• Tidak ada hasil yang ditemukan

Budidaya Jenuh Air

Budidaya jenuh air merupakan sistem penanaman dengan membuat kondisi tanah di bawah perakaran tanaman selalu jenuh air dan pengairan untuk membuat kondisi tanah jenuh air dilakukan dengan cara sub surface irrigation

(Wiroatmodjo et al., 1990). Budidaya jenuh air adalah cara penanaman di atas bedengan dengan memberikan pengairan terus menerus di dalam parit. sehingga tanah di bawah perakaran menjadi jenuh air. namun tidak menggenang (Purwaningrahayuet al., 2004).

Menurut Mulatsihet al. (2000) budidaya jenuh air diselenggarakan dengan membuat kondisi bedengan jenuh air secara terus menerus sejak 2 MST sampai masak fisiologis. Caranya adalah dengan mengalirkan air melalui saluran di antara petak-petak percobaan dengan tinggi genangan dipertahankan maksimum 15 cm di bawah permukaan tanah.

Tinggi muka air dalam budidaya jenuh air dipertahankan terus menerus dengan menberikan air pada ketinggian 5, 10, dan 15 cm di bawah permukaan tanah yang dimulai pada saat tanaman kedelai berumur 14 hari sampai dengan panen (Suwartoet al., 1994).

Budidaya jenuh air dilakukan dengan cara pengairan yang terus menerus sejak tanaman berumur dua minggu sampai polong mencapai masak fisiologis. Tinggi air disaluran dipertahankan ± 5 cm di bawah permukaan tanah untuk membuat petak penanaman jenuh air (Ghulamahdi dan Aziz, 1992).

Budidaya jenuh air merupakan penanaman dengan memberikan irigasi terus menerus dan membuat tinggi muka air tanah tetap (sekitar 5 cm dibawah permukaan air tanah) sehingga lapisan di bawah permukaan tanah jenuh air. Air diberikan sejak tanaman kedelai berumur 14 hari sampai polong berwarna coklat (Hunter et al., 1980). Tinggi muka air tetap akan menghilangkan pengaruh negatif dari kelebihan air pada pertumbuhan tanaman karena kedelai akan beraklimatisasi dan selanjutnya tanaman memperbaiki pertumbuhannya (Natahnsonet al., 1984).

Budidaya jenuh air tidak tergenang melainkan sudah melebihi kapasitas lapang. Air diberikan secara terus-menerus sejak tanaman berumur dua minggu hingga masak fisiologis. Air dialirkan melalui saluran-saluran diantara petakan-petakan dan tingginya dijaga tetap berada beberapa sentimeter di bawah permukaan tanah. Sistem ini dapat diterapkan pada lahan dengan irigasi cukup baik maupun yang berdrainase kurang baik. Disamping itu, pada lahan sawah yang dalam satu musim (tahun) selalu ditanami padi, sistem ini cukup baik untuk memperbaiki pola tanam yang sudah ada (Soertojo, 1993).

Penerapan budidaya jenuh air dapat dilakukan pada areal penanaman dengan irigasi cukup baik maupun pada areal dengan drainase kurang baik. Penanaman palawija pada areal dengan drainase kurang baik menggunakan sistem surjan. Sistem surjan memerlukan biaya yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan budidaya jenuh air, karena bedengannya cukup tinggi (Ghulamahdi, 1999).

Tanggap Varietas terhadap Budidaya Jenuh Air

Pertumbuhan bintil akar aktif pada budidaya jenuh air berlangsung lebih lama daripada budidaya biasa. Pada budidaya biasa pertumbuhan bintil akar aktif mencapai maksimum pada umur 6 minggu setelah tanam (MST), sedangkan pada budidaya jenuh air masih tetap meningkat sampai umur 9 MST (Ghulamahdi, 1990).

Pertumbuhan kedelai setelah aklimatisasi ditunjukkan oleh banyaknya akar dan bintil akar yang muncul pada tanah yang jenuh air. selanjutnya daun menjadi hijau dengan laju pertumbuhan lebih tinggi pada budidaya basah dibandingkan pada budidaya biasa (Avivi, 1995).

Budidaya jenuh air meningkatkan komponen hasil dan hasil benih serta memperbaiki keragaan variabel mutu fisik dan mutu fisiologis benih kedelai. Budidaya basah walaupun tidak selalu meningkatkan viabilitas benih, tetapi tidak berbahaya untuk produksi benih (Rakaet al., 1995).

Budidaya jenuh air nyata meningkatkan ACC (1-aminocyclopropane-1-carboxylic acid) akar, etilen akar, glukosa akar, lingkar leher akar, bobot kering bintil, aktivitas nitrogenase, serapan hara daun, bobot kering tanaman, dan bobot

kering biji. Pada budidaya jenuh air kandungan ACC akar lebih tinggi pada umur 5, 7, dan 8 MST dan kandungan etilen lebih tinggi pada umur 6 MST (Ghulamahdi, 1999).

Kondisi jenuh air dapat meningkatkan jumlah bintil akar tanaman. Jika kondisi tanah jenuh air terjadi pada saat tanaman berumur 15-30 hari setelah tanam (HST) maka pertumbuhan tertekan dan hasil menurun 15-25% dibanding tanpa kondisi jenuh air (Adisarwanto, 2001).

Budidaya jenuh air dapat meningkatkan panjang akar, bobot kering bintil akar, luas daun, laju transpirasi, lebar bukaan stomata daun, kandungan air nisbi daun, laju asimilasi bersih, dan laju pertumbuhan nisbi tanaman. Pada budidaya jenuh air bobot kering total tanaman, jumlah polong isi, hasil biji, indeks panen, dan efisiensi penggunaan air lebih tinggi pada varietas berumur sedang dibanding varietas berumur genjah. Peningkatan hasil biji kedelai dengan penerapan teknologi budidaya jenuh air atau budidaya basah berkisar antara 85-229% (Purwaningrahayuet al., 2004).

Pemberian jumlah air berpengaruh nyata pada pertumbuhan tanaman kedelai. Secara umum pemberian jumlah air semakin sedikit menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman kedelai. Batang tanaman memendek, daun menyempit, dan semakin sedikit, bobot kering tajuk semakin rendah, dan jumlah polong semakin sedikit pada pemberian air yang makin sedikit (Zenet al., 1993).

Bobot kering bintil akar pertanaman pada budidaya jenuh air di media dengan tinggi muka air 15, 10, dan 5 cm lebih tinggi daripada di media kontrol. Bobot kering bintil akar tertinggi diperoleh dari tanaman di media dengan tinggi muka air 15 cm tanpa dipupuk nitrogen, sedangkan bobot biji per tanaman tertinggi diperoleh dari tanaman yang ditumbuhkan di media dengan tinggi muka air 15 cm dan dipupuk nitrogen (Suwartoet al., 1994).

Menurut Savitri et al. (2002) berdasarkan ukuran biji yang berhubungan dengan daya toleransi varietas terhadap kondisi budidaya basah atau penjenuhan, bahwa kedelai berukuran biji besar lebih toleran terhadap penjenuhan dibandingkan dengan kedelai berukuran biji sedang dan berukuran biji kecil.

Lahan Pasang Surut

Lahan pasang surut adalah lahan yang terbentuk dari endapan marin dan fluviomarin dan dicirikan oleh adanya lapisan tanah yang mengandung pirit. Lapisan tanah ini kemudian dijadikan dasar dalam pengelompokkan lahan. Lahan sulfat masam bersulfida dangkal memiliki kedalaman lapisan pirit < 50 cm, sehingga tidak sesuai untuk tanaman palawija, sedangkan lahan sulfat masam bersulfida dalam memiliki kedalaman lapisan pirit > 50 cm, sehingga relatif aman dan sesuai untuk budidaya kedelai (Rachmanet al., 1985).

Menurut Humairil dan Khairullah (2000) luas lahan pasang surut di Indonesia mencapai 20.15 juta hektar. Dari luas tersebut 9.45 juta hektar sesuai untuk kegiatan pertanian dan baru sekitar 3.59 juta hektar yang dimanfaatkan, sedangkan Sabran et al. (2000) menyatakan bahwa sekitar 5.6 juta hektar lahan pasang surut sesuai untuk kegiatan pertanian dan dari luasan tersebut 2.6 juta hektar berpotensi untuk pengembangan dalam skala besar.

Lahan pasang surut memiliki reaksi tanah yang masam sebagai hasil dari proses oksidasi lapisan sulfida (pirit). Budidaya kedelai di lahan pasang surut yang masam akan menghadapi kemungkinan keracunan Al, kahat hara N, P, dan K serta drainase yang buruk. Alumunium berasal dari degradasi mineral liat yang hancur akibat kemasaman tanah yang tinggi. Walaupun kadar bahan organik cukup tinggi, N tersedia pada umumnya rendah karena proses mineralisasi bahan organik terhambat akibat tanah masam dan lembab. Unsur hara P tidak tersedia karena diikat oleh Al dan Fe membentuk senyawa komplek yang mengendap. Sedangkan ketersediaan hara K rendah karena mengalami pencucian setelah terdesak dari komplek jerapan. Drainase buruk diakibatkan oleh permukaan air tanah yang dangkal, sehingga diperlukan saluran drainase yang lebih intensif (Rachmanet al., 1985).

Di lahan pasang surut pada kondisi kering biasanya akan terjadi proses oksidasi lapisan pirit yang menyebabkan tanah menjadi masam, kelarutan unsur beracun (Al, Fe, dan Mn) meningkat dan miskin hara. Kondisi tersebut dapat menghambat pertumbuhan tanaman, produksi menjadi rendah, dan tidak menguntungkan bagi petani. Akibatnya petani tidak lagi mengusahakan lahan

tersebut dan dibiarkan menjadi lahan tidur. Jika air tersedia cukup, maka petak sawah akan digenangi air dan dapat menghambat oksidasi lapisan pirit. Selain itu, gerakan air pasang surut dan besarnya curah hujan akan mempercepat proses pencucian unsur beracun sepperti Al, Fe, Zn, dan Mn dari petakan sawah. Oleh karena itu, pengelolaan air menjadi faktor kunci keberhasilan pertumbuhan dan produksi tanaman (Alwi dan Nazemi, 2003).

Menurut Sabran et al. (2000) kedelai pada umumnya diusahakan di lahan pasang surut tipe C (tidak terluapi oleh pasang besar) dengan pola tanam padi-kedelai atau padi-kedelai palawija lain. Petani transmigrasi memperkenalkan sistem surjan yang memungkinkan untuk mengusahakan kedelai pada lahan pasang surut tipe B (terluapi oleh pasang besar).

Kendala usahatani kedelai di lahan pasang surut adalah genangan air. Tanaman kedelai pada umumnya tidak toleran tanah tergenang. Genagan air yang berkepanjangan akan mengurangi ketersediaan oksigen di lapisan perakaran. Respirasi akar akan terganggu, yang dalam jangka panjang dapat mematikan tanaman. Selain itu, genangan yang terjadi setelah biji ditanam menghambat difusi oksigen sehingga respirasi biji terganggu. Karena itu, kedelai tidak bisa ditanam di lahan pasang surut yang tegenang (Sabranet al., 2000).

Jangkauan air pasang masuk ke lahan pertanian di lahan pasang surut berbeda-beda sesuai dengan tipe luapan air di lahan tersebut. Perbedaan tersebut menyebabkan perlunya penyesuaian antara tipe luapan dengan pola tanam. Setiap tipe luapan air membutuhkan sistem pengelolaan air yang spesifik. Sistem pengelolaan air di setiap tipe luapan air tersebut dapat menyebabkan perubahan sifat kimia tanah. Perubahan tersebut berbeda antara satu sistem pengelolaan air dengan sistem yang lain. Oleh karena itu, perlu dipelajari dan didapatkan sistem pengelolaan air spesifik yang mampu meningkatkan kualitas dan produktivitas lahan berdasarkan dinamika sifat kimia tanah (Alwi dan Nazemi, 2003).

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T. 2001. Bertanam kedelai di tanah jenuh air. Buletin Palawija. 1:24-32.

, dan Suhartina. 2001. Tanggap beberapa varietas kedelai terhadap kondisi tanah jenuh air. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 20(1):88-94.

Alwi, M. dan D. Nazemi. 2003. Pengaruh dimensi saluran kemalir terhadap perubahab sifat kimia tanah dan pertumbuhan kedelai di tanah sulfat masam. Bul. Agron. 31(3):107-111.

Avivi, S. 1995. Efisiensi Serapan N-Urea dan Proporsi Fiksasi N Setelah Perlakuan Pemetikan Kotiledon Pada Budidaya Basah Kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Tesis Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83 hal.

Biro Pusat Statistik. 2010. Luas Lahan, Produksi, dan Produktivitas Kedelai. http://www.bps.go.id. [17 Maret 2009].

Djayusman, M., Suastika. I.W., dan Soelaeman, Y. 2001. Refleksi pengalaman dalam pengembangan sistem usaha pertanian di lahan pasang surut. Seminar Hasil Penelitian Pengembangan Sistem Usaha Pertanian Lahan Pasang Surut Sumatera Selatan. Badan Penelitian dan Penembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah Agroklimat. Bogor, Juni 2001.

Gasperz, V. 1992. Teknik Analisis dalam Penelitian Percobaan. Vol 2. Tarsito. Bandung.

Ghulamahdi, M. 1990. Pengaruh Pemupukan Fosfor dan Varietas Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Budidaya Jenuh Air. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 97 hal.

, dan S.A. Aziz. 1992. Pengaruh pupuk N dan Zn terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai pada budidaya jenuh air. Bul. Agron. 21(1):37-45.

. 1999. Perubahan Fisiologi Tanaman Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) pada Budidaya Tadah Hujan dan Jenuh Air. Disertasi. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 124 hal. , S.A. Aziz., M. Melati., N. Dewi dan S.A. Rais. 2006. Pengaruh

kedelai panen muda pada budidaya jenuh air. Bul. Agron. 34(1):32-38.

. 2009. Lahan pasang surut untuk budidaya kedelai. http://www.bangkittani.com. [15 November 2009].

Gomez, K.A and A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian Pertanian. Terjemahan dari: Statistical Procedures for Agricultural Research. Penerjemah: E. Sjamsudin dan Baharsjah. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. 698 hal.

Humairil, R dan I. Khairullah. 2000. Potensi galur-galur padi rawa pasang surut menunjang ketahanan pangan. Bul. Agron. 28(3):73-76.

Hunter, M.N., P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1980. Response of nine soybean lines to soil moisture conditions close to saturation. Austral J. Exp. Agric. Anim. Husb. 20:339-345.

Indradewa, D., S. Sastrowinoto., dan S. Notohadisuwarno. 2002. Lebar bedengan untuk genangan dalam parit pada tanaman kedelai. Bul. Agron. 30(3):82-86.

, S. Sastrowinoto, S. Notohadisuwarno dan H. Prabowo. 2004. Metabolisme nitrogen pada tanaman kedelai yang mendapat genangan dalam parit. Ilmu Pertanian. 11(2):68-75.

Irwan, A.W. 2006. Budidaya Tanaman Kedelai (Glycine max(I.) Merrill). Jurusan Budidaya Pertanian Faperta. Unpad. Jatinangor. 40 hal.

Manwan, I., Sumarno, A.S. Karama, A.M. Fagi. 1990. Teknologi Peningkatan Produksi Kedelai di Indonesia. Puslitbangtan. Bogor. 49 hal. Mulatsih, S., W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie, dan K. Idris. 2000. Pengaruh waktu

dan cara pemberian N sebagai pupuk tambahan terhadap pertumbuhan dan hasil kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Bul. Agron. 28(1):9-14.

Nathanson, K., R.L. Lawn, P.L.M. De Jabrun, and D.E. Byth. 1984. Growth nodulation and nitrogen accumulation by soybean in saturated soil culture. Field Crop Res. 8:73-92.

Purwaningrahayu, R.D., D. Indradewa, dan B.H. Sunarminto. 2004. Peningkatan hasil beberapa varietas kedelai dengan penerapan teknologi basah. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23(1):49-58.

Rachman. A., I.G.M. Subiksa, dan Wahyunto. 1985. Perluasan areal tanaman kedelai ke lahan suboptimal. hal. 185-204. Dalam Sumarno.

Suyamto, A. Widjono, Hermanto dan H. Kasim (Eds). Teknik Produksi dan Pengembangan Kedelai. Balittan. Bogor.

Raka, I.G.N., W.Q. Mugnisjah, J. Wiroatmodjo, dan K. Idris. 1995. Hasil dan mutu benih kedelai (Glycine max (L.) Merr.) dengan budidaya basah. Bul. Agron. 28(1):9-14.

Sabran, M., E. William, dan M. Saleh. 2000. Pengujian galur kedelai di lahan pasang surut. Bul. Agron. 28(2):41-48.

Savitri, E.S., T. Adisarwanto, Syekhfani dan Syamsulbahri. 2002. Respon Varietas Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) Pada Perbedaan Kondisi Lengas Tanah. http://www.balitkabi.litbang.deptan.go.id. [17 Maret 2009].

Silitonga, C., B. Santoso, dan N. Indiarto. 1996. Peranan kedelai dalam perekonomian nasional. hal. 33-34.DalamB. Amang, M.H. Sawit, dan A. Rachman (Eds). Ekonomi Kedelai. IPB Press. Bogor. Soemartono, Nasrullah, dan H. Hartiko. 1992. Genetika Kuantitatif dan

Bioteknologi Tanaman. PAU-Bioteknologi Universitas Gajah Mada. Yogyakarta

Soertojo, I. 1993. Tanggap Kedelai Budidaya Basah Terhadap Herbisida dan Pemupukan Lewat Daun. Tesis. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 174 hal.

Subagyo, H. 1997. Potensi Pengembangan dan Tata Ruang Lahan Rawa untuk Pertanian. Prossiding Simposium Nasional dan Kongres VI PERAGI. Jakarta. h.17-55.

Sumarno. 1986. Response of soybean (Glycine max Merr.) genotype to continous saturated culture. Indon. J. Crop Sci. 2(2):71-78.

Suriadikarta, D.A. 2005. Pengelolaan Lahan Sulfat Masam untuk Usaha Pertanian. Jurnal Litbang Pertanian. 2(4):36-45.

Suwarto, W.Q. Mugnisjah, D. Sopandie, dan A.K. Makarim. 1994. Pengaruh pupuk nitrogen dan tinggi muka air tanah terhadap pertumbuhan bintil akar. pertumbuhan dan produksi kedelai (Glycine max (L.) Merr.). Bul. Agron. 22(2):1-15.

Widjaja-Adhi, I.P.G., K. Nugroho, D.A. Suriadikarta, dan A.S. Karama. 1992. Sumberdaya Lahan Rawa: Potensi. Keterbatasan dan Pemanfaatan.

Dalam S. Partohardjono dan M. Syam (Ed.). Risalah Pertemuan Nasional Pengembangan Pertanian di Lahan Pasang Surut dan Lebak. Cisarua. 3-4 Maret 1992. Balittan. Bogor.

, N.P. Sri Ratmini, dan I.W. Swastika. 1997. Pengelolaan tanah dan air di lahan pasang surut. hal. 1-22. Dalam Sunihardi dan D. Suhendar (Ed.). Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu. Badan Litbang Pertanian. Puslibangtan. Bogor.

Wiroatmodjo, J. dan E. Sulistyono. 1990. Perbaikan budidaya basah kedelai. Bul. Agron. 21(1):27-34.

Zen, L., M. Kamal, M.S. Hadi, dan E. Pramono. 1990. Tanggapan beberapa varietas Kedelai (Glycine max(L.) Merr.) Bul. Agron. (12):56-61.

Lampiran 1. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Sebelum dan Saat Panen Peubah P Value Tinggi Muka Air Lebar Bedengan Interaksi Tinggi Tanaman: 2 MST 0.0408* 0.0294* 0.0020* 4 MST 0.2131tn 0.0202* 0.0193* 6 MST 0.0711tn 0.4412tn 0.0500* 8 MST 0.0049* 0.6960tn 0.0061* 10 MST 0.0080* 0.5176tn 0.0041* 12 MST 0.0081* 0.5187tn 0.0041* Jumlah Daun: 2 MST 0.1009tn 0.2557tn 0.0474* 4 MST 0.0527tn 0.2451tn 0.0515tn 6 MST 0.1172tn 0.0136* 0.0371* 8 MST 0.2612tn 0.5315tn 0.6121tn 10 MST 0.3899tn 0.9411tn 0.9140tn

Jumlah Cabang saat panen 0.0268* 0.0377* 0.0398*

Bobot Kering Daun (g) 0.0199* 0.0030* 0.0227*

Bobot Kering Batang (g) 0.0202* 0.0332* 0.0090*

Bobot Kering Akar (g) 0.0205* 0.0093* 0.0131*

Bobot Kering Bintil (g) 0.0005* 0.0001* 0.0001*

Produksi Biji (t/ha) 0.0001* 0.0001* 0.0001*

Buku Produktif 0.0393* 0.0092* 0.0500*

Buku tidak Produktif 0.0363* 0.0398* 0.0127*

Jumlah Polong Isi 0.0001* 0.0001* 0.0001*

Jumlah Polong Hampa 0.8825tn 0.6220tn 0.4916tn

Bobot 100 Biji (g) 0.3329tn 0.0421* 0.0339*

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%

tn

Lampiran 2. Rekapitulasi Analisis Sidik Ragam Data Analisis Hara N, P, K, Fe dan Mn Daun pada Umur 6 MST

P Value

Peubah Tinggi Muka Air Lebar Bedengan Interaksi

Kandungan Hara (g/100g) N 0.2277tn 0.0001* 0.6633tn P 0.0411* 0.8891tn 0.1672tn K 0.3164tn 0.1972tn 0.8220tn Fe 0.0060* 0.0001* 0.1672tn Mn 0.9603tn 0.0040* 0.9290tn

Serapan Hara (mg/tanaman)

N 0.0245* 0.9166tn 0.1713tn

P 0.0082* 0.0971tn 0.0357*

K 0.0462* 0.7338tn 0.1947tn

Fe 0.0191* 0.6306tn 0.1597tn

Mn 0.0397* 0.7847tn 0.1950tn

Keterangan : * berpengaruh nyata pada taraf 5%

tn

Lampiran 3. Deskripsi Varietas Tanggamus

Nomor asal : K3911-66

Asal

: Persilangan tunggal (singlecross) kerinci x No. 3911

Warna hipokotil : Ungu

Warna epikotil : Hijau

Warna daun Warna biji : Kuning Warna kulit polong masak : Coklat

Warna bulu : Coklat

Tipe pertumbuhan : Determinate

Tinggi tanaman : 67 cm

Umur mulai berbunga : 35 hari Umur polong masak : 88 hari

Kerebahan : Tahan

Bobot 100 biji : 11 g

Kandungan protein : 44%

Kandungan lemak : 12.90%

Rata-rata hasil : 1.7 ton/ha

Ketahanan penyakit : Toleran penyakit karat Keterangan : Wilayah adftasi lahan masam Pemulia

: Darman M. Arsyad, M. Muchlish Adie, Heru. Kuswantoro dan Purwantoro

Tahun dilepas : 2001

Lampiran 4. Koefisien Korelasi Pearson antara Peubah Kedelai yang Diamati

Peubah TT JD JC BKD BKB BKA BKBI JBP JBTP JPI JPH Prod

JD 0.9070* JC 0.7926* 0.6871* BKD 0.7568* 0.8255* 0.7478* BKB 0.4241tn 0.6321* 0.3968tn 0.7196* BKA -0.2560tn -0.3689tn -0.3161tn -0.6414* -0.5975* BKBI 0.3135tn 0.4545tn 0.4734tn 0.6475* 0.4872tn -0.2610tn JBP -0.0211tn 0.2477tn -0.0079tn 0.3173tn -0.2201tn 0.2720tn -0.2368tn JBTP 0.3781tn 0.5103tn 0.5522tn 0.7013* 0.5239tn 0.3694tn 0.9704* -0.3334tn JPI 0.4366tn 0.4602tn 0.6674* 0.6946* 0.3324tn -0.4238tn 0.7961* -0.0417tn 0.7656* JPH 0.5584tn 0.6326* 0.5452tn 0.6814* 0.6624* -0.7961* 0.2375tn -0.0202tn 0.3720tn 0.3422tn Prod 0.1629tn 0.1855tn 0.0893tn 0.0462tn 0.0833tn -0.1442tn 0.0156tn 0.5119tn -0.0343tn 0.2039tn 0.2696tn B100 0.1766tn 0.3318tn -0.0645tn 0.2676tn 0.3777tn -0.3448tn 0.4653tn 0.0737tn 0.4331tn 0.2868tn 0.2314tn 0.5862* Keterangan: TT=Tinggi tanaman. JD=Jumlah daun. JC=Jumlah cabang. BKD=Bobot kering daun. BKB=Bobot kering batang. BKBI=Bobot kering bintil.

JBP=Jumlah buku produktif. JBTP=Jumlah buku tidak produktif. JPI=Jumlah polong isi. JPH=Jumlah polong hampa. Prod=Produksi biji. B100=Bobot 100 biji. *=berbeda nyata pada taraf 5%. tn=tidak berbeda nyata pada taraf 5%

Lampiran 5. Data Curah Hujan Daerah Penelitian (mm)

Tgl Curah Hujan (mm)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

1 - 17.2 - 0.7 26.5 3 0 0.8 2 15.1 30 48.1 2.3 0 0 7.5 0 37.7 3 - 18.8 4.8 37.2 0 57.6 2.2 15.5 4 3 10.6 30.8 17.8 73.7 3 0 0.7 27.2 5 14.6 6.9 0.5 33.1 61 0 0 0 54.1 6 10.2 - TTU 14 0.5 0 10 TTU 7 27.5 7.5 22.7 42.8 0 63.9 16.7 0 41.2 8 4 28.1 19.4 0 0 4.6 0 0.2 9 3.5 0.8 - 65.7 13.3 5.5 0 0 TTU 10 - 13.5 34.1 0 0 0 0 11 3 16.8 - 26.8 2.3 0 0 0.5 3.2 12 10.4 11.2 - 9.3 0 0 9 13 - 22 0.5 11.1 0 18.6 2.2 TTU 14 29.1 1.7 - 38.2 0 0 0 13.9 15 - 0.5 68.4 5.8 15 18.1 0 7.8 82.8 16 0.8 1.3 2.6 TTU 0.3 1.2 0.9 2.8 17 2.2 17.5 - 26.6 0 0 0 7.3 4.1 18 14.9 1 - TTU 0 0 0 34 19 0.3 1.5 TTU 12.6 58.9 0 0 0 10.3 20 - 7.9 10.7 TTU 0 0 0 0.2 10.6 21 TTU TTU 1.1 16.4 0 0 5.7 0 61.1 22 1.5 - 3.7 6 0.2 0 0 2.2 23 10.7 26 TTU 8.3 6 16.4 0 0 18.3 24 -S 14.3 90 0 10.5 0 0 5.6 25 TTU - TTU 0 3 0.1 0 61.8 26 1 1 6.4 0 0 113.8 19.5 27 3.3 13.5 1.6 TTU 2.5 0 0.1 0.3 6.4 28 44 13.9 0.8 12.2 0 0 0 2 29 0.2 133 TTU 16.6 0 0 0 30 6.1 - 0 7 11.8 0 2.5 31 19.5 21.5 29.2 0.1 0 Rerata 9.78 11.81 26.62 25.66 10.71 7.11 5.97 3.99 22.74 Max 44 30 133 65.7 73.7 63.9 113.8 34 82.8 Min 0.2 0.5 0.5 2.3 0 0 0 0 0.2

Lampiran 6. Data Penyinaran Matahari Daerah Penelitian (%)

Tagl Penyinaran Matahari (%)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

1 73 38 73 69 89 49 25 10 64 2 19 50 54 78 81 58 6 14 25 3 8 11 40 35 91 50 38 54 80 4 89 58 71 61 65 45 20 70 84 5 0 6 40 0 68 89 6 60 0 6 81 78 59 13 76 61 71 39 75 7 50 38 89 36 84 53 76 68 31 8 4 19 70 56 84 12 20 21 56 9 34 89 60 75 56 26 80 63 0 10 75 44 6 20 35 60 71 63 41 11 75 100 59 70 74 95 58 54 45 12 44 75 100 45 80 56 53 49 93 13 6 29 50 54 8 76 75 66 93 14 76 74 43 98 69 69 71 58 88 15 65 55 60 96 36 45 55 63 18 16 82 11 94 10 88 0 36 55 38 17 72 85 56 75 7 65 19 44 69 18 51 11 69 30 73 59 23 45 95 19 6 65 74 90 41 38 40 50 73 20 26 19 78 73 1 80 89 14 35 21 40 85 3 94 76 90 44 15 38 22 74 51 100 54 75 58 71 94 88 23 0 60 63 78 80 16 100 88 71 24 53 0 59 13 59 6 78 84 28 25 5 36 8 43 56 15 18 83 15 26 56 74 78 88 0 89 33 38 63 27 36 46 100 65 0 33 9 85 34 28 31 95 0 63 0 94 53 78 0 29 88 89 86 0 54 71 56 64 30 6 9 88 0 68 38 76 54 31 10 66 0 81 76 Rerata 44.16 51.51 58.46 58.53 50.06 53.63 49.29 55.90 51.93 Max 89 100 100 98 91 95 100 94 95 Min 0 0 0 0 0 6 10 0

Lampiran 7. Data Suhu Udara (oC) Daerah Penelitian

Tgl Suhu Rata- Rata (

o

C)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

1 26.6 25.8 26.7 26.5 28.5 25.8 25.5 26 27.1 2 27.8 26.6 27.5 27.9 29.1 27.6 26.4 26.3 26.8 3 26.6 25.7 28.3 27.7 28.5 27.3 26.4 25.5 27.4 4 28.4 26.9 26.9 26.9 27.2 26.4 26.2 26.1 26.7 5 26.8 25.1 26.9 27 27.9 27 27.3 27.2 24.8 6 27.4 27.3 27.5 26.7 28.2 27 28.6 27.5 25.8 7 26.6 27.8 27.3 27 28.5 26.6 27.6 26.5 27 8 24.5 25.9 27 27 28.9 25.8 24.8 26.8 26.4 9 25.6 27.8 28 28 28.7 28.4 27.5 27.1 25.8 10 31.6 26.2 26.1 27.6 27.7 26.7 28 27.6 26.4 11 27.2 26.9 26.6 28.3 28.8 28.8 26.6 28.1 26.9 12 25.8 27.9 28.6 27.5 28.1 28 26.6 27.5 27.4 13 25.8 25.4 27.3 27.9 27.1 27.9 27.3 28 27.6 14 25.3 27.4 26.8 28 28 28.5 26.2 26.6 27.6 15 26.1 27.5 25.6 28.1 28.2 26.8 27.3 25.3 24.5 16 26.5 27.3 27 26.3 28.8 25.4 26.2 27 26.7 17 27.1 27.1 26.6 29.1 27.7 26.7 26.5 26 27 18 26.9 25.8 28 26.7 29.6 27.1 26.6 25.7 27.7 19 26.1 27.3 27.3 28.2 27.8 26.3 26.6 26.6 26.9 20 27.1 26.5 27.1 28.1 27.5 27.9 27.4 27.1 26.8 21 26.5 27.1 26.1 29.3 28.5 28.1 27.4 26.1 25.5 22 27 26.8 28.7 27.9 28.5 28.2 27.3 28.2 25.7 23 25.8 27.3 27.2 29.4 28.1 26.5 27.5 28.1 26 24 26.3 26 28.5 27.5 28.6 25.2 28 28.8 26.1 25 26.8 27 26.5 28.5 27.7 25.7 26 28.7 25.5 26 26.9 28 28.5 29.2 27.6 27.3 25.2 26.1 26.5 27 26.3 27.4 27.9 28 26.6 26.4 26.4 27 25.9 28 25.8 28.3 26.9 28.7 27.7 27 28.1 27.2 26.1 29 27 27.2 28.8 27.1 28 26.9 26.8 28.1 30 26.5 26.6 28.8 27.3 27.3 25.7 27.2 27.1 31 25.4 27.3 28.4 27.2 27.1 Rerata 26.69 26.86 27.24 27.88 28.08 27.05 26.80 26.95 26.52 Max 31.6 28.3 28.7 29.4 29.6 28.8 28.6 28.8 28.1 Min 24.5 25.1 25.6 26.3 26.6 25.2 24.8 25.3 24.5

Lampiran 8. Data Lembab Nisbi Daerah Penelitian (%)

Tgl Lembab Nisbi Rata- Rata (%)

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agt Sep

1 83 87 86 84 84 89 94 86 82 2 86 86 88 81 81 83 88 85 89 3 87 90 84 85 83 87 83 89 81 4 78 88 87 85 87 91 86 87 83 5 94 91 86 88 86 87 85 84 94 6 84 82 88 84 86 89 78 85 87 7 88 84 85 92 83 86 85 80 85 8 92 91 92 86 78 88 91 86 86 9 91 83 84 82 85 83 80 81 88 10 82 88 89 86 81 81 83 79 84 11 83 87 79 84 82 76 86 83 84 12 88 82 75 84 86 84 85 82 74 13 84 94 86 83 90 82 87 84 79 14 86 85 87 82 85 82 85 87 81 15 84 87 94 81 84 89 84 91 94 16 84 87 85 89 83 92 89 82 83 17 81 86 85 77 88 84 87 91 81 18 86 92 81 88 81 81 86 91 80 19 88 82 85 81 88 85 85 83 87 20 88 90 86 83 91 81 78 88 89 21 88 86 89 80 78 81 86 85 92 22 80 88 77 85 77 80 84 77 84 23 91 88 82 81 82 89 78 77 87 24 89 96 81 83 81 89 77 77 86 25 89 86 90 84 85 89 87 78 92 26 85 83 80 78 83 84 90 84 86 27 88 88 82 80 87 88 82 84 92 28 92 80 87 80 84 84 77 78 87 29 85 87 81 89 81 83 83 80 30 89 85 81 87 86 92 82 85 31 96 86 85 81 81 Rerata 86.43 87.03 85.06 83.26 84.19 85.03 84.58 83.55 85.4 Max 96 96 94 92 91 92 94 91 94 Min 78 80 75 77 77 76 77 77 74

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Percobaan dilakukan di Desa Banyu Urip, Kecamatan Tanjung Lago, Kabupaten Banyuasin, Propinsi Sumatera Selatan, dari bulan April sampai Agustus 2010.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah benih kedelai varietas Tanggamus, Dolomit. inokulan Rhizobium sp, dan insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53%. Pupuk yang digunakan adalah pupuk kandang, pupuk daun N, SP36, dan KCl. Peralatan yang dibutuhkan adalah peralatan tanam, ajir, alat ukur, gelas ukur, pengaduk, dan timbangan.

Metode Penelitian

Menggunakan Rancangan Petak Terpisah dengan 3 ulangan. Sebagai petak utama adalah tinggi muka air yang terdiri atas 10 dan 20 cm di bawah permukaan tanah (DPT). Sebagai anak petak adalah lebar bedengan yang terdiri atas lebar bedengan 2, 4, 6, dan 8 m. Tiap anak petak diulang 3 kali dalam setiap petak utama, sehingga terdapat 24 unit satuan percobaan. Tiap petak diambil 10 tanaman contoh, sehingga terdapat 240 tanaman contoh yang diamati pada seluruh petak.

Model linier untuk mengujinya adalah : Yijk = µ +δi +αj + εij +βk +(αβ)jk +Єijk Dimana:

i : Ulangan/kelompok (1, 2, 3) j : Tinggi muka air (1, 2) k : Lebar bedengan (1, 2, 3, 4)

Yijk : Nilai hasil pengamatan pengaruh tinggi muka air ke-j. lebar bedengan ke-k dan ulangan ke-i.

δi : Pengaruh ulangan/kelompok ke- i αj : Pengaruh tinggi muka air ke-j

εij : Pengaruh galat yang muncul pada tinggi muka air ke-j dan ulangan ke-i βk : Pengaruh lebar bedengan ke-k

(αβ)jk : Nilai interaksi antara faktor tinggi muka air taraf ke-j dan lebar bedengan taraf ke-k.

Єijk : Pengaruh galat tinggi muka air ke-j dan lebar bedengan ke-k pada ulangan ke-i

Data yang diperoleh dianalisis sidik ragam, bila beda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1995).

V V V V V V V V V V V V

Gambar 1. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 20 cm

V V V V V V V V V V V V

Gambar 2. Ukuran Saluran dan Pengukuran Kedalaman Muka Air 10 cm 30 cm 10 cm 25 15 cm 20 cm 25 30 cm 5 cm

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan lahan dilakukan dengan cara membuat bedengan anak petak berukuran 2 m x 5 m, 4 m x 5 m, 6 m x 5 m, dan 8 m x 5 m sehingga petak utama akan berukuran 5 m x 20 m. Setiap petak utama dikelilingi saluran air yang berukuran lebar 30 cm dengan dalam 25 cm. Dengan demikan kondisi petakan selalu basah pada saat air irigasi diberikan. Air irigasi diberikan sejak tanam dengan ketinggian muka air sesuai perlakuan.

Keterangan: Saluran air (lebar 30 cm dengan dalam 25 cm) : Aliran air

: Anak petak (Lebar bedengan 2 , 4, 6 dan 8 m) : Pematang / Jalan

: Pintu air

Gambar 3. Skema Pengaturan Air

Kedelai dipupuk sebanyak 2 ton kapur/ha, 2 ton pupuk kandang/ha, 200 kg SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha serta diberi inokulan Rhizobium sp 5 g/kg benih, Kapur Dolomit, pupuk kandang, SP36, dan KCl akan dicampur dan diinkubasikan selama 1 minggu. Pada saat tanam benih diberi insektisida berbahan aktif Karbosulfan 25.53% sebanyak 15 g/kg benih untuk mengatasi lalat bibit.

Benih varietas Tanggamus ditanam dangkal, 1-2 cm menggunakan jarak tanam 20 cm x 25 cm, 3 biji per lubang. Penyulaman dilakukan pada umur 5 hari setelah tanam (HST). Pada umur 2 minggu setelah tanam (MST) dilakukan penjarangan menjadi 2 tanaman/lubang (populasi tanaman 400 000 tanaman/ha). Penjarangan dilakukan bertujuan untuk menghindari kompetisi antar tanaman dalam mendapatkan unsur hara dan radiasi matahari. Kedelai pada saat umur 3, 4, 5, dan 6 minggu diberi pupuk daun N dengan konsentrasi 7.5 g Urea/l air menggunakan volume semprot 400 l air/ha.

Gambar 4. Petak Percobaan Sebelum Dibentuk

Pemeliharaan

Pengendalian gulma dilakukan secara manual pada saat 4 MST karena pertumbuhan gulma telah mengganggu pertanaman. Pengendalian hama dilakukan dengan menggunakan pestisida berbahan aktif Cypermethrin 113 g/l pada saat 4 MST karena serangannya dianggap telah mengganggu pertumbuhan tanaman atau telah mencapai ambang ekonomi yang dapat menurunkan produksi. Pengendalian hama dilakukan pada malam hari, karena hama terutama ulat Grayak (Spodoptera lituraFabricus) aktif pada malam hari. Dengan pengendalian

Dokumen terkait