• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2 Struktur Drama “Sebelum Sembahyang”

4.2.2 Latar Drama “Sebelum Sembahyang”

Latar merupakan salah satu unsur pembangun karya fiksi. Unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial (Nurgiyantoro, 2007: 227). Ketiga unsur itu walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.

Latar peristiwa dalam drama “Sebelum Sembahyang” ini meliputi latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. Pelukisan latar di dalam karya sastra ini sangat bermanfaat untuk menghidupkan suasana peristiwa sehingga pembaca dengan mudah menangkap isi cerita. Peristiwa dalam cerita tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, latar dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di SMA. Siswa dapat berpikir dengan mudah mengenai analisisnya, bahwa setiap peristiwa pasti terdapat tempat

sangat terikat oleh tempat, waktu, dan sosial. 4.2.2.1 Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam drama “Sebelum Sembahyang” ini latar tempatnya terjadi disebuah gang sepi dekat masjid disebuah desa. Hal ini ditunjukan dalam kutipan berikut:

Panggung menggambarkan suatu lokasi. Pada sebuah gang yang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan. (Ismadi, hal 61)

4.2.2.2 Latar Waktu

Penggambaran latar waktu dalam drama “Sebelum Sembahyang” terjadi pada sore hari saat copet I, II, III, dan IV berada di gang sepi dekat masjid terdengar kentongan dan bedung dipukul orang, lalu disusul suara adzan. Kenapa peneliti mengatakan latar waktunya terjadi sore hari, karena di agama Islam terjadi lima kali adzan dalam sehari dan biasa terdengar kentongan dan bedug dipukul yang sering peneliti lihat di televisi serta bertanya ke beberapa teman muslim kalau kentongan dan bedug dipukul biasa lebih sering terjadi pada sore hari. Penggambaran latar dalam drama itu dapat dilihat dari kutiban berikut ini.

Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan. (Ismadi, hal 61)

01. Copet III : Itu suara apa? (Ismadi, hal 61) 02. Copet II : Suara orang adzan? (Ismadi, hal 61)

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Gambaran latar sosial yang terdapat dalam drama “Sebelum Sembahyang” adalah taat agama, adanya sikap rasa peduli terhadap sesama, toleransi yang berbeda keyakinan. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

93. Copet IV : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik, Pak Kiai. Pakde saya ada yang jadi Pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius Boiman. (Ismadi, hal 66) 94. Kiai : Oh, begitu! Jika demikian pulanglah kamu ke haribaan

agamamu. Minta ampunlah kepada orang tuamu. Segera bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku dosa pada pasturnya. (Ismadi, hal 66)

4.2.3 Karakter

Menurut Wiyanto (2002: 27), Karakter atau perwatakan adalah keseluruhan ciri-ciri jiwa seorang tokoh dalam lakon drama. Seorang tokoh bisa saja berwatak sabar, ramah, dan suka menolong. Sebaliknya, bisa saja tokoh berwatak pemberang, suka marah, dan keji. Karakter drama “Sebelum Sembahyang” dianalisis dengan cara membaca naskah drama dan melihat penggambaran penulis pada bentuk fisik karaktek-karakter yang meliputi antara lain: umur, jenis kelamin, bentuk tubuh, penampilan dan ciri khas yang membuat penikmat mudah mengenali karakter-karakter tersebut. Apakah orang itu humoris, periang, bijak, ceroboh, serius, atau orang yang suka main-main. Selain itu, dengan mengenal karakter jalan cerita dan inti dari cerita akan lebih mudah kita pahami.

karakter yang bermain dalam pementasan. Karakter-karakter tersebut yang pertama adalah copet I, copet II, copet III, IV, wanita muslim, dan Kiai.

4.2.3.1 Karakter Copet I

Karakter copet I suka bercanda, mampu bersandiwara di depan teman-temannya sehingga membuat mereka sampai ketakutan. Tetapi, dibalik sifat kemarahannya pada waktu bersandiwara di depan teman-temanya, copet I orangnya rama, baik dan setiakawan.

36. Copet I : Ayo, jangan bisik-bisik melulu. Ayo lawan aku! Saya anak turunan Prabu Menakjingga yang perkasa. Ayo! Majulah! Ini dia pangeran dari Blambangan. (Tiga copet yang lain menjadi semakin ketakutan, setiap digertak mereka semakin

mengkeret dan mundur. Ketakutan memuncak, tiba- tiba copet I tertawa terbahak-bahak yang lain jadi terkejut/heran)

? (Ismadi, hal 62-63)

44. Copet I : Edan apa? Masak sama kawan sendiri kok marah? (Ismadi, hal 63)

4.2.3.2 Copet II

Karakter copet II lebih sering mengeluarkan kata-kata kasar. Dia juga pernah menjadi seorang santri, karena kenakalannya kabur dari pondok gara-gara mencuri petromaks dan akhirnya menjadi seorang copet.

02. Copet II : Adzan, Goblok! (Ismadi, hal 61) 03. Copet II : Adzan, tuli? (Ismadi, hal 61)

27. Copet II : Ya, jadi wong edan! (Semuanya tergelak-gelak) (Ismadi, hal 62)

81. Copet II : Lho, diam-diam saya dulu pernah jadi santri di pondok, Pak Kiai. (Ismadi, hal 65)

83. Copet II : Itulah Pak Kiai saya lari dari pondokgara-gara mencuri petromaks. (Ismadi, hal 65)

Copet III terlahir dari keluarga yang kacau balau, bapaknya adalah seorang tukang kepruk dan ibunya seorang pelacur jalanan sehingga membuatnya kurang mendapat perhatian dari orang tua. Terlihat bahwa copet III tidak peduli dengan keagamaan selama ini sehingga pemahamannya tentang ajaran agama menjadi kurang. Selain itu, copet III juga gampang mengeluarkan kata-kata kasar. Dibalik sikapnya yang tidak peduli, copet III berkeinginan untuk menjadi seorang dramawan besar. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakpan yang dipaparkan oleh penulis untuk karakter seorang copet III dibawah ini.

04. Copet III : Itu suara apa? (Ismadi, hal 61)

08. Copet III : Adzan itu panggilan untuk menjalankan sembahyang. Iya kan? Benar, kan? (Ismadi, hal 61)

21. Copet III : Jebulnya pensiunan wong edan! Hahahaha bekas orang gila. (Saling Tertawa) Jebolan rumah sakit jiwa. (Ismadi, hal 62) 25. Copet III : Kalau saya cocoknya jadi dramawan besar seperti

Shakespeare, Anton Chekov, Stanislavky atau paling tidak Rendra. (Ismadi, hal 62)

4.2.3.4 Copet IV

Karakter copet IV yang dipaparkan dalam teks drama meskipun dia seorang copet, tetapi masih menunjukkan adanya kebaikan dalam hatinya untuk menghargai agama lain. Hal ini dapat dilihat dari percakapannya dengan copet I ketika mengatakan kalau adzan hampir sama dengan edan dan copet IV mengingatkan untuk tidak menjelekkan karena dosa. copet IV juga mudah ketakutan hingga kencing dicelana pada saat copet I pura-pura marah. Disamping itu, copet IV ini suka menggombal wanita untuk mendapatkan perhatian. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakapan yang dipaparkan oleh penulis untuk karakter seorang copet IV dibawah ini.

33. Copet IV : Wah, gawat nih. Dia marah sungguhan. Cilaka kita bakal dihajarnya. (Ismadi, hal 62)

45. Copet IV : Wah, kalau tahu kau tadi tidak marah saya tidak akan ketakutan seperti ini. Nih, lihat, gara-gara kamu pura-pura marah, saya sampai terkencing kencing di celana. Lihat, celanaku basah kuyup. (Ismadi, hal 63)

55. Copet IV : Stop, Nona! Mau ke mana? (Wanita muslim itu berhenti dan menatap komplotan itu satu per satu) (Ismadi, hal 63) 59. Copet IV : Lho, lho, nanti dulu, Nona Ayu. Pertanyaanku belum

dijawab, bukan? Mau ke mana bidadariku? (Ismadi, hal 64) 61. Copet IV : Oit, melotot. Aksi! Mau melawan, ya?

(Copet IV mendekat akan mencolek, tiba-tiba tangannya ditangkap dan diplintir, lalu ditendang) (Ismadi, hal 64) 62. Copet IV : Waduh-waduh! Tiada kusangka kalau dia pandai pencak

silat. (Ismadi, hal 64)

74. Copet IV : Waduh kepalaku banjut. Ampun! (Ismadi, hal 65) 93. Copet IV : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik, Pak

Kiai. Pakde saya ada yang jadi Pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius Boiman. (Ismadi, hal 66) 95. Copet IV : Terima kasih, Pak Kiai! (Terdengar suara iqamah di mesjid)

(Ismadi, hal 66)

105. Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai. Kawan-kawan selamat berpisah. Selamat berjalan di rel yang baru. Saya akan pergi ke gereja mulai besok Minggu. (Ismadi, hal 67)

4.2.3.5 Kiai

Karakter dari seorang pak Kiai sebagai tokoh agama, orangnya bijaksana dalam mengambil sebuah tindakan membela kaum lemah. Sebagai tokoh agama, pak Kiai selalu memberikan arahan kepada mereka yang jalannya tersesat. Kebijakan pak Kiai dapat dilihat ketika berhadapan dengan para copet yang mencoba berbuat jahat terhadap seorang wanita muslim yang hendak pergi ke masjid. Pak Kiai memberikan tawaran dan petunjuk kepada para copet untuk meluruskan jalan mereka kembali supaya tidak berbuat jahat. Hal ini dapat dilihat dari percakapan-percakpan yang dipaparkan oleh penulis untuk karakter seorang pak Kiai dibawah ini.

Sungguh tak seimbang. (Ismadi, hal 64)

69. Kiai : Minggirlah, Zubbaidah, mereka bukan lawanmu. Dan mereka memang patut diberi pelajaran. (Ismadi, hal 64)

71. Kiai : Oke,aku tidak mau minggir. Kalau memang penasaran majulah! (Ismadi, hal 64)

77. Kiai : Benarkah kalian sudah kapok? (Ismadi, hal 65)

80. Kiai : Allaaaa! Pakai yakin “ainul yakin” segala. (Ismadi, hal 65)

81. Kiai : Lha, kenapa sekarang kok mrandal? (Ismadi, hal 65)

84. Kiai : Dasar! Lha kamu? (Ismadi, hal 65)

88. Kiai : Astagfirullah! Manusia memang tidak akan mengetahui apa yang akan menjadi rencana-rencana Allah. Tuhan memang mengemudi kita semua. Tetapi jika kalian terjerumus ke jurang yang penuh onak dan cadas, jangan kalian salahkan Tuhan. Sebab kalian telah turuti bujukan syaitan nirajim! (Semua orang bengong, lalu bersama-sama mengangkat tangan, seperti gaya orang mendoa “Amin” dalam kenduri) (Ismadi, hal 65-66)

89. Kiai : Pada mulanya kalian ini adalah fitrah. Namun orang tuamu telah salah dalam menjuruskan kalian. Di samping kalian sendiri salah dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan berkata panjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan. (Ismadi, hal 66)

91. Kiai : Ya, demikianlah. Sekarang bagaimana? (Ismadi, hal 66)

94. Kiai : Oh, begitu! Jika demikian pulanglah kamu ke haribaan agamamu. Minta ampunlah kepada orang tuamu. Segera bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku dosa pada pasturnya. (Ismadi, hal 66)

4.2.3.6 Wanita

Karakter seorang wanita wuslim, yaitu rajin beribadah tidak banyak bicara, tetapi dia selalu siap dan waspada apabila ada yang berbuat jahat terhadapnya. Ketika para copet mencoba mendekati dan merayunya, dia mengelak dan memasang kuda-kuda seakan siap meladeni para copet. Peran dari seorang wanita muslim pada diaolog tidak benyak. Hal ini dapat dilihat dari kutipan berikut.

68. Wanita Muslim : Guru! (Ismadi, hal 64)

Dokumen terkait