• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

5.3 Saran

Berdasarkan uraian di atas, saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut. Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pemahaman tentang kajian sastra, terutama struktur drama bagi mahasiswa PBSI. Oleh karena itu, sangat

diharapkan agar mahasiswa PBSI bisa membaca hasil analisis struktur naskah drama “Sebelum Sembahyang” karya Kecuk Ismadi C.R. sehingga bisa mengetahui kekurangan dan kelebihannya.

5.3.1 Bagi Guru pengampu bidang studi Bahasa dan sastra Indonesia

Guru bidang studi Bahasa dan sastra Indonesia mampu mengusai materi yang baik, metode pembelajaran dan strategi yang tepat dan menarik. Selain itu, guru harus dapat memilih berbagai jenis drama dari berbagai pengarang yang nantinya dapat dijadikan bahan belajar. Dan guru juga diharapkan memberi motivasi dan mendorong bakat siswa yang terpendam terutama bermain drama atau berakting.

5.3.2 Bagi peneliti lain

Bagi peneliti lain, diharapkan ada penelitian yang lebih lengkap dan variative dalam menganalis drama, seperti (a) Tingkat kesulitan siswa menganalisis drama “Sebelum Sembahyang” dan (b) Pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta: Renika Cipta.

Else, Gerald F. 2003. Aristotle poetics. Terjemahan: Sugiyanto. Cetakan I. Yogyakarta: Putra Langit.

Dewojati, Cahayaningrum. 2010. Drama Sejarah, Teori, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Fadlillah. 2014. Implementasi Kurikulum 2013 Dalam Pembelajaran SD/MI,

SMP/MTS, dan SMA/MA. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Hamzah, Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung: Rosda. Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung: Rosda.

Hendy, Zaidan. 1988. Pelajaran Sastra 2, Program Studi Pengetahuan Budaya. Jakarta: Gramedia.

Hidayat, Sholeh. 2013. Pengembangan Kurikulum Baru. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Johnson, Dayle Paul. 1990. Teori Sosiologi Klasik dan Modern Vol:II. Jakarta: Gramedia.

Kartikajati, Rintis. 2009. “Unsur Intrinsik Drama ‘Janji’ Karya Djody M. dan

Implementasi Dalam Silabus Serta Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Drama Di SMP. ”. Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: PBSID USD.

Krismiati, Maria Margareta. 2004. “Struktur Drama ‘Tangis’ Karya P. Hariyanto

dan Implementasinya Sebagai bahan Pembelejaran Sastra di SMU”.

Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: PBSID USD.

Koentjaraningrat. 1991. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia. Kosasih, Engkos. 2014. Cerdas Berbahasa Indonesia untuk SMA/MA Kelas XI,

Berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Krissandi, Apri Damai Sagita. 2017. Pembelajaran Bahasa Indonesia Inovatif di

Sekolah Dasar. Yogyakarta: Penerbit WR.

Luxemburg, Jan Van, dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terjemahan Dick Hartoko. Jakarta: Gramedia.

Majid, Abdul & Chaerul Rochman. 2014. Pendekatan Ilmiah Dalam Implementasi

Kurikulum 2013. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Martaulina, Sinta Diana. 2015. Bahasa Indonesia terapan. Yogyakarta: Deepublish.

Muhaimin, dkk. 2008. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada Sekolah dan Madrasah. Jakarta : RajaGrafindo Persada. Mulyasa. 2013. Pengembangan dan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung:

Nurbaya, St. 2011. Bahasa Indonesia: Panduan Menulis Karya Ilmiah. Yogyakarta: Kanwa Publisher.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

2007. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Oemarjati, Boen Sri. 1969. Bentuk Lakon Dalam Sastra Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.

Palupi, Dyah Tri. 2016. Cara Mudah Memahami Kurikulum. Surabaya: Jaring Pena.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1987. Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Priyatni, Endah Tri. 2010. Membaca Sastra Dengan Ancangan Literasi Kritis. Malang: Bumi Aksara.

Ratna, Nyoman Kutha. 2004. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rumadi, A. 1988. Kumpulan Drama Remaja. Jakarta: Gramedia.

Sastromiharjo, Andoyo. 2011. Bahasa dan Sastra Indonesia 3 SMA/MA Kelas XII. Jakarta: Yudistira.

Satoto, Soediro. 1985. Wayang Kulit Purwa Makna dan Struktur Dramatiknya. Surakarta: Javanologi.

2012. Analisis Drama dan Teater. Kartasura: Penerbit Ombak.

Setiawan, Yuli. 2004. “Tokoh, Alur, Latar, dan Tema Drama ‘Abu’ Karya B.

Soelarto Serta Implementasinya Dalam Pembelajaran Sastra di SMU.

Skripsi tidak diterbitkan. Yogyakarta: PBSID USD.

Suyanto, Edi. 2016. Bahasa, Cermin Cara Berpikir dan Bernalar. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Sudjiman, Panuti. 1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Tjahjono, Liberatus Tengsoe. 1987. Sastra Indonesia Pengantar Teori dan

Apresiasi. Surabaya: Nusa Indah.

Wiyanto, Asul. 2002. Terampil Bermain Drama. Jakarta: Grasindo. Wiyatmi. 2006. Pengantar Kajian Sastra. Yogyakarta: Pustaka.

SEBELUM SEMBAHYANG Kecuk Ismadi C. R. Para Pelaku 1. Copet I 2. Copet II 3. Copet III 4. Copet IV 5. Kiai 6. Wanita

Lokasi pada sebuah gang yang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan.

01. Copet III : Itu suara apa?

02. Copet II : Suara orang adzan

03. Copet I : Apa? Suara orang edan?

04. Copet II : Adzan, Goblok!

05. Copet I : Apa? (Meniling-nilingkan kepala)

06. Copet II : Adzan, tuli?

07. Copet I : Oh, orang adzan. Adzan itu apa toh?

08. Copet III : Adzan itu panggilan untuk menjalankan sembahyang. Iya

kan? Benar, kan?

09. Copet II : Ho-oh!

10. Copet I : Adzan! Adzan! Wah baru kali ini aku dengar istilah itu. Kok,

hampir sama, ya? Adzan! Edan!

11. Copet IV : Hussss, dosaaaa! Dosa lho. Kamu

12. Copet I : Lho, kok dosa? Ini kan fakta? Kata adzan aku memang jarang

mendengar. Lha, kalau kata edan mah itu sering kudengar

Waktu aku masih di asrama.

13. Copet III : Wah, gaya! Jadi kamu pernah tinggal di asrama?

14. Copet I : Jelas, dong! Dilihat tampangku kan kelihatan.

15. Copet IV : Mana, sih asramamu?

17. Copet II : Lha iya, mana? Di mana itu?

18. Copet I : Di... Mana, ya? Kalau tak salah di Pakem

19. Copet II, III, IV : Oooooo, Pakem?! Pantas, pantas. (Tertawa)

20. Copet I : Kenapa kalian saling tertawa, ha? Kenapa? Ha? Kenapa?

21. Copet III : Jebulnya pensiunan wong edan! Hahahaha bekas orang gila.

(Saling Tertawa) Jebolan rumah sakit jiwa.

22. Copet I : Siapa yang pensiunan wong edan?

23. Copet IV : Lha, ya kamu itu! Lah kalau bukan kamu siapa? Saya? Ah ga

pantas dong. Saya kan cocoknya jadi presiden.

24. Copet II : Saya cocoknya jadi perdana menteri luar negeri.

25. Copet III : Kalau saya cocoknya jadi dramawan besar seperti

Shakespeare, Anton Chekov, Stanislavky atau paling tidak Rendra.

26. Copet I : (Tersenyum-senyum) Kalau saya... Kalau saya... Cocoknya

jadi... Jadi...

27. Copet II : Ya, jadi wong edan! (Semuanya tergelak-gelak)

28. Copet I : Bangsat! Bangsat! Bangsat! Kenapa kalian terus tertawa?

Sedari tadi kalian mengataiku gila. Sekarang hilanglah kesabaran saya. Aku tidak terima, aku tidak terima. Ha, kenapa kalian bengong? Aku marah tahu! Marah!

29. Copet II : Sungguhan atau tidak?

30. Copet I : Sungguh!

31. Copet II : Wah, awas lho! Dia marah sungguh, lho.

32. Copet I : Hayo, maju sini. Jangan mundur-mundur begitu. Ayo, ayo

maju sini. Siapa yang tadi menghinaku, ha? Kenapa sekarang takut? Ayo sini kerubutlah aku, kalau ingin benjut kepalamu!

33. Copet IV : Wah, gawat nih. Dia marah sungguhan. Cilaka kita bakal

dihajarnya.

34. Copet III : Lha kamu sih tadi ngejeknya keterlaluan. Kalau jadi begini gimana?

35. Copet II : Wah lha saya nggak nyangka kalau dia bakal serius, kok.

36. Copet I : Ayo, jangan bisik-bisik melulu. Ayo lawan aku! Saya anak

turunan Prabu Menakjingga yang perkasa. Ayo! Majulah! Ini dia pangeran dari Blambangan.

(Tiga copet yang lain menjadi semakin ketakutan, setiap digertak mereka semakin mengkeret dan mundur. Ketakutan memuncak, tiba-tiba copet I tertawa terbahak-bahak yang lain jadi terkejut/heran)

37. Copet II : Lho, kenapa sekarang dia malah ketawa?

38. Copet III : Kumat, mungkin? Kambuh sakit edan atau ayan?

39. Copet IV : Mat! Kenapa kau tertawa?

40. Copet I : (Masih terus tertawa)

41. Copet III : Mat, kamu tidak kumat, bukan?

42. Copet I : (Sambil terus tertawa) Wah, kenapa sekarang kalian menjadi

manusia-manusia tolol! Kenapa sekarang kalian mudah sekali

ditipu?

43. Copet II : O! Jadi kamu tadi tidak marah, Mat?

44. Copet I : Edan apa? Masak sama kawan sendiri kok marah?

45. Copet IV : Wah, kalau tahu kau tadi tidak marah saya tidak akan

ketakutan seperti ini. Nih, lihat, gara-gara kamu pura-pura marah, saya sampai terkencing-kencing di celana. Lihat, celanaku basah kuyup.

46. Copet I, III, IV : (Tertawa Bersama)

47. Copet II : Kamu cocok sebagai pemain sandiwara kalau begitu.

Permainanmu tadi sungguh-sungguh akting yang total sekali!

48. Copet I : Sungguh? Sungguhkah, kata-katamu itu?

49. Copet II : Iya, dong! Kau bisa jadi pemain watak.

50. Copet I : Hiihihik! (Sambil lari-lari kegirangan)

(Yang lain senyum-senyum sambil menempelkan telunjuk masing-masing di jidat dengan posisi miring)

51. Copet I : Tapi, tapi saya tidak edan bukan?

52. Copet II, III, IV : O, tidak, tidak!

(Tiba-tiba datanglah seorang wanita berkerudung sambal membawa mukena dan sajadah untuk shalat)

53. Copet III : Ssst! Lihat, tuh! Ada mangsa datang!

54. Copet II : O, iya! Waduh cantiknya, Meks!

55. Copet IV : Stop, Nona! Mau ke mana? (Wanita muslim itu berhenti dan

menatap komplotan itu satu per satu)

57. Copet III : Kalau aku justru malah jatuh cinta! Oooh... Bidadariku, inikah yang dinamakan cinta pada pandangan pertama?

58. Copet I : Alaaa... Pandangan pertama gombal!

(Wanita itu kembali akan meneruskan perjalanan)

59. Copet IV : Lho, lho, nanti dulu, Nona Ayu. Pertanyaanku belum dijawab,

bukan? Mau ke mana bidadariku?

60. Wanita Muslim : Minggir. (Sambil pasang kuda-kuda)

61. Copet IV : Oit, melotot. Aksi! Mau melawan, ya?

(Copet IV mendekat akan mencolek, tiba-tiba tangannya

ditangkap dan diplintir, lalu ditendang)

62. Copet IV : Waduh-waduh! Tiada kusangka kalau dia pandai pencak silat.

63. Copet II : Nah, itu namanya ketanggor!

64. Copet III : Kamu ini bagaimana? Orang temannya kena celaka, tidak

ditolong malah dicela.

65. Copet II : Lha dia kemlinthi, kok! Lha ya biar kapok!

66. Copet I : Sudah, sudah, perkara sepele saja diributkan. Kan sekarang

ada perkara yang lebih menarik dan menguntungkan. Tuh, tuh lihat dia mau pergi. Heit, heit, mau pergi ke mana, nih. Ayo, Kawan cepat. Kita gasak saja. Kita preteli perhiasannya. Kita perkosa orangnya. (Tiba-tiba datang seorang Kiai)

67. Kiai : Ha...ha...ha... Sungguh pemandangan yang lucu. Empat ekor

serigala kelaparan mencoba memangsa kelinci tak berdaya.

Sungguh tak seimbang.

68. Wanita Muslim : Guru!

69. Kiai : Minggirlah, Zubbaidah, mereka bukan lawanmu. Dan mereka

memang patut diberi pelajaran.

70. Copet I : Siapa kamu? Minggir! Kalau tidak parangku, Kiai

Kalamenjing ini, akan merobek tubuhmu.

71. Kiai : Oke,aku tidak mau minggir. Kalau memang penasaran

majulah!

72. Copet I : Bangsat!

73. Copet III : Aduh, waduh bingung. Aku kapok. Pak Kiai, kapok!

74. Copet IV : Waduh kepalaku banjut. Ampun!

75. Copet II : Seluruh tubuhku rasanya ngilu semuanya. Jangan, Pak Kiai,

saya jangan dipukuli lagi.

76. Copet I : Saya juga kapok, Pak Kiai.

77. Kiai : Benarkah kalian sudah kapok?

78. Copet I : Iya, Pak Kiai. Sungguh!

79. Copet II : Yakin - ainul - yakin “ainul yakin” segala.

80. Kiai : Allaaaa! Pakai yakin “ainul yakin” segala.

81. Copet II : Lho, diam-diam saya dulu pernah jadi santri di pondok, Pak

Kiai.

82. Kiai : Lha, kenapa sekarang kok mrandal?

83. Copet II : Itulah Pak Kiai saya lari dari pondokgara-gara mencuri

petromaks.

84. Kiai : Dasar! Lha kamu?

85. Copet I : Kalau saya dulu juga sering ke mesid, Pak Kiai. Terutama

kalau bulan puasa saya ikut terawehan. Tetapi terus menerus saya nyolongi sendal baru di mesjid.

86. Kiai : Asem, kamu!

87. Copet III : Kalau almarhum kakek buyut saya dulu seorang modin, Pak

Kiai. Suka mimpin kenduri, itu kata orang tua saya. Tapi sayang saya dilahirkan dalam rumah tangga yang kacau balau. Bapak saya tukang kepruk. Ibu saya seorang pelacur jalanan.

88. Kiai : Astagfirullah! Manusia memang tidak akan mengetahui apa

yang akan menjadi rencana-rencana Allah. Tuhan memang mengemudi kita semua. Tetapi jika kalian terjerumus ke jurang yang penuh onak dan cadas, jangan kalian salahkan Tuhan. Sebab kalian telah turuti bujukan syaitan nirajim!

(Semua orang bengong, Lalu bersama-sama mengangkat tangan, seperti gaya orang mendoa “Amin” dalam kenduri)

89. Kiai : Pada mulanya kalian ini adalah fitrah. Namun orang tuamu

telah salah dalam menjuruskan kalian. Di samping kalian sendiri salah

dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan berkata

panjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan.

90. Copet II : Kawan-kawan alangkah baiknya tawaran Pak Kiai. Kita tellah

ditaklukkannya. Dan jadi berandal pun lama-lama bosan juga.

Pikiran selalu tidak tenang dan khawatir. Oh aku jadi ingat

sebuah nasihat. “Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu sendiri tidak mau mengubah”. Betul begitu bukan, Pak Kiai?

91. Kiai : Ya, demikianlah. Sekarang bagaimana?

92. Copet III : Saya nurut saja, deh, kepada Pak Kiai.

93. Copet IV : Tapi gimana? Saya ini beragama Katholik, Pak Kiai. Pakde

saya ada yang jadi Pastur. Saya sejak lahir telah dikukuhkan sebagai umat Kristiani, saya telah dibaptis. Nama saya Fransiscus Xaverius Boiman.

94. Kiai : Oh, begitu! Jika demikian pulanglah kamu ke haribaan

agamamu. Minta ampunlah kepada orang tuamu. Segera bertaubatlah kepada Allah dengan mengaku dosa lewat pastur. Dan jalankan kehidupan Liturgi yang telah lama kau lupakan. Rajin-rajinlah ke gereja, sesudah mengaku dosa pada pasturnya.

95. Copet IV : Terima kasih, Pak Kiai! (Terdengar suara iqamah di mesjid)

96. Kiai : Zubbaidah, ,arilah! Dengarlah Qomat di mesjid, sembahyang

sudah mulai. Tak apalah kita terlambat sedikit.

97. Wanita Muslim : Marilah, Guru.

98. Kiai : Hai, kalian bagaimana? Mau pulang atau ikut kami?

99. Copet I : Bagaimana?

100. Copet III : Lha, bagaimana?

101. Copet II : Yuk, ikut saja deh. Saya ikut Anda. Pak Kiai.

102. Copet I : Saya juga Pak Kiai.

103. Copet III : Saya juga, Pak. Tapi saya diajari wudlu dulu.

105. Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai. Kawan-kawan selamat berpisah. Selamat berjalan di rel yang baru. Saya akan pergi ke gereja mulai besok Minggu.

DAN RENCANA PEMBELAJARANNYA DI SMA

Bapak/Ibu guru Triangulator mohon untuk memeriksa dan mengecek kembali data yang diperoleh peneliti untuk keperluan keabsahan data. Triangulator yang dipercaya untuk memeriksa data penelitian adalah penyidik yang memiliki kemampuan dalam bidang drama. Petunjuk Pengisian:

1. Bapak/Ibu guru Triangulator mohon berikan tanda centang () pada kolom triangulasi jika setuju atau tidak setuju terhadap analisis struktur drama “Sebelum Sembahyang” karya Kecuk Ismadi C.R.

2. Bapak/Ibu guru Triangulator mohon berilah cacatan pada kolom keterangan Triangulator.

No Struktur Hasil Analisis Keterangan Hasil Analisis Setuju Tidak

Setuju

keterangan 1 Alur Paparan Pemaparan adalah bagian karya

sastra drama yang berisi keterangan mengenai tokoh serta latar. Dalam tahapan ini pengarang memperkenalkan cara tokoh, menjelaskan tempat

peristiwa, dan menggambarkan peristiwa yang akan terjadi. Pemaparan ini meliputi pemaparan munculnya para Copet pada sebuah gang sepi dekat masjid pada sebuah desa yang sedang memperdebatkan masa lalu yang mereka sebelum menjadi seorang copet dan bertemu dengan seorang Wanita Muslim yang kemudian mereka coba untuk menggodanya dan berniat mencopet serta

Para Pelaku 1. Copet I 2. Copet II 3. Copet III 4. Copet IV 5. Kiai 6. Wanita

Lokasi pada sebuah gang yang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa. Terdengar kentongan dan bedug dipukul orang, lalu disusul suara adzan.(Ismadi, hal 61)

Gawatan

kemauan, sikap, dan pandangan yang saling bertentangan dalam drama. Rangsangan yang terjadi pada drama “Sebelum Sembahyang” disaat para Copet sedang bercakap-cakap, mereka melihat seorang Wanita Muslim lewat yang akan pergi shalat. Para Copet mendekati Wanita Muslim tersebut dan mengelaurkan kata-kata gombal untuk merayunya, tetapi Wanita Muslim ini cukup berani untuk berhenti lalu menatap para Copet itu satu per satu.

Gawatan adalah ketidakpastian yang berkepanjangan dan semakin menjadi-jadi. Dengan adanya tegangan menjadikan penonton menyebabkan terpancing keingintahuannya akan kelanjutan cerita serta penyelesaian masalah yang dihadapi tokoh.

Dalam menumbuhkan gawatan pada drama “Sebelum Sembahyang” pengarang mencoba dengan dialog yang terjadi antara copet I menghentikan keributan

mukena dan sajadah untuk shalat). (Ismadi, hal 63).

53. Copet III: Ssst! Lihat, tuh! Ada mangsa datang! (Ismadi, hal 63 ) 54. Copet II: O, iya! Waduh cantiknya,

Meks! (Ismadi, hal 63)

55. Copet IV: Stop, Nona! Mau ke mana? (Wanita muslim itu berhenti dan menatap komplotan itu satu per satu). (Ismadi, hal 63)

60. Wanita Muslim: Minggir. (Sambil pasang kuda-kuda) (Ismadi, hal 64) 61. Copet IV: Oit, melotot. Aksi! Mau

melawan, ya? (Copet IV mendekat akan mencolek, tiba-tiba tangannya ditangkap dan diplintir, lalu ditendang) (Ismadi, hal 64)

66. Copet I: Sudah, sudah, perkara

sepele saja diributkan. Kan sekarang ada perkara yang lebih menarik dan menguntungkan. Tuh, tuh lihat dia mau pergi. Heit, heit, mau pergi ke mana, nih. Ayo, Kawan cepat. Kita gasak saja. Kita preteli perhiasannya. Kita perkosa orangnya. (Tiba-tiba datang seorang Kiai) (Ismadi, hal 64)

67. Kiai :Ha...ha...ha...Sungguh

Tikaian

Rumitan

mangsa mereka yang rencananya akan dicopet dan perkosa. Tetapi rencana mereka dicegat oleh Pak Kiai.

Tikaian adalah perselisihan yang timbul sebagai akibat adanya dua kekuatan yang bertentangan satu diantaranya diwakili oleh manusia atau pribadi yang biasanya menjadi protagonist dalam cerita. Di sini Pak Kiai mencoba untuk mencegat para copet, memerintahkkan Zubbaidah minyingkir dan Pak Kiai menghadapi para copet yang tak ingin mundur dari cegatan Pak Kiai.

Rumitan adalah pemaparan tahapan ketika suasana semakin panas karena konflik semakin mendekati puncaknya. Rumitan mempersiapkan penonton untuk menerima dampak dari klimaks.

(Ismadi, hal 64)

68. Wanita Muslim : Guru! (Ismadi, hal

64)

69 Kiai : Minggirlah, Zubbaidah, mereka bukan lawanmu. Dan mereka memang patut diberi pelajaran. (Ismadi, hal 64)

70. Copet I: Siapa kamu? Minggir! Kalau tidak parangku, Kiai Kalamenjing ini, akan merobek tubuhmu. (Ismadi, hal 64)

71. Kiai ak mau minggir. Kalau memang penasaran majulah! (Ismadi, hal 64)

72. Copet I: Bangsat!

(Terjadi perkelahian, Kiai dikerubuti, tetapi tetap unggul) (Ismadi, hal 64)

73. Copet III: Aduh, waduh bingung.Aku kapok. Pak Kiai, kapok! (Ismadi, hal 65)

74. Copet IV: Waduh kepalaku banjut. Ampun! (Ismadi, hal 65)

75. Copet II: Seluruh tubuhku rasanya ngilu semuanya. Jangan, Pak Kiai, saya jangan dipukuli lagi. (Ismadi,

Klimaks adalah titik puncak sebuah cerita. Peristiwa dalam tahap ini adalah mengubah dari nasib seorang tokoh. Rumitan merupakan puncak yang diikuti krisis atau titik balik.

Kiai. (Ismadi, hal 65)

77. Kiai : Benarkah kalian sudah kapok? (Ismadi, hal 65)

78. Copet I: Iya, Pak Kiai. Sungguh! (Ismadi, hal 65)

72. Copet I: Saya juga kapok, Pak Kiai. (Ismadi, hal 65)

73. Kiai : Benarkah kalian sudah kapok? (Ismadi, hal 65)

74. Copet I: Iya, Pak Kiai. Sungguh! (Ismadi, hal 65)

89. Kiai : Pada mulanya kalian ini adalah fitrah. Namun orang tuamu telah salah dalam menjuruskan kalian. Di samping kalian sendiri salah dalam memilih teman bergaul. Saya tidak akan berkata panjang lebar. Hanya saya akan menawarkan pada kalian. Jika kalian ingin meluruskan jalan kalian, saya sanggup memberi petunjuk. Jika tidak, toh itu urusan kalian juga. Aku akan segera meneruskan perjalanan. (Ismadi, hal 65- 66)

Selesaian

klimaks dan krisis, merupakan peristiwa yang menunjukan perkembangan lakuan kearah selesaian. Dalam hal ini kadar pertentangan mereda. Ketengangan emosional menyusut. Suasana panas mulai mendingin. Menuju kembali pada keadaan semula seperti sebelum terjadi pertentangan leraian dalam teks drama ini ditandai dengan nasehat sekaligus tawaran untuk memberikan petunjuk yang diberikan oleh Pak Kiai supaya para Copet kembali meluruskan jalan mereka masing-masing.

Tahap penyelelesaian ini merupakan bagian dari alur drama. Akhir dari selesaian dalam drama “Sebelum Sembahyang” ini saat adanya perkacapan dari para Copet, dan Pak Kiai yang mengucapkan pamitan dan salam perpisahan kepada teman-temanya untuk memulai hidup yang baru. Tahap penyelelesaian ini merupakan bagian dari alur drama. Akhir dari selesaian dalam drama “Sebelum Sembahyang” ini saat adanya perkacapan dari para

tellah ditaklukkannya. Dan jadi berandal pun lama-lama bosan juga Pikiran selalu tidak tenang dan khawatir. Oh aku jadi ingat sebuah nasihat.“Bahwa Tuhan tidak akan mengubah nasib seseorang jika orang itu sendiri tidak mau mengubah”. Betul begitu bukan, Pak Kiai? (Ismadi, hal 66)

91. Kiai :Ya, demikianlah. Sekarang bagaimana? (Ismadi, hal 66)

92. Copet III: Saya nurut saja, deh,

kepada Pak Kiai. (Ismadi, hal 66)

101. Copet II: Yuk, ikut saja deh. Saya ikut Anda. Pak Kiai. (Ismadi, hal 66)

102. Copet I: Saya juga Pak Kiai. (Ismadi, hal 66)

103. Copet III: Saya juga, Pak. Tapi saya diajari wudhu dulu. (Ismadi, hal 66)

104. Kiai: Baik! Marilah! (Ismadi, hal 66)

105. Copet IV : Saya pulang dulu, Pak Kiai. Kawan-kawan selamat pergi ke gereja mulai besok Minggu. (Ismadi, hal 67)

untuk memulai hidup yang baru. 2 Latar Tempat

Waktu

Sosial

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Dalam drama “Sebelum Sembahyang” ini latar tempatnya terjadi disebuah gang sepi dekat masjid disebuah desa.

Penggambaran latar waktu dalam drama “Sebelum Sembahyang” terjadi pada sore hari saat copet I, II, III, dan IV berada di gang sepi dekat masjid terdengar kentongan dan bedung dipukul orang, lalu disusul suara adzan.

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Gambaran latar sosial yang terdapat dalam drama “Sebelum Sembahyang” adalah taat agama, adanya sikap rasa peduli terhadap sesama, toleransi yang berbeda keyakinan.

Lokasi pada sebuah gang sepi dekat sebuah masjid pada sebuah desa.

Dokumen terkait