• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

9 Lembaga Wisata Teupin Layeu √ Masyarakat

10 Coral Oasis Foundation LSM

12 Rubiah Tirta Diver Swasta

13 Scuba Weh √ Swasta

14 Diveshop Iboih √ Swasta

15 Lumba-Lumba DiveshopSwasta

(Pengolahan data primer 2016)

Klasifikasi stakeholder terhadap pengelolaan TWA Laut Pulau Weh dilakukan dengan penjabaran matriks kepentingan dan pengaruh stakeholders dengan menggunakan stakeholders grid dalam microsoft exel. Hasil analisis stakeholders menurut kategori berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh disajikan pada Gambar 11.

Gambar 11 menjelaskan bahwa ada tiga stakeholders dengan kategori key player dengan tingkat kepentingan dan pengaruh yang tinggi dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Stakeholders dengan kategori key player adalah Resort KSDA, BKSDA Provinsi Aceh, dan Lembaga Adat PLL Iboih. Terdapat dua stakeholders yang termasuk ke dalam kategori context setter dengan tingkat kepentingan rendah dan tingkat pengaruh yang tinggi yaitu Coral Oasis Foundation (COF) dan Lembaga Wisata Desa Iboih. Stakeholders yang termasuk ke dalam kategori crow berjumlah sembilan yaitu Lumba-Lumba Diveshop, Diveshop Iboih, Kelurahan Iboih, Rubiah Tirta Diver, Scuba Weh, Dinas Kelautan

33 0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 0 2.5 5 7.5 10 12.5 15 17.5 20 22.5 25 27.5 30 Ke pe ntingan Pengaruh Resort KSDA Panglima Laot BKSDA Dinas pariwisata

Dinas Kelautan dan Perikanan BLH Sabang

Rubiah tirta diver Scuba Weh Diveshop Iboih Lumba-Lumba Diveshop Bappeda COF Kelurahan Iboih Lembaga Wisata

dan Perikanan (DKP) Kota Sabang, Dinas Pariwisata Kota Sabang, Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kota Sabang, dan Bappeda Kota Sabang.

Gambar 11 Klasifikasi stakeholders berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh di TWA Laut Pulau Weh.

Analisis Keberlanjutan Sistem Pengelolaan Kawasan Konservasi TWAL Pulau Weh

Kawasan konservasi TWAL Pulau Weh memberikan manfaat terhadap aspek ekologi, sosial ekonomi budaya, dan pengelolaan. Keberadaan kawasan konservasi TWAL Pulau Weh berdampak positif terhadap masyarakat disekitar kawasan. Banyaknya wisatawan lokal maupun mancanegara yang berwisata di kawasan ini menyebabkan peningkatan pendapatan dan membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat.

TWAL Pulau Weh menjadi salah satu tempat wisata unggulan di Kota Sabang sehingga berpotensi terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Salah satu ancaman terhadap ekosistem yang ada di TWAL Pulau Weh dapat disebabkan oleh limbah domestik baik dari penginapan (wisatawan menginap) disekitaran TWAL Pulau Weh maupun dari wisatawan harian. Selain itu, pembangunan sarana dan prasarana wisata dan pembukaan lahan untuk pembangunan penginapan dapat menimbulkan sedimentasi di TWAL Pulau Weh. Kegiatan pariwisata yang tidak ramah lingkungan memberikan dampak pada kerusakan terumbu karang.

34

Keberlanjutan Dimensi Ekologi

Dimensi ekologi mempunyai lima atribut untuk analisis keberlanjutan. Hasil analisis RAPFISH menunjukan bahwa indeks keberlanjutan untuk dimensi ekologi TWAL Pulau Weh adalah 40.27. Indeks keberlanjutan dimensi ekologi ini dikategorikan kurang berkelanjutan, berada diantara indeks 26.00 – 50.00 (Susilo 2003). Nilai kuadrat korelasi (R2) sebesar 0.935, artinya hasil estimasi proporsi ragam data yang dapat dijelaskan dengan teknik analisis ini terindikasi memadai (>90%). Nilai stress yang dihasilkan sebesar 0.1543 yang menggambar ketepatan (goodness of fit) dalam kategori cukup baik karena kurang dari 0.25. Menurut Hardle dan Simar (2007), nilai stress yang lebih kecil dari 0.20 tidak menunjukan goodness of fit yang tergolong buruk.

Berdasarkan hasil analisis leverage factor dimensi ekologi diperoleh tiga atribut yang keberadaannya berpengaruh sensitif terhadap peningkatan atau penurunan status keberlanjutan. Atribut-Atribut yang sensitif adalah atribut rekrutmen karang dengan root mean square (RMS) 7.40, atribut kelimpahan ikan karang dengan RMS 6.58, dan atribut tingkat resistensi terhadap pemutihan karang dengan RMS 4.28 (Gambar 12). Nilai RMS paling kecil berada pada atribut tingkat pemanfaatan wisata bahari yaitu 3.83 dan persentase tutupan terumbu karang yaitu 3.87. Semakin besar nilai RMS maka semakin besar juga peranan atribut terhadap sensivitas status keberlanjutan.

Atribut rekrutmen karang merupakan atribut yang memiliki tingkat sensivitas yang paling tinggi. Kemampuan rekruimen karang pada suatu sistem terumbu karang sangat penting untuk mempertahankan eksistensi dan keberlanjutan dari populasi secara terus menerus dari kerusakan akibat pengaruh lingkungan maupun antropogenik. Hal ini diperkuat oleh Prasetia (2012) yang menjelaskan bahwa kemampuan rekrutmen karang merupakan kemampuan dari suatu koloni individual atau suatu sistem terumbu karang untuk mempertahankan diri dari dampak lingkungan, menjaga kemampuan pemulihan dan perkembangan. Selanjutnya, atribut kelimpahan ikan karang juga memiliki senstivitas yang tinggi. Kelimpahan ikan karang pada ekosistem terumbu karang mencirikan kondisi dari terumbu karang karena ikan karang akan merespon terhadap perubahan dalam ekosistem terumbu karang, demikian juga sebaliknya, dimana terumbu karang dipengaruhi oleh perkembangan populasi ikan karang.

Atribut terakhir adalah tingkat resistensi terhadap pemutihan karang. Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pemutihan karang, selain dari faktor alam, pemutihan karang juga dapat terjadi akibat dari kegiatan manusia seperti sedimentasi, polusi serta melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan potasium maupun bahan peledak. Namun, di TWA Laut Pulau Weh pernah terjadi peristiwa pemutihan karang massal yang menyebabkan kematian hingga 45% yang disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan laut. Kematian karang akibat pemutihan dipengaruhi oleh komposisi genera karang. Marshall dan Baird (2000) menguatkan penyataan tersebut dan menjelaskan bahwa karang bercabang dan memiliki pertumbuhan yang cepat seperti Acropora, Seriatopora, Stylophora, Millepora dan Pocillopora cenderung memiliki tingkat kematian yang tinggi terhadap pemutihan karang dibandingkan dengan karang kompak dengan pertumbuhan yang lambat seperti Favia, Favites, Goniastrea, Astreopora dan Turbinaria. Muliari et.al (2013) menggambarkan komposisi karang keras di TWA

35 Laut Pulau Weh pada tahun 2009 meliputi Porites 30%, Acropora 26%, Pocillopora 6%, Montipora 6%, Leptastrea 5%, Favites 4%, Favia 3%, Galaxea 2%, Hydnophora 2%, Pavona 1 % dan lain-lain 15 %.

Gambar 12 Hasil analisis leverage factor dimensi ekologi yang berpengaruh di TWA Laut Pulau Weh.

Keberlanjutan Dimensi Sosial Ekonomi dan Budaya

Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan RAPFISH terhadap tujuh atribut yang berpengaruh dalam dimensi sosial ekonomi dan budaya TWA Laut Pulau Weh, menunjukan indeks keberlanjutan sebesar 28.87. Indeks keberlanjutan ini termasuk kategori kurang berkelanjutan (berada dalam selang 26.00 – 50.00). Nilai kuadrat korelasi (R2) sebesar 0.949, artinya hasil estimasi proporsi ragam data yang dapat dijelaskan dengan teknik analisis ini terindikasi memadai (>90 %). Nilai stress yang dihasilkan sebesar 0.1400 yang menggambar ketepatan (goodness of fit) dalam kategori cukup baik karena kurang dari 0.25. Nilai keberlanjutan dimensi sosial ekonomi dan budaya ini menunjukkan kawasan TWA Laut Pulau Weh kurang memberi dukungan terhadap pengembangan sistem pengelolaan kawasan secara berkelanjutan, tentunya dengan meningkatkan upaya pengelolaannya.

Hasil analisis leverage keberlanjutan dimensi sosial ekonomi dan budaya pada TWA Laut Pulau Weh diperlihatkan pada Gambar 13. Dari tujuh atribut yang dianalisis, diperoleh tiga atribut yang paling sensitif terhadap indeks keberlanjutan dimensi ini, yaitu atribut pengetahuan masyarakat terhadap sumber daya dengan root mean square (RMS) 8.89, atribut ketergantungan masyarakat terhadap kawasan dengan nilai RMS 8.00, dan atribut pendapatan masyarakat dengan nilai RMS 7.21.

Masyarakat disekitar kawasan TWA Laut Pulau Weh sangat bergantung terhadap keberadaan ekosistem yang ada di TWA Laut Pulau Weh. Tingginya tingkat ketergantungan masyarakat dapat dilihat dari jenis pekerjaan masyarakat

3.87 7.40 6.58 4.28 3.83 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Persentase tutupan terumbu karang Rekrutmen karang Kelimpahan ikan karang Tingkat Resistensi terhadap pemutihan

karang

Tingkat pemanfaatan wisata bahari

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Att

ribut

e

36

yang sebagian besar bekerja sebagai pelaku wisata. Tingginya ketergantungan masyarakat terhadap ekosistem mengisyaratkan BKSDA memaksimalkan pengelolaan. Atribut pengetahuan masyarakat dan pendapatan masyarakat memiliki sensivitas yang tinggi karena tingkat pengetahuan dan pendapatan masyarakat berpengaruh terhadap pola pemanfaatan ekosistem oleh masyarakat.

Gambar 13 Hasil analisis leverage factor dimensi sosial ekonomi dan budaya yang berpengaruh di TWA Laut Pulau Weh.

Keberlanjutan Dimensi Tata Kelola

Hasil analisis RAPFISH terhadap tujuh atribut yang berpengaruh dalam dimensi tata kelola TWA Laut Pulau Weh menunjukan indeks keberlanjutan dimensi tata kelola adalah sebesar 35.79. Indeks keberlanjutan ini termasuk dalam kategori kurang berkelanjutan (berada dalam selang 26.00 – 50.00). Nilai kuadrat korelasi (R2) sebesar 0.947, artinya hasil estimasi proporsi ragam data yang dapat dijelaskan dengan teknik analisis ini terindikasi memadai (>90 %). Nilai stress yang dihasilkan sebesar 0.1410 yang menggambar ketepatan (goodness of fit) dalam kategori cukup baik karena kurang dari 0.25. Hasil tersebut menunjukan bahwa dimensi tatakelola kurang memberi dukungan terhadap pengembangan sistem pengelolaan kawasan secara berkelanjutan, tentunya upaya untuk meningkatkan pengelolaan harus dilakukan lebih besar lagi.

Hasil analisis leverage factor dimensi tata kelola TWA Laut Pulau Weh (Gambar 14), terlihat bahwa dari tujuh atribut yang mempengaruhi dimensi ini, ada tiga atribut yang sensitif yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan TWA Laut Pulau Weh, yaitu atribut tingkat interaksi antara pengelola dengan stakeholders (RMS= 7.57), ketersediaan dana pengelolaan (RMS=7.46) dan penegakan hukum (RMS= 7.15). 7.21 8.89 8.00 5.86 5.62 6.26 6.57 0 2 4 6 8 10 Pendapatan Masyarakat Pengetahuan Masyarakat terhadap

sumberdaya

Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan

Dukungan masyarakat terhadap pengelolaan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Pemahaman ditingkat Lokal Terhadap aturan

dan sanksi

Kepatuhan masyarakat terhadap aturan

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

At

tribut

e

37 Interaksi BKSDA dengan stakeholders memiliki tingkat sensivitas yang tinggi karena BKSDA tidak bisa memaksimalkan pengelolaan tanpa interaksi dengan stakeholder. Kenyataannya, interaksi yang terjadi antara BKSDA dengan stakeholders masih kurang maksimal. Interaksi diperlukan sebagai upaya untuk menjalin komunikasi dan hubungan terhadap semua stakeholders. BKSDA memiliki dana tetap dalam melakukan kegiatan pengelolaan, namun keterlambatan pencairan dan minimnya dana menyebabkan terkendalanya petugas dalam melakukan kegiatan pengelolaan misalnya patroli. Minimnya dana pengelolaan dapat dimaksimalkan dengan cara berkolaborasi dengan stakeholders dan masyarakat yang ada disekitaran TWA Laut Pulau Weh. Penegakan hukum terhadap pelanggaran juga memiliki tingkat sensivitas yang tinggi dan akan berpengaruh terhadap kondisi ekosistem terumbu karang yang ada di TWA Laut Pulau Weh. Semakin tegas pengelola melakukan penegakan hukum, maka semakin berkurang pelanggaran.

Hubungan Setiap Dimensi dalam Diagram Layang-Layang

Diagram layang-layang dibawah ini (Gambar 15) menunjukan hubungan antara dimensi ekologi, dimensi sosial ekonomi dan budaya dan dimensi tata kelola yang menentukan keberlanjutan pengelolaan kawasan TWA Laut Pulau Weh. Diagram tersebut memperlihatkan bahwa semua dimensi berada dalam kategori berkelanjutan rendah. Oleh sebab itu, badan pengelola TWA Laut Pulau Weh harus meningkatkan kinerjanya dalam kegiatan pengelolaan serta dapat meningkatkan interaksi dan koordinasi dengan stakeholders untuk meningkatkan status keberlanjutan semua dimensi yang mendukung pengelolaan TWA Laut Pulau Weh. Interaksi dan koordinasi pengelola dengan stakeholders menjadi sangat penting karena tanpa koordinasi yang baik, maka akan berjalan sendiri-sendiri dengan hasil yang tidak optimal.

2.28 6.04 7.15 7.57 6.12 7.46 6.20 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Rencana Pengelolaan Pengawasan Kawasan Penegakan Hukum Tingkat Interaksi antara pengelola dengan… Ketersediaan SDM Untuk Pengelolaan TWAL

Ketersediaan Dana Pengelolaan Monitoring Ekologi

Root Mean Square Change in Ordination when Selected Attribute Removed (on Sustainability scale 0 to 100)

Attrib

ute

Leverage of Attributes

Gambar 14 Analisis leverage factor dimensi pengeloaan di TWA Laut Pulau Weh.

38

Kondisi paling ideal untuk masing-masing dimensi dengan mencapai indeks 76 -100, dengan kategori berkelanjutan tinggi. Dalam rangka mencapai kondisi paling ideal tersebut, BKSDA harus meningkat pengelolaan dengan fokus pada semua atribut dalam dimensi ekologi, ekonomi sosisal budaya dan tata kelola.

Gambar 15 Diagram layang-layang indeks keberlanjutan TWA Laut Pulau Weh

Panglima Laot dan Hukom Adat Laot Sejarah Panglima Laot dan Hukom Adat Laot

Panglima Laot merupakan lembaga adat masyarakat nelayan yang terdapat di daerah pesisir Aceh. Panglima Laot adalah sebuah lembaga masyarakat nelayan dan juga sebutan atau gelar yang diberikan kepada seorang tokoh atau orang yang dipercaya sebagai pemimpin dalam suatu kelompok masyarakat nelayan. Awalnya, lembaga ini merupakan salah satu unsur dari struktur pemerintahan yang terdapat dalam kerajaan Aceh pada abat ke-17. Panglima Laot memiliki daerah kekuasaan yang ditentukan oleh Keudjroen, Ulee Balang atau Raja. Menurut beberapa tulisan dari Van Vollenhoven, Panglima Laot sejak zaman dahulu sudah menjadi badan hukum yang resmi dan bagian dari Pemerintah Kesultanan Aceh. Dalam tulisan tersebut disebutkan juga bahwa pada saat itu, sudah ada ketentuan mengenai daerah penangkapan ikan di laut yang kemudian dijadikan sebagai dasar penetapan aturan penangkapan ikan di masing-masing wilayah adat.

Pada masa awal pembentukannya, fungsi Panglima laot adalah sebagai perpanjang tangan sultan untuk melakukan dua hal yaitu memungut pajak dari kapal-kapal dagang di pelabuhan dan memobilisasi rakyat dalam peperangan. Fungsi Panglima Laot terus berkembang, hal ini terlihat dalam pengamatan Snouck Hugronje yang menyebutkan bahwa Panglima Laot lebih berperan sebagai pemimpin adat nelayan yang mangatur seluruh kegiatan nelayan dan kehidupan sosial yang terkait dalam suatu wilayah pesisir.

Pengaturan wilayah kekuasaan Panglima Laot baik di tepi pantai maupun di laut tertuang dalam Adat Laot atau Hukom Adat Laot. Beberapa referensi menyebutkan bahwa Hukum Adat Laot telah ada pada Zaman Sultan Iskandar

40.27 28.87 35.79 0 20 40 60 Dimensi Ekologi

Dimensi Sosial ekonomi dan budaya Dimensi Pengelolaan

39 Muda (1641-1675). Dalam satu tulisan disebutkan pula bahwa pada tahun 1818 telah terdapat undang-undang laut yang berlaku di daerah Malaka. Seperti hukum adat lainnya yang terdapat di Aceh, Hukom Adat Laot di masyarakat nelayan Aceh umumnya memiliki sifat tidak tertulis, langsung dan nyata, bersumber dari kebiasaan hidup yang dipertahankan, memiliki sanksi yang belum tegas dan tidak pasti.

Seiring perkembangan yang terjadi di Provinsi Aceh, Panglima Laot tetap menjadi salah satu lembaga yang dipercaya mengatur kegiatan perikanan dan masyarakat nelayan. Perubahan tidak banyak terjadi dari kondisi di era kolonial, fungsi Panglima Laot pada era modern adalah sebagai pemimpin dalam urusan adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam penangkapan ikan di laut termasuk mengatur tempat atau area penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa.

Pemilihan Panglima Laot saat ini tetap menggunakan cara yang telah diterapkan pada masa kerajaan Aceh. Seorang Panglima Laot ditentukan oleh masyarakat nelayan di suatu lhok melalui musyawarah. Selain itu, musyawarah merupakan suatu mekanisme yang sering dilakukan oleh panglima laot untuk mendapatkan jalan keluar dari suatu permasalahan yang ada di suatu masyarakat nelayan. Dengan demikian, tingkat kepatuhan nelayan terhadap keputusan Panglima Laot sangat tinggi karena selain ditetapkan oleh seorang yang dipercaya sebagai seorang pemimpin, keputusan tersebut merupakan hasil kesepakatan bersama. Fungsi Panglima Laot secara umum meliputi tiga hal utama yaitu menjaga keamanan wilayah laut, mengatur pengelolaan sumber daya laut, dan mengatur pengelolaan lingkungan laut. Dalam menjalankan fungsi-fungsi yang telah disebutkan sebelumnya, Panglima Laot pada umumnya memiliki tiga kewenangan antara lain mengembangkan dan menegakan Adat Laot, mengatur pemanfaatan sumber daya kelautan dan mengatur peradilan Adat Laot.

Pada umumnya Hukom Adat Laot mengatur kegiatan penangkapan ikan dan bagi hasil ikan di suatu lhok. Aturan tersebut merupakan hukum adat yang berlaku bagi setiap nelayan yang melakukan penangkapan di daerah tersebut. Secara garis besar, aturan yang termuat dalam Hukom Adat Laot terdiri dari hari pantang melaut, alat tangkap yang boleh digunakan dan sanksi yang diterapkan dalam pelanggaran Hukom Adat Laot. Hukom Adat Laot juga mengatur perizinan penangkapan ikan yang diberikan oleh Panglima Laot Lhok maupun pihak yang telah mempunyai hak penangkapan ikan di lhok tersebut. Perizinan tersebut dikeluarkan juga melalui musyawaran dengan Pawang Pukat dan Geuchik (kepala desa), agar tidak merugikan pihak lain yang juga memiliki kepentingan di dalamnya.

Perkembangan Panglima Laot juga terjadi pada kelembagaan dalam penyesuaian dengan struktur pemerintah yang secara umum diterapkan dalam pembagian wilayah di Indonesia. Oleh sebab itu, lembaga panglima laot membentuk sebuah struktur yang terdiri dari beberapa tingkatan disesuaikan dengan luasan wilayah kelola. Penataan struktur vertikal Panglima Laot dilakukan melalui musyawarah Panglima Laot se Aceh di Banda Aceh yang berlangsung pada bulan Juni 2002. Hasil yang disepakati dari musyawarah tersebut antara lain, Panglima Laot Lhok atau disingkat Panglima Lhok bertanggung jawab mengatur suatu wilayah lhok dan menyelesaikan perselisihan nelayan di tingkat lhok. Apabila suatu perselisihan melibatkan dua nelayan di dua atau lebih wilayah Panglima Lhok, maka penyelesaian diajukan ke tingkat yang lebih tinggi yaitu

40

Panglima Laot Kabupaten/Kota yang disebut Panglima Laot Chik atau Chik Laot. Selanjutnya, apabila perselisihan melibatkan dua kabupaten atau skala internasional akan menjadi tanggung jawab dari Panglima Laot Provinsi. Akan tetapi, perbedaan pendapat masih terjadi dengan keberadaan dan penetapan struktur Panglima Laot Provinsi, karena sebagian dari Panglima Laot menganggap bahwa struktur tersebut tidak pernah ada dalam aturan adat yang dikenal selama ini, dengan kata lain tidak memiliki latar belakang kultural dan historis (RPJP TWA Pulau Weh tahun 2010-2029)

Melihat peran penting Panglima Laot yang memiliki tugas dan kewenangan dalam melaksanakan Hukom Adat laot serta pengaruh yang besar pada masyarakat nelayan Aceh, maka Pemerintah Aceh telah mengukuhkan Panglima Laot sebagai salah satu lembaga adat yang diakui melalui Qanun No.10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat. Pada Qanun tersebut dijabarkan mengenai kewenangan Panglima Laot secara umum serta tugas dan fungsi dari setiap tingkatan Panglima Laot.

Panglima Laot di Pulau Weh, Kota Sabang

Kawasan pesisir Kota Sabang pada awalnya terdiri atas dua lhok yaitu Lhok Pasiran dan Lhok Balohan. Namun perkembangan masyarakat nelayan yang terus berlangsung merubah pembagian wilayah lhok menjadi sepuluh lhok hingga sekarang tahun 2016. Daerah kelola Panglima Laot disebut sebagai lhok yang juga dapat diartikan sebagai kuala atau teluk dan terdapat tempat untuk mendaratkan kapal nelayan. Di kawasan pesisir Kota Sabang, tiap lhok memiliki batas wilayah yang ditentukan melalui musyawarah atau kesepakatan antara dua Panglima Laot Lhok yang berkepentingan dan Panglima Laot Kota. Batas ini dapat mengikuti batas administrasi kelurahan atau desa maupun ditetapkan berdasarkan tanda atau tempat khusus yang terdapat di alam. Tabel 9 dibawah ini menggambarkan batas- batas lhok yang diakui oleh para Panglima Laot di Kota Sabang.

Tabel 9 Wilayah kewenangan Panglima Laot Lhok di Kota Sabang

No Nama Lhok Batas Lhok

1 Iboih Lhok Paya Keuneukai : Batas kelurahan Paya Keuneukai atau Gua Tgk. Abdullah

Dokumen terkait