• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORI

D. Hakikat Novel

3. Latar

Latar atau setting merupakan suatu peristiwa dalam cerita yang bersifat fisikal, biasanya berupa waktu, tempat, dan ruang. Termasuk di dalam unsur latar adalah waktu, hari, tahun, periode, sejarah, dan lain-lain.

37

Herman J. Waluyo, Pengkajian Cerita Fiksi (Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press, 1994), h. 171-172

38

Jakob Sumardjo dan Saini K.M. Apresiasi Kesusastraan (Jakarta : PT Gramedia, 1986), h. 65

21

Latar cerita mencangkup keterangan-keterangan mengenai keadaan sosial dan tempat di mana peristiwa itu terjadi.

Menurut Ida Rochani dalam bahasa Indonesia kata Setting (dari bahasa Inggris) sering diterjemahkan sebagai latar. Setting atau latar maksudnya tempat dam masa terjadinya cerita.39 Sedangkan menurut Budianta latar yakni segala keterangan mengenai waktu, ruang dan suasana terjadinya lakuan dalam karya sastra.40

Latar juga merupakan salah satu hal yang tak boleh luput dari penulisan novel. Dengan latar cerita yang baik, pembaca akan mudah dibuat jatuh hati pada novel. Latar merupakan tempat dimana sebuah potongan cerita berlangsung. Ia bisa dijelaskan secara langsung atau melalui dialog para tokohnya.

4. Alur atau Plot

Dalam pengertian yang paling umum, plot di artikan sebagai keseluruhan rangkaian pristiwa yang terdapat dalam cerita. Luxemburg mendifinisikan bahwa alur atau plot adalah kontruksi yang di bangun pembaca mengenai sebuah deretan yang secara logis dan kronologis oleh para pelaku.41 Sedangkan Stanton mendefinisikan secara umum, alur atau plot merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita.42

Alur bisa dikatakan penceritaan rentetan peristiwa yang penekanannya ditumpukan kepada sebab-akibat. Alur tidak hanya mengemukakan apa yang terjadi, tetapi yang lebih penting ialah menjelaskan mengapa hal itu terjadi, dengan sambung-sinambungnya peristiwa ini terjadilah sebuah cerita. Sebuah cerita bermula dan berakhir. Antara awal dan akhir ini lah terlaksana alur itu. Tentu sudah jelas, alur memiliki bagian-bagian yang sederhana yang dapat dikenal sebagai permulaan, pertikaian, dan akhir.

Alur bisa dengan jalan progresif (alur maju) yaitu dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa. Tahap progresif bersifat linier. Jalan

39

Ida Rochani Adi, Fiksi Populer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h. 49. 40

Melani Budianta, Membaca Sastra (Jagakarsa: Indonesia Tera, 2008), h. 86. 41

Jan Van Luxemburg, dkk, Tentang sastra Akhadiati Ikran (penerjemah) (intermasa: ILDEP, 1986), h. 149.

42

22

regresif (alur mundur) yaiu bertolak dari akhir cerita, menuju tahap tengah atau puncak dan berakhir pada tahap awal. Tahap regresif bersifat non linier. Ada juga tehnik pengaluran dari progresif ke regresif. Selain yang tersebut diatas ada juga tehnik alur yang lain yaitu tehnik tarik balik (back tracking) yang dalam tahap tertentu peristiwa ditarik ke belakang.

5. Sudut Pandang

Pengertian sudut atau poin of view menyarankan pada cara sebuah cerita dikisahkan, ia merupakan cara atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagi sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan latar dan berbagai pristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca.43

Sudut pandang merupakan hubungan antara tempat atau posisi pencerita dan bagaimana visinya terhadap cerita yang dikisahkan.44 Sudut pandang merupakan cara pandang pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkan. Sudut pandang merupakan hasil karya seorang pengarang sehingga terdapat pertalian yang erat antara pengarang dengan karyanya.

6. Gaya Bahasa

Istilah style (gaya bahasa) berasal dari bahasa Latin, stiles, yang mempunyai arti suatu alat untuk menulis di atas kertas (yang telah dilapisi) lilin. Orang yang dapat memainkan alat ini dengan tepat dan tajam, akan menghasilkan sesuatu yang jernih (clear), impresi tajam yang dianggap patut dipuji (Shipley, 1960: 397; bdk. E.H. Gombrich via Sills, ed. 1968: 354).45 Gaya bahasa merupakan susunan perkataan yang terjadi karena perasaan yang timbul atau hidup dalam hati penulis, yang menimbulkan perasaan tertentu dalam hati pembaca.

Bahasa dalam karya sastra mempunyai fungsi ganda. Ia tidak hanya sebagai alat penyampaian maksud pengarang, melainkan juga sebagai penyampai perasaan. Pegarang dalam menyampaikan tujuannya dapat menggunakan cara-cara lain yang tidak kita jumpai dalam kehidupan

43

Abram, Teori Pengantar Fiksi (Yogyakarta: Hanindita Graha Wida, 1981), h. 142 44

Sugiarti, Pengantar dan Pengkajian Prosa Fiksi (Malang: UMM Pres, 2007), h. 105 45

23

sehari-hari. Cara-cara tersebut misalnya dengan menggunakan perbandingan-perbandingan, menghidupkan benda-benda mati, melukiskan suatu keadaan dan menggunakan gaya bahasa yang berlebihan. Gaya bahasa berfungsi sebagai alat utama pengarang untuk melukiskan, menggambarkan, dan menghidupkan cerita secara estetika. Misalnya personifikasi, gaya bahasa ini mendeskripsikan benda-benda mati dengan cara memberikan sifat-sifat seperti manusia. Simile (perumpamaan), gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan pengibaratan. Hiperbola, gaya bahasa ini mendeskripsikan sesuatu dengan cara berlebihan dengan maksud memberikan efek berlebihan.

7. Amanat

Amanat adalah suatu ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang.Amanat dipakai pengarang untuk menyampaikan tanggung jawab problem yang dihadapi pengarang lewat karyanya.

Istilah amanat berarti pesan.Amanat cerita merupakan pesan pengarang kepada pembaca.Pesan yang hendak disampaikan mungkin tersurat, tetapi mungkin juga tidak jelas, samar-samar atau tersirat.

E. Implikasi Pembelajaran Sastra

Sastra pada hakikatnya tidak hanya menghibur namun juga mendidik. Lewat karya sastra pembacanya selain mendapatkan hiburan juga mendapatkan pembelajaran dari sebuah karya sastra. Oleh karena itu, sastra mempunyai impilikasi dalam pembelajaran, khususnya dalam pembelajaran di sekolah.

Rahmanto berpendapat seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai sebab di banding pelajaran-pelajaran lainnya ia mengatakan bahwa “sastra mempunyai kemungkinan lebih banyak untuk mengantar kita mengenal seluruh rangkaian kemungkinan hidup manusia.”46

Rahmanto beranggapan bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan

46

24

berbagai kualitas kepribadian anak didik sehingga ia akan mampu menghadapi masalah-masalah hidup dengan pemahaman, wawasan, toleransi dan rasa simpati yang lebih mendalam.

Sastra berperan dalam mengembangkan proses keterampilan berbahasa. Pada umumnya ada empat unsur dalam keterampilan berbahasa, yaitu: (1) menyimak, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis, mengikut sertakan pengajaran sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa berlatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah keterampilan menyimak, bicara dan menulis. B. Rahmanto menjelaskan sebagai berikut

“Belajar sastra pada dasarnya adalah belajar bahasa dalam praktek. Belajar sastra harus selalu berpangkal pada realisasi bahwa setiap karya pada pokoknya merupakan kumpulan kata yang bagi siswa harus diteliti, ditelusuri, dianalisis dan diintegrasikan.”47

Pada pembelajaran sastra, siswa juga diarahkan untuk melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan guru, teman atau lewat rekaman. Siswa dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama atau saat membacakan puisi di depan teman-temannya. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa.Siswa pun mendapat keterampilan menulis ketika diajak untuk menuliskan pengalamannya atau diajak menciptakan puisi.

Sastra memberi wawasan kebudayaan. sastra tidak seperti ilmu pengetahuan lain. Sastra tidak memberikan pengetahuan dalam bentuk jadi seperti ilmu pengetahuan pada umunya. Jika ilmu pengetahuan lainnya didasarkan atas perbedaan logika, perbedaan sudut pandang dalam memecakan problematika atas hal keilmuan tersebut, maka dalam sastra karya lahir dalam perbedaan cara pandang sastrawan dalam memecahkan problematika kehidupan manusia, tetapi perbedaan tersebut didasarkan atas perbedaan aspek-aspek estetis.

47

25

Sastra adalah pantulan kembali keadaan masyarakat, secara tidak langsung sastra memuat ilmu pengetahuan, sejarah dan segala yang menyangkut dengan aspek manusia pada zamannya. Hal ini didasarkan atas kenyataan bahwa secara historis karya sastra lahir bersama dengan lahirnya semangat kebangsaan. Greibstein, seorang sosio-kultural pernah membuat kesimpulan atas pendapat-pendapat mengenai istilah sosio-kultural, salah satu kesimpulannya sebagai berikut:

“Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap-lengkapnya apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkan.Ia harus dipelajari dalam konteks seluas-luasnya, dan tidak hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural, dan karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit.”48

Dari kesimpulan Greibstein, kita dapat bayangkan bahwa karya sastra memuat bagaimana semangat zaman yang menggambarkan perkembangan sosial masyarakat atau kebudayaan yang berlaku pada saat itu. Oleh karena itu dengan pembelajaran sastra, siswa akan mampu peka melihat kedaan zamannya, masaah-masalah yang muncul dalam karya sastra sejalan dengan masalah yang ada dalam dunia nyata. dengan kata lain lewat pembelajaran sastra siswa dapat lebih peka akan keadaan sosial sekelilingnya.

Banyak peserta didik yang menganggap pembelajaran sastra membosankan. Hal ini dikarenakan metode pengajaran sastra hanya berkisar pada bagaimana peserta didik harus menemukan beberapa hal yang diperlukan (seperti menentukan unsur instrinsik), mendatanya, lalu membuktikan kutipannya. Tentunya, metode seperti ini tidaklah cukup untuk mengeksplor nilai-nilai penting yang terdapat dalam sebuah karya sastra. Dengan begitu, pelajaran sastra tidaklah menjadi matapelajaran yang menantang dan menyenangkan.

48

Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra, Sebuah Pengatar Ringkas, (Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), h. 4.

26

Sebenarnya, dalam pengajaran sastra peserta didik dituntut untuk berpikir logis yang banyak ditentukan oleh hal-hal seperti ketepatan pengertian, ketepatan interpretasi kebahasaan, klasifikasi dan pengelompokkan data, penentuan berbagai pilihan, serta formulasi rangakian yang tepat.49 Dengan memperhatikan hal tersebut, mereka akan belajar bagaimana menganalisis suatu permasalahan dan mampu mendapatkan solusinya.

Kecakapan menemukan solusi atas sebuah masalah adalah sebuah keterampilan yang akan sangat membantu kehidupan setelah mereka menamatkan jenjang pendidikannya. Keterampilan tersebut dapat dimiliki bila peserta didik terbiasa menganalisis suatu permasalahan. Namun, analisis yang dilakukan tidak hanya cukup pada penjelasana masalah apa yang terjadi, tetapi juga apa penyebab dan juga solusi yang tepat.

Tentunya, keterampilan tersebut akan dapat dikembangkan peserta didik bila pengajar matapelajaran Sastra Indonesia mengubah metode pengajaran. Tidak lagi hanya mencari, mendata, dan membuktikan kutipannya, tetapi juga menganalisinya setelah menemukan bukti kutipannya. Dengan cara ini, pembelajaran sastra akan memiliki nilai tambah dan peserta didik akan mampu menemukan banyak hal baru yang tidak bisa mereka dapatkan pada pelajaran lain.

Selain memerlukan metode yang pas, pengajaran sastra juga sangat perlu memperhatikan perkembangan psikologis peserta didik. Perkembangan psikologi peserta didik akan sangat mempengaruhi tingkat keterpahaman mereka terhadap teks sastra. Tidak hanya itu, perkembangan psikologi juga akan sangat mempengaruhi daya ingat, kemauan mengerjakan tugas, kesiapan bekerja sama, dan kemungkinan pemahaman situasi atau pemecahan masalah.50

Karya sastra yang dipilih untuk menjadi media pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan perkembangan tersebut. Hal ini akan memudahkan peserta didik memahami apa yang ada dalam karya sastra

49

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 1988), h. 20. 50

27

tersebut. Dengan begitu, mereka akan mudah mengambil manfaat yang berharga dari matapelajaran Sastra.

Sastra menunjang pembentukan watak. Perilaku seseorang pada dasarnya mengacu pada faktor-faktor kepribadiannya yang paling dalam.Tak ada satu pun jenis pendidikan yang mampu menentukan watak manusia secara pasti. Bagaimanapun pendidikan hanya dapat berusaha membina dan membentuk, akan tetapi pendidikan tidak menjamin secara mutlak bagaimana watak manusia yang dididiknya.

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa karya sastra dapat memberi pembelajaran bagi siswa. Pembelajaran itu sendiri tidak hanya mengenai wawasan saja, akan tetapi, juga memberikan pembentukan karkter siswa, pendidikan moral serta etika. Pembelajaran dalam sastra sendiri tidaklah bersifat jadi.Pembelajaran yang didapat siswa didapat ketika mereka membaca dan juga memahami isi dari sebuah karya sastra.

F. Penelitian yang Relevan

Berikut beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian tentang kepribadian tokoh utama dalam novel daun yang jatuh tak pernah membenci angin dan implikasinya pada pembelajaran sastra di SMA.

Pertama, penelitian yang dihasilkan dalam bentuk skripsi. Penelitian ini dilakukan oleh Imam Tanjung, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul:

Nilai Pendidikan dalam Novel “Hafalan Shalat Delisa” Karya Tere Liye

Perspektif Pendidikan Islam . Hasil penelitian ini menunjukkan: (1) nilai-nilai pendidikan akhlak yang terkandung dalam novel Hafalan Shalat Delisa yang meliputi:Pertama, pendidikan akhlak kepada Allah yaitu beribadah kepada Allah, berzikir mengingat Allah, berdoa kepada Allah, tawakkal, bertaubat kepada Allah dan bersyukur kepada-Nya. Kedua, pendidikan akhlak kepada diri sendiri yaitu sabar, jujur, optimis, menerima hidayah Allah dan kewajiban menuntut ilmu. Ketiga, pendidikan akhlak kepada keluarga yaitu birrul walidain dan menjaga kekerabatan. Keempat, pendidikan akhlak kepada sesama manusia yaitu memberi salam, tolong menolong, saling

28

memaafkan, menepati janji, menyantuni anak yatim dan menjalin persahabatan. (2) faktor-faktor pendidikan yang terdapat dalam novel “Hafalan Shalat Delisa” (perspektif pendidikan Islam), yang meliputi tujuan, pendidik, peserta didik, materi, metode dan evaluasi pendidikan Islam.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Nopi Setiawati, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan judul: Nilai-nilai Pendidikan Islam dalam Novel Pukat, Serial Anak-anak Mamak Karya Tere Liye. Hasil penelitian ini menunjukan: nilai-nilai pendidikan Islam yang terkandung dalam novel Pukat, Serial Anak-anak Mamak adalah pendidikan aqidah, meliputi: Iman kepada Allah, hari akhir, dan qadha‟ qadar. Pendidikan ibadah meliputi: salat, wudu, azan dan iqomah, dan berdoa. Dan pendidikan ahlak, meliputi: ahlak terhadap Allah (takut kepada Allah dan ikhlas beramal), ahlak terhadap diri sendiri (jujur dan amanah, menutup aurat, sabar, optimis dan berpikir positif, disiplin dan bertanggung jawab, bersukur dan qona‟ah, pemaaf, dan menepati janji), ahlak terhadap orang tua (birrul walidain dan kasih sayang orang tua terhadap anak), dan ahlak terhadap sesama (menolong dan membahagiakan orang lain dan larangan menggunjing).

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Mabruroh, mahasiswa Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul: Karakter Ayah dalam Novel Ayahku (Bukan) Pembohong Karya Tere-Liye dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA. Skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan objektif terhadap karya sastra. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter tokoh Ayah di dalam novel Ayahku (Bukan) Pembohong karya Tere-Liye dan implikasinya terhadap pembelajaran sastra di SMA. Di dalam novel ini, Tere-Liye menghadirkan cerita kedekatan hubungan antara Ayah dan anak laki-lakinya yang dibangun melalui cerita dongeng Ayahnya, kedekatan hubungan mereka dan dongeng itu harus berhenti karena suatu sebab. Untuk menemukan karakter tokoh Ayah di dalam novel, peneliti menggunakan metode karakterisasi melalui tindakan para tokoh yaitu melalui tingkah laku, melalui ekspresi wajah, dan

29

melalui motivasi yang melandasi. Karakter Ayah yang tergambar melalui tingkah laku adalah suka bercerita, penyayang terhadap keluarga, melindungi, dan memilih hidup sederhana. Karakter Ayah yang tergambar melalui ekspresi wajah adalah selalu menahan kesedihan, ceria, optimis dan penuh kayakinan. Karakter Ayah yang tergambar melalui motivasi yang melandasi adalah ambisius, berbohong untuk kebaikan anaknya, tujuan cerita-ceritanya, sikap tegas dan penuh disiplin, menghargai setiap usaha, rasa syukur, dan rasa cinta.

Persamaan penelitian saudara Mabruroh dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah sama-sama menganalisis tokoh utama yang ada dalam novel yang diteliti dan perbedaan yang terdapat dari kedua penelitian ini terletak pada metode atau teori yang digunakan untuk menganalisis tokoh utama.

30

BAB III PEMBAHASAN

A. Analisis Unsur Intrinsik 1. Tema

Tema dalam novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin adalah perasaan yang terpendam para tokohnya karena gejolak permasalahan kehidupan. Seperti novel Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin tersebut, tokoh wanita dan tokoh pria mempunyai perasaan yang sama terhadap satu sama lain, tetapi tak pernah mampu untuk mengungkapkannya. Mereka pendam rasa yang terus menerus tumbuh seiring dengan berjalannya waktu dan mereka juga harus menghadapi berbagai tekanan batin sebagai risiko dari pilihan mereka tersebut. Meski demikian, mereka tidak pernah membenci rasa yang telah terlanjur tumbuh.

Keduanya tidak pernah mengungkapkan perasaan masing-masing hingga Danar memutuskan untuk menikahi Ratna, wanita yang sejak lama ia pacari. Danar pun sebenarnya mengetahui bahwa wanita yang ia cintai bukanlah Ratna, melainkan Tania. Cinta itu terpendam oleh semua lika-liku permasalahan yang terjadi pada mereka. Perbedaan usia yang terlampau sangat jauh, yakni 14 tahun pun turut memperkeruh keadaan mereka

Tentu saja karena tempat itu spesial bagiku. Di sanalah aku mendapatkan janji kehidupan yang lebih baik darinya. Di sanalah aku menatap masa depan yang lebih indah bersamanya. Dan di sana jugalah harapan-harapan itu muncul tanpa bisa aku mengerti. Perasaan-perasaan itu.1

Seseorang yang kepadanyalah cinta pertamaku tumbuh, seseorang yang selalu kukagumi, memesona. Seseorang yang datang memberikan semua janji masa depan itu. Seseorang yang menumbuhkan harapan-harapan yang tak pernah bisa kumengerti mengapa ia tumbuh subur.2

1

Tere Liye, Daun yang Jatuh Tak Pernah Membenci Angin, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2010), h. 97.

2

31

Aku mencintainya. Itulah semua perasaanku. Berdosakah aku mencintai malaikat kami? Salahkah kalau di antara perhatian dan sayangnya selama ini kepada Ibu, adikku, dan aku sendiri, perasaan itu mekar? Aku sama sekali tidak impulsif. Perasaan itu muncul dengan alasan yang kuat.3

Kutipan tersebut menjelaskan bahwa Tania benar-benar mempunyai perasaan lebih dari seorang adik kepada kakaknya, Tania mencintai seseorang malaikat bagi keluarganya. Sama halnya dengan Danar, mencintai seseorang yang diangkatnya dari kehidupan jalanan, seseorang yang usianya terlampau jauh dengannya. Seorang anak kecil berkepang dua dengan baju kotor tanpa alas kaki, yang dia sekolahkan dan didik sampai dia dewasa, sampai dia tumbuh seperti apa yang Danar harapkan.

Dia bertanya lemah pada Dede, „Perasaan apa?‟ Dede menunduk saat mengatakan itu, „Taukah Oom bahwa Kak Tania suka Oom Danar?‟ Oom Danar diam sekali…. Dede berkata lirih kepadanya, „Kak Tania tidak pulang besok karena dia benci pernikahan besok.‟. “Dia tetap diam”. “Dede bertanya lagi padanya, „Apakah Oom Danar menyukai Kak Tania?‟. “Dia tetap diam.” “Dede bertanya untuk terakhir kalinya.‟Apakah Oom Danar mencintai Tante Ratna?‟ Dia juga diam.4

Dalam kutipan itu pun terlihat jelas bahwa Danar mencintai Tania. Mengapa? Karena jika Danar tidak mencintai Tania, Danar akan menjawab pertanyaan terakhir dari Dede, namun Danar hanya diam dan menunjukkan bahwa hati Danar sedang kalut, dia mencintai Tania.

2. Tokoh dan Penokohan

Tokoh utama dalam novel Daun yang Jatuh Takkan Pernah Membenci Angin ini adalah Tania. Tania berperan penting dan menjadi tokoh yang mampu menghipnotis para pembaca. Juga, lewat tokoh Tania ini juga, pengarang memberikan pesan moral dan sosial yang patut dicontoh.

Dalam novel ini terdapat 11 tokoh, yakni Tania, Danar, Dede, Ibu, Ratna, Miranti, Anne, Adi, Jhony Chan, ibu-ibu gendut (Mrs.G), dan penjaga toko buku. Masing-masing tokoh mempunyai watak yang patut

3

Ibid., h. 154. 4

32

dicontoh dan diimplikasikan ke dalam kehidupan nyata. Semua tokoh dalam novel ini tidak memiliki sifat yang sering dibenci oleh pembaca, seperti culas, jahat, sinis, hingga menyakiti tokoh lain. Pun halnya dengan tokoh Mrs. G. Kesinisan yang dimiliki oleh tokoh ini lebih kepada karena dia adalah seorang penjaga asrama yang harus menjaga ketertiban asrama. Pada intinya, pengarang menyifati semua tokohnya dengan watak-watak yang patut ditiru oleh pembaca.

a. Tania

Tania termasuk ke dalam tokoh bulat karena Tania mempunyai watak dan tingkah laku yang bermacam-macam. Tokoh utama ini sulit ditebak juga perangainya sering mengejutkan. Awalnya, Tania adalah seseorang yang lembut, mempunyai prinsip dan bahagia menjadi dirinya sendiri. Namun segalanya berubah ketika ia tahu keputusan Danar untuk menikah dengan Ratna padahal ia sangat mencintai lelaki itu. Sejak itu, sifatnya berubah total. Tidak ada lagi raut wajah yang menyenangkan itu. Tania terjebak dalam situasi, berpura-pura bahagia dengan apa yang dilakukannya padahal hati kecilnya tak berkehendak. Pembahasan mengenai karakter tokoh utama ini akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian analisis kepribadian tokoh Tania dengan menggunakan teori Galenus.

Seseorang yang malam ini akan menjawab semua potongan teka-teki (entah dia mau menjawabnya atau tidak). Seseorang yang dengannya semua cerita harus usai malam ini. Seseorang yangs ekarang duduk di bawah pohon linden kami.5

b. Danar

Danar merupakan seorang lelaki yang dewasa bukan karena usianya saja, tetapi juga pemikiran dan pengalaman hidupnya. Kedewasaannya yang ditunjukkan lewat sikap bertanggung jawab dan ketegaran yang dimilikinya ini terbentuk karena pengalaman hidupnya di masa lalu tidak berbeda jauh dengan Tania. Sejak kecil ia yang tinggal di panti asuhan karena yatim piatu berusaha memenuhi sendiri keperluan hidupnya.

5

33

“Dia yatim-piatu sejak bayi (siapa orangtuanya pun tak ada yang tahu). Berjuang di jalanan untuk meneruskan hidup,

Dokumen terkait