya. Sedangkan kecerdasan emosional adalah sesuatu yang menentukan potensi-potensi yang dimiliki oleh seseorang untuk mempelajari ketrampilan-ketrampilan praksis yang didasarkan pada kelima unsur yaitu: kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain.

Dengan demikian kecerdasan emosional merupakan embrio untuk menjadikan seseorang memiliki kecakapan emosional sehingga mempunyai keunggulan-keunggulan di dalam pekerjaannya. Seseorang menjadi cakap dalam emosionalnya, jika di dalam dirinya sudah ada potensi-potensi yang termasuk ke dalam lima unsur kecerdasan emosional tersebut di atas, dan memperoleh kesempatan untuk berkembang dengan melalui belajar dan latihan- latihan secara terus menerus. Dengan kata lain kecakapan emosional sebagai perwujudan dari potensi-potensi kecerdasan emosional yang telah diterjemahkan ke dalam kemampuan di tempat kerja.

Seseorang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi tidak menjamin bahwa orang tersebut menjadi cakap secara emosional, karena potensi yang dimilikinya tidak diperkembangkan dan dilatih (dipraktikkan) dalam kehidupan sehari-hari, sehingga potensi yang ada dalam diri seseorang hanya tinggal potensi saja.

C. Kerangka Pikir

(61)

untuk melihat kenyataan hidup yang lebih jelas. Suatu pengalaman baru akan muncul, setelah si pendengar mendengarkan, mengikuti, dan menyimak sebuah ceritera dari awal hingga akhir serta melalui pendalaman (pengendapan). Ceritera (naratif) dapat memberikan rangsangan terhadap kecakapan emosional anak, karena ceritera dapat memperkaya imajinasi peserta didik sebagai pribadi yang selalu ingin berinteraksi denga n dunia sesamanya, ceritera dapat juga menjadi sumber nilai/makna tentang kebajikan (virtue), dan sebagai kebijaksanaan (wisdom) bagi peserta didik. Dengan demikian ceritera (naratif) dapat mempengaruhi kecakapan emosional seseorang.

Kecakapan emosional merupakan salah satu faktor dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, bila dibandingan dengan kecerdasan akademik (IQ). Menurut Daniel Goleman, bahwa kecerdasan intelektual hanya menyumbang 20% saja dalam menentukan kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% diisi oleh kekuatan lain (Goleman, 2005: 44). Kekuatan-kekuatan itu antara lain bagaimana seseorang mampu mengenali perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, dan kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain. Kemampuan-kemampuan tersebut dapat berkembang jika di dalam diri seseorang terdapat potensi dari kemampuan-kemampuan tersebut. Potensi itu antara lain kesadaran diri, motivasi, pengaturan diri, empati, dan kecakapan dalam membina hubungan dengan orang lain, potensi-potensi itu yang sering disebut dengan kecerdasan emosional.

Hasil penelitian sekolah-sekolah di Amerika menunjukkan bahwa jika kecakapan emosional berkembang dengan baik, kecakapan emosional akan menentukan keberhasilan seseorang dikemudian hari. Pelatihan-pelatihan emosional

(62)

diri, mengolah emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain dan membina hubungan akan membentuk keseimbangan mental antara nalar dan perasaan atau emosi. Menurut Daniel Goleman, pada dasarnya kecakapan emosional itu dapat dipelajari dan dikembangkan pada diri anak-anak apabila kita berusaha untuk mengajarkan dan melatihnya sehingga menjadi kecakapan emosional. Kecakapan emosional dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan antara lingkungan keluarga, sekolah, maupun lingkungan masyarakat, dan faktor potensi diri. Dari lingkungan sekolah melalui PAK pola naratif eksperiensial dapat mempengaruhi perkembangan kecakapan emosional anak, karena dengan melalui ceritera (naratif) imajinasi anak dapat berkembang, ceritera bisa memotivasi diri anak, ceritera bisa menjadikan pribadi yang selalu ingin berinteraksi dengan dunia sesamanya, demikian juga ceritera bisa menjadi sumber nilai kebajikan dan kebijaksanaan bagi peserta didik

(63)

Kerangka pikir tersebut di atas dapat digambarkan dalam bagan sebagai berikut:

D. Hipotesis

Bertitik tolak dari kerangka pikir di atas, maka dapat ditarik sebuah hipotesis sebagai berikut:

H1 : ada pengaruh pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik

terhadap kecakapan emosional.

H0 : tidak ada pengaruh pola naratif eksperiensial dalam Pendidikan Agama Katolik

terhadap kecakapan emosional

Hipotesis ini diuji dalam taraf signifikansi 5%. X

Naratif Eksperiensial

Gambar

Tabel 3.1
Tabel 3.2
Tabel 3.3
Tabel 3.5 Skor Kecakapan Emosional
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tercatat 10 insiden angin puyuh menyebabkan satu kematian dan 121 orang mengungsi - enam persen dari jumlah total orang yang terkena dampak bencana alam pada bulan Mei..

Setelah putusan MK dijatuhkan Pasal 22D ayat (2) UUD 1945 menjadi bermakna “Dewan Perwakilan Daerah ikut membahas rancangan undang-undang dimulai sejak pembahasan pada Tingkat I

Agar arsip dapat ditemukan kembali dengan mudah dan cepat apabila akan diperlukan maka arsip harus disimpan menurut sistem penyimpanan yang baik.. Penyimpanan

Model kolaborasi akan didapatkan pengurangan biaya total rantai pasok, namun pada model kolaborasi siklus pemenuhan pemesanan ( T ) selalu lebih besar dan jumlah pengiriman ( K

Kekuatan korelasi secara statistik adalah 0.696 yang menunjukkan hubungan yang kuat antara intensitas kebisingan mesin dan tingkat stres pada pekerja pabrik

Meu Calendário Calendário da minha irmã Calendário do médico Descrição Rescuperação Normalização Interoperabilidade Inteligibilidade... Web Semântica:

Dari segi kebutuhan sistem, pengguna software Sistem Informasi Deteksi Pencegahan Dini pada Ternak Unggas terdiri dari pengunjung (visitor), anggota ( member ), dan admin

Fungsi pendidikan nilai adalah membantu peserta didik untuk mengenali nilai-nilai dan menempatkan secara integral dalam konteks keseluruhan hidupnya. Pendidikan nilai juga berfungsi