• Tidak ada hasil yang ditemukan

LINDUNG NILAI

Dalam dokumen Kebun Emas (Halaman 41-45)

Fungsi Emas yang berikutnya adalah lindung nilai atau hedging. Sebagai contoh, berikut kejadian yang saya alami sekitar tahun 1990-an. Saat itu, saya masih bekerja. Suatu ketika ada tenaga penjual (sales) asuransi yang menawari asuransi pendidikan.

Dia menawarkan iming-iming, bila membeli asuransi pendidikan ini, saat anak saya mau masuk sekolah, saya tidak usah pusing memikirkan lagi biayanya. Kata dia, di tahun 2015, kalau saya ambil asuransi pendidikan itu, saya akan mendapat uang Rp 175 juta bisa untuk membayar biaya kuliah anak.

Coba sekarang, Rp 175 juta itu cukup tidak buat biaya kuliah anak? Tidak cukup. Masuk fakultas kedokteran saja minimal Rp 250 juta. Cuma, waktu itu saya belum mengerti Emas. Karena saya ditawarin terus dan didesak, akhirnya, saya ambil.

Di sini, saya ingin menekankan bahwa tidak ada yang salah dengan asuransi. Nanti akan saya jelaskan kenapa.

www.KebunEMAS.com Page 41 Yang saya salah, waktu itu saya sedang pegang uang Rp 25 juta, saya konsultasikan ke sales asuransi itu pemanfaatan uang tersebut. Dia menyarankan, uang itu untuk men-top-up premi asuransi pendidikan yang sudah saya miliki.

Sebagai iming-iming, dia menawarkan diskon pembayaran premi yang besar. Setelah itu saya tidak perlu membayar premi lagi dan tahu-tahu pada tahun 2015 saya terima uang Rp 175 juta. Itu jauh lebih murah.

Akhirnya, saya setor uang Rp 25 juta. Waktu itu saya belum mengerti Emas. Sekarang, saat sudah mulai mengerti Emas, saya paling benci melihat polis asuransi pendidikan tersebut.

Kenapa? Bayangkan, tahun 1990-an, harga Emas itu ternyata Rp 23.000 per gram. Artinya apa? Kalau saya punya uang Rp 25 juta, minimal saya bisa beli Emas satu kilogram saat itu.

Kalau hari ini tahun 2012, saya punya satu kilogram Emas, itu artinya sama dengan saya mempunyai uang minimal Rp 550 juta. Ini harga tahun 2012, belum tahun 2015. Cukupkah kira-kira uang itu buat biaya sekolah atau kuliah anak saya? Lebih dari cukup! Saya masih punya sisa uang buat membelikan anak saya sebuah mobil Daihatsu Xenia untuk transportasi dia kuliah.

Tapi, waktu itu saya belum mengerti. Akhirnya, saya terusin dengan alasan tanggung karena tinggal tiga tahun selesai. Saya tekankan lagi, tidak ada yang salah dengan asuransi. Ingat, asuransi itu manajemen risiko.

Kalau Anda bayar premi setiap bulan dengan dicicil tidak melakukan top up, saat terjadi risiko dengan diri Anda, maka perusahaan asuransi yang akan meneruskan pembayaran premi asuransi hingga masa jatuh tempo.

Di situlah salah satu fungsi asuransi sebagai manajemen risiko. Jadi, rugi sebetulnya men-top up asuransi karena akhirnya kita tidak dicover lagi risiko itu. Karena perusahaan asuransi sudah mendapat uang lebih dulu di depan.

Karena asuransi itu manajemen risiko, kita tetap wajib membeli atau memiliki asuransi. Tapi, belilah asuransi untuk mengcover risiko, bukan untuk investasi pendidikan. Risiko itu suatu kejadian yang tidak bisa kita prediksi kapan itu terjadi. Mari kita lihat apa saja kejadian hidup kita yang bisa terjadi sewaktu-waktu: kematian, sakit, dan kecelakaan. Praktis, sebenarnya, hanya tiga risiko itu yang perlu kita manage dengan asuransi.

www.KebunEMAS.com Page 42 Dari Video Tutorial KebunEMAS

Bagaimana dengan pendidikan? Apakah kita tidak tahu pasti kapan anak kita akan sekolah? Tidak, kan? Begitu anak kita lahir, sebagai orang tua, kita langsung tahu anak kita masuk Kelompok Bermain tiga tahun lagi, dua tahun kemudian pindah ke taman kanak-kanak (TK), dan seterusnya. Kita tahu kapan anak masuk sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan kuliah di perguruan tinggi.

Kesimpulannya, karena waktu pendidikan bisa kita prediksi, biaya pendidikan tidak perlu kita jaga risikonya dengan asuransi semata. Sebagai orang tua, kita wajib menyiapkan perencanaan keuangan demi mEmastikan anak-anak kita mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Ada berbagai cara lain untuk memagari “risiko pendidikan”, kalau menurut saya, jauh lebih bermanfaat dengan Emas. Kita ambil contoh-contoh yang saya alami saja.

Begini, tahun 2007, anak saya yang paling besar masuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bina Insani di Bogor, Jawa Barat. Sekolah ini menyediakan jenjang pendidikan mulai dari taman kanak-kanak (TK) sampai sekolah menengah atas (SMA).

Ketika saya akan mendaftarkan anak saya ke SMP, saya bertemu teman saya, yang kebetulan menjadi kepala sekolah SMA Bina Insani. Kami ngobrol-ngobrol. Sambil mengobrol, saya bertanya iseng ke teman saya berapa biaya memasukkan anak ke SMA

www.KebunEMAS.com Page 43 Bina Insani sekarang, tahun 2007. Teman saya mengatakan, biaya masuk SMA Bina Insani saat itu sekitar Rp 10 juta – Rp 11 juta.

Kebetulan saat itu saya sedang pegang uang Rp 10 jutaan. Sesampai di rumah, saya bilang ke menteri keuangan saya, maksudnya, istri saya. Saya meminta istri saya untuk menyimpan uang itu untuk jaga-jaga biaya masuk SMA tiga tahun lagi.

Permintaan saya ini didasari status saya saat itu yang sudah tidak bekerja, saya menjadi pengusaha. Jadi, kalau ada uang, harus betul-betul diamankan untuk memenuhi kebutuhan penting di masa depan. Salah satu kebutuhan penting itu, menurut saya, biaya pendidikan anak-anak saya.

Saya berpikir sederhana saja, buat rekening deposito di bank dan tak usah diambil bunga depositonya, biar bunga-berbunga. Jadi, pada saatnya nanti, saya tinggal menambahi kekurangan biaya masuk SMA pada 2010.

Untung, istri saya cerdas. Dia lah yang mengusulkan agar saya membeli Emas dari uang yang saya punyai saat itu. Saya tidak berfikir macam-macam, hanya menganggap ide istri saya membeli Emas sebagai bentuk tabungan uang masuk SMA anak saya itu brilian. Waktu itu, harga Emas sekitar Rp 200.000 per gram. Jadi, dengan uang Rp 10 juta, saya bisa membeli Emas 50 gram. Lantas saya simpan itu Emas di Safe Deposit Box (SDB) di bank. Biaya sewanya murah di bank. Kala itu, biaya sewa SDB di Bandung sekitar Rp 350.000 per tahun. Fungsi SDB ini tidak hanya untuk menyimpan Emas, bisa juga untuk menyimpan sertifikat, ijazah, dan sebagainya.

Singkat cerita, tibalah saat saya memasukkan anak ke bangku SMA pada 2010. Terus terang, saya lupa kalau punya simpanan Emas di SDB. Kala itu bulan Juni, anak saya yang pertama masuk SMA dan diterima di SMA Taruna Bakti, Bandung, Jawa Barat. Secara kualitas dan biaya, SMA ini satu level dengan SMA Bina Insani Bogor.

Saat istri saya memberi tahu anak kami sudah diterima di sekolah tersebut, spontan saya tanya berapa biaya yang dibutuhkan. Istri saya mengatakan, biaya masuk SMA Taruna Bakti sekitar Rp 15 juta – Rp 16 juta.

Saya tertegun, melamun, dan pikiran menerawang memikirkan cara membayar ongkos masuk sekolah tersebut. Sampai tanpa sadar saya ngomong, “Wah, duit segitu dari mana, ya.”

Seketika istri saya mengingatkan bahwa saya pernah membeli Emas sebagai tabungan untuk membayar biaya masuk SMA anak kami. Kebetulan, istri saya selalu mencatat

www.KebunEMAS.com Page 44 semua barang yang kami simpan di SDB. Di situ, tertulis, Emas 50 gram untuk sekolah Larastanti, nama anak saya yang waktu itu akan masuk SMA.

Anda tahu berapa harga Emas 50 gram bulan Juni 2010? Harganya Rp 16 juta – Rp 17,5 juta. Coba! Terbukti! Emas 50 gram yang saya simpan masih cukup untuk membiayai anak saya masuk SMA, kan? Pengalaman ini benar-benar saya alami.

Coba seandainya uang Rp 10 juta itu saya depositokan dan saya biarkan bunga berbunga. Saya sudah hitung, uang saya pada Juni 2010 paling banyak sekitar Rp 13 juta. Itu pun belum dipotong pajak.

Lalu, bagaimana bila kita lihat biaya masuk SMA saat ini, di tahun 2012? Harga Emas 50 gram sekitar Rp 25 juta – Rp 26 juta. Mau tahu berapa biaya masuk SMA Taruna Bakti sekarang? Saat ini, biaya masuk SMA Taruna Bakti sekitar Rp 22 juta – Rp 23 juta. Artinya, Emas simpanan saya masih cukup, bahkan, masih ada sisa untuk membayar biaya masuk sekolah ini.

Dalam dokumen Kebun Emas (Halaman 41-45)

Dokumen terkait