• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kak, sejauh ini menurut pendapat kakak kualitas dari tayangan SDB kita seperti apa kak dari segi teknis, jurnalistik, kualitas keseluruhan?

Keseluruhan ya? Kalau menurut kakak, memang kakak di Seksi ini baru hampir 2 bulan, dengan memanfaatkan kontributor dan sebagian organik di sini yang betul- betul masih tinggi tingkat kepeduliannya, kakak pikir kita lumayan bagus, lumayan oke. Dibanding mungkin tahun-tahun sebelumnya, menurut saya. Maaf kalau salah, ini kan pendapat. Kenapa? Untuk beberapa berita-berita yang hangat, aktual, dan kasus kita ga tertinggal dengan media lain, walaupun berita kita itu hanya satu kali sehari, SDB. Tetapi kita kan punya siaran lain, mungkin ketika peristiwa itu terjadi pukul 2 siang ga keburu naik SDB, tapi ketika berita itu masuk masih bisa kita olah, kita kirimkan ke Jakarta untuk tayang jam-jam berikutnya pada hari yang itu juga. Jadi secara umum sebenarnya dari aktualitas kita ga ketinggalan, cuma yang seremoni kadang-kadang kita ketinggalan. Untuk seremonial itu karena apa? Namanya agak jauh-jauh, kadang ngikutin Pemko. Tapi dari segi teknik memang kita masih ketinggalan, kenapa? Mungkin Feby sendiri tahu juga, pertama dari sisi keredaksian kita, seharusnya EIC (Editor in Chief) ketika ada berita, dia sendiri bisa kontrol, tidak hanya naskah tapi juga gambar. Itu tidak bisa dilakukan sampai hari ini di TVRI Sumut, walaupun di tv- tv lain di Pulau Sumatera sudah bisa dilakukan seperti itu. Sistem LAN untuk menunjang keredaksian kita, menunjang SDB masih sangat-sangat harus ditingkatkan. Kemudian kalau dari sisi jurnalistik ya, sebagian kita masih banyak perlu memperbaiki. Jujur aja, misalnya nih walaupun orang itu udah senior tapi karena rutinitas atau karena apa saya kurang tahu latar belakangnya, masih sering terjadi kalimat-kalimat berlebihan yang tidak lagi... yang sebenarnya tidak tepat. Kalau berita harusnya ekonomi kata, naskah ekonomi kata. Tapi seringkali saya melihat itu kurang diperhatikan oleh teman-teman. Tapi kan saya sebagai Kasie setiap hari harus ngurusin itu, ga mungkin. Mana yang sempat ya kita ingatkan, pelan-pelanlah, kan itu semua barangkali menuju ... seperti pimpinan, menuju proyek perubahan TVRI, itu kan secara semuanya, komprehensif. Di berita sendiri kami pelan-pelanlah dengan Kabid berusaha untuk itu walaupun tentu saja ini ga mudah, karena ini sudah jadi kayak budaya. Sudah lama jadi budaya, merubah behaviour itu kan sulit juga. Apalagi kalau dia merasa sudah senior, kita ingatin kan mungkin ya merasa seperti gimana gitulah, padahal harusnya kita open- minded dan mengikuti perkembangan. Introspeksi juga, dalam artian menuju layar kaca TVRI itu bukan pribadi-pribadi. Tapi lebih kepada layar kaca TVRI.

Kalau dari segi gambar kak?

Ya, kualitas gambar-gambar masih banyak perlu diperhatikan, tidak hanya dari kontri, yang organik sendiri temen-temen juga kadang yang penting ada beritanya, maaf, karena ada honornya. Kan gitu. Ada pembayaran uang liputan sehingga kadang-kadang saya pernah beberapa kali sampe terpaksa menegur walau yang ditegur pasti ga enak. Tapi memang itu fakta. Biarlah saya dibenci atau ga disukai, yang pasti niatnya untuk kebaikan layar kaca. Itu aja. Saya berharap ya kawan- kawan ngerti. Ada bahkan yang sampai pernah saya keluarkan ga jadi tayang, misal yang baru ini kan UN. UN kan dari SLTA, SMP, SD. UN SLTA kan biasanya tradisi coret-coret. Itu kan bertahun-tahun gitu, tapi coba kita pikirkan lebih jauh lagi kan ga ada manfaatnya. Ketika kita memberitakan itu juga, kita membenarkan kegiatan itu kan, makna yang tidak terlihat seperti kita membenarkan dan mendukung. Saya ga sependapat yang kayak gitu kita tayangkan, kalau kita ambil gambar itu tapi paling tidak kita combine pendapat ahli-ahli pendidikan yang menyatakan kenapa harus begitu. Kan sebaiknya begitu. Karena ada beberapa sekolah juga udah melarang itu, ngapain kita buat lagi, kan itu kontraproduktif, seperti itu misalnya. Atau ada juga teman-teman yang meliput padahal dia senior, sudah DE (Desk Editor). Dia meliput dengan kualitas gambar kurang baik, statement yang dikatakan narasumber itu semua dia tuangkan di narasi. Statement itu keluar dan sangat panjang. Hal seperti ini kan harusnya ga terjadi lagi kan.

Apalagi kak yang mau kakak tambahin soal kualitas berita?

Naskah berita. Naskah berita kan kita tahu dibuat oleh reporter, kemudian dicek oleh DE, kemudian nanti penyiar terakhir filternya, apakah didubbing ataukah dibaca. Ada beberapa layer. Tetapi kadang-kadang masih saja terjadi kesalahan- kesalahan seperti itu. Seperti Feby tahu kan pernah terjadi, itu kalau kakak bilang sudah terjadi seperti human error, tapi itu ada. Dikoreksilah oleh layer-layer itu tapi kita berusaha saling ... cuma lagi kadang-kadang sebenarnya kepedulian ini kan tidak hanya terkait tugas kita masing-masing aja. Ga ada salahnya juga ketika si A membuat berita, ternyata ada kesilapan, si B ngeliat, dia koordinasi, dia kasih tahu. Kan bisa. Artinya sama peduli. Contoh yang paling baru kemarin, kita tahu Gubernur hari Rabu dilantik oleh Presiden, 4 gubernur, 2 wakil. Salah satunya Gubernur Sumatera Utara. Kita punya kerja sama dengan Gubernur Sumatera Utara. Alangkah lucunya, seminggu sebelum pelantikan kakak koordinasi terus sama humas, kapan pelantikannya, bagaimana, apa ada wartawan dibawa. Jawabannya ga jelas, ga tahu. Sebagian katanya pernah ke sana tapi sampai terakhir Kominfo sendiri ga ada yang berangkat kesana. Tapi entah kenapa kita lihat, entah bagaimana caranya, sampai hari ini aku belum tahu sumbernya gimana, yang pasti beberapa wartawan yang meliput di kantor Gubernur, di media sosial keliatan eksis-eksis di Jakarta. Makan bareng katanya ke Jakarta karena pelantikan Gubernur. Padahal kita tahu, Feby sendiri pernah jadi jurnalis istana, ga mungkin bisa masuk ke dalam kan? Orang-orang tertentu yang bisa masuk. Apapun ceritanya media online, media cetak sudah memberitakan itu. TVRI sendiri bagaimana memberitakan itu? Sumut untuk peliputan itu, kan ga bisa, kita ga ikut. Nah untuk hal-hal seperti ini kakak mesti sedikit jeli mensiasati bagaimana, yang akhirnya kemarin kita bisa beritakan, gambarnya ada, statement Presiden ada tentang pelantikan itu. Nah itu kan satu nilai juga. Kakak kenapa

lakukan itu? Paling tidak menjaga marwah TVRI di mata media-media lain di sini. Kalau koran semua kan gampang. Kirim foto, foto di sana, cetak. Online pun gampang. Kita kan perlu gambar, untungnya ada TVRI pusat di sana, berkoordinasilah, akhirnya bisa kita beritakan. Sayangnya, ketika kakak berkoordinasi dengan teman lain “Sanny tolong buatkan berita Gubernur tiba di sini, penyambutan upah-upah. Gambar nanti Gozali”. Gitu kan. Dia mungkin buru-buru ga konsen atau gimana dengan tugas yang lain, paket. Dia buat berita pelantikan, padahal ketika itu kakak sudah buat pelantikan. Nah sebagai DE harusnya kan cermat. Masa judulnya sama, dua berita judul sama, isi lain, petugas lain. Mungkin itu, hal yang begitu penting, menyangkut Presiden. Yang satu ada statement Presiden, yang satu mungkin enggak karena Sanny salah pengertian itu. Dia pikir gimana ga ngertilah, tapi belakangan setelah aku komunikasikan “Oh iya

ya, rupanya penyambutan kedatangan gini gini..”, dia gantilah berita baru. Sudah

ada berita barunya, tapi oleh DE tetap dinaikkan, diurutkan pelantikan yang saya buat, dengan pelantikan yang salah tadi. Nah coba, itu kan apa? Hal-hal seperti itu masih terjadi, seharusnya itu kan ga terjadi. Satu sisi harusnya reporter yang tadi salah buat dia tariklah beritanya. Ketika dia ga tarik karena dia sibuk, dia lupa narik atau bagaimana, si DE ya udah dia himpun aja, dia buat Presiden lantik Gubernur, di bawahnya lagi pelantikan Gubernur Sumut, baru lagi selanjutnya kedatangan penyambutan. Hal itu kan harusnya ga terjadi tapi itu masih terjadi. Sebenarnya menurut kakak ini lebih karena kualitas SDM kita atau karena faktor rutinitas yang udah begitu-begitu aja, jadi ga ada rasa lagi untuk ... Untuk lebih berbenah? Tapi kalau aku pribadi, bukan maksud mengecilkan teman-teman, ada mental SDM dong pastinya. Memang kita seperti apa yang dibilang Jokowi revolusi mental ke semua lini termasuk TVRI. Kenapa? Karena masih banyak sisa-sisa kejayaan TVRI jaman dulu yang merasa paling hebat, nomor 1 leading sehingga pada waktu sudah banyak berubah, tapi mental ga berubah, sikap ga berubah. Sebagian ya, walaupun tidak keseluruhan. Masih ada teman-teman yang seperti itu. Jujur aja kita katakan. Itulah kadang-kadang satu. Kedua, memang rasa kepedulian itu apakah itu bisa dikaitkan sama mental ga tahu, kepedulian itu masih kurang, tidak sebagaimana harusnya. EIC adalah perpanjangan tangan Kasie, harusnya dia punya tanggungjawab yang lebih besar dari reporter biasa. Tetapi aku melihat masih ada terjadi, bahkan seorang editor karena dikaitkan dengan liputan katakanlah ini hari Pendidikan Nasional, dia mau buat berita tanggapan. Bagus nih idenya, tanggapan kalangan pendidik, butuh tanggapan pengamat pendidikan, tanggapan siswa sendiri. Tapi 3 macam tanggapan ini dia pecah jadi 3 berita. Konsekuensinya apa? Kantor dengan anggaran yang terbatas jadi membayar lebih, padahal itu bisa dibuat paling banyak 2 berita atau 1 berita. Ketika ini kita komunikasikan, dia tidak terima. Belum lagi bicara karena kamera. Itu satu. Di satu sisi pegawai-pegawai yang berkontribusi untuk berita, di satu sisi dia disitu kekurangan, tapi di sisi lain, dari jaman saya dulu selalu menggunakan punya pribadi. Kamera dan kendaraan ga difasilitasi oleh kantor. Itu ga difasilitasi pakai punya sendiri, tapi sebaliknya kita pun ingin mencari uang yang lebih banyak dengan cara-cara tadi. Jadi dilema juga sih sebentulnya ya kan. Tapi kalau kita punya idealisme ga harus gitu. Kalau kita punya idealisme, kita punya sikap yang bagus, okelah kita udah siap berkorban dengan milik kita pribadi. Bagaimana pun ini kan tempat kita cari makan, tempat

kita mengabdi, punya tanggungjawab, karena kondisi kantor seperti itu. Saya 15 tahun lalu beli kamera 15 juta di koperasi ngutang karena kesulitan seperti itu. Mau berita aktual, kameramen payah diajak karena ga ada duitnya, karena terbiasa kalau syuting ada uang. Bukan uang liputan aja, uang yang didapat dari kegiatan itu. Akhirnya ngambil koperasi beli kamera sendiri, belajar syuting sendiri. Lakukan itu belasan tahun lalu, tapi kan bukan karena itu terus kita suka-suka, yang penting syuting ada duitnya. Apalagi sekarang uang liputan untuk TVRI daerah, Sumatera Utara paling tinggi. Kita berkaca ke Palembang, itu satu berita cuma 25 ribu. Di sini paling tinggi memang, sudah 2 kali dinaikkan sama Pak Ichaf sampai 75 ribu satu berita, sebelum potong pajak. Nah jadi gimana ya, kalau mau membenahi itu memang agak sulit, tapi ketemu sama teman yang senior, dia juga merasakan, ketika kita SDB kameramennya tidak ada. Kameramen untuk penyiar, cuma ngelock pertama juga dia tidak ada. Tapi dia punya hak di SPO uangnya. Akhirnya TD (Technical Director) nya ga senang, dia bilang “Ni, bilang sama pembagi uang SPO si A kan ga kerja, ga usah kasih uangnya”. Terus kakak bilang, awalnya kan jelek kali ya, kakak paksa-paksa karena ga tau locknya di sana. Kakak yang masuk, kakak paksa untung ga patah. Ga ada kameramen, seperti itu terjadi, terus kakak bilang “Abang TD abang yang ngomong, itu tanggungjawab abang, itu orang teknik, nanti payah, nanti ribut”. Nah akhirnya TD bilang “Kayak mana nih, coba kalau rapat sama manajemen diwacanakan, kita kontrak lepas aja kayak penyiar untuk kegiatan kayak gitu. Mungkin ini jadi salah satu solusi. Artinya kalau kontrak lepas itu ga bayar bulanan dibayar di dinas, artinya tidak nambah beban dinas kantor. Macam mana?”. “Ooo boleh itu juga itu, bang. Kita butuh editor, kita butuh ini”. Karena secara umum TVRI Sumut itu masih banyak SDM-nya, cuma ga tahu, kenapa di unit tertentu banyak sekali kurang. Kalaupun ada, ada yg milih-milih kerjanya. Kita di sini di berita, ada berapa kita editor, Alfan Dwinta Wahyu Iwan Haris, lima. Lima ini masing- masing dengan watak yang berbeda. Ada dia memang pintar tapi slow, ada yang ga berapa pintar ribut banyak, tapi rajin juga. Ada yang ga banyak cakap tapi rajin, bagus kerja, ada yang menguasai. Jadi kadang-kadang untuk pasangan tugas itu timpang. Ada kalanya ketika pasangan yang timpang itu terlambat, kegiatan mempersiapkan berita ini terlambat. Ada juga yang untuk berita berbeda dia bikin visual yang sama, karena cuma ada statement-nya aja. Harusnya kan kreatif sedikit. Ambil gambar yang berbeda, itu masih terus terjadi. Kan aku sendiri sebagai yang baru sebetulnya gimana ya, kalau bisa milih tukeran jabatannya sama orang lain, kalau bisa milih. Tapi kan ini kepercayaan, amanah. Cobalah dijalani sebisanya, kalau udah ga kuat ya nyerah.

Kalau soal konten kak ada ga yang ciri khas “Ini lho berita kita harus gini”. Tentu saja ada, kita kan memang berbeda sama tv swasta, kebijakannya juga sedikit berbeda. Bukan hanya aktual faktual gitu kan, tetapi kita juga berpikir dampaknya. Dampak tidak hanya berita hebat bombastis tapi dampaknya negatif. Ga pun saat itu, mungkin jangka panjangnya. Itu harus kita pikirkan, karena visi misi TVRI kan berbeda. Dan sebenarnya dampak itu bukan hanya TVRI yang harus memikirkan, semua tv. Karena kakak pengalaman di Komisi Penyiaran, kakak tahu pasti semua tv sebenarnya harus memikirkan dampak itu. Tidak hanya mau cepat, mau heboh, mau faktual tapi nanti justru dampak negatif, misalnya kalau siaran langsung, bukan SDB nih, melihat tv lain, breaking news bisa

berjam-jam sekarang, bukan kayak dulu breakingnews sebentar. Peristiwa kerusuhan, kerusuhan tapi lama-lama, belum lagi komentar reporter komentar penyiar live memprovokasi jadinya banyak orang datang rame-rame bawa parang. Ingat makam Mbah Priok, saya ingat kali itu, satu lagi kerusuhan di Jakarta Selatan. Bagaimana penyiar TV One itu mewawancarai Kapolsek atau

Kapolresnya “Ini Pak bagaimana kalau nanti masyarakat Maluku yang ada di

Jakarta semua nanti datang lagi rame-rame?”. Itu kan opini, masuk-masuk kayak gitu kan, itu memprovokasi yang lain jadi rame. Yang kayak gitu jangan sampelah terjadi di TVRI, karena sebetulnya tv swasta pun ga boleh, di tv manapun ga boleh. Dampak ya itu. Kemudian tentu penampilan, kan ga mungkin penyiar atau reporter memakai penampilan yang tidak sopan, sebenarnya ga jauh-jauh dari P3SPS itu.

Yang jadi pedoman kita apa sih kak, patokan kita untuk menjalankan ini? Sebenarnya TVRI sendiri punya kebijakan redaksional yang sebetulnya mengadopsi P3SPS juga, itu sebenarnya intinya.

Kakak sebagai Kepala Seksi ingin SDB ini dipersepsi apa oleh publik?

Kakak pinginnya SDB khususnya di Sumut oleh publik Sumut menjadi barometer berita yang benar, aktual, memberikan informasi, mencerahkan, mencerdaskan memberikan pencerahan. Kita tahu kan sekarang ini semua orang bisa membuat berita dalam tanda kutip baik lewat sosmed, media online dan segala macam. Tapi melalui SDB orang tahu berita yang benar itu apa, cemana. Itu yang aku ingin orang tahu. Mungkin kan, sering itu, ga usah lah sosmed, TV aja TV kuning TV merah sering berbeda, patokannya apa? Kalau untuk kita Sumut ya SDB. Itu yang kakak inginkan.

Menjadi patokan ini versi benarnya.

Iya versi benarnya, juga diharapkan kalau bisa aktual juga.

Kalau misalnya untuk yang redaksi sehari-hari, jalur komunikasi sebenarnya gimana? Maksudnya seperti reporter kemana dulu mereka harus lapor?

Ke redaksi, karena sebelumnya kan dia sudah koordinasi ke kakak kalau dia melakukan peliputan.

Itu ke kakak? Bukan ke DE ya?

Mau meliput, tapi ketika dia sudah meliput, dia harus listing ke DE dong. Karena kan DE yang merangkum itu semua.

Yang penting dia liputan awal udah koordinasi ke kakak? Iya bahwasannya dia meliput.

Itu kan tadi berarti di redaksi si reporternya lapor dulu mau liputan apa ke kakak?

Kalau yang prakarsa ya. Kalau tidak ada di daftar liputan ya. Tapi kalau gitu mereka selesai liputan, koordinasi ke DE.

Selama ini yang lebih sering dievalusasi Kabid lebih ke apanya sih kak? Konten, teknis atau apa?

Hampir semua. Teknis, konten termasuk durasi. Dan beliau sendiri kan masih dalam proses beradaptasi dan mempelajari situasi di sini yang menurut beliau sangat jauh berbeda dengan stasiun lain yang dia pernah jalani sebelumnya. Berbeda dalam arti dia katakan itu seperti yang dia .. Ada hal-hal yang menurut dia membuat dia pusing juga gitu, heran. Kok begini sulitnya kondisi di Sumut baik secara teknik, sistem keredaksian, maupun ya mungkin kalau SDM hampir sama katanya dimana-mana. Kalau yang ini hampir sama tapi gimana ya, ada juga sih sistem-sistem yang dia rasa agak janggal gitu, berbeda. Tapi itu lebih bagus tanyakan ke dia aja nanti.

Kak, di dalam SDB ini kan sejauh mana inisiatif pribadi si reporter ataupun kameramen tim peliputan diberi ruang?

Menurut kakak kalau pemberian ruang selebar-lebarnya. Silakan, kenapa kakak katakan seperti itu? Karena kan sebenarnya kondisi ini bagaimana pun tidak bisa dilepaskan dari masa-masa sebelumnya, ga mungkin langsung kondisi sekarang tetap berbeda dengan lalu. Kan ga mungkin, masa-masa sebelumnya lebih banyak memang ruang itu terbuka, untuk teman-teman berinisiatif meliput walaupun ada batasan-batasan. Bebas kan bukan bebas sebebas-bebasnya, tentu ada batasan. Misalnya nih contoh yang kayak tadi saya bilang satu topik misalnya Hari Pendidikan. Yang bisa sebenarnya disimpulkan di satu berita tapi dipecah-pecah, gitu. Itu artinya kan enggak bebas sebebas-bebasnya juga kan. Kemudian inisiatif untuk mengambil berita pada umumnya kan mereka sebetulnya bukan orang baru di pemberitaan, udah ngerti yang mana boleh yg mana enggak, mana senses of ..., mana yang ada news value-nya mana yang enggak. Walaupun terkadang masih juga ada ... Contoh lagi yang baru terjadi kemarin, kejadian hujan deras banjir. Si A sambil pulang dia atas kendaraannya sambil dia pegang ... mungkin pendampingnya yang nyetir, bukan dia. Dia pegang kamera lihat banjir dari dalam mobil aja nih syuting. Kemudian si B ada lagi begitu juga, tapi daerah yang lain. Awalnya sih banjir yang menggenangi jalan pasca hujan deras begitulah bla bla bla. Nah si C lagi dia tenang ga naik mobil, sepeda motor. Dia pulang, turun, gambar banjir dia ambil bagus. Benar-benar lebih baguslah gambarnya. Ini 3 item kan, sama-sama banjir, macet. Si DE kan harusnya mengemas ini dalam rangkaian bagus, tidak lepas satu-satu. Yang ada aku lihat kemarin berita si A langsung DE- nya yang meliput. Secara umum dulu pertama banjir kemarin Medan bla bla bla, kemudian berita si C tadi yang dia turun dari sepeda motor bagus, kemudian masuk lagi berita si B yang hampir awalnya itu seolah-olah ini berita tunggal tentang banjir, padahal tadi 1-2 kan udah itu. Harusnya ini kan dikemas lagi supaya nyambung. Karena si B ini kan ga tau dia, kalau yang lain buat juga beritanya. Di sinilah peran DE harusnya kan, bagaimana merangkaikan itu jadi enak, nengok urutannya berita banjir yang pertama kedua ketiga itu satu rangkaian. Walaupun beritanya terlepas lepas tapi satu rangkaian. Ini enggak, ketika kita mendengar berita banjir yang ketiga, seolah-olah dari tadi belum ada berita banjir. Ngerti kan Feby maksudnya kan? Disitulah dituntut DE itu lebih jeli mengemas dan meramu ini. Ada DE yang mau begitu tapi tidak semua, masih ada yang tidak. Begitulah.

Jadi intinya, reporter kameramen boleh sesuai inisiatifnya.. Iya boleh yang penting koordinasi.

Tapi menurut kakak semua punya kejelian yg sama? Jurnalistik judgement? Tidak. Itu kalau kita ingat lagi apa yang di awal kita bilang kan sudah kelihatan