• Tidak ada hasil yang ditemukan

Letak, Luas dan Aksesibilitas Tapak

TINJAUAN PUSTAKA

4.10 Aspek Sosial dan Preferensi Pengguna

5.1.1 Letak, Luas dan Aksesibilitas Tapak

BAB V PEMBAHASAN

5.1. Analisis

5.1.1 Letak, Luas dan Aksesibilitas Tapak

Ditinjau dari posisi STPP, letak nursery tanaman hias ini yang kurang strategis jika akan dimanfaatkan sebagai kawasan agrowisata. Faktor utama yang menjadi penyebabnya adalah ketidak-tahuan masyarakat tentang keberadaan STPP di daerah Cibalagung, selain itu tidak adanya papan nama yang memadai sebagai bentuk publikasi bagi STPP. Sesuai dengan PerMen No. 24/2007, suatu kawasan pendidikan harus berada pada kawasan yang terhindar dari bahaya, tidak berada di sekitar jalur kereta api ataupun daerah sempadan sungai. Kondisi lingkungan sekitarnya pun harus dapat mendukung kegiatan pendidikan. Ditinjau dari segi pendidikan sendiri, lokasi STPP dan nursery sangatlah tepat, karena berada di daerah yang relatif tenang, dan mudah dijangkau oleh mahasiswa STPP. Selain itu, letaknya yang berada di belakang kantor administrasi pendidikan STPP dan mushala membuat nursery ini cukup potensial dimanfaatkan juga sebagai taman kantor bagi para staf STPP, sesuai dengan salah satu tujuan yang ingin dicapai.

Nursery seluas 5727 m2 ini tergolong sangat mencukupi untuk kegiatan praktikum lapang bagi mahasiswa, dengan pertimbangan tapak memiliki ukuran yang cukup luas, dan karakteristik lingkungan yang cukup menarik dilihat dari segi topografi maupun kondisi lingkungan. Disisi lain, tapak nursery ini juga potensial jika dikembangkan sebagai kawasan agrowisata dengan pertimbangan luasan lahan yang cukup besar, memiliki komoditas yang menarik untuk dinikmati, memiliki fungsi pendidikan, fungsi budidaya, fungsi rekreasi dan fungsi ekonomi.

Aksesibilitas menuju tapak nursery pada dasarnya kurang memadai untuk dikembangkan sebagai kawasan agrowisata. Pintu utama yang terdapat pada tapak tersebut sudah tidak difungsikan lagi. Pintu masuk yang saat digunakan hanya berupa pintu kecil selebar 1 meter, yang hanya bisa memenuhi kebutuhan ruang

satu orang, yaitu selebar 60 cm, sedangkan untuk jalur pejalan kaki pada tapak sangat tidak mendukung untuk kegiatan agrowisata. Badan jalan yang tersedia hanya selebar 90 cm dengan panjang sekitar 49.1 meter. Jalur sirkulasi ini juga tidak tersedia pada bagian tapak, hanya berada pada titik tertentu. Pada sirkulasi dalam tapak, cukup banyak titik yang menjadi area konflik. Hal tersebut disebabkan karena tidak tersedianya sirkulasi yang jelas pada tapak.

Sebagai tempat praktikum lapang dan tempat wisata, tapak nursery tanaman hias ini memerlukan jalur pejalan kaki yang dapat mengakses seluruh bagian tapak. Jalur tersebut minimal memiliki lebar ± 1.20 meter yang dapat digunakan untuk 2 orang pada tapak. Sesuai dengan standar kebutuhan ruang untuk pedestrian, untuk jalur memuat 2 orang dibutuhkan lebar jalur ± 4’ atau sekitar 1.2 meter (Harris and Danis 1988). Selain itu, pengembalian fungsi pintu masuk utama sangat dibutuhkan, mengingat luasan pintu masuk yang ada saat ini relatif sempit, sedangkan pintu utama yang tersedia memiliki lebar 2 meter yang sangat potensial untuk digunakan, dalam pengembangan kawasan ini sebagai area agrowisata.

5.1.2 Iklim

Secara spasial tapak terbagi atas tiga bagian berdasarkan penutupan yang mempengaruhi suhu mikro, yaitu area tidak ternaungi, area ternaungi vegetasi dan area ternaungi bangunan (Gambar 14). Keberadaan naungan tersebut mempengaruhi kondisi iklim mikro tapak untuk mengukur tingkat kenyamanan. Penutupan bayangan dominan terjadi pada daerah dekat pintu masuk (Gambar 15)

! !

yang cenderung memiliki naungan vegetasi dominan. Kondisi tersebut sangat baik untuk dimanfaatkan sebagai area servis yang nyaman.

Gambar 15. Simulasi Bayangan Tanggal 12 September 2012

Berdasarkan hasil pengukuran suhu dilapang pada 12 September 2012, pukul 09.00-15.00 WIB, diperoleh data suhu dan kelembaban sewaktu dengan perbandingan sebagai berikut (Gambar 16 dan 17).

!

! Gambar 16. Grafik Interval Suhu (T) Area Bernaungan

!

! Gambar 17. Grafik Interval Suhu (T) Area Tanpa Naungan dan Rataan

! !

Suhu yang ideal untuk tingkat kenyamanan manusia menurut Laurie (dalam Alifia, 2010), adalah 10° C – 26.7° C dengan kelembaban udara 40% - 75%. Dengan menggunakan rumus Temperature Humidity Index (THI), dapat diuraikan sebagai berikut:

THI = 0.8 T + (RH x T/500) Keterangan :

THI :Temperature Humidity Index RH :Kelembaban udara

T : Suhu rata-rata

Tabel 10. Besaran Nilai THI Bulanan Berdasarkan Data Iklim BMKG

BLN/THN Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nop Des 2011 24.5 24.5 24.8 25.0 25.2 24.9 24.7 24.3 23.8 25.0 24.3 25.3 2012 24.4 24.9 25.2

Dilihat dari hasil perhitungan THI (Tabel 10), pada kondisi suhu tertinggi tapak masih tergolong nyaman bagi pengguna dengan rata-rata THI tahunan pada angka 24. Demikian halnya dengan suhu terendah pada tapak dengan sampel suhu sewaktu pada kondisi suhu tanggal 12 September 2012 sebesar 32.87 ˚C, nilai THI masih dalam interval batas kenyamanan manusia yaitu sekitar 26. Jadi, menurut Laurie (dalam Alifia 2010) suhu 32.87 ˚C ini masih dalam batas toleransi kenyamanan bagi manusia.

Curah hujan tinggi juga dapat berpengaruh pada kondisi sirkulasi tapak yang lembab dan akan cenderung berlumut jika musim penghujan tiba, ditambah lagi dengan tapak yang cukup lembab berpotensi mempengaruhi kadar air pada permukaan tanah yang tidak ditanami. Hal tersebut akan menjadi kendala yang harus diperhatikan pada tapak.

5.1.3 Topografi

Suatu lanskap yang dimanfaatkan untuk kegiatan ruang luar memiliki kemiringan lahan yang ideal pada level kemiringan kurang dari 15% (USDA 1968). Kemiringan lahan eksisting tergolong landai, dengan kisaran kemringan lahan rata-rata 8-15%. Perbedaan kemiringan lahan tidak terlalu berbahaya jika

dimanfaatkan sebagai kawasan rekreasi dan wisata. Hanya yang harus diperhatikan adalah posisi tapak yang berada di atas rentan terhadap longsoran. Batas tapak yang jelas juga sangat dibutuhkan demi kenyamanan penggunan agar tidak terjadi hal yang berbahaya (Gambar 18).

Analisis kemiringan digunakan dengan membagi nilai kemiringan menjadi tiga klasifikasi pemanfaatan lahan, yaitu baik, sedang, dan buruk. Pada klasifikasi baik, besar nilai slope berkisar antara 0-8%; pada klasifikasi sedang nilai slope berkisar antara 8-15%; dan pada klasifikasi buruk slope berada pada nilai >15% (Hardjowigeno dkk 1994). Dalam menentukan klasifikasi penggunaan lahan dapat menggunakan rumus perhitungan sebagai berikut :

!!

!"

!"#$#!!!!"#$% Keterangan :

x : jarak antara garis kontur

IC : interval kontur

Untuk mendapatkan besarnya jarak antara garis kontur yang sesuai dengan klasifikasi tersebut, dilakukan perhitungan dengan rumus x dan dari hasil perhitungan didapatkan nilai x > 12.5m untuk klasifikasi baik; x = 6.67-12.5m untuk klasifikasi sedang dan x < 6.67m untuk klasifikasi buruk. Dari besarnya nilai (x) yang adalah jarak antar kontur, diperoleh klasifikasi lahan tapak yang didominasi dengan kemiringan 8-15%. Menurut Hardjowigeno (dalam Nurisjah 2004) rentang kemiringan tersebut masuk dalam kesesuaian sedang apabila dimanfaatkan untuk aktivitas ruang luar seperti rekreasi, lintas alam, dan kawasan lindung.

! !

5.1.4 Tanah

Berdasarkan data sekunder yang diperoleh, jenis tanah pada tapak adalah Latosol Coklat Kemerahan dengan pH 4.5-6.5, sifatnya relatif masam hingga agak masam. Bahan organik terletak pada lapisan atas rendah hingga agak sedang menurun pada lapisan bawah. Sifat lainnya antara lain memiliki kejenuhan basa rendah hingga sedang, daya absorpsi relatif rendah unsur hara sedang, permeabilitas tingga, dan memiliki kepekaan erosi yang kecil (Soepraptohardjo 1976 dalam Augusta 2008).

Golongan tanah jenis ini memiliki tingkat kesesuaian wilayah S1 atau sangat sesuai untuk jenis tanaman pertanian, tanaman semusim, tahunan, dan jenis padi sawah (Soepraptohardjo 1976 dalam Augusta 2008). Hal ini sejalan dengan fungsi tapak sebagai nursery, selain itu juga dapat mendukung pengembangan tapak sebagai objek agrowisata di STPP karena memiliki tingkat toleransi tinggi terhadap berbagai aktivitas karena memiliki toleransi tinggi terhadap erosi (Hecko 2010). Hal yang harus diperhatikan adalah jenis tanah ini sangat lambat dalam penyerapan air dan aliran permukaan. Oleh karena itu, diperlukan pembuatan pori dan sistem drainase pada tapak agar tata air dapat terkelola dengan baik.

Dokumen terkait