• Tidak ada hasil yang ditemukan

RINGKASAN

SAHURI. Pengaruh Tinggi Muka Air dan Lebar Bedengan terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) di Lahan Pasang Surut. (Dibimbing oleh MUNIF GHULAMAHDI).

Budidaya jenuh air (BJA) merupakan suatu teknologi yang mempertahankan irigasi secara terus-menerus di dalam saluran sehingga tinggi muka air dalam saluran selalu tetap dan menciptakan lapisan jenuh air pada tanah. Teknologi ini dapat mengatasi untuk mencegah oksidasi pirit di lahan pasang surut dan telah terbukti meningkatkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut dan non pasang surut.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar bedengan 2, 4, 6, dan 8 m.

Teknologi BJA dapat meningkatkan laju pertumbuhan tanaman (LPT) dan produktivitas kedelai. Pada saat panen terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap jumlah polong hampa dan bobot 100 biji kedelai. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, bobot 100 biji, polong isi, dan produksi kedelai. Namun tidak terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap tinggi tanaman dan jumlah polong hampa. Tinggi tanaman, jumlah cabang, buku produktif, buku tidak produktif, polong isi, bobot 100 biji, dan produksi kedelai nyata lebih tinggi pada perlakuan interaksi tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m.

Terdapat pengaruh interaksi tinggi muka air dan lebar bedengan terhadap bobot kering daun, batang, akar, dan bintil. Bobot kering daun, batang, akar, dan bintil nyata lebih tinggi pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m. Hal ini diduga karena pada perlakuan tersebut akar memiliki ruang

tumbuh lebih luas, sehingga cukup memadai untuk pertumbuhan akarnya secara maksimal. Selain itu, diduga karena dengan lebar bedengan 2 m air meresap dari parit ke tengah bedengan dapat merata di seluruh areal bedengan.

Pada percobaan ini, produksi biji kedelai pada perlakuan tinggi muka air 20 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 4.15 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 20 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.59 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.84 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.74 ton/ha). Produksi biji kedelai pada tinggi muka air 10 cm DPT dengan lebar bedengan 2 m mencapai 3.43 ton/ha, ini nyata lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan tinggi muka air 10 cm dengan lebar bedengan 4 m (2.46 ton/ha), lebar bedengan 6 m (1.75 ton/ha), dan lebar bedengan 8 m (1.68 ton/ha).

The Effect of Water Depth and Bed Width on The Production of Soybean

(Glycine max(L.) Merr.)under Saturated Soil Culture on Tidal Swamps

Sahuri1, Munif Ghulamahdi2

1

Mahasiswa Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB

2

Staf Pengajar Departemen Agronomi dan hortikultura, Fakultas Pertanian, IPB ABSTRACT

Saturated soil culture (SSC) is a cultivation technology that gives continuous irrigation and maintains water depth constantly and makes soil layer in saturated condition. By keeping the water-table constantly, soybean will be avoided from negative effect of inundation on soybean growth because soybean will be acclimatize and improve its growth This technology appropriate to prevent pyrit oxidation on tidal swamp and has been proved to increase the productivity of soybean on non tidal swamp. The experiment was done to study the effect of the level of water depths and bed width to determine the optimal bed width on the yield of soybean. The research was conducted at Banyu Urip, Tanjung Lago, Banyuasin, South Sumatera, Indonesia from April to August 2010. The experiment was arranged in a split plot design with three replications. The main plot of the experiment was water depth in the furrow irrigation consisted of 10 and 20 cm under soil surface (USS) watering. The sub plot of the experiment was bed widths consisted of 2, 4, 6 and 8 m. The result of the experiment showed that the seed production was obtained with the level of water depth 20 cm USS and bed width 2 m (4.15 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width 4 m (2.59 ton/ha), bed width 6 m (1.84 ton/ha) and bed width 8 m (1.74 ton/ha). The seed production was obtained with the level water depth 10 cm USS and bed width 2 m (3.43 ton/ha) and it was significantly different from those at bed width 4 m (2.46 ton/ha), bed width 6 m (1.75 ton/ha) and bed width 8 m (1.68 ton/ha).The highest seed production was obtained with level of water depth 20 cm USS and bed width 2 m , so this treatment was the most appropriate combination for soybean production on tidal swamps.

Key words : Saturated soil culture,Productivity, Soybean, Water depth, Bed’s

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kedelai mempunyai potensi yang amat besar sebagai sumber utama protein bagi masyarakat Indonesia. Sebagai sumber protein kedelai digunakan dalam beragam produk makanan, seperti tempe, tahu, tauco, dan kecap. Selain dari itu, kedelai juga merupakan bahan pakan dan bahan baku industri yang penting. Oleh karena itu, seiring dengan jumlah penduduk dan konsumsi perkapita serta kebutuhan akan pakan dan industri yang meningkat menuntut perlunya produksi kedelai dalam negeri ditingkatkan (Silitongaet al., 1996).

Produktivitas rata-rata kedelai nasional masih rendah pada tahun 2007 mencapai 1.3 ton/ha. Produktivitas kedelai nasional tahun 2008 dengan luas panen 760 000 ha mencapai 1.4 ton/ha. Produksi kedelai nasional tahun 2009 sebesar 966 469 ton biji kering dengan luas panen 728 200 ha. Produksi kedelai nasional tahun 2010 sebesar 963 000 ton biji kering dengan luas panen 709 000 ha dan produktivitas 1.357 ton/ha (BPS, 2010). Oleh karena itu, perlu upaya khusus baik untuk peningkatan produktivitas maupun perluasan areal panen untuk memenuhi kebutuhan kedelai di dalam negeri.

Di Indonesia terdapat sekitar 20.1 juta hektar lahan pasang surut yang tersebar di 4 pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. sekitar 5.6 juta hektar lahan pasang surut sesuai untuk dikembangkan untuk lahan pertanian. Pada lahan pasang surut kendala yang dihadapi adalah kemasaman tanah. Pada tanah sulfat masam. drainase yang berlebihan menciptakan kondisi aerob yang mengakibatkan lapisan pirit teroksidasi dan melepaskan asam alumunium yang merupakan racun bagi tanaman dan dapat memfiksasi P membentuk senyawa yang mengendap. Akibatnya ketersediaan P dalam tanah menjadi rendah. Selain itu, kemasaman tanah juga mengakibatkan terhambatnya kegiatan bakteri pengikat N dan kekahatan Ca, Na, dan K (Salehet al., 2000).

Permasalahan pengembangan kedelai di lahan pasang surut adalah tanaman kedelai tidak tahan dengan air yang berlebihan, yakni sesuai dengan karakteristik lahan rawa pasang surut. Namun apabila lahan dikeringkan pirit akan

teroksidasi yang menyebabkan pH tanah rendah. Kadar pirit yang tinggi menyebabkan produktivitas kedelai di lahan pasang surut masih rendah, yaitu 800 kg/ha. Rendahnya produktivitas tanaman di lahan pasang surut disebabkan oleh kemasaman tanah yang tinggi sehingga kelarutan Fe, Al, dan Mn menjadi tinggi, serta rendahnya ketersediaan P dan K (Djayusmanet al., 2001). Oleh sebab itu kedelai dapat diusahakan di lahan rawa bila pengelolaan lahan dan tata air sudah diperbaiki secara tepat.

Untuk dapat tumbuh dan berproduksi tinggi, tanaman kedelai memerlukan air yang cukup. Tanpa air, tanaman tidak dapat menyerap unsur hara dan mendistribusikannya ke seluruh jaringan tanaman sebagai pemacu pertumbuhan. Distribusi curah hujan yang memadai dan merata setiap bulan, sangat membantu pertumbuhan tanaman (Adisarwanto, 2001).

Teknologi budidaya jenuh air telah terbukti memberikan hasil yang baik bagi pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan non-pasang surut merupakan peluang untuk menurunkan kadar pirit sehingga kedelai dapat dibudidayakan di lahan rawa pasang surut. Usaha penurunan kadar pirit dapat dilakukan dengan cara pengaturan kedalaman muka air agar kondisi tanah lebih reduktif. Kedalaman muka air yang tetap di dalam saluran akan menghilangkan pengaruh dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman (Ghulamahdi, 2009).

Menurut Ghulamahdi (2006) sistem budidaya jenuh air mampu meningkatkan aktivitas nitrogenase, serapan N, P, K daun, bobot kering bintil, akar, batang, daun, polong serta biji. Budidaya jenuh air pada kedelai mempengaruhi bobot kering akar pada 8 minggu setelah tanam (MST), bobot kering batang, dan daun pada umur 6 MST serta bobot segar biomass per petak.

Kondisi jenuh air pada tinggi muka air 5 sampai 10 cm selalu berada di sekitar kapasitas lapang. Budidaya jenuh air pada tinggi muka air 5 cm dapat meningkatkan kandungan nitrogen daun dan pada tinggi muka air 15 cm dapat meningkatkan kadar protein biji dan bobot protein biji (Indradewa et al., 2004).

Adisarwanto (2001) menyarankan lebar bedengan untuk budidaya kedelai kurang dari 2 m di lahan sawah non pasang surut. Belum pernah dilakukan penelitian tentang lebar bedengan optimum, dengan variasi lebih dari 2 m di lahan sawah pasang surut. Penambahan lebar bedengan diperlukan untuk mengurangi

penggunaan tenaga kerja dalam pembuatan parit, tetapi perlu dipertimbangkan kemampuan air meresap dari parit ke tengah bedengan.

Menurut Idradewa et al. (2002) menyatakan bahwa genangan dalam parit dengan lebar bedengan 3-4 m di lahan sawah non pasang surut merupakan petak yang ideal, karena mempunyai kandungan lengas tanah sekitar kapasitas lapang dibandingkan genangan dalam parit dengan lebar bedengan 1 dan 2 m, mempunyai kandungan lengas tanah sedikit di atas kapasitas lapang. Tidak ada perbedaan pengaruh lebar bedengan terhadap proses fisiologis. pertumbuhan dan produksi kedelai, tetapi terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap bobot kering tanaman. Bobot kering tanaman nyata lebih berat dengan lebar bedengan 3 m di lahan sawah non pasang surut.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh lebar bedengan dan tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai, serta menentukan tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.

Hipotesis

1. Terdapat pengaruh tinggi muka air terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.

2. Terdapat pengaruh lebar bedengan terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai di lahan rawa pasang surut.

3. Ada tinggi muka air dan lebar bedengan tertentu yang memberi pertumbuhan dan produksi kedelai terbaik di lahan rawa pasang surut.

Dokumen terkait