• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL ANALISIS

B. Struktur Geni Jora

4. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk atau pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu karya sastra.19Nurgiyantoro mengatakan bahwa latar memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas yang sangat penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca, menciptakan suasana tertentu, yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi.20 Rusnaya mengatakan bahwa latar berfungsi untuk menunjukkan tempat kejadian dan untuk memberikan kemiripan kenyataan dalam hal menimbulkan kesungguhan.21 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar adalah tempat, waktu atau suasana yang memperjelas kondisi peristiwa-peristiwa yang ada dalam sebuah karya sastra.

Stanton dalam Nurgiyantoro mengelompokan latar bersama dengan tokoh dan plot ke dalam fakta (cerita), sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajenasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Ketiga hal inilah yang secara kongkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian-kejadian yang bersebab-akibat dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan.”22

Secara garis besar, latar dalam fisik dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis latar, diantaranya adalah:

a. Latar tempat

Gambaran tentang peristiwa atau cerita dalam fiksi terjadi. Gambaran latar tempat itu ada yang sangat luas ada pula yang sangat sempit. Tempat itu bisa terdiri atas negara, kota, kampung atau desa, pelosok, pantai, hutan, rumah, kapal laut, mobil, kereta, di udara, di darat.

19

Panuti Sudjiman, Memahami Cerita Rekaan, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1991), h.30.

20

Burhan Nurgiyantoro, op.cit., h. 217.

21

Yus Rusyana, Metode Pengajaran Sastra, (Bandung: Gunung Larang, 1982), h. 48.

22

b. Latar waktu

Unsur yang menggambarkan kapan, masa dan saat tertentu terjadinya peristiwa dalam karya fiksi itu. Faktor waktu ini ada hubungannya dengan tempat, gambaran suatu tempat pada waktu, masa, zaman, atau musim tertentu. Latar waktu mempunyai kaitan erat dengan sejarah. Latar waktu juga bisa dihubungkan dengan yang berlaku setiap hari, yaitu malam, siang, tengah hari, pagi, sore dan lain sebagainya.23

Adapun fungsi latar adalah memberikan informasi sebagaimana adanya, selain itu latar berfungsi sebagai pemerjelas konflik, pemerjelas tokoh, dan adanya latar juga berfungsi sebagai simbol yang menunjukkan keadaan atau jati diri tokoh. Menurut Panuti Sudjiman latar berfungsi sebagai proyeksi keadaan batin para tokoh.24

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa latar merupakan landasan berlangsungnya berbagai peristiwa dan kisah yang diceritakan dalam cerita fiksi. Latar memberikan landasan berpijak secara konkret dan jelas. Hal itu akan memberikan kesan realis kepada pembaca, bahwa cerita yang dikisahkan seolah-olah ada dan sungguh-sungguh terjadi.

5. Sudut Pandang

Sudut pandang adalah posisi pengarang dalam membawakan cerita.25 Sudut pandang (point of view) dapat dipahami sebagai cara sebuah cerita dikisahkan. Menurut Robert Stanton dalam Adib Sofia dan Sugihastuti mengartikan sudut pandang sebagai posisi yang merupakan dasar berpijak kita untuk melihat secara hati-hati agar ceritanya memiliki hasil yang sangat memadai.26

23

Tuloli. Teori Fiksi. (Gorontalo, BMT Nurul Jannah. 2000), h. 155

24

Sudjiman, op. cit., h. 46.

25

Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, (Bandung: Yrama Widya, 2012), h.69.

26

Adib Sofia dan Sugihastuti, Feminisme dan Sastra: Menguak Citra Perempuan dalam Layar Terkembang, (Bandung: Katarsis, 2003), h. 16

Secara garis besar sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu berperan langsung sebagai orang pertama, sebagai tokoh yang terlibat dalam cerita yang bersangkutan dan hanya sebagai orang ketiga yang berperan sebagai pengamat.

Pada sudut pandang yang menggunakan orang pertama, pengarang memakai istilah “aku” dalam ceritanya, ia menjadi tokoh utama. Dalam hal ini

narator ikut terlibat dalam cerita. Narator masuk ke dalam cerita menjadi

tokoh “aku”, yaitu tokoh yang menceritakan kesadaran dirinya sendiri, serta

segala peristiwa atau tindakan yang diketahui, didengar, dilihat, dialami, dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain, kepada pembaca. Pembaca hanya menerima apa yang diceritakan oleh tokoh aku.

Adapun sudut pandang orang ketiga, narator menjadi seorang yang berada di luar cerita. Pengarang menampilkan tokoh-tokoh dengan menyebutkan nama, atau menggunakan kata ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya tokoh utama, terus menerus tersebut, dan sebagai variasi digunakan kata ganti. Hal ini akan memudahkan pembaca dalam mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak.

Dilihat dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sudut pandang adalah cara pengarang menentukan posisinya dalam suatu karyanya sastra. Dan caranya pun bermacam-macam, hal tersebut disesuaikan dengan penceritaan dan peristiwa yang akan diciptakan oleh pengarang.

D. Hakikat Pembelajaran Sastra

Materi atau bahan pelajaran merupakan salah satu komponen penting selain komponen pengajar dan peserta didik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaran bisa disebut interaktif edukatif yang sadar akan tujuan, artinya interaksi yang telah dicanangkan untuk satu tujuan tertentu, setidaknya tercapai tujuan instruksional atau tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam satuan

pembelajaran.27 Pelajaran-pelajaran yang dirancang tentunya memiliki peranan yang sangat penting bagi terlaksananya tujuan pendidikan. Tujuan dari pembelajaran tersebut terdiri dari tiga aspek yaitu tujuan kognitif, tujuan afektif, dan tujuan psikomotorik. Ada banyak materi pembelajaran di sekolah, salah satunya adalah pembelajaran sastra. Kaitannya dengan pembelajaran, sastra memiliki konstribusi yang sangat besar dalam dunia pendidikan khususnya bagi pembelajaran sastra di sekolah. Sebagaimana yang disebutkan dalam kurikulum 1994 dan Garis-garis Besar Program Pengajaran bahasa Indonesian tentang pembelajaran sastra tertera bahwa pembelajaran sastra dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan siswa mengapresiasi karya sastra. Kegiatan mengapresiasi sastra berkaitan dengan latihan mempertajam perasaan, penalaran, dan daya khayal serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup.

Berdasarkan pedoman tersebut, jelas sekali bahwa pembelajaran sastra memiliki tujuan yang jelas, secara tidak langsung melalui pembelajaran sastra. Peserta didik dituntut untuk mengapresiasikan karya sastra yang dibaca dan dipelajarinya. Mengapresiasi berarti menilai dan memaknai dari karya sastra itu sendiri, mengungkapkan nilai dan pesan apa yang ingin disampaikan oleh pengarang kepada pembacanya. Oemarjati mengungkapkan bahwa:

Mengapresiasikan sastra berarti menanggapi sastra dengan kemampuan afektif yang disatu pihat peka terhadap nilai-nilai yang dikandung sastra yang bersangkutan baik yang tersurat maupun tersirat dan kerangka tematik yang mendasarinya. Di lain pihak kepekaan tanggapan tersebut berupaya memahami pola tata nilai yang diperolehnya dari bacaan di dalam proporsi yang sesuai dengan konteks persoalan. Dengan demikian pembelajaran di sekolah dilakukan dengan metode yang tepat mengacu kepada kemampuan afektif siswa, sehingga menjadi apresiatif.28

27

Iskandarwassid, dan Dadang Suhendar, Strategi Pembelajaran Bahasa, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008), h. 202.

28Boen, S Oemarjati, “PembinaanApresiasi Sastra dalam Proses Belajar-Mengajar” dalam Bambang Kaswanti Purwa (ed), “Bulir-Bulir Sastra dan Bahasa: Pembahasan Pembelajaran”,

Karya sastra mengandung unsur pendidikan dan pengajaran. Pengajaran tersebut berkaitan dengan pembelajaran sastra di sekolah yang mempunyai intruksional khusus bagi pendidikan. Secara umum tujuan pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004, yaitu 1) Agar peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan kemampuan berbahasa; 2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektuan manusia Indonesia. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa karya sastra yang baik selalu mengandung sesuatu yang patut direnungkan. Hasil perenungan itu pada akhirnya dapat memperkaya pengetahuan intelektual pembaca dan menumbuhkan semacam emosi dan dorongan positif terhadap perkembangan pengetahuan manusia itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Horace bahwa fungsi karya sastra sebagai dulce

et utile, yaitu sebagai penghibur sekaligus berguna.29 Pengertian ini menunjukan

bahwa fungsi karya sastra bukan hanya untuk mengibur, tetapi juga karya sastra dapat mengajarkan sesuatu yang berguna.

Seperti kita ketahui ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Mengikutsertakan sastra dalam kurikulum berarti akan membantu siswa melatih keterampilan membaca, dan mungkin ditambah sedikit kemampuan menyimak, berbicara, dan menulis yang saling berhubungan satu sama lain.

Dalam pengajaran sastra, siswa dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya yang dibacakan oleh guru, teman, atu lewat pita rekaman. Siswa dapat melatih kemampuan bicara dengan ikut berperan dalam suatu lakon drama. Siswa juga dapat meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau pun prosa cerita, dan karena sastra itu

29 Achadiati Ikram, dkk, “Sejarah Kebudayaan Indonesia Bahasa, Sastra, dan Aksara”,

menarik, siswa dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.30

Dengan demikian, kehadiran sastra dalam pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting. Karena dengan pembelajaran sastra siswa dapat menemukan fakta-fakta yang berisikan pengetahuan. Fakta-fakta yang ditemukan itu dapat berupa nilai-nilai kemanusiaan seperti, nilai moral, nilai pendidikan, nilai sosial, nilai budaya, dan nilai religius. Bahkan dapat lebih dari itu, dengan pembelajaran sastra, siswa dapat melatih kemampuan dalam menganalisis dan merealisasikan nilai-nilai tersebut ke dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam hal pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, yang bersifat penalaran, yang bersifat afektif, dan yang bersifat sosial.31 Dalam pelaksanaan pengajaran sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi 4 manfaat, yaitu: membantu keterampilan berbahasa, meningkatkan kemampuan budaya, mengembangkan cipta dan rasa, dan menunjang pembentukan watak. Sesuai dengan amanat Kurikulum 2004, pembelajaran sastra hendaknya digunakan peserta didik sebagai salah satu kecakapan hidup dan belajar sepanjang hayat yang dibakukan dan harus dicapai peserta didik melalui pengalaman belajar. Dalam kurikulum 2004 kecakapan hidup ini disebut sebagai Standar Kompetensi Lintas Kurikulum. Kecakapan hidup dapat dikelompokkan ke dalam lima jenis. Kelima jenis kecakapan itu adalah:

1. Kecakapan mengenal diri (self awarenesses) atau kecakapan personal 2. Kecakapan berpikir rasional (thinking skill)

3. Kecakapan sosial (social skill)

4. Kecakapan akademik (academic skill) 5. Kecakapan vokasional (cocasional skill)32

30

B. Rahmanto, Metode Pengajaran Sastra, (Yogyakarta: Kanisius, 2000), Cet VIII, h. 17.

31

Ibid., h. 19.

32

Mengacu pada amanat kurikulum di atas, maka dapat dikatakan bahwa pembelajaran sastra memiliki peranan yang sangat besar terhadap pembentukan siswa, karena dengan pembelajaran sastra siswa dituntut mengapresiasikan nilai-nilai yang terkandung dalam karya sastra yang telah dipelajarinya. Dan nilai-nilai-nilai-nilai kemanusiaan tersebut ditanamkan dalam diri siswa sehingga dapat mempengaruhi daya imajinasi, pola pikir, emosional, kreatifitas, dan intelektual siswa.

Banyak jenis karya sastra yang dapat diapresiasikan oleh siswa untuk pembelajara, salah satunya adalah novel. Novel biasanya sering dipilih untuk diapresiasi karena novel adalah jenis karya sastra yang menceritakan kehidupan seorang manusia. Dalam novel terdapat konflik permasalahan yang terkadang terjadi pula dalam kehidupan nyata yang menjadikan cerita itu tidak terlihat monoton. Cerita itu disampaikan oleh penulis dengan menggunakan bahasa yang sehari-hari. Selain itu dalam sebuah novel juga biasanya terdapat nila-nilai kemanusiaan yang bisa direnungkan pada kehidupan sehari-hari. Begitulah sastra dengan hasil karyanya, dapat memberikan sisi positif bagi kehidupan, terutama dalam dunia pendidikan.

E. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang relevan berfungsi untuk memberikan pemaparan tentang penelitian sebelumnya yang telah dilakukan. Penulis melakukan tinjauan di internet dan perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam hal ini penulis tidak menemuka judul skripsi yang sama dengan yang penulis kaji. Pada bagian ini dipaparkan beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya,

pertama skripsi dengan judul ”Kehidupan Pesantren dalam Novel Geni Jora Karya Abidah El Khalieqy Kajian Sosiologi Sastra”. Penelitian ini dilakukan

oleh Ana Fitria Vivi Suhartina mahasiswi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora karya Abidah El Kalieqy.

Hasil dari penelitian ini adalah: (1) Aspek sosial budaya pesantren dalam novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy yaitu: (a) Kedudukan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora , (b) Kedudukan Kyai sebagai Pembawa Nilai Sosial Budaya dalam Novel Geni Jora , (c) Masjid dan Masyarakat Pesantren dalam Novel Geni Jora , (d) Santri, Kyai, dan Pondok Pesantren dalam Novel Geni Jora (2) Tanggapan pembaca terhadap novel Geni Jora karya Abidah El Khalieqy adalah selain menceritakan tentang feminisme, novel ini juga banyak mengandung nilai- nilai agama khususnya agama islam karena dalam novel ini settingnya ada di Pesantren.

Persamaan penelitian Ana Fitria Vivi Suhartina dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ana Fitria Vivi Suhartina mengkaji tentang kehidupan pesantren yang ada dalam novel Geni Jora. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan

Berkalung Sorban dan Geni Jora.

Kedua, skripsi dengan judul ”Novel Menebus Impian Karya Abidah El

Khalieqy Kajian Feminisme dan Nilai Pendidikan”. Penelitian ini dilakukan oleh

Primasari Wahyuni mahasiswi Universitas Sebelas Maret pada tahun 2011. Penelitian dibatasi pada nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini sebagai berikut: (1) eksistensi perempuan dalam novel Menebus Impian yang meliputi: (a) kebebasan memilih bagi perempuan (kebebasan memilih pasangan hidup, memilih pekerjaan, menentukan pendidikan, dan menentukan nasibnya sendiri); dan (b) perlawanan perempuan; (2) pokok-pokok pikiran feminisme, meliputi: (a) kekerasan yang dialami perempuan (kekerasan fisik, seksual, kekerasan psikis, dan kekerasan ekonomi); (b) kemandirian tokoh perempuan; (c) tokoh profeminis dan kontra feminis; (d) analisis feminisme liberal dalam novel; (3) keadaan sosial masyarakat yang terdapat dalam novel; dan (4) nilai-nilai pendidikan dalam

novel Menebus Impian antara lain: nilai agama, nilai moral, nilai sosial, dan nilai budaya/adat. Hasil penelitian ini merupakan model kajian secara feminisme yang dapat digunakan sebagai salah satu model pembelajaran apresiasi sastra, khususnya apresiasi prosa fiksi.

Persamaan penelitian Primasari Wahyuni dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy. Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ngismatul Marfuah meneliti nilai pendidikan yang ada dalam novel Menembus Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada perempuan dalam novel Perempuan Berkalung Sorban dan Geni Jora.

Ketiga, skripsi dengan judul “Aspek Sosial dalam novel Menembus Impian

Karya Abidah El Khalieqy dan Skenario Pembelajarannya di Kelas XI SMA”.

Penelitian ini dilakukan oleh Ngismatul Marfuah mahasiswi Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia Universitas Muhammadiyah Purworejo pada tahun 2013. Penelitian dibatasi pada aspek sosial yang ada dalam novel Menembus Impian karya Abidah El Khalieqy. Hasil penelitian ini adalah: (1) aspek-aspek sosial dalam novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy, meliputi (a) aspek cinta kasih terdiri dari cinta kasih antara Nur Kemalajati kepada Emak, cinta kasih Emak kepada Nur Kemalajati, dan cinta kasih Nur Kemalajati kepada Dian Septiaji, (b) aspek agama ditunjukkan dengan ketaatan dalam menjalankan perintah agama, (c) aspek ekonomi ditunjukkan dengan adanya perubahan tingkat perekonomian, (d) aspek pendidikan terdiri dari pendidikan formal dan non-formal. (2) hubungan aspek-aspek sosial dalam novel Menebus Impian antara lain: (a) hubungan aspek cinta kasih dengan aspek pendidikan, (b) aspek cinta kasih dengan ekonomi, (c) aspek ekonomi dengan aspek pendidikan. (3) novel Menebus Impian karya Abidah El Khalieqy dapat digunakan sebagai bahan pembelajaran di kelas XI SMA.

Persamaan penelitian Ngismatul Marfuah dengan penelitian ini terletak pada pengarang yang sama dari objek yang dikaji, yaitu Abidah El Khaieqy.

Sedangkan perbedaannya terletak pada aspek kajian dan objek kajiannya. Peneliti Ngismatul Marfuah meneliti aspek sosial yang ada dalam novel Menembus

Impian. Sedangkan di sini penulis mengkaji tentang ketidakadilan gender pada

BAB III

BIOGRAFI PENULIS, SINOPSIS PEREMPUAN BERKALUNG SORBAN DAN GENI JORA

A. Biografi Abidah El-Khalieqy

Abidah Al-Khalieqy lahir Jombang, Jawa Timur 1 Maret 1965 dan dikenal sebagai perempuan penyair kontemporer Indonesia. Setamat Madrasah Ibtidaiyah, melanjutkan sekolah selama 6 tahun di Pondok Pesantren PERSIS, Bangil, Pasuruan, SMA Muhammadiyah, Jakarta Utara, Madrasah Aliyah

Negeri, Klaten, dan Fakultas Syari’ah (Hukum) IAIN Sunan Kalijaga,

Yogyakarta. Pembina Seni dan Sastra pada IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pendiri Sudi Apresiasi Sastra (SAS) Yogyakarta tahun 1987, Pengurus Lingkar Penyair Yogyakarta (1987-1990).1

Di pesantren Persis, ia mulai menulis puisi dan cerpen dengan nama Idasmara Prameswari, Ida Arek Ronopati, atau Ida Bani Kadir. Memperoleh ijazah persamaan dari Madrasah Aliyah Muhammadiyah Klaten, dan menjadi juara Penulisan Puisi Remaja Se-Jawa Tengah (1984). Alumni Fakultas Syariah

IAIN Sunan Kalijaga ini menulis tesis “Komoditas Nilai Fisik Perempuan dalam Perspektif Hukum Islam” (1989). Pernah aktif dalam Forum Pengadilan Puisi

Yogyakarta (1986-1988). Kelompok Diskusi Perempuan Internasional (KDPI) Yogyakarta, 1988-1990). Menjadi peserta dalam pertemuan APWLD (Asian

Pacific Forum on Women, Law and Development, 1989).2

1

Abidah El Khalieqy, Geni Jora, (Bandung: Qanita, 2009), h. 270.

2

Abidah El Khalieqy, Mikraj Odyssey, (Bandung: Qanita, 2009), h. 163.

Karya-karya kesustraannya diikutkan dalam berbagai buku antologi bersama seperti: ASEANO: An Antology of Poems Southeast Asia (1996), Cyber Album Indonesia – Australia (1998), Force Majeure (2007), Rainbow:

Indonesian Womens Poet (2008), Word Without Borders (2009), E-books

Library For Diffabel (2007) dan lebih dari 15 buku sastra lainnya.3

Sebagian karya-karya kesusastraannya terhimpun dalam antalogi Ibuku Laut Berkobar (1998) dan Percintaan dan Kemabukan. Sedangkan puisi-puisinya tentang perempuan dan aborsi diterjemahkan oleh Geo Fax dan dirilis dalam bentuk Cyberalbum. Selain tertuang dalam dua antologi di atas, serta novel Atas Singgasana, karya-karya Abidah juga terdapat dalam ASEANO : Anthology of

Poems Shout East Asia, Antologi-antologi dan leksikon sastra modern Indonesia.

Karya-karyanya banyak juga dipublikasikan melalui media massa baik lokal maupun nasional. Sebagai seorang penyair yang kreatif pada 1994 hingga 2000, Abidah diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk membaca karya puisinya di Taman Ismail Marzuki dan membacakan puisi-puisinya di sekretariat ASEAN. Selain membaca puisi-puisinya juga menjadi pembicara pada Forum Penyair Abad 21 di TIM, menjadi pembicara dalam Program Sastrawan Bicara, Siswa Bertanya (2000).

Abidah tercatat pernah mewakili Indonesia dalam ASEAN Writer‟s

Conference Workshop Poetry di Manila Pilipina pada tahun 1995 dan menjadi

pendamping dalam Bengkel Kerja Penulisan Kreatif Majelis Sastra Asia Tenggara (MASTERA) pada tahun 1997. Selain itu, Abidah pun pernah mendapat penghargaan Seni di bidang Sastra dari Pemerintah DIY.

Abidah juga pernah mengikuti Konferensi Perempuan Islam se-Asia Pasifik dan Timur-Tengah pada tahun 1999, International Literary Festival

3

Biennale pada tahun 2007, Jakarta International Litelary Festival pada tahun 2008, Aceh International Litelary Festival pada tahun 2009.

Berikut ini merupakan buku-buku karya Abidah El Khalieqy yang sudah diterbitkan:

1. Ibuku Laut Berkobar (1997)

2. Menari Di Atas Gunting (2001)

3. Perempuan Berkalung Sorban (2001, Sudah difilmkan dan dicetak lebih dari

50.000 ex)

4. Atas Singgasana (2002, menjadi bacaan di SMA seluruh Indonesia, dan

dicetak oleh Diknas Lebih dari 30.000 ex.)

5. Geni Jora (2004, juara kedua dalam Sayembara Novel Dewan Kesenian

Jakarta)

6. Mahabbah Rindu (2007)

7. Nirzona (2008)

8. Mikraj Odyssey (2009)

9. Menembus Impian (2010, sudah difilmkan)

10.Lampuki (2011), dan

11.Mataraisa (2012)

Abidah juga dikenal sebagai sosok aktivis dalam berbagai kegiatan diskusi, menjelajah kota-kota, mesjid-mesjid dan situs-situs kuno di Timur Tengah, Damaskus, Marrakesh, Casablanca, Tangier, El-Shareque, Amman, puing-puing kota Iran. Selain sebagai aktivis, Abidah juga dikenal sebagai sosok yang menyenangi alunan musik. Bahkan Abidah sangat hafal lagu-lagu Arab, Suriah dan Maroko dari El-Arabi Serghini, Omar Metioui, Jorge Rozemblum, Majida al-Roumi, Mayada el Hennawi sampai Rasheed Thaha.

1. Abidah dan Kultur Pesantren.

Sejak kecil Abidah hidup di tengah keluarga santri. Kognisi sosial kaum santrilah yang membentuk kepribadian dan pemikirannya. Abidah adalah salah satu produk masyarakat santri yang bersentuhan dengan dunia modern. Jombang, kota kelahirannya di mana ia melalui masa kecilnya adalah salah satu pusat pesantren besar di Indonesia, yang tertua adalah

Pesantren Gedang, yang didirikan oleh kakek Kyai Hasyim Asy’ari,

kemudian Pesantren Tambak Beras, Sambong, Sukopuro, Paculgung, Watugajah dan masih ada sekitar 15 lebih pesantren kecil yang di wilayah Jombang.

Masyarakat santri adalah masyarakat Indonesia yang mempunyai ciri unik dan khusus. Mereka mempunyai sebuah tradisi intelektual yang diwarisi dari generasi ke generasi. (Sachiko:2000). Tradisi tersebut dipelihara dan dikembangkan di pondok-pondok pesantren, yakni tradisi keilmuwan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab salaf yang amat kuat mereka pegang. Istilah-istilah seperti NU, Bahtsul Masail, Kyai, Gus, mazhab Syafi‟i, Tareqat, Manaqib,Dhiba‟, Sholawat, Tahfidz Qur‟an,

Rebana, adalah istilah-istilah yang diasosioriskan pada masyarakat unik ini.

Tokoh–tokoh seperti Gus Dur, Gus Mus, Emha, Nurkholis Majid, hampir semua masyarakat Indonesia tahu bahwa mereka berasal dari dan tergolong sebagai kaum santri. Kantong-kantong wilayah santri yang terkenal adalah Banten-Jawa Barat, Sarang-Rembang-Lasem-Jateng Jateng, Lirboyo-Kediri, Tebu Ireng-Tambak Beras-Jombang, Tremas-Pacitan Jatim. Tetapi saat ini hampir di seluruh pelosok pulau Jawa terdapat pondok pesantren baik kecil maupun besar. Hal ini tak lepas dari perjuangan tokoh-tokoh santri dalam berdakwah dan menyebarkan ajaran pesantren.

Kultur pesantren adalah kultur yang khas. Cliffort Geertz

Dokumen terkait