• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Karakteristik Sosial Ekonomi

5.2.2 Lokasi Kerja

Lokasi kerja responden bervariasi bergantung pada jenis mata pencaharian/sumber penghasilan mereka. Lokasi kerja didominasi oleh lokasi kerja sekitar rumah (<3 km) yaitu 55,8% seperti memulung, memelihara hewan, berjualan di rumah, menjahit, menganyam keranjang, menenun kain, memetik cabe/taoge, atau menunggu dana pensiun/sewa menyewa.

Gambar 5.11 Karakteristik responden berdasarkan lokasi kerja Sumber: Data Penelitian Lapangan, 2009

Selebihnya merupakan responden yang lokasi kerjanya berkisar 3-10 km (18,9%) seperti supir angkot serap, pengemudi beca dayung dan yang berjualan di pasar, atau yang lokasi kerjanya > 10 km (22,1%) seperti buruh/tukang, supir angkot dan pengemudi beca bermotor atau yang lokasi kerjanya di luar kota (3,2%) seperti supir truk Medan-Jakarta dan buruh perkebunan sawit di kota Pekanbaru. Dominasi lokasi kerja sekitar rumah (<3 km) menunjukkan bahwa jenis mata pencaharian merupakan pekerjaan yang dapat dilakukan di lokasi permukiman. Dikaitkan dengan jenis mata pencaharian, ditemukan bahwa mata

pencaharian yang mendominasi adalah memulung dan memelihara hewan, dimana kedua jenis pekerjaan ini memang dilakukan di rumah dan sekitarnya. Dengan kata lain, terdapat hubungan antara variabel mata pencaharian dengan variabel lokasi kerja. Hal ini sesuai dengan beberapa teori berikut:

a. Tempat/lokasi kerja merupakan salah satu dari beberapa faktor internal (alami) yang bertindak sebagai kekuatan pembangkit sebuah permukiman termasuk permukiman kumuh dan liar Srinivas (2007).

b. Dimensi lokasi yaitu mengacu pada lokasi tertentu pada suatu kota yang dianggap paling cocok untuk tempat tinggal sesuai dengan kondisi diri. Kondisi diri ini lebih ditekankan pada penghasilan dan siklus kehidupan, sehingga lokasi tempat tingal dalam konteks ini berkaitan erat dengan tempat/lokasi kerja. Khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah, faktor jarak antara tempat tinggal dengan lokasi kerja menjadi prioritas utama (Turner, 1968). Hal ini dibuktikan pada penelitian selanjutnya oleh Panudju (1999), Handayani dan Rinawati (1998) serta Santoso (2002).

c. Rumah bukan hanya sebagai tempat untuk beristirahat atau sebagai ruang untuk kegiatan pribadi dan keluarga, tetapi rumah juga merupakan tempat bekerja. Bahkan ruang-ruang terbuka seperti halaman rumah dan teras dimanfaatkan untuk tempat kegiatan bekerja, mempersiapkan produk-produk kerja atau sebagai tempat penyimpanan/gudang (Suparlan, 2007).

Dari hasil tabulasi silang (crosstab) lokasi kerja dengan lama bermukim ditunjukkan bahwa dominasi lokasi kerja adalah di sekitar rumah (<3 km) (55,8%) ternyata berlaku bagi pemukim pemula dan pemukim lama sama besar (22,1%).

Selebihnya distribusi lokasi kerja hampir merata terhadap lama bermukim responden. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa penghuni baru bermukim di sana karena adanya kesempatan kerja sebagaimana mata pencaharian penghuni lama, setelah sekian lama bermukim baru kemudian penghuni baru melihat alternatif mata pencaharian yang lain.

Tabel 5.1 Crosstab Lokasi Kerja terhadap Lama Bermukim LOKASI KERJA SEKITAR RUMAH (<3 KM) 3-10 KM >10 KM DI LUAR KOTA Total Count 20 3 2 0 25 >25 THN % of Total 22.1% 3.2% 2.1% .0% 26.3% Count 2 1 2 0 5 21-25 THN % of Total 2.1% 1.1% 2.1% .0% 5.3% Count 3 5 2 0 10 16-20 THN % of Total 3.2% 5.3% 2.1% .0% 10.5% Count 5 5 1 0 11 11-15 THN % of Total 5.3% 5.3% 1.1% .0% 11.6% Count 3 3 7 0 13 6-10 THN % of Total 3.2% 3.2% 7.4% .0% 13.7% Count 20 1 7 3 31 LAMA BERMUKIM 0-5 THN % of Total 21.1% 1.1% 7.4% 3.2% 32.6% Count 53 21 18 3 95 Total % of Total 55.8% 22.1% 18.9% 3.2% 100.0%

Dari tabel 5.2 diperoleh bahwa Chi-squarehitung sebesar 137.586sedangkan

Chi-squaretabel sebesar 24.996 (taraf kepercayaan 95% dan derajat kebebasan = 15). Berdasarkan hasil tersebut keputusannya adalah Chi-squarehitung > Chi-squaretabel maka Hoditolak artinya H1 diterima artinya terdapat hubungan antara lokasi kerja dengan lama bermukim.

Tabel 5.2 Chi-square test Lokasi Kerja terhadap Lama Bermukim Value df Asymp. Sig. (2-sided)

Pearson Chi-Square 137.586a 15 .000

Likelihood Ratio 154.484 15 .000

Linear-by-Linear Association 63.160 1 .000

N of Valid Cases 95

a. 15 cells (62,5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is ,16.

Berdasarkan beberapa hal di atas maka dapat disarankan kepada Pemerintah Kota agar bila kelak dilaksanakan relokasi pemukim, seyogyanya dipertimbangkan penyediaan ruang-ruang atau lahan untuk dipergunakan sebagai tempat kerja yang lokasinya berada di sekitar rumah.

5.2.3 Pendapatan

Besar pendapatan yang diperoleh responden dari hasil bekerja tidak dapat diketahui dengan pasti. Hanya 6 responden yang bersedia mengungkapkan berapa kira-kira pendapatan yang diperolehnya setiap bulan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar responden memiliki mata pencaharian lebih dari satu jenis dengan penghasilan yang tidak menentu dalam kurun waktu yang tidak tertentu.

Oleh karena itu besar pendapatan ditentukan berdasarkan besar pengeluaran rumah tangga setiap bulan meliputi pengeluaran untuk makanan dan pengeluaran untuk keperluan rumah tangga non makanan seperti transportasi, kesehatan, pendidikan, ibadah/STM, sewa rumah (bagi yang menyewa rumah), listrik, air bersih, modal usaha (bagi yang punya usaha), jula-jula (bagi yang mengikuti arisan/jula-jula) serta tabungan/simpanan.

Keseluruhan jenis pengeluaran ini kemudian ditabulasi dan diasumsikan sebagai pendapatan rumah tangga, kecuali pengeluaran untuk modal usaha, pendidikan dan kesehatan. Diasumsikan bahwa keuntungan yang diperoleh dari modal usaha adalah merupakan tabungan/simpanan sedangkan pengeluaran untuk pendidikan dan kesehatan menurut pengakuan responden merupakan pengeluaran yang bersumber dari hutang.

Dari hasil pengelompokan besar pendapatan per bulan setiap rumah tangga, terlihat bahwa besarnya pendapatan rumah tangga beraneka ragam. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri khas permukiman kumuh yaitu bahwa pemukimnya memiliki tingkat pendapatan yang beranekaragam (Suparlan, 2007).

Gambar 5.12 Persentase RT berdasarkan pendapatan per bulan (Rp.) Sumber: Data Penelitian Lapangan, 2009

Dominasi pendapatan rumah tangga responden adalah pada kelompok Rp.1 juta sampai Rp.2 juta (55,8%). Pendapatan rumah tangga antara Rp.350 ribu

sampai Rp.500 ribu merupakan kelompok terkecil (3,2%). Responden yang memiliki pendapatan di atas Rp.2 juta per bulan (21,1%) diantaranya adalah pemilik modal usaha atau ‘bos’ pemulung yang memiliki rumah sendiri bahkan rumah lain untuk disewakan. Hal ini membuktikan bahwa dalam masyarakat permukiman kumuh juga dikenal adanya pelapisan sosial berdasarkan atas kemampuan ekonomi mereka yang berbeda-beda (Suparlan, 2007).

Berdasarkan distribusi pendapatan rumah tangga tersebut terlihat bahwa pengeluaran terbesar adalah pengeluaran untuk makanan (65,1%). Makin besar jumlah anggota keluarga maka makin besar pula pengeluaran ini. Persentase ini berada sedikit di bawah persentase pengeluaran rumah tangga untuk makanan bagi masyarakat miskin Indonesia (73,5%) namun kondisi ini membuktikan bahwa rumah tangga responden termasuk rumah tangga berpenghasilan rendah karena persentase pengeluaran untuk makanan merupakan persentase terbesar dari total pengeluaran rumah tangga.

Gambar 5.13 Distribusi Pendapatan Rumah Tangga Responden Sumber: Data Penelitian Lapangan, 2009

Pengeluaran untuk transportasi dibutuhkan apabila responden dan anggota keluarganya menggunakan alat transportasi umum yang memerlukan ongkos atau

kenderaan milik pribadi yang memerlukan biaya BBM. Kegiatan ini terutama untuk pergi ke tempat kerja, ke sekolah atau ke tempat ibadah. Pengeluaran untuk transportasi rata-rata adalah sebesar 18,5% dari pendapatan responden. Persentase ini jauh di atas persentase pengeluaran untuk transportasi bagi masyarakat miskin di perkotaan (2,48%). Kondisi ini tentu dipengaruhi oleh jarak ke tempat tujuan, sistem transportasi dan tentunya harga BBM.

Pengeluaran untuk ibadah/STM meliputi sumbangan untuk gereja dan iuran keanggotaan STM, yang besarnya sukarela sesuai dengan kemampuan. Pengeluaran untuk ibadah/STM rata-rata adalah sebesar 4,4% dari pendapatan responden.

Pengeluaran untuk kesehatan tidak dapat dipastikan karena dibutuhkan hanya jika sakit dan ini tidak dapat diprediksi waktunya. Biaya berobat di Puskesmas gratis apabila membawa KTP atau KK. Namun biaya obat-obatan dan biaya rumah sakit umumnya harus ditebus sendiri, kecuali bila memiliki surat keterangan miskin. Biasanya pengeluaran kesehatan lebih diperuntukkan bagi anak-anak yang sakit, ibu melahirkan, atau pada saat pemukim mengalami kecelakaan atau penyakit yang memerlukan perawatan di rumah sakit. Biaya untuk pengeluaran ini umumnya tidak dipersiapkan sehingga terpaksa diusahakan dengan cara berhutang. Hanya sebagian kecil pemukim dewasa yang membutuhkan obat-obatan secara terus menerus, seperti penderita Diabetes Mellitus. Pemukim dewasa lain umumnya mengatasi penyakit dengan mengkonsumsi obat-obatan yang dijual bebas. Hal ini merupakan bukti salah satu strategi yang dilakukan keluarga fakir miskin dalam menghadapi

permasalahannya yakni dengan penekanan/pengetatan pengeluaran (Gunawan dan Sugiyanto, 2007).

Pengeluaran untuk pendidikan dibutuhkan untuk membayar SPP dan biaya keperluan sekolah lainnya. Apabila bersekolah di SD Negeri, siswa tidak perlu membayar SPP karena ada Dana BOS. Begitu pula bila siswa mendapat beasiswa karena berprestasi. Berdasarkan wawancara langsung, pendidikan merupakan prioritas bagi sebagian besar pemukim di lokasi penelitian. Segala cara diusahakan demi kelangsungan pendidikan anggota keluarga, terutama yang berusia sekolah hingga tingkat SMU/sederajat. Pemukim mengaku rela berhutang demi memenuhi kebutuhan biaya pendidikan anak-anaknya.

Pengeluaran untuk jula-jula juga khusus bagi mereka yang turut dalam kegiatan jula-jula. Kegiatan ini digemari sebagian responden karena mereka merasa dapat memanfaatkan dana ini untuk memenuhi berbagai keperluan jika telah memperolehnya apalagi dalam jumlah besar. Pengeluaran untuk jula-jula rata-rata adalah sebesar 16,6% dari pendapatan responden. Hasil jula-jula dapat dipergunakan untuk melunasi hutang akibat pengeluaran untuk kesehatan atau pendidikan. Hasil jula-jula juga dapat dipergunakan untuk memperbaiki rumah yang rusak disebabkan bocor (28,6%), keperluan membuat kandang hewan (41,3%), menambah kamar tidur di atas (7,9%) atau hanya loteng (5,6%) atau untuk mengadakan tempat usaha (10,3%). Jika tidak mengikuti jula-jula atau jika hasil jula-jula tidak mencukupi maka responden terpaksa berhutang demi perbaikan rumah yang mendesak. Hanya sebagian responden yang dapat menyisihkan pengeluarannya untuk menabung. Itupun kadangkala terpaksa

dipakai apabila ada keperluan mendesak seperti tambahan kebutuhan sekolah anak, perbaikan rumah atau jika pesta keluarga di kampung. Responden harus mengeluarkan biaya untuk ongkos transportasi ke kampung dan untuk sumbangan perhelatan. Hal ini seolah-olah menjadi suatu kewajiban dan mau tidak mau harus dilaksanakan jika tidak ingin dikucilkan dari keluarga besar. Jika tidak sedang memiliki tabungan, responden pun terpaksa berhutang.

Pengeluaran untuk perumahan berlaku khusus bagi responden yang menyewa rumah (34%). Sewa rumah bervariasi antara Rp.1 juta sampai Rp.2,5 juta setahun sedangkan pengeluaran utilitasnya (air bersih dan listrik) bergantung banyaknya pemakaian. Ditemukan adanya responden yang kongsi dengan kerabat dalam menyewa rumah, sehingga dalam satu rumah terdapat 2-3 keluarga. Responden terpaksa berhutang jika tidak memiliki cukup dana untuk membayar sewa rumah. Hal ini tidak berlaku bagi responden yang memiliki rumah sendiri (48,5%) atau rumah warisan orangtua/mertua (14,4%), juga bagi responden yang meminjam/menumpang rumah seseorang (3,1%).

Khusus bagi responden yang menyewa rumah (34%), pengeluaran untuk perumahan ini rata-rata adalah sebesar 13,8% dari pendapatan responden. Persentase ini ternyata berada diatas persentase pengeluaran untuk perumahan bagi masyarakat miskin perkotaan Indonesia (8,43%). Terdapat 5% responden yang menyewa rumah berpendapatan di atas Rp.1,5 juta perbulan. Bila ditinjau khusus responden yang menyewa rumah dan berpendapatan di bawah Rp.1,5 juta perbulan maka persentase pengeluaran untuk perumahan rata-rata adalah sebesar 14,9% dari pendapatan. Dengan kondisi pendapatan yang sama, persentase ini

ternyata masih jauh di bawah total persentase pengeluaran untuk perumahan (25,2%) termasuk air bersih dan listrik (6,8%) pemukim di Perumnas Martubung yakni sebesar 32% (Panjaitan, A.R, 2008). Dengan kata lain responden belum memiliki keterjangkauan untuk mencicil Rumah Sederhana Sehat (RSS), melainkan hanya sanggup menyewa rumah. Kondisi ini diperburuk karena keseluruhan responden ini ternyata memiliki hutang setiap bulannya dan tidak diketahui secara pasti kapan berakhir karena hutang terus berbunga.

Khusus bagi responden yang memiliki rumah sendiri (48,5%) atau warisan orangtua (14,4%), pengeluaran perumahan terutama dan terbesar adalah pada saat pengadaan rumah. Rumah baru dapat didirikan di atas lahan yang ada, apakah lahan yang didiami pemukim sejak awal permukiman berdiri atau lahan yang “dibeli” dari pemukim sebelumnya. Atau, rumah dapat juga diperoleh dengan membeli dari “pemilik” sebelumnya yang harganya bervariasi bergantung pada kondisi bangunan rumah. Bagi responden jenis ini, pengeluaran bulanan untuk perumahan merupakan pengeluaran utilitasnya yaitu air bersih dan listrik. Seandainya keseluruhan pengeluaran untuk perumahan responden jenis ini diasumsikan sebagai modal dalam perumahan, dapat dipastikan mereka tidak akan dapat memperoleh Rumah Sehat Sederhana (RSS). Beberapa hal di atas membuktikan konsep yang dinyatakan oleh Srinivas (2007) yaitu bahwa modal dalam perumahan akibat kurangnya aset tabungan merupakan salah satu faktor internal dalam pembentukan suatu permukiman.