• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN PENGARANG

B. Konteks Historis dalam Novel Saman

2. Pers Pemerintahan Orde Baru

Bagi banyak orang industri majalah dan surat kabar secara kolektif disebut sebagai pers adalah yang disebut media. Sejarahnya yang panjang dan berpengaruh dan persyaratan bahwa konsumennya harus melek huruf,

23

Ruth McVey, Kaum Kapitalis Asia Tenggara : Patronase Negara dan Rapuhnya Struktur Perusahaan (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1998),h. 107-108

memungkinkan medium ini „mengatur agenda politik’ lebih daripada medium lain

di Indonesia.

Seperti yang disampaikan oleh Dhakidae, pers di Indonesia berubah di masa Orde Baru. Kami melihat secara singkat perkembangan pers yang secara politis bersifat lentur sanggup bertahan di tahun-tahun pertengahan (1970-1980) era Orde Baru, melewati sensor, korporatisasi, dan investasi. Kami menganggap bagaimana pun bahwa pada tahun 1990-an, pers kembali di politisasi terutama untuk merespon munculnya penolakan kelas menengah terhadap pemerintahan Orba. Namun tak seperti pers di masa Soekarno, politik baru dari pers ini tak tergantung pada dukungan kelompok-kelompok berkepentingan politik tertentu. Itu dimungkinkan adanya konglomerat media bermodal besar, memiliki teknologi canggih, dan memiliki hubungan internasional. Meskipun pers semacam ini ditumbuhkan oleh Orde Baru, namun itu tak sepenuhnya bergantung pada Orde Baru untuk bertahan. 24

Pelarangan tiga mingguan berita yang sangat sukses pada tahun 1994 menunjukkan bahwa pemerintah masih memiliki kekuasaan untuk membuat perusahaan pers besar terhuyung-huyung karena ulah seorang menteri. Namun pelarangan dan tantangan yang mengikutinya terutama atas struktur perusahaan pers dengan sendirinya menandai bahwa pers merupakan situs yang signifikan dari perjuangan politik. Apa yang dapat dan mesti dijalani pers di era pasca orde Soeharto tergantung pada negosiasi ulang mereka.25

Status dan otonomi pers bukan saja tak bisa dilepaskan, tetapi ditentukan oleh kerangka sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Ketiga lingkungan hidup itu ditentukan dalam sistem konstitusi. Konstitusi sebaiknya dipandang dari tiga jurusan : latar belakang sejarah, norma hukum, dan praktek politik yang mencerminkan hubungan-hubungan kekuasaan secara nyata.26

24

Krishna Send dan David T. Hill, Media, Budaya dan Politik di Indonesia (Jakarta : Sembrani Aksara Nusantara, 2001), h.62

25Ibid, h.62

26

Konstitusi Indonesia adalah hasil produk perjuangan nasional, di mana unsur kebebasan menjadi kebebasan kolektif sebagai bangsa. Kebebasan individu diakui, dijamin, dihormati, tetapi dalam keseimbangan dengan kebebasan kolektif Semangatnya berbeda dengan semangat konstitusi barat yang lebih menjamin kebebasan individual. Tetapi asas kebebasan tetap merupakan latar belakang semangat dan motivasi konstitusi kita. Secara normatif, khususnya yang menyangkut kebebasan terdapat dalam pasal 28 : Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya, ditetapkan dengan undang-undang.27

Keberadaan pers di Indonesia mengalami pasang surut, di mana pers sempat mengalami pengekangan-pengekangan, hingga kemudian mendapatkan kebebasannya. Pengekangan pers di Indonesia ditandai dengan berkuasanya rezim Orde Baru, yaitu ketika masa pemerintahan Presiden Soeharto yang lebih dikenal

dengan “Bapak Pembangunan”. guna menanamkan dan menyebarluaskan propaganda yang di lakukan oleh Pemerintahan Orde Baru, media massa dianggap sebagai alat yang tepat guna merealisasikan wacana pemerintahan kala itu. Kekuasaan untuk mengatur media sesuai dengan kebutuhan pemerintah kemudian dianggap sebagai hal yang perlu untuk dilakukan.

Tentunya hal ini menunjukkan bagaimana pemerintahan Orde Baru sangat teliti dalam memanfaatkan media untuk kepentingannya. Begitupula yang terjadi pada media cetak. Media cetak, yang lebih identik dengan pers, kala itu setelah runtuhnya kekuasaan Orde Lama, pers tumbuh dengan pesat. Pemerintah yang semula berusaha untuk mengkontrol peran media dalam pemerintahan dan masyarakat, menjadi terusik dengan sifat kritis pers. Pertumbuhan pers yang tinggi, serta sifat kritis yang makin bertambah, kerap kali membuat pers bersinggungan dengan kepentingan pemerintah. Ini menyebabkan pers yang

dianggap “nakal” oleh pemerintah, dicabut Surat Izin Terbitnya dan Surat Izin

Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Contohnya seperti yang terjadi pada surat kabar Sinar Harapan, Tempo, dan Editor.

Kebijaksanaan pemerintah terhadap pers di Zaman Indonesia merdeka mengalami beberapa kali perubahan. Hal itu disebabkan terjadi perubahan dalam corak pemerintahan. Kebijaksanaan pemerintah Hindia Belanda terhadap pers yang tertuang dalam “Persbreidel Ordonnantie”, secara formal belum diganti pada awal pemerintahan Republik Indonesia. Baru pada tahun 1954, tanggal 2 Agustus, berlakulah pencabutan Presbredel ordonantie itu. (UU No.23 tahun 1954, Lembaran Negara 54-77).28

Mengutip dari Tjipta Lesmana dalam Abar, pers kemudian dianggap bukan lagi sebagai bagian dari “koalisi” kekuasaan Orde Baru yang bisa mendukung

konsolidasi dan perluasan kekuasaannya. Kenyataan ini dapat dilihat dari serentetan tindakan yang anti pers dilakukan penguasa sejak tahun tersebut.

“Penjinakan” dengan melakukan pencabutan surat izin ini sebenarnya dimaksudkan untuk menumbuhkan pers yang tidak kritis, tidak bebas, serta tidak anti kekuasaan. Targetnya, menciptakan pers yang tidak usil atau cerewet pada kekuasaannya. Hal ini dilakukan pemerintah semata-mata untuk mendapatkan dukungan penuh dari pers. Pemerintahan Orde Baru menganggap kekuasaan negara perlu dukungan pers sebagai perpanjangan tangan kekuasaan itu sendiri.

Pemerintah pada masa Orde Baru tersebut, tampaknya menyadari bahwa media massa mampu membuat dan membentuk bingkai. Bingkai yang dibentuk oleh media massa inilah yang ditakuti oleh pemerintahan Orde Baru, karena frame yang dibentuk oleh media massa, dianggap mampu mempengaruhi pemikiran masayarakat tentang pemerintah yang ada, sehingga dikhawatirkan timbulnya gerakan menentang pemerintahan yang ada. Melihat keotoriteran pemerintahan Orde Baru terhadap media massa maupun pada pers, sesuai dengan tipe pers otoriter. Pers otoriter dilaksanakan oleh pemerintah guna mendukung kebijakan pemerintah dan mengabdi kepada negara. Para penerbit kemudian diawasi melalui paten-paten, izin-izin terbit, dan sensor.

Bila aparat keamanan dan intelijen rezim orde baru telah sejak beberapa tahun anggaran sibuk meneliti gerak-gerik wartawan, dan bahkan telah sampai pada

28

Abdurrahman Surjomiharjo, Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta : Kompas, 2002), h.176

tahap menangkap beberapa diantaranya (seperti yang dialami sejumlah aktivis Asosiasi Jurnalis Independen), maka tidak demikian halnya dengan pakar politik pemerhati Indonesia. Baru segelintir pakar yang menangkap potensi kelas menengah wartawan itu dalam kajian mereka mengenai prospek demokratisasi di Indonesia. 29

Mengenai izin terbit pada tahun 1960 lebih terperinci lagi syarat-syaratnya. Para peminta izin terbit harus menyetujui dan menandatangani kesanggupan 19 pasal. Sementara ketentuan izin terbit tahun 1958 hanya menyatakan bahwa izin semacam ini perlu, agar bisa dicegah publikasi yang sensasional dan yang dinilai bertentangan dengan moralitas. Kesembilan belas pasal itu mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No. 10/1960 ini bersama dengan Penpers No.6/1963 bisa disebut tulang punggung kebijaksanaa pemerintah di bidang pers sesuah tahun 1959 sampai dengan lahirnya UU.No.11/1966 tentang ketentuan pokok pers.30

Ada sejumlah alasan mengapa media massa dan kelompok jurnalis, memperoleh tempat marjinal dalam analisis seputar demokratisasi atau reformasi. Media massa dalam berbagai pendekatan, cenderung diamati hanya sekedar medium bagi beroperasinya berbagai faktor pendorong demokratisasi. Bila pendekatan struktural menonjolkan peran kelas menengah sebagai kelompok yang mampu mendesakkan tuntunan demokratisasi. Bila pendekatan struktural menonjolkan peran kelas menengah sebagai kelompok yang mampu mendesakkan tuntunan demokratisasi, dan pendekatan kultural menekankan kontribusi ide-ide demokrasi, maka media massa hanyalah medium di mana tuntunan kelas menengah dan ide-ide demokrasi tersebut disampaikan kepada penguasa dan publik yang luas.31

Selain itu, sejarah panjang pembredelan atau pencabutan lisensi, budaya telepon serta hegemoni ide-ide semacam “pers partner pemerintah” atau “kebebasan yang bertanggungjawab” dan semakin kuatnya dominasi kroni

29

Selo Soemardjan, Kisah Perjuangan Reformasi (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan), h.347

30

Surjomiharjo, op. cit., h.181-183

31

Soeharto dalam sekktor industri media (terutama televisi), kesemuanya telah menurunkan bobot faktor peran media massa dalam analisis-analisis mengenai prospek demokrasi di Indonesia ataupun kajian tentang kemungkinan jatuhnya rezim orde baru dalam dasawarsa 1990-an.

Pada awalnya, dalam proses penciptaan kondisi yang mendorong Soeharto memutuskan untuk lengser bulan Mei 1998, media massa nasional memang bersikap amat hati-hati. Bahkan banyak di antaranya yang bertiarap sampai pada titik yang membuat banyak anggota masyrakat sedemikian gemas, frustasi dan melarikan diri mencari berbagai media alternatif, mulai dari selebaran gelap, mailing list dan website di Internet, media asing, ataupun memburu informasi alternatif semacam rumor (tentang berbagai perkembangan politik) dan gosip tentang kehidupan pribadi figur-figur elite penguasa.32

Sekurangnya pada waktu itu, khususnya sebelum krisis moneter muncul, tidak ada satupun media massa yang cukup berani secara lugas mengolah topik-topik tertentu menjadi komoditi informasi. Berbagai ulasan dan penilaian kritis seputar bisnis keluarga cendana, kepemimpinan soeharto serta kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya, perpecahan atau fraksi di kalangan elite penguasa, serta kontroversi seputar dwifungsi ABRI, merupakan area pemberitaan yang banyak memuat taboo topics, yang sejauh mungkin dihindari media massa. Nasib yang menimpa Tempo, detik, dan Editor ketika “era keterbukaan” yang

dianugerahkan soeharto melalui pidato kenegaraan bula agustus 1990 tiba-tiba dicabut bulan juni 1994, agaknya telah membuat para jurnalis di tanah air semakin ketat menerapkan self censorship dan menghindar jauh-jauh dari topik-topik tabu. Keadaan ini terus berlanjut hingga menjelang revolusi mei 98.33

Dokumen terkait