• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENGARANG

A. Unsur Instrinsik Novel Saman Karya Ayu Utami

4. Latar

Abrams mengemukakan latar cerita adalah tempat umum (general locale), waktu kesejarahan (historical time) dan kebiasaan masyarakat (social circumtances) dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat.42

Latar atau landas tumpu (setting) cerita adalah lingkungan tempat peristiwa terjadi. Stanson mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot kedalam fakta (cerita) sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi.43

38

Semi,op. cit., h. 43-44

39

Ibid., h. 44.

40 Ibid.

41Ibid., h. 45.

42

Siswanto, op. cit., h.149.

43

Leo Hamalian dan Frederick R. Karrel menjelaskan bahwa latar cerita dalam karya fiksi bukan hanya berupa tempat, waktu, peristiwa, suasana serta benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana serta benda-benda dalam lingkungan tertentu, tetapi juga dapat berupa suasana yang berhubungan dengan sikap, jalan pikiran, prasangka, maupun gaya hidup suatu masyarakat dalam menanggapi suatu problem tertentu.44

Unsur latar dapat dibedakan kedalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur itu walau masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan dengan sendirinya, akan tetapi pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.45

a. Latar Tempat

Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu dengan nama yang jelas. Keberhasilan latar tempat lebih ditentukan oleh ketetapan deskripsi, fungsi, dan keterpaduannya dengan unsur latar yang lain sehingga semuanya bersifat saling mengisi. Keberhasilan penampilan unsur latar itu sendiri antara lain dilihat dari segi koherensinya dengan unsur fiksi lain dan dengan tuntutan cerita secara keseluruhan.46

b. Latar waktu

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah kapan tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah.47

c. Latar sosial

Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi.

44

Siswanto,op. cit., h. 149

45Ibid., h.151

46

Nugiyanto,op. cit., h. 227-230

Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks.48

5. Gaya bahasa

Gaya adalah cara seorang pengarang menyampaikan gagasannya dengan menggunakan media bahasa yang indah dan harmonis serta mampu menuansakan makna dan suasana yang dapat menyentuh daya intelektual dan emosi pembaca. Ada tiga masalah yang erat hubungannya dengan pembicaraan masalah gaya. Pertama, masalah media berupa kata dan kalimat. Kedua, masalah hubungan gaya dengan makna dan keindahannya. Terakhir seluk beluk eskspresi pengarangnya sendiri yang akan berhubungan erat dengan masalah individual kepengarangan, maupun konteks sosial-masyarakat yang melatarbelakanginya.

Dari segi kata, karya sastra menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, reflektif, asosiatif, dan bersifat konotatif, sedangkan kalimat-kalimatnya menunjukkan adanya variasi dan harmoni sehingga mampu menuansakan keindahan dan bukan nuansa makna tertentu saja. Alat gaya melibatkan masalah kiasan dan majas: majas kata, majas kalimat, majas pikiran, dan majas bunyi.

6. Titik pandang/sudut pandang

Titik pandang adalah tempat sastrawan memandang ceritanya. Dari tempat itulah sastrawan bercerita tentang tokoh, peristiwa, tempat, waktu dengan gayanya sendiri.49 Menurut Aminuddin, titik pandang adalah cara pengarang menampilkan para pelaku dalam cerita yang dipaparkannya. Titik pandang meliputi; 1).

Narrator omniscient, 2). Narrator observer, 3). Narrator observer omniscient, 4).

Narrator the third person omniscient.50

Harry Shaw menyatakan titik pandang terdiri atas; 1). Sudut pandang fisik, yaitu posisi dalam waktu dan ruang yang digunakan pengarang dalam pendekatan materi cerita, 2). Sudut pandang mental, yaitu perasaan dan sikap pengarang terhadap masalah dalam cerita, dan 3). Sudut pandang pribadi yaitu hubungan

48Ibid., h. 233.

49

Siswanto, op. cit., h.151.

yang dipilih pengarang dalam membawa cerita ; sebagai orang pertama, kedua atau ketiga. Sedangkan sudut pandang pribadi dibagi atas:

a. Pengarang menggunakan sudut pandang tokoh. b. Pengarang menggunakan sudut pandang bawahan.

c. Pengarang menggunakan sudut pandang yang impersonal.

Tiga hal tersebut sama sekali berdiri di luar cerita. Sudut pandang berkaitan dengan unsur-unsur instrinsik prosa rekaan yang lain : tokoh, latar suasana, gaya bahasa, nilai atau amanat.

F. Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia

Secara umum pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia dalam bidang sastra bertujuan agar;

1. Peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa;

2. Peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.51

Tujuan tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis sastra. Kemampuan mendengarkan sastra meliputi kemampuan mendengarkan, memahami, dan mengapresiasi ragam karya sastra (puisi, prosa, drama) baik karya asli maupun saduran/terjemahan sesuai dengan tingkat kemampuan peserta didik. Kemampuan berbicara sastra meliputi kemampuan membahas dan mendiskusikan ragam karya sastra di atas sesuai dengan isi dan konteks lingkungan dan budaya. Kemampuan membaca sastra meliputi kemampuan membaca dan memahami berbagai jenis dan ragam karya satra, serta mampu melakukan apresiasi secara tepat. Sedangkan kemampuan menulis sastra meliputi kemampuan mengekspresikan karya sastra yang diminati (puisi, prosa, drama) dalam bentuk sastra tulis yang kreatif, serta dapat menulis kritik dan esai sastra berdasarkan ragam sastra yang sudah dibaca.52

51

Siswanto, op. cit., h.170-171

Tujuan umum pembelajaran sastra merupakan bagian dari tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yaitu mewujudkan suasana dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual, keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. 53

Tujuan pembelajaran sastra di sekolah terkait pada tiga tujuan khusus yaitu; 54 1. Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial.; menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia,

2. Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif. Sastra adalah sistem tanda karya seni yang bermediakan bahasa. Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual dan imajinatif,

3. Karya sastra hadir untuk dibaca dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan.

Pengajaran sastra membawa siswa pada ranah produktif dan apresiatif.55 Penciptaan karya sastra merupakan keterampilan dan kecerdasan intelektual sehingga dengan membaca karya sastra akan memproduksi imajinasi siwa. Karya sastra hadir untuk dibaca dan dinikmati, dimanfaatkan untuk mengembangkan wawasan kehidupan. Jadi dengan membaca karya sastra siswa tidak hanya belajar sastra tetapi menikmati sastra sekaligus mengasah kecerdasan dan imajinasi siswa. Pengajaran sastra sebenarnya termasuk pengajaran seni. Pengajar setidaknya adalah pecinta sastra yang sekarang adalah mereka yang belajar bahasa dan sastra. Pada dasarnya pengajar lebih banyak dibentuk sebagai guru bahasa daripada guru sastra. Mengajarkan bahasa barangkali dapat dikerjakan seperti orang

53

Dindin Ridwanuddin, M.Pd. Bahasa Indonesia (Ciputat :UIN Press.2015), h.,113

54Ibid. 55Ibid.

mengajarkan cabang ilmu lain tetapi mengajar kesenian termasuk di dalamnya sastra dan memerlukan persyaratan lain.56

Pembelajaran Bahasa Indonesia ini bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut; Pertama, berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulis; Kedua,

menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa negara; Ketiga, memahami bahasa Indonesia dan menggunakannya dengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan; Keempat, menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial; Kelima, menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk memperluas wawasan, memperhalus budi pekerti, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa; Keenam, menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual manusia Indonesia kreativitas guru maupun peserta didik justru lebih menentukan isi dan jalannya proses belajar. Materi yang tersaji lebih bersifat sebagai pemandu, maka tetap diperlukan seorang fasilitator maupun motivator. Oleh karena itu, sangatlah diharapkan guru berperan sebagai fasilitator dan motivator. Proses pembelajaran tetap berada pada aktivitas peserta didik sebagai subjek.

Pengajaran sastra tidak dapat dipisahkan dari pengajaran bahasa. Namun demikian, pengajaran sastra tidaklah dapat disamakan dengan pengajaran bahasa. Perbedaan hakiki keduanya terletak pada tujuan akhirnya. Pengajaran sastra pada dasarnya mengemban misi afektif (memperkaya pengalaman siswa dan menjadikannya lebih tanggap terhadap peristiwa-peristiwa di sekelilingnya) yang memiliki tujuan akhir menanam, menumbuhkan, dan mengembangkan kepekaan terhadap masalah-masalah manusiawi, pengenalan dan rasa hormatnya terhadap tata nilai, baik dalam konteks individual maupun sosial.

Sastra memang tidak bisa dikelompokan ke dalam aspek keterampilan berbahasa karena bukan merupakan bidang yang sejenis tetapi pembelajaran sastra dilaksanakan secara terintegrasi dengan pembelajaran bahasa baik dengan keterampilan menulis, membaca, menyimak, maupun berbicara. Dalam

56

prakteknya, pembelajaran sastra berupa pengembangan kemampuan menulis sastra, membaca sastra, menyimak sastra, dan berbicara sastra.

G. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian ini yakni Penelitian berjudul “Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel-Novel Karya Ayu Utami” yang ditulis oleh Wiyatmi, dari Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta, 2012. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menginterpretasikan peristiwa sejarah sosial politik yang ditemukan dalam novel-novel karya Ayu Utami dan wujud representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Metode yang digunakan adalah metode New Historicism. New Historicism pertama kali digunakan oleh Stephen Greenblatt tahun 1982 untuk menawarkan perspektif baru dalam kajian Renaissance, yakni dengan menekankan keterkaitan teks sastra dengan berbagai kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang melingkunginya. Karya sastra dalam perspektif New Historicism tidak dapat dilepaskan dari praksis-praksis sosial, ekonomi dan politik karena ikut mengambil bagian di dalamnya. Penelitian penulis berbeda dengan penelitian ini. Perbedaannya terletak dalam metode yang digunakan dalam menganalisis novel Saman. Penelitian tersebut menggunakan pendekatan New Historism. New Historicism menawarkan pembaharuan dalam melihat hubungan sastra dengan sejarah. Sastra dalam hal ini tidak hanya dilihat sebagai cermin yang secara transparan dan pasif merefleksikan budaya masyarakatnya, tetapi sastra juga ikut membangun, mengartikulasikan dan mereproduksi konvensi, norma, dan nilai-nilai budaya melalui tindak verbal dan imajinasi kreatifnya. Penelitian penulis menggunakan pendekatan mimetik. Pendekatan mimetik berasal dari bahasa Yunani mimesis yang berarti peniruan. Dalam sastra, pendekatan mimesis melihat karya sastra sebagai suatu peniruan, imitasi, refleksi, atau gambaran tentang alam dan kehidupan manusia. Pengarang harus menciptakan kembali pengalaman manusia dengan menggunakan kata-kata. Sastra dikaitkan dengan realita atau kenyataan, budaya, sosial, politik, bahkan

agama. Plato dan Aristoteles menggunakan istilah mimesis sebagai imitasi, representasi, peneladanan, peniruan, dan pembayangan.

Penelitian selanjutnya yang relevan dengan skripsi ini adalah penelitian yang

berjudul “Sastra dan Perubahan Sosial: Studi Kasus Saman karya Ayu Utami”

ditulis oleh Sugihastuti dalam jurnal Humaniora No.10 Januari - April 1999. Penelitian ini hanya terbatas pada rincian pengenalan Saman sebagai sastra dan

Saman dalam komunikasi sastra. Soal “perubahan sosial” seperti tertera dalam

judul tulisan adalah soal ideologi yang direproduksi pengarang. Penelitian ini menjabarkan tentang pengenalan Saman sebagai sastra. Pengertian sastra adalah yaitu karya yang bersifat imajinatif, yaitu artinya secara harfiah dapat dianggap benar. Hal ini menimbulkan perdebatan karena karya sastra ditulis tidak hanya berdasarkan fiksi dan imajinasi tetap berdasarkan kenyataan yang dikemas ke dalam novel yang merupakan karya fiksi. Sehingga dapat di simpulkan bahwa

Saman adalah karya sastra. Selanjutnya penelitian ini berbicara mengenai Saman

dalam model komunikasi sastra. Untuk memaknai Saman dalam kategori ideologi sosial, teori resepsi digunakan dengan megingat bahwa ada berbagai model alternatif dan perdebatan-perdebatan tentangnya. Saman adalah pola subjektivitas. Model subjektivitas tersebut telah didefinisikan kembali atau di evaluasi kembali

olehnya ke dalam model kolektif. Terjadi “perubahan ideologi” sosial terutama

seperti tercermin dari pola subjektivitas wanita dan laki-laki. Dari penjelasan di atas maka dapat kita simpulkan bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian

penulis. Penelitian ini hanya membicarakan “perubahan ideologi” dalam

subjektivitas komunikasi wanita dan laki-laki serta dasar pemikiran Ayu Utami dalam menulis novel Saman. Dalam penelitian penulis tidak hanya membahas pemikiran dan ideologi Ayu Utami tetapi juga menjabarkan fakta sejarah dalam novel Saman karya Ayu Utami.

Penelitian-penelitian lain yang terkait dengan novel Saman yaitu skripsi yang

berjudul “Perilaku Seksual dalam Novel Saman karya Ayu Utami :Tinjauan

Psikologi Sastra” oleh Oktivita pada tahun 2009, penelitian yang berjudul “Sastra

Ikhwanuddin Nasutiondan penelitian yang berjudul “Analisis Novel Saman karya Ayu Utami: Sebuah kajian Semiotika Roland Barthes oleh Nurul Nikmah.

Jika melihat penelitian “Representasi Sejarah Sosial Politik Indonesia dalam Novel-Novel Karya Ayu Utami” yang ditulis oleh Wiyatmi tentu sangat berbeda dengan penelitian penulis. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan dan menginterpretasikan peristiwa sejarah sosial politik yang ditemukan dalam novel-novel karya Ayu Utami dan wujud representasi peristiwa sejarah sosial politik dalam novel-novel karya Ayu Utami. Ia meneliti dua novel yaitu Larung dan

Saman menggunakan pendekatan New Historism. Berbeda dengan penelitian ini hanya meneliti novel Saman dengan pendekatan mimetik untuk mencari fakta di dalam novel tersebut. Penelitian yang relevan selanjutnya yaitu “Sastra dan

Perubahan Sosial: Studi Kasus Saman karya Ayu Utami” ditulis oleh Sugihastuti

dalam jurnal Humaniora No.10 Januari - April 1999. Penelitian ini hanya terbatas pada rincian pengenalan Saman sebagai sastra dan Saman dalam komunikasi

sastra. Penelitian ini membicarakan “perubahan ideologi” dalam subjektivitas

komunikasi wanita dan laki-laki serta dasar pemikiran Ayu Utami dalam menulis novel Saman. Tentu berbeda sekali dengan penelitian penulis yang tidak hanya melihat Saman sebagai sastra, tetapi Saman sebagai catatan fakta sejarah pada masa Orde Baru.

Berdasarkan penjabaran di atas maka dapat disimpulkan bahwa penelitian ini berbeda dari penelitian lainnya dan belum pernah ada yang menganalisis fakta sejarah dalam novel Saman. Penelitian ini menganalisis fakta sejarah dalam novel

Saman karya Ayu Utami dan implikasinya terhadap pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia.

33 BAB III

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENGARANG

A. Biografi Ayu Utami

Ayu Utami yang nama lengkapnya Justina Ayu Utami dikenal sebagai novelis pendobrak kemapanan, khususnya masalah seks dan agama. Ia dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968. Ayahnya bernama Johanes Hadi Sutaryo dan ibunya bernama Bernadeta Suhartina. Ia berasal dari keluarga Katolik.1

Pendidikan terakhirnya adalah S-1 Sastra Rusia dari Fakultas Sastra Universitas Indonesia (1994). Ia juga pernah sekolah Advanced Journalism, Thomson Foundation, Cardiff, UK (1995) dan Asian Leadership Fellow Program, Tokyo, Japan (1999). Ayu menggemari cerita petualangan, seperti Lima Sekawan, Karl May, dan Tin Tin. Selain itu, ia menyukai musik tradisional dan musik klasik. Sewaktu mahasiswa, ia terpilih sebagai finalis gadis sampul majalah

Femina, urutan kesepuluh. Namun, ia tidak menekuni dunia model.2

Ayu pernah bekerja sebagai sekretaris di perusahaan pemasok senjata dan bekerja di Hotel Arya Duta sebagai guest public relation. Akhirnya, ia masuk dalam dunia jurnalistik dan bekerja sebagai wartawan Matra, Forum Keadilan, dan D&R. Ketika menjadi wartawan, ia banyak mendapat kesempatan menulis.

Selama 1991, ia aktif menulis kolom mingguan “Sketsa” di harian Berita Buana. Ia ikut mendirikan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan ikut membangun Komunitas Utan Kayu, sebuah pusat kegiatan seni, pemikiran, dan kebebasan informasi, sebagai kurator. Ia anggota redaktur Jurnal Kalam dan peneliti di Institut Studi Arus Informasi.3

Setelah tidak beraktivitas sebagai jurnalis, Ayu kemudian menulis novel. Novel pertama yang ditulisnya adalah Saman (1998). Dari karyanya itu, Ayu menjadi perhatian banyak pembaca dan kritikus sastra karena novelnya dianggap sebagai novel pembaru dalam dunia sastra Indonesia. Melalui novel itu pula, ia

1Hendrawicaksono,”AyuUtami”2015,(http://badanbahasa.kemendikbud.go.id/lamanbahas

a/node/73).

2Ibid.

memenangi Sayembara Mengarang Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998. Novel tersebut mengalami cetak ulang lima kali dalam setahun. Para kritikus menyambutnya dengan baik karena novel Saman memberikan warna baru dalam sastra Indonesia. Karyanya yang berupa esai kerap dipublikasikan di Jurnal

Kalam. Karyanya yang lain, Larung yang merupakan dwilogi novelnya, Saman

dan Larung, juga mendapat banyak perhatian dari pembaca.4

Penghargaan yang diraih oleh Ayu Utami yaitu Pemenang Sayembara Penulisan Roman Terbaik Dewan Kesenian Jakarta tahun 1998 untuk novelnya

Saman, Prince Claus Award dari Prince Claus Fund, sebuah yayasan yang bermarkas di Den Haag tahun 2000, Penghargaan Khatulistiwa Literary Award tahun 2008 untuk novelnya Bilangan Fu.5

Karya - karya Ayu Utami diantaranya yaitu: Saman (1998), Larung (2001), Bilangan Fu (2008) dan Manjali dan Cakrabirawa (2010). Kumpulan Esai Si Parasit Lajang (2003). Biografi di antaranya Cerita Cinta Enrico (2012) dan

Soegija: 100% Indonesia (2012).6 B. Pemikiran Ayu Utami

Ayu Utami dikenal sebagai novelis berbakat dan fenomenal dalam dunia sastra Indonesia. Novel Saman yang muncul di tengah-tengah krisis moneter sangat mengejutkan publik, bahkan menuai berbagai kontroversi. Melalui novel

Saman yang sudah mencapai 34 kali cetak, Ayu menghapus mitos bahwa karya sastra tidak akan laku. Selain itu, Ayu juga dapat dikatakan sebagai motivator bagi peminat menulis dari kalangan perempuan. Melalui karya-karnyanya Ayu menjadi inspirator yang berani.7

Sebagai penulis, keberanian Ayu mengungkap sisi erotis perempuan dalam novel Saman dan Larung, sangat mengejutkan masyarakat Indonesia yang terikat norma-norma ketimuran. Esainya yang berjudul Parasit Lajang, juga banyak dibicarakan di kalangan penikmat sastra. Walau demikian, karya Ayu Utami jauh

4 Ibid. 5

Ibid. 6 Ibid.

7 “Mendobrak Mitos dan Norma Ketimuran”, Harian Media Indonesia, Jakarta, 1 Agustus 2004,h. 24

dari kesan pornografi murahan, akan tetapi sebaliknya Ayu berusaha jujur menceritakan gaya hidup kelas menengah ke atas di perkotaan pada masa itu. Tidak hanya sampai di situ, Ayu juga menyisipkan unsur magis, religius, dan politik ke dalam novelnya.8

Karya lain Ayu Utami yang pernah dipentaskan adalah Laila Tidak Mampir di New York (2000). Dalam karyanya, Ayu seolah membebaskan diri dari konsep kesatuan cerita, urutan waktu, maupun hubungan kausal antar peristiwa. Ditangan Ayu, bahasa menjadi alat ekspresi yang lentur dan indah, terutama dalam mendeskripsikan luapan emosi dan logika.

Ide Ayu Utami juga bertolak belakang terhadap norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat Asia, seperti halnya Indonesia. Ayu dengan tegas mengakui bahwa dirinya anti dengan lembaga pernikahan, dalam karyanya Parasit Lajang, Ayu menuliskan 10 alasan untuk tidak menikah. Salah satunya yang penting bagi Ayu, menikah itu selalu menjadi tekanan bagi perempuan. Meskipun orang selalu bilang bahwa menikah adalah pilihan, akan tetapi dalam kenyataannya menikah itu bisa jadi satu-satunya pilihan. Karena kalau tidak menikah, perempuan akan diejek sebagai perawan tua dan sebagainya, yang pada akhirnya membuat si perempuan jadi berada dibawah tekanan.9

Perubahan sosial budaya masyarakat akan berpengaruh terhadap pola pikir seseorang dalam merespon kehidupan secara kritis. Ketimpangan-ketimpangan sosial yang terjadi dalam masyarakat akibat ideologi, kekuatan, hegemoni, serta kontruksi budaya seperti dominasi, subordinasi, budaya patriarki merupakan bagian penting bagi pengarang dalam mengeksplorasi gagasannya melalui karya sastra.

Ayu Utami memiliki cara tersendiri dalam merespons persoalan-persoalan sosial terkait dengan beroperasinya gender dalam karyanya. Representasi perilaku dan orientasi seksual yang demikian beragam dan gugatan bahwa stereotip perempuan yang pasif menggambarkan bahwa dalam diri perempuan masih

8Ibid.

dibebani adanya tata nilai dan kontruksi sosial , misalnya perempuan harus perawan dan dia harus menjaga dirinya baik-baik.

Seks adalah suatu risiko dalam kesustraan Indonesia modern. Ada semacam bersikap berhati-hati, ada semacam pretensi yang dipersiapkan baik-baik untuk tidak menyinggung seks dalam kehidupan percintaan, perkawinan dan kehidupan ibu-bapak. Keadaan ini memang menarik bila kita bandingkan sebagaimana Aveling membandingkannya dengan apa yang terdapat dalam kesusatraan modern lainnya, dan terutama dengan pelbagai hasil sastra lama dalam sejarah kita. Tapi mungkin soalnya ialah karena hasil sastra modern sedikit-banyaknya cenderung untuk merupakan sebuah pose.10

Salah satu aliran dalam pemikiran feminis adalah feminis radikal. Asumsi dasar pemikirannya, mereka menganggap penindasan terhadap perempuan oleh laki-laki berakar pada jenis kelamin laki-laki itu sendiri beserta ideologi patriarkinya. Dengan demikian kaum lelaki secara biologis maupun politis adalah bagian dari permasalahan. Aliran ini menganggap bahwa penguasaan fisik perempuan oleh laki-laki, seperti hubungan seksual adalah bentuk dasar penindasan terhadap perempuan. Bagi mereka patriarki adalah dasar dari ideologi

Dokumen terkait